Crimson Leaf - 01
Chuuya berdiri dengan gugup. Sekali lagi ia menelaah ulang pekerjaannya seminggu terakhir- pelayan yang selalu tersenyum, membuat arak dengan baik, tidak melakukan kesalahan di meja kasir, beres-beres dengan sempurna. Yah tidak ada kesalahan.
"Ibu," masih memegang baki di tangan, ia memanggil ibunya yang duduk santai di dapur meredakan penat selepas bekerja.
"Ya?" Wanita itu menoleh, wajahnya masih cantik walau memiliki beberapa garis keriput lelah di bawah mata. Senyum mengembang di bibir merah yang belum bersih dari riasan.
"Ada yang ingin aku bicarakan." Chuuya terlalu gugup bahkan tidak berpikir untuk duduk dan menciptakan suasana santai. Angin musim gugur mulai berhembus dan dia merasa harus cepat mengganti pakaian berkeringat ini dengan baju tidur tebal. "Sudah setahun aku dan Dazai bersama."
Ibunya menghentikan tangan yang hendak mengangkat gelas arak. Setelah mengingat-ingat, memang sudah setahun lebih sejak Chuuya pulang dalam keadaan basah kuyup dan senyum bahagia di wajahnya. Meski dibilang bersama, sebenarnya anaknya dan pemuda yang bahkan tidak dia ingat wajahnya itu hanya berhubungan dengan media sosial.
"Ya?" Sebagai respon Ibu menjawab.
"Dia akan pulang minggu depan.." Suara Chuuya begitu lembut tapi tidak ada gangguan yang menghalangi kalimat itu sampai pada Ibu. "Jadi.. Jadi... Aku mau.." Chuuya menggigit bibir gugup, membuat Ibunya berdebar sekaligus gemas.
"Katakanlah, Chuuya."
Kejut kecil muncul di pundaknya, ia mengeratkan pegangan pada baki dan melanjutkan, "Aku mau meminta hari libur."
Oh. "Kau libur setiap rabu, kan?"
Chuuya gelagapan. "Bukan itu-" Ya Tuhan dia sulit meminta izin hal yang tak pernah ia lakukan. "Maksudku, libur lain. Untuk liburan- maksudku aku minta izin libur di hari lain. Tapi aku tidak bolos, hanya sehari. Sungguh.. Tapi kalau ibu tidak mengizinkan-"
"Kau mau berkencan dengan dia?" Chuuya mengangkat wajahnya, mendapati tatapan lembut serta senyum hangat. "Kenapa kau bertingkah seperti meminta izin menikah?"
Pipi Chuuya merona seketika. Apalagi ibunya tertawa lepas karena memang Chuuya adalah figur lucu dengan tingkah manisnya.
"Aku-"
"Tidak apa." Chuuya terhentak. "Ketika musim gugur, tempat ini hanya ramai pada malam hari, dan orang-orang lebih suka membeli untuk makan di rumah. Jadi kurasa kedai tidak akan begitu ramai seperti masa liburan."
"Tapi tetap saja berat kalau Ibu sendiri.."
"Yah,, berat. Pasti aku sangat kelelahan nanti." Nada keluhan menciutkan niat Chuuya, ia hendak meminta maaf namun Ibu segera memotong. "Kalau kubilang begitu kau mau membatalkan kencanmu?"
Ia tidak bisa menjawab. Dia tidak ingin Ibunya berkerja lebih keras hanya karena ia ingin bermain dan bersenang-senang. Tapi ini sudah setahun, dia sangat merindukan Dazai dan segala tentangnya. Chuuya diam tanpa bersuara, dan ibunya tertawa.
"Jangan begitu, Ibu tidak apa.. Menutup kedai sehari dua hari juga tidak masalah. Lagipula istirahat itu perlu." Dia sudah merampas segala waktu menyenangkan anaknya, memberi sehari bahkan tidak cukup untuk semua hari membanting tulang. Dia tidak bisa memberikan hidup yang layak, melihat buah kesayangannya menjadi begitu pemalu pada orangtua sendiri seperti kelinci kecil sedikit mengiris hati.
Membayangkan senyum yang Chuuya perlihatkan di tiap ia bercerita tentang Dazai. Mengingat di suatu malam ketika mengintip kamar Chuuya yang tertawa lebar karena berbicara melalui telepon dengan pemuda di sebrang laut itu, membuat hatinya hangat.
Ia menopang dagu, melihat putra kesayangannya yang begitu manis di sana, "Bersenang-senanglah."
Chuuya menghamburkan diri untuk memeluk wanita itu. Memancing tawa karena kursi yang berguncang. Percakapan kecil berhenti dengan izin, "Aku akan beristirahat, selamat malam, Ibu." Dan setelah jawab penuh senyum diterima, Chuuya berlari masuk ke kamar yang sederhana.
