Shots - 18
Maap gaes, semalam ketiduran🥲
Yoooook komen yang banyak🤗🤗❤
#Playlist: Teza Sumendra - I Want You Love
•
•
Sepulang bekerja Milky ikut dengan Belva mengantar Jihan ke bandara. Steven sudah pulang, tidak jadi ikut. Keikutsertaan Milky atas permintaan Jihan yang secara mendadak telepon dan bilang sudah di lobby kantor. Milky tidak bisa menolak selain ikut.
Seusai mengantar Jihan, barulah Milky pergi dari sana menuju sebuah restoran––yang katanya Belva bagus didatangi saat malam hari. Dan kata-kata Belva terbukti benar. Milky dapat menikmati pemandangan langit di atas sana melalui sunroof mobil yang dikemudikan Belva.
Konsep restoran yang mereka datangi cukup unik dan brilian. Mobil mereka diparkir di sebuah parkiran luas. Mereka memesan dari mobil melalui barcode yang diberikan saat masuk. Setelah memesan dan membayar, pesanan akan segera diantarkan oleh pelayan ke mobil masing-masing. Saat mobil masuk, di ujung kaca depan bagian pengemudi ditempel nomor mereka sehingga memudahkan sang pelayan mengantar makanan. Pelanggan pun bisa melihat nomor mereka dari nomor yang ditulis tangan di atas lembar barcode. Meskipun terkesan rumit, tapi memudahkan orang-orang yang malas turun mobil untuk tetap duduk di kursi mobil kesayangan mereka. Tidak heran kalau restorannya diberi nama See Stars.
Milky sibuk memandangi langit dengan posisi tiduran. Alunan lagu When You Say Nothing At All yang dinyanyikan Ronan Keating mengalun sempurna. Lagunya cocok didengarkan malam-malam seperti ini.
"Pak Belva," panggil Milky tanpa menoleh.
"Mas Belva," koreksi Belva iseng sambil melihat ke arah Milky.
"Pak Belva," tegas Milky.
Belva terkekeh. "Kenapa nggak panggil saya Mas Belva? Saya lebih tua lima tahun, lho. Bukannya lebih cocok panggil saya Mas?"
Kalau dipikir-pikir lagi Milky memanggil Belva pakai Pak supaya tidak repot menambahkan embel-embel Mas atau Kak. Kalau tidak pakai Pak, dia bisa dicap perempuan berumur 27 tahun yang tidak sopan. Merepotkan sekali. Kalau Sunday lebih muda dua tahun darinya jadi tidak perlu repot menambah embel-embel.
Milky berdecak. "Banyak mau." Sialnya, bibir tetap saja mengucapkan panggilan yang diinginkan Belva. "Saya mau tanya, Mas." Sadar mulutnya selalu berkhianat, dia mengabaikan dan tidak meralat.
"Mau tanya apa, Dek Milky?" canda Belva.
"Ih!" Milky refleks memukul lengan Belva. Geli dipanggil begitu. Belva malah tertawa geli. "Ah, udahlah. Nggak jadi ngomong."
"Hehe ... bercanda, Milk. Mau tanya apa?" Belva mengontrol tawanya sampai berhenti. Melihat Milky diam mengabaikan dan menatap langit, dia menambahkan, "Maaf, deh, saya nggak panggil Dek lagi. Jangan ngamuk. Saya takut, nih."
Awalnya Milky iseng saja mau bikin Belva panik makanya pura-pura ngambek. Sialnya, laki-laki itu mencolek-colek lengannya seperti anak kecil yang tengah membujuk temannya.
"Nggak usah colek-colek lagi. Dikira sabun colek kali," ucap Milky.
"Oke, oke. Enough, deh." Belva menarik tangannya. "Jadi, mau tanya apa, Milk?"
"Kenapa waktu itu Tante Jihan manggil kamu Satoru? Tapi tadi kayaknya lebih banyak manggil Belva."
"Oh, itu." Belva tertawa kecil membayangkan alasan sang ibu. "Dulu Mama mau namain saya Satoru. Papa, kan, ada campuran darah Jepang. Sayangnya, Papa nggak setuju. Akhirnya Mama ngalah dan jadiin Satoru panggilan. Mereka banyak debatnya soal nama. Contohnya, nama depan saya hasil perdebatan mereka. Mama maunya Zen aja cuma sama Papa ditambahin T jadinya Zent. Kira-kira begitu ceritanya."
"Lucu, ya. Papa sama Mama saya juga sering ributin hal-hal kecil. Sering nggak sependapat juga. Tapi ya, Papa lebih banyak ngalah, sih. Kesabaran Papa berada di level tertinggi melebihi tingginya langit," cerita Milky.
Belva tertawa mendengarnya. "Wah ... berarti nggak nurun ke kamu. Soalnya kesabaran kamu setipis tisu. Betul nggak?"
"Ya, nggak usah diperjelas." Milky menyentil lengan Belva. Laki-laki itu semakin tertawa senang. Entah apa yang bikin senang. "Tapi di balik itu semua, mereka mengajarkan saya kalau orang tua akan selalu mendoakan dan mendukung anaknya meski nggak ditunjukkan terang-terangan. Soalnya nggak ada yang namanya mantan orang tua. Dan seburuk-buruknya orang tua, paling nggak mereka punya satu doa baik untuk anaknya. Itu yang mereka bilang."
Suara tawa Belva hilang dalam sekejap. Teringat kejadian hari ini, Belva menunjukkan tanpa sembunyi-sembunyi caranya berinteraksi dengan sang ayah. Bukan interaksi hangat yang bisa dia tunjukkan melainkan ketidaksukaan yang amat jelas. Satu-satunya yang membuat Belva berusaha dekat dengan ayahnya hanyalah bujukan demi bujukan dari Milky.
"Gitu, ya? Doa yang baik?" respons Belva setelah cukup lama diam. Suaranya dingin dan ekspresinya datar.
Milky sadar perubahan ekspresi dan gelagat yang ditunjukkan Belva. Dia tidak bermaksud menyinggung, bibirnya hanya keterusan membahas keluarganya.
"Maaf kalau saya menyinggung. Saya nggak bermaksud begitu," ucap Milky pelan.
"Nggak, kok, Milk. Saya cuma ... ya ... kepikiran aja."
"Kepikiran?"
"Iya." Belva menatap langit, membayangkan perlakuan-perlakuan ayahnya di masa lalu. Semua hal yang membuat dia tidak suka ayahnya. "Kalau ada yang bilang saya belum berdamai dengan masa lalu menyangkut ayah saya, itu benar. Saya nggak pernah bisa nerima dia. Sedikit pun. Banyak hal yang bikin saya terjebak dalam ketidaksukaan akan sosok beliau. Banyak sampai saya nggak pernah mau ketemu dia dan selalu menghindar. Dan kata-kata kamu bikin saya ragu. Mustahil orang seperti ayah saya mendoakan hal baik untuk anaknya. Meski itu cuma satu doa aja. I know him very well."
"Saya nggak tahu apa masalahnya dan apa yang diperbuat Om Steven ke kamu. Tapi saya percaya Om Steven mendoakan anaknya yang baik-baik." Milky ikut mendongak ke atas menatap langit. "Saya tahu manusia nggak ada yang bisa sepenuhnya berubah, tapi saya yakin Om Steven mulai berubah daripada sebelumnya."
"Dia begitu karena ada maunya aja."
"Terlepas dari ada maunya, dia mau reach kamu aja, bukannya udah usaha? Yang awalnya dia nggak pernah berusaha deketin kamu terus mendadak deketin, itu nggak gampang. Apalagi respons kamu nggak bisa diprediksi sama dia. Kamu nunjukkin sejelas itu nggak suka meski dia udah berusaha untuk hati-hati atas apa pun."
Milky menoleh ke samping, mengalihkan pandangannya. Belva pun ikut menoleh.
"Apa nggak bisa sedikit aja kamu lebih percaya sama Om Steven? Maksud saya, coba usaha dekat dulu, terlepas dia punya maksud tertentu. Karena suatu hubungan akan berjalan lebih baik kalau komunikasinya lancar." Suara Milky berubah sedikit lebih rendah dari biasanya. Lebih lembut juga.
Belva cuma diam memandangi Milky. Nasihat Milky sukses menyentuh dasar hati Belva. Ada pembenaran-pembenaran yang perlahan muncul mendukung ucapan Milky.
"Bukan saya bermaksud ikut campur, saya cuma nggak mau kamu nyesal nanti. Waktu berjalan cepat. Nggak ada yang tahu masa mendatang. Right?" tambah Milky.
Belva mengangguk pelan. "Kamu benar. Saya akan coba. Entah saya bisa atau nggak, tapi saya akan coba." Lalu, dia mulai mengulas senyum seperti biasa. "Makasih, Milk."
Milky menggeleng. "Nggak perlu bilang makasih. Kamu sendiri yang bersedia, kok. Biarpun saya nasihatin berulang kali kalau kamu nggak berniat melakukan, ya ... nggak bakal terjadi. Tapi kamu punya niat jadinya mau berusaha dekat sama Om Steven."
"Bisa aja De––eh, jangan, deh. Nanti kamu marah."
Milky meninju pelan lengan Belva dengan bibir mengerucut. Belva tertawa menikmatinya. Milky ikut tertawa menyadari tindakannya cukup kekanakan perkara diledek.
Begitu tawa mereka berhenti, mata saling beradu menatap indahnya warna iris masing-masing. Senyum dan tawa mereka reda. Pelan-pelan wajah saling mendekat hingga tak menyisakan jarak. Bibir bertemu. Saling bertaut erat.
Kesabaran mereka dalam berciuman tidak pernah ada. Mereka saling balas menarik bibir seolah-olah permen kenyal yang bisa dimakan sepuasnya. Gelora dalam diri berhasil mengambil alih. Akibatnya, mereka ingin lebih dari sebatas ini.
Hanya sebentar menyudahi ciuman, Milky berpindah tempat. Duduk di atas pangkuan Belva dengan posisi berhadapan menjadi opsi terbaik untuk melanjutkan ciuman yang memabukkan. Belva memeluk pinggang ramping Milky sambil menurunkan jok yang ditempati.
Ciuman terus berlanjut dengan sentuhan-sentuhan tambahan. Jari-jari nakal Belva menyambangi punggung lembut Milky dengan lincah. Tidak butuh waktu lama untuk Belva membuka pengait bra menggunakan satu tangan. Selagi Belva sibuk menyentuh dan meremas dada Milky yang tak lagi terbalut bra, Milky menyentuh dada bidang Belva. Sentuhan demi sentuhan yang terjadi menjadi penyebab ciuman mereka berakhir. Digantikan dengan erangan dan desahan menggoda.
"Bel," bisik Milky parau.
Belva tersadar dari tangan yang sibuk bermain-main di dada Milky. Dia menghentikan kegiatannya. Sialnya, hasrat sudah menumpuk apalagi setelah mendengar desahan kecil yang mendengung ketika dia menyentuh dada Milky.
"Astaga, astaga." Belva mengusap wajahnya. "Kamu duduk yang bener, deh. Saya kepancing mulu, nih, kalau kamu masih di atas."
"Kamu nggak mau lanjutin?" goda Milky seraya mengambil tangan Belva dan mengarahkan ke dadanya.
"Mau aja, tapi kita mau makan. Ini juga ramai, Milk. Kalau nanti aneh-aneh bisa viral." Belva was-was sendiri. Kalau hilang kontrol, dia bisa menggila. Kalau sudah menggila tentu bisa bercinta sembarangan.
Milky bukan tipe perempuan jaim atau tidak menunjukkan keinginannya untuk bercinta. Dia akan terang-terangan menyatakan keinginannya jika tergoda dan terangsang. Tentunya, dia akan menunjukkan dengan tindakan yang cukup nekat. Seperti contohnya sekarang. Milky membiarkan kepala Belva berada di dalam pakaiannya. Tanpa perlu menjelaskan, Belva tahu maksudnya. Belva pun bergerak cepat. Belva mencicipi puncak dada Milky, memilin, dan meremas berulang kali. Selagi bibir Belva sibuk, tangan lainnya bergerak menelusup ke dalam celana dalam Milky. Jari-jari Belva bergerak masuk, menyapa ruang yang berulang kali dijadikan tempat bertempur semalam suntuk.
"Bel," Suara serak diselipi desahan kecil lolos begitu saja. Milky menikmati dua kegiatan yang dilancarkan Belva. "Cu-cukup. Na-nanti saya..." Kata-kata Milky tertahan. Kali ini hanya desahan yang mampu Milky keluarkan setelah jari-jari Belva bergerak lebih cepat.
Kepala Belva tidak lagi bersembunyi di dalam kemeja yang dipakai Milky. Belva menikmati pemandangan di atasnya. Pemandangan yang hanya bisa dilihat Belva kalau mereka sama-sama sedang ingin bercinta. Wajah mesum Milky saat menikmati jari-jarinya berhasil meninggalkan kesan luar biasa di dalam bagian intim perempuan itu. Gara-gara itu pula, Belva tidak bisa menahan adik kecilnya yang mulai tegang ingin dikeluarkan dari sangkarnya. Lebih-lebih lagi saat jari-jarinya basah setelah Milky mencapai kenikmatan.
Belva menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan diri untuk tidak melakukan tahap selanjutnya. "You're so wet, Milk."
Milky menyeringai nakal sambil menyentuh milik Belva. "And you're so hard." Lantas, tangannya bergerak tidak beraturan menyapa bagian intim yang semalam membuatnya kesakitan.
"Udah, jangan diapa-apain."
Belva mengangkat tubuh Milky dan mendudukkan kembali di tempatnya. Milky terkejut Belva sekuat itu memindahkan dirinya yang tidak bisa dibilang enteng.
"Jangan pindah-pindah," tegas Belva.
Tepat setelah itu, sang pelayan datang mengetuk kaca jendela mereka. Sungguh pas sehingga mereka tidak ketahuan lagi aneh-aneh di dalam mobil. Setelah makanan sudah tersaji semua dan dipegang, sang pelayan pun pergi. Semua makanan tersaji dalam kotak makan yang bisa dibawa pulang.
"Let me give you one great service," ucap Milky tiba-tiba.
Belva sempat bingung. Namun, dia segera paham saat Milky mendekati miliknya, menunduk dan membungkuk. Belva mau melarang, sialnya, Milky susah dikasih tahu.
Yang selanjutnya terjadi, makanan didiamkan begitu saja. Sedangkan yang empunya mobil sibuk menikmati kenikmatan ekstra dari Milky. Kenikmatan yang ujung-ujungnya bikin mereka pulang lebih cepat dan memutuskan makan di rumah.
☕☕☕
Jejak kissmark belum hilang malah menambah jejak baru yang lebih terang. Milky pusing sendiri. Masa harus sampai seminggu lebih pakai turtle neck lengan panjang? Bisa ketahuan dia punya jejak cumbuan. Belum lagi Jakarta tahap panas-panasnya. Milky harus siap-siap bawa kipas portable untuk mengusir gerah.
Bicara soal gerah, seakan semalam tak cukup, sekarang Milky masih harus menghadapi keganasan Belva. Tambah lagi jejak cumbuan baru. Ditimpa lagi jejak-jejak lainnya. Tidak ada ampun sama sekali, Belva tidak memberi ruang di tubuh Milky untuk tidak diisi jejak cumbuan. Yang tersisa mulus hanya punggung tangan dan wajah. Sisanya sudah ditandai.
Setelah tiga kali mengulang kegiatan panas, mereka berhenti. Sudah mencapai pelepasan yang luar biasa. Mereka capek sendiri terbawa nafsu yang lagi tinggi-tingginya pagi ini. Meski begitu mereka menikmatinya.
Tidak butuh waktu lama untuk mereka membersihkan diri dan rapi mengenakan pakaian masing-masing. Belva bergegas ke luar kamar menyiapkan sarapan selagi Milky sibuk merias diri.
Hari ini memang tidak ada jadwal bekerja. Libur panjang terlebih hari Senin tanggal merah. Mereka belum ada niatan pergi, hanya siap-siap saja, siapa tahu ada niat mau pergi setelah sarapan.
Milky belum memakai lipstik. Dia menunggu sarapan selesai agar bisa menikmatinya tanpa sibuk memoles lipstik lagi.
"Tumben nggak pakai lipstik merah kesukaan kamu." Belva datang meletakkan dua piring omelet lengkap dengan air putih yang sudah dituang.
"Memangnya tahu saya suka pakai lipstik merah?"
"Tahu. Kamu suka pakai lipstik merah. Mau merah darah, merah maroon, merah gelap keunguan, pokoknya merah. Nggak pernah lihat kamu pakai lipstik warna pink atau yang lebih cerah, sih."
"Kamu diam-diam pemerhati, ya?"
"Khusus merhatiin kamu doang, sih." Belva memainkan alisnya, menggoda Milky dengan jahil.
Milky berdecak. "Halah. Udah, ah, mending makan. Saya nggak mau pakai lipstik biar nggak pudar pas makan. Soalnya lipstik Nera yang dia bawain semalam, saya nggak tahu ini merek apa. Nggak jelas mereknya dan nggak ada tulisan waterproof. Saya cari di Google juga lipstik ini nggak ada rincian jelasnya cuma dijual di toko online oranye aja."
"Kamu nggak bawa lipstik sendiri?"
"Nggak. Kotak make up ketinggalan di kantor makanya minta Nera bawain riasan." Milky mengambil sendok dan garpu setelah meletakkan lipstik di atas meja. Sambil mengerucutkan bibirnya, dia mengeluhkan kelakuan sang sepupu. "Boro-boro dikasih yang bagus, ini malah nggak jelas semua mereknya kecuali bedak. Memang agak nyebelin dia."
Belva tertawa geli. Perkara lipstik saja Milky bisa ngedumel. Sebelum Milky tambah bete, Belva menyiapkan jus jeruk segar dan meletakkan buah pilihan yang sudah dipotong. Belum sempat menyuruh makan, ponsel Belva berdering. Belva sempat ragu untuk menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal. Namun, akhirnya Belva menjawab, siapa tahu ada yang ingin berbisnis pagi-pagi.
"Halo?" sapa Belva lembut.
"Ini Oma Aya," sahut Oma Aya di seberang sana.
"Oma Aya? Oh, iya, iya, Oma." Belva buru-buru duduk untuk mendengarkan.
Milky terusik mendengar nama neneknya disebutkan. "Mau ngapain telepon?" tanyanya setengah berbisik pada Belva.
Belva menggeleng. "Kenapa, Oma?"
"Kirimin passport dan KTP sekarang ke nomor ini. Sore nanti jam empat, datang ke rumah Oma. Bawa pakaian yang banyak."
"Buat apa, Oma?"
"Jangan banyak tanya. Datang aja."
Belva mengangguk seakan ada Oma di dekatnya. "Iya, Oma. Saya kirimin sekarang. Sampai ketemu sore nanti, Oma."
Tidak ada balasan apa-apa, Oma mematikan sambungan sepihak. Belva melihat layar ponselnya, mendapati pesan beruntun dari Oma agar dia tidak lupa mengirim yang diminta.
"Oma bilang apa?" Milky penasaran.
"Saya disuruh datang sore nanti ke rumah Oma. Udah gitu disuruh kirimin passport dan KTP."
Milky mengernyit. "Buat apa, sih?"
"Nggak tahu. Saya mau fotoin passport dulu, ya. Kalau mau makan duluan nggak apa-apa, Milk," ucap Belva, yang kemudian bergegas meninggalkan Milky mengambil keperluannya.
Tak lama setelah Belva pergi, Milky meletakkan alat makan untuk membaca pesan beruntun dari grup keluarga besar Atmaja. Semua anak dan cucu dimintai foto passport dan ktp. Dan bagian paling bawah dijelaskan mereka akan berlibur ke Singapura, menginap di salah satu rumah milik keluarga Atmaja di sana. Tidak cukup itu saja, Oma Aya secara terang-terangan bilang kalau Milky akan membawa bodyguard bernama Belva. Sungguh, neneknya ini seenak hati.
Bersamaan dengan itu, Milky melihat Belva telah kembali. Guna mengusir kekesalan yang muncul gara-gara neneknya mengajak Belva tanpa izinnya, dia memakai lipstik sambil berkaca melalui layar ponsel.
"Tadi katanya nggak mau dipakai dulu lipstiknya?" Belva berdiri di belakang Milky, mengamati perempuan itu mempercantik bibirnya dengan warna merah darah.
"Pengin ngetes aja." Milky mendongak, mendapati Belva tersenyum. Tanpa aba-aba, Milky meraih ibu jari Belva dan diarahkan ke bibirnya untuk mengusap lipstik yang dia pakai. "Oh, lumayan. Nggak nempel di jempol."
Belva sempat kaget––terkekeh kemudian. Tanpa permisi, Belva menangkup wajah Milky, lantas membungkukkan badannya agar bisa leluasa mendekati wajah Milky yang sedikit mendongak ke atas.
Detik itu pula Belva mencium bibir Milky dengan cukup kasar hingga saliva mereka bertukar. Belva mengulum bagian bawah bibir Milky, menarik-narik bibir dengan bibirnya, sampai akhirnya ciuman berakhir dalam sekejap.
Belva mengusap bibirnya, tidak menemukan jejak perpindahan lipstik. Guna meyakinkan dia tidak salah, dia berkaca melalui layar ponsel Milky. Memang tidak ada perpindahan warna ke bibirnya.
"Well, it's waterproof. Kamu nggak perlu khawatir warnanya hilang selama makan." Belva mengerlingkan matanya sambil tersenyum cerah.
Milky terpaku sebentar, berusaha memproses tindakan Belva yang cukup mengejutkan. Pipinya merah padam. Kalau tahu cara mengetes lipstik ala Belva seperti itu, Milky bisa mempersiapkan diri lebih dahulu. Rasanya hati ingin meledak.
☕☕☕
Jangan lupa vote dan komen kalian😘🤗❤
Follow IG: anothermissjo
Wakakakak gimane nih chapter ini?👀
Siapa yang gak sabar baca liburan Milky dan Belva bareng keluarga Atmaja?😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top