Shots - 21

Yuhuuu update ^^

Yook komen dan vote ^^

Seperti janji yang telah dikatakan Sunday, siang ini Milky datang ke salah satu restoran untuk makan bersama sang nenek. Milky yakin neneknya pasti bingung. Sesuai dugaannya, neneknya bukan cuma bingung melainkan memasang wajah ingin tahu, menodongnya dengan tatapan tajam yang mematikan. 

Ketika Sunday pergi ke toilet setelah Oma Aya datang, Milky merasa tercekik melihat neneknya tambah gerah dan memelototinya tajam.

"Kenapa Sunday minta dikasih kesempatan? Kenapa dia bilang mau pacaran sama kamu lagi? Apa dia nggak tahu kamu pacaran sama Belva?" cecar Oma Aya.

Milky diam cukup lama sedang meramu jawaban yang tepat untuk disampaikan pada neneknya. Kalau dia mengaku sekarang, habislah. Bisa-bisa kena makian. Namun, kalau dia menunda kasih jawaban yang sebenarnya akan lebih sulit lagi untuk Sunday menjelaskan maksud pertemuan mereka.

"Jawab Milky," desak Oma Aya.

"Sebenarnya saya sama Belva nggak pernah pacaran. Saya sengaja minta Belva untuk pura-pura jadi pacar biar Oma nggak jodohin saya sama yang lain," jawab Milky akhirnya setelah cukup lama diam.

"Apa kamu bilang?" ulang Oma Aya.

"Hubungan kami cuma sebatas pura-pura. Saya sama Sunday pengin Oma restui kami. Makanya Sunday minta--"

"Keterlaluan kamu, ya," potong Oma Aya. Dengan tatapan tajamnya yang masih belum hilang, dia bersedekap di dada. "Apa kamu pikir Oma mau merestui hubungan kamu sama Sunday setelah diajak ketemu gini? Nggak. Oma nggak setuju. Apalagi kamu udah bohongin Oma dengan bilang Belva pacar kamu."

Milky menatap neneknya dengan heran. Suara decakan muncul. "Kenapa, sih, Oma nggak mau merestui aku sama Sunday?" 

"Oma nggak suka kalian tinggal bareng."

"Apa? Oma nggak mau merestui cuma perkara itu?" 

"Cuma kata kamu?" Oma Aya geleng-geleng kepala. "Kamu tahu kalau ada teman Oma tinggal di apartemen yang sama dengan apartemen kamu? Beberapa kali dia lihat kamu sama Sunday peluk-pelukan nggak tahu aturan di depan umum, cium-ciuman, dan akhirnya dia tahu kalian tinggal bareng. Oma malu. Terserah lah kamu mau cium-cium atau pelukan di mana, asal bukan tempat umum dan sampai tinggal bareng gitu. Kamu bikin jelek nama Oma, nama Atmaja, semuanya."

Milky berdecak lagi. "Tapi kenapa Oma nggak protes waktu Cloud tinggal sama pacar-pacarnya?"

Oma mendesah kasar. "Oma protes dengan nggak merestui dia sama mantan-mantannya. Buktinya dia nggak berjodoh sama mantan-mantannya yang Oma nggak suka. Tapi di antara cucu perempuan, kamu doang yang tinggal bareng sama laki-laki. Yang lain nggak ada. Oma tahu kamu cukup berani soal hubungan. Bukan berarti Oma diam aja nggak merhatiin, nggak negur, Oma suka dengan kebiasaan kamu. Oma tahu kamu bisa bertanggung jawab atas diri kamu sendiri. Tapi kalau sampai tinggal bareng, Oma nggak suka cara itu."

"Oma aneh, ya. Oma bisa bilang supaya saya sama Sunday nggak tinggal bareng. Gampang, kan? Kenapa harus sampai nggak merestui?" Suara Milky mulai meninggi. Kekesalan muncul.

"One thing you should know. Kalau dia sayang kamu, dia peduli dengan martabat dan nama baik kamu, dia nggak akan setuju dengan ide tinggal bareng. Itu udah mengurangi poin di diri dia." Oma Aya bangun dari tempat duduknya, menenteng tas birkin Hermes miliknya. "Oma nggak akan pernah merestui. Terserah mau usaha kayak gimana. Oma mau pulang sekarang."

Milky menahan diri untuk tidak marah lebih jauh. Dia mengepal tangannya erat. "Milky nggak nyangka Oma seaneh ini. Terserah kalau Oma nggak merestui. Orang tua Milky udah merestui. Milky nggak perlu Oma untuk hubungan ini. Milky muak sama aturan Oma."

Langkah Oma Aya terhenti mendengar kata-kata cucunya. Tanpa menoleh, Oma Aya tahu Milky marah. Tidak perlu mengatakan apa-apa lagi, Oma Aya beranjak pergi meninggalkan Milky sendirian. Bertepatan dengan kepergiannya, Sunday kembali. Oma Aya mengabaikan Sunday yang bertanya dan tetap pergi seenaknya. 

"Kamu ngomong apa, Milk? Kok, Oma pergi gitu aja?" tanya Sunday. 

"Nggak tahu," jawabnya jutek.

"Bentar. Biar aku kejar Oma dulu. Aku perlu bicara sama dia." 

Milky menahan pergelangan tangan Sunday, menghentikan laki-laki itu untuk pergi. "Nggak perlu. Kamu nggak butuh restu Oma. Yang kamu butuhin restu orang tua aku. Jangan buang-buang waktu untuk minta restu Oma. Nggak sepenting itu." 

Sunday menatap Milky dengan lembut. "Kenapa kamu bilang gitu? Kalian habis bahas apa?"

Milky menggeleng seraya menarik tangannya. Dia benci neneknya. Kenapa semua harus mendengarkan neneknya? Hidup mereka, mengapa dia harus mendengar semua aturan Oma? Menyebalkan. Milky sebal. 

"Oke, oke, aku nggak kejar Oma." Sunday duduk di samping Milky, menggamit tangan perempuan itu dan mengusap punggung tangannya. "Kalau kamu nggak mau cerita kenapa, nggak apa-apa. Lebih baik makan dulu. Nanti kita bahas kalau kamu udah merasa lebih baik."

Milky cuma mengangguk. Kekesalannya belum hilang. Namun, begitu Sunday mengusap kepala dan berulang kali mengusap punggung tangannya, dia merasa sedikit lebih tenang. Namun, mengapa sentuhan Sunday tidak seampuh dulu? Kenapa kekesalannya tidak bisa langsung hilang seperti dulu setiap kali ditenangkan Sunday? Sebenarnya apa yang salah dengannya? 

☕☕☕

Belva menyajikan kopi di atas meja. Setelah sibuk memantau kedai kopi yang ada di kantor penerbitan, Belva beralih ke kedai kopi utamanya. Ternyata Miawly datang membawakan oleh-oleh dari Bali. Sahabatnya memang pergi ke sana selama beberapa hari dan sudah kembali.

"Muka lo kusut amat. Kenapa, nih?" Miawly menodong pertanyaan tanpa basa-basi.

"Cicipin dulu, kek, Neng. Ini menu baru."

Miawly menyesap kopi setelah meniup beberapa kali agar tidak terlalu panas. Begitu sudah diteguk, Miawly mengambil tisu dan mengeluarkan sedikit dari kopi yang tidak sempat tertelan. "Gilaaaa! Ini asin banget. Lo sengaja mau bikin darah tinggi, ya?"

"Asin? Masa, sih?" Belva tidak percaya dan langsung mencicipinya menggunakan sendok. Ternyata ucapan Miawly benar. Asinnya kebangetan. "Wah ... gue pikir gula. Gue salah masukin, Ann. Sori, ya. Biar gue ganti dulu."

"Nggak usah."

Miawly menahan tangan Belva, menarik laki-laki itu sampai terduduk di sampingnya. Miawly menatap penuh selidik. Dia sudah pernah berpacaran dengan Belva cukup lama, lantas melanjutkan hubungan sebagai sahabat sampai detik ini. Jadi, Miawly tahu betul kalau Belva tidak fokus saat melakukan sesuatu, itu ada hal yang mengganggu pikiran.

"Siapa lagi yang bikin lo nggak fokus? Cerita buruan," todong Miawly.

"Lo lah. Didatangin mantan, kan, bikin deg-degan," canda Belva.

Miawly berdecak sebal. "Heh! Gue serius, ya. Jangan sampai gue gundulin rambut lo. Gue lagi nggak pengin bercanda."

"Ngamuk mulu, Ann. Sabar, dong, sabar."

"Cepetan! Kalau nggak dipaksa, lo nggak mau cerita. Gue tahu kebiasaan lo. Nanti ujung-ujungnya udah minggat aja liburan ke Arizona kayak waktu diselingkuhin itu."

Belva tertawa terbahak-bahak. Miawly masih ingat saja. Dia pikir masalah kabur ke Arizona untuk berlibur sudah dilupakan. "Haha ... jangan gitu dong, Ann. Malu, nih. Ketahuan kalau gue galau hobinya kabur liburan."

"Makanya cerita. Cepetan!" desak Miawly tambah tidak sabar.

"Ya ... sebenarnya nggak ada apa-apa, Ann."

"BEEEEEEL!"

"Iya, iya, ya ampun ... tunggu dulu." Kadang Belva bingung juga dia bisa sabar menghadapi Miawly dulu. Selama pacaran saja Miawly suka ngambek dan memaksa, seperti sekarang contohnya, dan dia betah-betah saja. "Well, ya ... gue udah bisa lupain Kissy. Tapi..."

"Tapi apa?" sela Miawly dengan satu alis yang menukik tak sabar.

"Tapi ... perempuan yang bikin gue lupa sama Kissy masih cinta sama mantannya. Sepertinya mereka mau balikan. Jadi ya udah. Mungkin gue aja yang terlalu berharap pengin jadi pacar dia. Ya, nggak apa-apa, sih, gue udah biasa. Nothing to lose. Iya, nggak, Ann?" Belva tertawa kecil. Lagi menghibur diri supaya tidak dikasihani.

Miawly memandangi Belva dengan serius. Mantannya masih bisa tertawa dan nyengir seperti biasa. "Lo tahu nggak, kalau lo ketawa pas cerita ini, gue malah sedih. I mean, kok ... bisa dia dekat sama lo tapi tahu-tahu mau balikan sama mantannya? Ya, sama aja kayak Kissy, dong? Lo usaha untuk Kissy bahagia, eh, dia malah balik sama mantannya. Ini, tuh, kayak cuma keputer ulang aja, beda perempuan doang."

Suara tawa Belva lenyap. Iya, seperti diputar ulang saja, hanya beda perempuan dan saingannya. Namun, dia tetap tokoh yang menyempil di antara dua tokoh utama itu.

"Sebenarnya pas dekat pun, gue tahu dia masih cinta sama mantannya. Gue sendiri nggak nyangka bakal jatuh cinta sama dia, Ann. Tapi hari ini, ya ... semakin jelas. Gue nggak bisa nerobos tembok cinta mereka. Kata orang sebelum nikah bisa ditikung, tapi gue nggak setega itu nikung hubungan atau rebut pacar orang. Entahlah..."

"Kalau udah tahu ngapain lo pepet, sih? Aduh, sebel! Dia nggak tahu lo cinta sama dia?" Miawly mulai sewot. Mengacak rambutnya frustrasi. Yang punya masalah Belva, dia yang gemas sendiri.

"Kan, gue bilang, gue mana tahu bakal jatuh cinta sama dia seiring dekat sama dia." Belva menghela napas panjang, bersandar pada punggung kursi yang kokoh. "Dia belum tahu perasaan gue. Ya, gue pendem aja, deh. Lagian dia mau balik sama mantannya."

Miawly memutar bola matanya. "Kenapa, sih, lo gampang nyerah? Waktu Kissy pun gitu. Lo nyerah dan relain Kissy begitu aja."

"Ann, bukan gitu." Belva merapikan posisinya, duduk dengan tegap. "Bukan gue menyerah, tapi gue tahu nggak akan dipilih. Kissy udah lebih dulu punya kenangan baik dan indah sama Hotelio. Apalagi masih sama-sama cinta. Jadi kalau dia balik sama Hotelio, ya itu karena dia lebih nyaman sama orang yang udah tahu dia luar dalam, Ann. Simplenya gini aja. Waktu lo sama gue putus, kita udah sama-sama merasa cukup dan capek. Saat itu, perasaan kita udah surut. Makanya lo mau nerima Pangeran soalnya lo udah selesai sama masa lalu. Lo udah lupain gue. Jadi lo mau coba sama orang baru. Itu, Ann. Masalahnya, baik Kissy maupun perempuan ini, mereka belum selesai sama masa lalunya."

"Iya, sih. Lo benar. Kalau saingan lo orang baru, ya, bisa fifty-fifty. Tapi kalau saingan masa lalu, susah diprediksi. Ada beberapa orang yang lebih senang balik sama masa lalunya. Tapi lo nggak boleh nyerah. Ayo, coba lagi. Siapa tahu kali ini ada ujung yang baik buat lo. Iya, kan?"

Belva tersenyum pahit. "Entahlah. Gue mau jadi tim hore dia, deh. Cinta nggak harus memiliki, kan? Kalau dia bahagia sama pilihannya, gue pun ikut bahagia. Asalkan dia bahagia mau sama siapa pun entah itu bukan gue, ya ... nggak apa-apa."

Miawly mengusap wajahnya--mendesah kasar setelahnya. "Kalau ada nominasi orang tersabar dan paling legowo sedunia, lo menang. No debat. Fix, lo juaranya sad boy."

Belva tergelak. "Haha ... Ann ... please, omongan lo bikin gue sakit perut."

Miawly mulai tertawa. "Gue harap lo bisa tertawa lepas tanpa harus nyembunyiin luka atau apa pun, Bel. Kalau dia bukan jodoh lo, nanti gue cariin biar lo punya jodoh yang pas."

Belva mengubah tawanya menjadi senyum kecil. Sambil mengacak rambutnya yang tertata rapi, dia berkata, "Tahu gitu gue pacaran sama Candy atau Elektika, ya. Kira-kira kalau sama mereka, udah nikah belum, nih?"

Miawly mendelik tajam. "Jangan ngomong lo. Dasar php! Mungkin ini karma kejam soalnya lo nggak kasih kepastian sama mereka."

"Eh, eh, lo nggak tahu aja waktu Candy pedekate sama gue masih bahas mantannya yang paling lama. Jadi gue ragu-ragu mau maju. Kalau Elektika, dia bilang nggak kepikiran mau punya anak. Meanwhile, gue suka anak-anak. Ada beberapa hal yang bikin kita nggak bisa nyatu, Ann. Lo mah main asal karma-karma aja," beber Belva.

"Nah, akhirnya lo cerita, kan." Miawly melotot. Bertolak pinggang sambil melihat Belva. "Kemarin-kemarin nggak mau terbuka alasan gagal sama dua itu. Yang gue tahu alasan gagalnya gara-gara lo masih galauin Kissy. Itu doang. Ternyata selain lo galau, ada alasan lain. Kayak gini, kan, enak. Jadi gue nggak bakal nyudutin lo lagi karena mikirnya lo aja yang banyak alasan."

Belva tertawa terbahak-bahak lagi. Kali ini sambil memegangi perutnya. "Sumpah ... lo makin mirip emak-emak yang lagi nasihatin anaknya. Duh, ini hiburan."

Miawly mau protes, tapi melihat suasana hati Belva sedang terombang-ambing, dia membiarkan. Kedua sudut bibirnya pun tertarik sedikit. "Syukurlah kalau lo terhibur, Bel. Selain suami gue, lo orang yang berharga di hidup gue. Jangan sedih-sedih."

Belva memberi hormat kepada Miawly. "Siap, Nyonya Tanujaya. Saya pasti bahagia."

Miawly geleng-geleng kepala. Belva menurunkan tangannya dan memasang senyum untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja. Meskipun berusaha baik-baik saja, Belva memang tidak bisa menutupi fakta bahwa dia sedih. Tapi ya ... dia sudah terbiasa juga. Jadi, dia akan menikmati saja kesedihan lain di hidupnya.

☕☕☕

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗♥️

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top