Sebuah meja belajar di hadapan jendela, ada rak kecil yang selalu diisi kamus serta buku-buku pinjaman dari perpustakaan. Di sebelahnya lemari yang tergabung dengan kasur setinggi empat puluh senti. Chuuya membersihkan diri di kamar mandi bawah tangga sebelum naik ke tempat tidur dengan celana panjang dan hoodie kelabu.
Sebuah ponsel pintar Chuuya genggam penuh semangat. Benda itu milik Dazai yang dipinjamkannya dengan penuh paksaan di suatu hari hujan musim panas. Chuuya ingat sudah menolak karena segan namun Dazai begitu keras kepala dengan alasan, "Aku tidak mau mati menahan rindu selama satu tahun, Chuuya."
Chuuya mengalah dan menerima. Meski ia tidak begitu mengerti bagaimana menggunakan ponsel dengan layar sentuh, perlahan dengan percakapan via panggilan video Dazai mengajarinya. Sesekali Ibu yang mendengar tawa pecah mengetuk pintu kamar, meminta Chuuya mengecilkan suara karena hampir tengah malam.
Lalu sekarang bunyi sistem yang berusaha menghubungkan panggilan tedengar dan wajah seorang pemuda tampil setelah beberapa lama. "Hai," katanya. Sebuah handuk tersampir di pundak, menutup kerah piyama kebiruan yang membalut perban di dalam. Dari layar ponsel Chuuya bisa melihat senyum di kurva tipis pemuda itu. Rindu.
"Ibuku setuju," kata Chuuya, lupa membuat basa-basi karena ia sangat gembira tentang rencana liburan mereka.
"Sungguh?" Chuuya mengangguk sebelum berbaring di atas kasur, "Aku akan pulang nanti malam, besok kita bisa bertemu?"
Raut risau tampak, Chuuya merasa segan karena besok bukanlah rabu dan ia harus bekerja keras untuk membayar hari liburnya. Lagipula terakhir kali Dazai berkata ia akan pulang hari selasa minggu depan. "Maaf."
Dazai menjawab senyum lembut. "Kalau begitu besok aku ke rumahmu. Aku juga belum pernah bertemu Ibu mu, kan?"
"Kau langsung pergi hari itu."
"Mau bagaimana lagi, sayang tiket pesawatnya kalau aku tidak berangkat.."
"Maaf, ya?" Ada hening di sana, "Aku benar-benar bersyukur kita bisa sampai di sini."
Mereka terpisah laut dan waktu, harta dan kasta, namun demikian saling mencinta. Banyak sekali hal yang Chuuya katakan pada Dazai malam itu, banyak juga hal yang Dazai katakan pada Chuuya. Memancing tawa dan terkadang rona merah, sampai sebuah tarikan panjang karena Chuuya menguap dan melirik jam hampir pukul satu pagi.
"Astaga," ia benar-benar tidak sadar waktu. "Aku mau istirahat," katanya dengan berat hati karena masih ingin berbincang dengan Dazai.
"Tentu, selamat tidur Chuuya."
"Hubungi aku besok jika kau ingin datang, oke?"
Sebuah salam manis dan Chuuya terlelap. Menanti-nanti panggilan Dazai dalam mimpi dan ketika kembali terjaga. Menyiapkan jamuan dengan pikiran melayang karena ia begitu bahagia sebab rindunya akan terbayar hari ini.
Kapan Dazai akan menelpon. Hari sudah siang, lalu perlahan senja, ketika malam tiba tubuh Chuuya penuh keringat dengan riasan yang begitu peluh namun Dazai tidak juga memberi kabar.
Hingga di suatu ketika bel pintu berdenting dan Chuuya tersenyum ketika melihat sosok yang ia tunggu seharian muncul di sana.
Sekejap mata- kaki Chuuya melangkah, ia menarik Dazai untuk keluar dari kedai dan memeluknya erat. Membiarkan cahaya lampu yang menembus pintu kaca menjadi penenerang agar gelap malam tidak bisa menyembunyikan Dazai.
"Kau sangat merindukanku?" Dazai membalas pelukan itu. Setahun. Seribu mil. Dan malam ini Chuuya ada di antara lengannya, mendekapnya dengan erat, bersandar di dadanya, meresapi seluruh aroma serta hangat keberadaannya. Dazai tidak pernah merasa dirindukan sebesar ini, ia juga tidak pernah merasa merindukan sebesar ini. "Aku ingin membawa Chuuya kemanapun aku pergi."
"Diam, aku sedang fokus."
Dazai terkekeh geli. Ia begitu dicintai.
Detik berganti menit, Chuuya baru melepas pelukani ketika suara bel terdengar dan seorang pelanggan keluar. Sebuah ucapan maaf diiringi tawa gugup, namun Chuuya begitu bahagia sampai tidak bisa membenci pemutusan dekapan itu.
"Kau bisa memelukku lagi nanti," Dazai mengecup pipinya karena ia tidak ingin Chuuya menjadi linglung jika memagut di bibir. "Ayo masuk, dingin di sini."
"Seharusnya aku yang bicara begitu, Tuan Pelanggan."
Kedai cukup ramai malam ini. Dazai menerima saran Chuuya untuk duduk di kursi dekat dapur yang terasa lebih hangat dan Dazai setuju karena bisa melihat Chuuya dengan leluasa. Ia tidak memesan arak, hanya sepiring sashimi dengan teh hijau yang diracik oleh kekasihnya.
Ia ingin sekali Chuuya duduk di hadapannya, makan bersama, suap-menyuap, lalu jika ada kesempatan Dazai akan mengecup bibirnya. Ah, andai kan saja.. Karena nyatanya Chuuya tengah sibuk tersenyum dan tertawa dengan para pelanggan.
Yukata yang Chuuya kenakan begitu manis, hijau dengan aksen biru dan putih ukiran bunga di ujung rok yang setinggi lutut. Kaki Chuuya yang ramping dan berisi, lalu kedua tangan ringkih menjajakan sajian. Dazai tidak akan menipu hasratnya sebagai pria yang ingin meremas sepasang gempal di bawah pinggul belakang.
Chuuya menawan- dan Dazai perlahan cemburu pada mereka yang mendapat tawanya sementara ia hanya bersama sepiring sashimi.
Kejenuhan menghampiri, mungkin juga efek dingin musim gugur, Dazai meninggalkan mejanya dan mengikuti Chuuya masuk ke bilik dapur.
"Ada apa?" Pemilik surai api itu tengah menuangkan arak, menjawab tatapan Dazai dengan kelembutan yang sama ketika ia berbicara tentang Phantom dan Christine serta kisah mereka.
"Aku rindu..." Dazai menurunkan segala hal yang tengah Chuuya pegang agar bisa memeluk tubuh mungil itu. "Beri aku yang lebih baik dari sashimi?"
"Apa yang kau inginkan? Kami punya udon dan soba. Ada karage dan ham, -"
Kalimat terputus begitu Dazai melumat bibir Chuuya yang manis ketika bergerak dan seperti madu ketika dicecap. Chuuya terhentak pada awalnya, namun karena lengan Dazai memeluk dengan penuh perlindungan, ia terlena dan memejamkan mata.
Lenguh meluncur akibat gerakan lembut bibir Dazai memagut. Chuuya perlahan menarik pipi pemuda itu agar lebih memperdalam, dan seketika seluruh musim gugur menjadi ladang api karena hangat yang diberikan Dazai pada tubuhnya.
"Manisnya," Ada kekehan beriring senyum ketika Dazai melihat seluruh wajah serta telinga Chuuya memerah. Ia memagut lagi dan membelai pundak. Lebih dalam, lebih jauh, sampai di satu titik Dazai harus menerima karena Chuuya memutus pergulatan itu dengan tiba-tiba.
"Wah.." ucap wanita yang muncul dari tangga dan membuat Chuuya salah tingkah. Pemuda kecil itu menyeka liur di bibir dengan punggung tangan, sementara wajah menunduk seakan tidak ingin ada yang melihat bara api yang membuat kepalanya terbakar.
Manis sekali orang ini.
"Aku mengganggu?" Sekali lagi wanita itu bertanya. Dan ketika melihat lebih jauh wajahnya yang mirip dengan Chuuya, seluruh protes sebab telah diganggu menjadi hilang dari benak Dazai.
"Kamu pasti Dazai."
"Dazai Osamu," Dazai menunduk sopan.
"Masa-masa muda memang menggairahkan ya," wanita itu membuat Dazai terkekeh penuh paksaan namun Chuuya malah semakin merona. Ia selalu menjadi anak baik, tidak memiliki teman dan kesepian. Tentu ada beribu rasa malu ketika Ibu yang menjadi teman sepanjang hidup- melihatnya begitu menikmati dicumbu oleh seseorang.
"Dan sepertinya Dazai-kun ini sangat rindu pada Chuuya-ku?" Ibu Chuuya bertanya sembari mengambil sebuah piring dari lemari.
"Ya, Nyonya."
"Kalian punya banyak waktu nanti, tapi aku ingin meminjam Chuuya sebentar karena kami masih ada pekerjaan." Sifat humornya memang menenangkan, namun ketika berkata demikian Dazai tahu sebuah ketegasan di prinsip wanita itu. Sebuah hal yang telah mendidik Chuuya menjadi anak yang pantang menyerah dan selalu berusaha dengan kesulitannya.
"Maafkan saya," Dazai menunduk lagi.
"Tidak.. Kamu tidak melakukan kesalahan." Ia tertawa lagi, "Mencintai Putraku bukan kesalahan. Jadi jangan menunduk untuk meminta maaf, oke?"
Dia benar-benar seorang ibu. Dan demikian Dazai membangun rasa hormat yang besar pada wanita itu. Bukan hanya karena dia adalah Ibu Chuuya, namun juga karena memang dia bersifat bijaksana.
Setelahnya Dazai menunggu di tempat duduk dengan sashimi yang masih sama, hingga larut karena Ibu Chuuya begitu teguh agar anaknya membantu dan tidak mengindahkan keberadaan sang kekasih. Terkadang Dazai kesal, namun melihat Chuuya dengan celemek begitu menggiurkan dan agak-agaknya ia bersemangat.
Sampai akhirnya jam kayu di sudut ruangan berdentang di pukul sebelas, papan pintu diputar menuju tulisan tutup dan lima belas menit kemudian kedai itu sepi. Dazai bangkit, merasa lega karena sesi menunggu sudah selesai namun dicampakkan karena Chuuya keluar dari dapur dengan peralatan kebersihan dan kalimat, "Sebentar ya."
Dazai terpaksa kembali duduk di bangku dan menatap piring sashimi yang sudah kosong. Helaan napas, sedikit banyak scrolling akun sosial media, Dazai yakin Chuuya akan menjadi ibu rumah tangga yang baik tapi miris juga jika selamanya ia membuat Dazai menanti seperti ini.
Sepuluh, dua puluh, Dazai selesai menunggu di menit ke empat puluh lima ketika Chuuya membangunkannya dari lelap dengan kecupan singkat.
"Ibu menyuruhmu menginap," mata Dazai segera terbuka lebar.
Jelas sudah, -menurut Dazai- wanita itu sengaja membuat persiapan yang lama agar malam tidak memberi izin Dazai untuk berjalan pulang.
"Di kamar Chuuya?"
"Ya?" Tanpa beban kaki Dazai melangkah menaiki tangga, berjalan di belakang si senja menuju sebuah kamar di ujung lorong. Kecil dengan satu bed dan sebuah futon yang sudah terbentang di lantai.
"Mungkin ini tidak sebanding dengan kamar atau asramamu di Jerman," ia tertawa dan baru Dazai sadari Chuuya sudah mengenakan setelan piyama bewarna biru muda dengan garis-garis hitam. Aroma mawar yang setahun lalu sering Dazai hirup setiap hari rabu di perpustakaan membawanya pada rasa yang begitu nostalgia.
"Aku sudah menanti pertemuan ini setahun, dan kalian berdua membuatku menunggu hanya untuk tidur?"
"Aku tidak bisa menolak permintaan Ibu karena sudah meminta hari libur."
"Aku akan coba pengertian," Dazai beranjak naik ke kasur Chuuya hingga pemiliknya heran. Ia membentangkan tangan, mengundang, lalu menepuk-nepuk satu sisi di sebelah. "Aku bilang kau bisa memelukku, kan?"
Astaga. Bahkan jika rasanya terbakar malu, Chuuya tidak bisa menolak ajakan itu.
Rasanya rindu yang dirasakan Dazai sudah menguap hanya dalam semalaman Chuuya bernapas di dalam pelukannya. Pemuda kecil itu kini berada di bawah menyiapkan sarapan sementara Dazai tengah sibuk membuat persiapan untuk liburan yang menyenangkan.
Ia menyusul setelah membasuh wajah, melihat sebuah sikat gigi milik Chuuya di mug dekat westafel, dan tanpa pikir panjang menggunakannya walau ada obat kumur di sana. Dazai benar-benar mabuk.
Dapur yang kemarin begitu berantakan kini sudah bersih dengan hidangan ala jepang tersaji di atas meja di tengah-tengah ruangan. Ada cahaya yang masuk dari jendela, lalu aroma bawang sup ayam yang tengah Chuuya sajikan.
"Selamat pagi," Chuuya berkata sekilas sembari menata piring di sana. Sementara Dazai duduk bak seorang raja.
"Pagi," jawabnya sembari menenggak susu hangat, jarang sekali rasanya ia minum susu untuk sarapan. "Mana Ibumu, Chuuya?"
"Menyiapkan arak," Chuuya melepas celemek dan meletakkannya di sebuah gantungan dekat kabinet lalu duduk di sebelah Dazai. Menunggu sejenak untuk wanita yang adalah ibunya bergabung dengan senyum.
"Maaf ya, Dazai-kun. Kami jarang punya tamu selain pelanggan."
"Tidak apa."
Sebuah ucapan selamat makan diserukan, Dazai mulai melahap. Walau memang kemarin sudah merasakan sashimi buatan Chuuya, rasanya lebih bahagia ketika menu sarapan ini masuk ke mulutnya. