Shots - 17
Yuhuuu update❤❤
#Playlist: Carol Banawa - Baby Now That I Found You
•
•
Belva terpaksa ikut mobil ayahnya, karena ayahnya ingin mengantarnya ke rumah Jihan. Baru setelah itu Belva mengantar Milky sebelum nanti mengantar Jihan ke bandara. Mau menolak pun, Belva terbujuk rayuan Milky yang sulit ditolak. Selama ini Belva tidak pernah terbujuk siapa pun jika sudah menyangkut ayahnya. Namun, Milky benar-benar punya siasat yang bisa meluluhlantakkan pertahanan kokohnya.
"Kamu nyetir mobilnya nggak enak banget, sih. Mending suruh Belva yang nyetir," protes Jihan.
"Bilang aja kamu nggak mau duduk di depan. Protes aja," balas Steven.
"Iya, nggak mau. Pasti ada maunya, nih, kalau kamu antar aku begini. Curiga."
"Kamu curigaan mulu, ya. Dari dulu nggak berubah."
Bukan Belva tidak suka orang tuanya bertemu, satu mobil, atau satu meja makan. Namun, perdebatan tidak penting semacam ini yang malas dia dengar. Belva terlampau sering melihat orang tuanya bertengkar saat dia masih kecil jadi sudah cukup muak untuk menyaksikan itu lagi.
Tanpa banyak bicara, Belva mengambil airpods dari dalam tas, lalu memasangnya di telinga Milky setelah izin untuk memakaikan. Tidak peduli Milky menolak, Belva perlu bicara dengan orang tuanya tanpa harus didengar Milky.
"Sebentar. Dengerin lagu dulu, ya. Biar tenang," ucap Belva sambil tersenyum.
Seakan paham maksud Belva barusan, Milky tidak menolak. Belva mungkin tersenyum, tapi itu bukan senyum tulus yang biasa dia lihat. Akan tetapi, tangan hangat Belva mengusap kepalanya masih terasa sama. Detik berikutnya, dia mendengar lagu Uptown Girl yang dinyanyikan Westlife. Cukup beat untuk tidak mendengar apa pun selain musik. Keingintahuan Milky memaksa dia berpura-pura menopang satu tangan di pipi sebelah kiri, yang sebenarnya melepas satu airpods selagi Belva lengah menatap lurus ke depan.
"Kalian bisa nggak, sih, berhenti debatin hal nggak penting? Apa nggak cukup bertengkarnya waktu Belva masih kecil? Belum puas?" ketus Belva sekenanya.
Baik Jihan maupun Steven tersentak mendapat teguran tersebut. Mereka spontan saling melempar pandang sekilas dengan bibir bungkam.
"Tolonglah dewasa sedikit. Apa nggak malu didengar Milky?" tambah Belva.
Belva mendesah kasar. "Lain kali nggak usah bareng-bareng kalau berantem terus."
"Maaf, Belva," ucap Steven pelan.
"Iya, Nak. Kita kadang memang...." Jihan menahan bibirnya untuk melanjutkan kata-kata ketika melihat sang mantan suami menggeleng pelan memberi kode untuk diam. Dia pun setuju. "Iya, maafin Mama juga," lanjutnya pelan.
Belva mengusap wajahnya kasar. Sudah bukan kesal atau ingin segera turun dari mobil, dia benar-benar sesak berada di dekat orang tuanya yang sering bertengkar kalau bertemu. Walau bukan pertengkaran hebat dan sebatas kecil saja, cukup bikin Belva teringat masa lalu. Menit berikutnya dia sadar tindakannya mungkin mengagetkan orang tuanya. Belva mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan.
"Nggak perlu minta maaf. Belva yang salah. Nggak seharusnya negur kalian. Maaf."
Jihan menoleh ke belakang sekali lagi. Melihat wajah sedih putranya, perasaan bersalahnya mencuat. Apalagi mendengar Belva pasrah dan bicara seperti itu. Begitu pula dengan Steven, yang turut merasakan perasaan bersalah melihat raut wajah Belva dari kaca spion.
Sejak tadi Milky mendengarkan. Dia tahu Belva berusaha menahan diri untuk tidak marah lebih jauh. Melihat Belva diam dan memasang wajah tidak nyaman dilihat, dia menggenggam tangan Belva dan tersenyum.
"Kenapa?" Belva bertanya lembut seiring lagu yang dimatikan sebentar.
"Ngantuk," alasan Milky.
Tanpa aba-aba Belva menggeser posisinya ke kiri, memangkas jarak mereka sampai tak menyisakan ruang, lantas memandu kepala Milky secara perlahan sampai bersandar di pundak kokohnya. Belva mengusap-usap kepala Milky dengan lembut.
"Tidur aja. Nanti saya bangunin," ucapnya pelan.
Milky tidak menjawab. Dia melepas genggaman, menggantinya dengan memeluk lengan Belva, dan menggenggam tangan Belva sekali lagi. Milky tidak mendengar lagu dinyalakan. Dia pun memejamkan mata untuk meyakinkan akting mengantuknya. Dan dia bisa merasakan usapan lembut nan hangat mampir di punggung tangannya yang menggenggam tangan Belva.
Selama beberapa menit suasana hening. Tidak ada obrolan atau perdebatan kecil. Teguran Belva berhasil menekan atmosfer saling ngotot di antara Jihan dan Steven.
"Bel," Steven buka suara. "Kamu nggak mau pikirkan lagi soal gantiin Papa di perusahaan? Papa serius soal itu. Maaf baru bisa bicara sama kamu sekarang."
"Nggak," tolak Belva mentah-mentah.
"Ayolah. Kamu satu-satunya harapan Papa, Bel," mohon Steven lirih.
"Belva nggak mau. Minta Kak Freya aja."
"Papa maunya kamu, Bel. Mau, ya?" bujuk Steven.
"Nggak. Belva nggak tertarik. Jangan bahas lagi," tegas Belva.
Ketika Steven membuka mulutnya lagi hendak memaksa, Jihan menyadarinya dan buru-buru menyela, "Milky tidur, Bel?"
Belva melirik sebentar. "Iya, Ma."
"Kasihan, dia capek mungkin."
Mendengar ibunya bahas capek, Belva jadi kepikiran kegiatan semalam. Apa gara-gara dia terlalu banyak memforsir Milky jadi kelelahan dan kurang tidur? Soalnya mereka baru tidur sekitar pukul tiga pagi. Sudah di tahap lelahnya baru jam segitu setelah on sepanjang malam bercinta. Belva mengusap kepala Milky dengan lembut secara berulang dengan tangan lainnya yang kosong sebelum akhirnya berhenti.
"Btw, minggu lalu Mama ketemu mantan gebetan kamu, lho. Siapa, deh, personel girlband yang cantik itu? Girlband apa, ya? Pul ... Pullin? Eh, bukan. Pul apa, sih? Dempul?"
"Pulchra, Ma," koreksi Belva.
"Nah, itu. Dia bilang titip salam buat kamu. Siapa namanya, Nak? Mama lupa nama dia."
"Candy, Ma."
"Oh, iya, Candy. Dia cantik banget, ya. Mama sampai speechless tiap mandangin mukanya. Dulu Mama mikirnya kamu jadi sama dia. Kalau kalian nikah, kan, sama-sama keturunan Jepang gitu. Ibunya Candy campuran Jepang, kan?"
"Iya, Ma." Belva geleng-geleng kepala mendengar kehebohan sang ibu. "Udah, udah, nggak perlu bahas. Bukan jodoh, Ma."
Kepala Milky berputar mengingat-ingat personel girlband terkenal bernama Pulchra yang bernama Candy. Dia tidak begitu mengikuti girlband Indonesia, tapi setidaknya pernah mendengar lagu mereka dari radio dan melihat sesekali saat tampil di televisi. Begitu bisa ingat wajah blasteran Jepang dengan iris cokelat muda, Milky terheran-heran. Sudah dekat dengan perempuan sekelas Candy yang sempurna minta ampun, kenapa tidak jadi? Sebenarnya tipe idealnya Belva seperti apa, sih?
"Nggak jodoh dari mana? Itu mah akal-akalan kamu aja," dengkus Jihan. "Dulu dekat sama Elektika yang model pakaian Internasional itu dan nggak jadi juga sama dia. Alasan nggak jodoh juga?"
Milky kaget mendengarnya. Belva dekat dengan model internasional? Luar biasa. Kenapa tidak jadi? Milky semakin ingin tahu alasan Belva tidak mengambil dua kesempatan itu.
"Iya, Ma. Namanya bukan takdir. Kan, nggak bisa dipaksa."
"Hadeh ... kamu, nih. Bukan nggak berjodoh, kamu kepikiran sama Kissy terus." Jihan berdecak kecil. "Sekarang nggak kepikiran Kissy lagi, kan? Dia udah istri orang, lho. Untung aja Hotelio bukan tipe cemburuan, kalau iya, bisa dilabrak kamu selalu nanggapin curhatan istrinya."
"Nggak lah, Ma. Buat apa dipikirin lagi. Kan, dia udah ada suami. Belva juga udah move on. Sekarang udah kayak dulu aja, sahabatan biasa."
Milky cukup kaget mendengar nama Kissy dan Hotelio disebutkan. Dua orang itu adalah orang yang dia tahu bukan? Kalau benar orang yang dia kenal, dia mengerti sekarang. Waktu itu Belva sempat cerita saat dia mengajak minum soal Belva sudah merelakan. Jadi yang dibahas adalah Kissy? Tidak disangka diam-diam Belva punya banyak cerita. Ada berapa misteri lagi yang akan dia dapatkan dari seorang Belva?
"Beneran? Kamu nggak jadiin Milky pelampiasan, kan? Awas, lho. Mama nggak pernah ngajarin kamu mainin hati perempuan. Jangan kayak bapakmu, nih. Kelakuannya nggak patut dicontoh."
Steven menoleh ke samping. "Kamu, nih, jadiin saya patokan mulu."
Jihan menatap tajam. "Memang iya. Tuh, Freya ikut jejak kamu. Harusnya kamu bisa nasihatin dia buat nggak ngikutin kamu. Kasihan Belagio."
Steven melihat spion, menahan diri untuk tidak membalas lebih jauh. Dia memang salah jadi tidak punya pembelaan untuk diri sendiri. "Maaf."
Belva diam tidak menyela. Bicara soal selingkuh, ayahnya yang paling tahu kebiasaan itu. Kakaknya juga sama, menurunkan kebiasaan selingkuh dari keburukan ayahnya. Belva selalu diwanti-wanti ibunya untuk tidak selingkuh atau menyakiti hati perempuan. Selalu diingatkan kalau seandainya menyakiti perempuan sama dengan melihat ibunya terluka dulu.
"Omong-omong, Bel. Papa boleh main ke kedai kopi kamu nggak?" tanya Steven takut-takut.
"Nggak."
Jihan menyela, "Main sebentar nggak apa-apa, Bel. Papamu mau tahu kedai kopi kesayangan kamu. Namanya orang tua pasti mau lihat usaha anaknya."
"Nggak. Main aja ke tempat lain," tolak Belva dingin.
Steven melempar senyum kepada Jihan sebagai rasa terima kasihnya sudah berusaha membujuk. Namun, dia tahu putranya tidak akan mengizinkan meski Jihan sudah ikut membujuk. "Ya udah. Semoga next time Papa boleh datang, ya." Sedihnya, Belva diam tidak menanggapi.
Dari suara penuh harap Steven, ada sedih yang ditangkap jelas oleh Milky. Dia tidak ingin Belva terus membenci ayahnya. Entah bagaimana sikap ayahnya di masa lalu, Belva harus menghormati orang tuanya. Dia perlu melakukan sesuatu untuk merekatkan hubungan keduanya.
"Bel," Milky memanggil setelah membuka mata. Dia mendongak menatap laki-laki itu, yang juga segera menatapnya.
"Kok, udah bangun?" tanya Belva.
"Kebangun. Saya juga baru ingat. Nanti tolong turunin saya duluan di kedai kopi pertama kamu, ya. Saya ada janji sama Heaven ketemu di sana."
"Sekarang?"
"Iya."
"Nggak mau ikut dulu ke rumah Mama?"
"Nggak. Heaven anaknya gampang ngamuk. Kalau udah ngambek bisa bulanan," alasan Milky berbohong. Kenyataannya yang cepat mengamuk adalah dia sendiri, bukan sepupunya. Tidak ada pula yang ngambek sampai berbulan-bulan, itu hanya kebohongan yang dia ciptakan.
"Ya udah. Saya bilang Papa. Kamu tidur aja dulu, nanti biar saya bangunin kalau udah sampai."
Milky mengulas senyum. "Oke, makasih, Mas Belva." Lantas, dia buru-buru memejamkan mata. Tampaknya dia mulai kesenangan memanggil Belva dengan embel-embel Mas.
Senyum di wajah Belva mulai terbit seperti biasa. Belva kesengsem dipanggil begitu. Soalnya belum pernah ada yang memanggilnya dengan embel-embel itu. Tanpa mau membuang waktu, Belva meminta ayahnya pergi menuju kedai kopi sesuai dengan permintaan Milky.
☕☕☕
Setibanya di kedai kopi, Milky turun dengan kepala sedikit pusing. Niat hati pura-pura tidur malah ketiduran beneran. Untungnya, Belva memegangi lengannya jadi tidak sampai jatuh waktu sempat tersandung kaki sendiri.
"Belva mau siapin makanan dulu buat Milky. Mama mau ikut turun nggak?" Belva bertanya hanya kepada sang ibu.
"Ikut! Buatin Mama sandwich dulu, dong. Lapar lagi." Jihan buru-buru membuka safety belt. Kemudian, dia melirik Steven. "Eh, tapi Mama tunggu sini aja. Kasihan nanti papamu jadi sopir dadakan."
"Kenapa Om nggak ikut sekalian?" sela Milky.
Steven melihat Belva ragu-ragu. Setiap kali melihat putranya, pasti ada raut wajah tidak senang yang dia tangkap. "Nggak apa-apa, Om tunggu mobil aja. Lagian hari ini senggang banget jadi Om bisa nunggu."
"Ya udah tunggu aja. Mama kalau mau turun, ayo turun. Papa udah bilang mau nunggu." Belva menanggapi dengan dingin, lantas berbalik badan dan berlalu lebih dahulu.
Tidak lama setelah itu Jihan ikut turun setelah minta maaf kepada Steven. Sedangkan Milky masih berada di tempatnya. Milky melihat Steven memaksakan senyum.
"Om, mau masuk bareng saya?" tawar Milky.
Steven menggeleng sambil tersenyum. "Nggak usah. Om tunggu aja. Nggak akan lama juga."
Milky masuk ke dalam mobil, duduk bersampingan dengan Steven. Sambil mengulas senyum, dia berkata, "Kalau gitu saya tungguin bareng Om di sini. Biar Om nggak sendirian."
Steven kaget. "Nggak usah, Milky. Kamu balik aja. Nanti Belva nyariin."
"Nggak apa-apa, Om. Nanti juga nyamper kalau dia nyariin."
Dan benar saja kata-kata Milky. Baru dibicarakan, orang yang bersangkutan muncul. Belva datang mengetuk jendela mobil bagian yang ditempati Milky. Mengingat kaca mobil Steven tidak begitu gelap, bisa dengan mudah dilihat dari luar. Milky segera menurunkan kaca jendelanya.
"Kenapa masih di sini? Bukannya tadi bilang mau ketemu Heaven?" tanya Belva tanpa basa-basi.
"Papa kamu masih di sini. Saya mau nemenin. Kasihan sendirian," jawab Milky santai.
Belva melihat sang ayah. Steven buru-buru memberi jawaban. Takut melihat tatapan tajam sang putra. "Tadi Papa udah bilang nggak usah, kok. Papa nggak masalah tunggu sendirian."
"Kalau gitu suruh papa kamu masuk. Panas tahu nunggu di mobil," ucap Milky setengah memohon. Dia ingin Belva membiarkan ayahnya melihat kedai kopi laki-laki itu.
Belva melihat Milky menatapnya dengan wajah memohon. Wajahnya imut seperti sebelum-sebelumnya. Lantas, Belva melihat ayahnya sebentar. "Ya udah kalau Papa mau masuk, masuk aja. Mama udah duduk manis di dalam."
"Thank you, Mas Bel!" Milky berseru gembira. "Om, ayo turun. Kita nikmatin kopi buatan Belva. Sandwich buatannya juga enak."
"Iya, Milky." Steven tersenyum senang. "Makasih, Bel."
Setelah itu Steven dan Milky turun bersamaan. Steven memilih jalan lebih dulu guna membiarkan Belva dan Milky berduaan. Milky ingin pergi bersama Steven, sialnya, kedua tangan Belva mengunci tubuhnya hingga punggung bersandar pada mobil.
"Uhm ... itu ... saya nggak bermaksud ikut campur." Milky gelagapan melihat Belva. Dia melarikan pandangan ke arah lain, tidak mau menatap Belva. "Om Steven, kan, papanya Pak Belva. Mau punya salah apa di masa lalu, beliau perlu tahu anaknya tumbuh hebat seperti sekarang ini. Gimana pun, nggak ada yang namanya mantan orang tua. Ya, intinya selagi orang tua masih hidup, jangan sampai menyesal di kemudian hari. Saya nggak nyuruh Pak Belva maafin Om Steven sekarang atau buka hati untuk melihat kebaikan Om Steven, seenggaknya Pak Belva bisa interaksi sama dia walau sedikit."
Belva menyentuh dagu Milky sampai tatapan perempuan itu terarah padanya. "Kenapa ngomongnya sambil lihat arah lain? Kenapa nggak lihat saya?"
"Suka-suka saya, dong," sahut Milky sok jutek. Dia malu. Takut blushing kalau lihat Belva.
"Oke kalau gitu." Tanpa permisi Belva melingkarkan tangannya di pinggang ramping Milky dan menarik perempuan itu merapat padanya sampai tak ada jarak yang tersisa.
"Ma-ma-mau ngapain mepet-mepet? Ada banyak orang lihatin tahu."
"Mau cium Bu Milky lah," canda Belva.
"Hah?"
Belva terkekeh menikmati reaksi kaget tersebut. Sambil mendekatkan bibirnya di telinga Milky, dia berkata, "Hadiah untuk Bu Milky. Makasih banyak." Lalu, dia mengecup pipi kanan Milky sebagai hadiah yang dimaksud sebelumnya.
Sebenarnya Belva tidak pernah berpikir sejauh yang Milky sampaikan. Kata-kata Milky ada benarnya. Meskipun dia masih menolak dan membenci ayahnya, mungkin tidak ada yang salah dengan berinteraksi walau sedikit.
Milky terkejut. Kali ini pandangannya tertuju pada Belva, menatap laki-laki itu dengan gugup.
"Setelah saya antar Mama ke bandara, kita harus bicara. Saya pengin tahu alasan Bu Milky ninggalin saya," lanjut Belva.
Sebelum Milky sempat menjawab, tangannya sudah lebih dulu digenggam. Belva memandunya pergi meninggalkan pelataran parkiran. Dia mengikuti tanpa banyak tanya. Niatnya bertanya diurungkan. Ujung-ujungnya Milky cuma memperhatikan punggung lebar nan kokoh yang disuguhkan laki-laki itu. Dia merasa nyaman berada di dekat Belva. Sangat nyaman sampai dia lupa akan kata-kata Sunday padanya.
☕☕☕
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗
Follow IG: anothermissjo
Salam dari Belva😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top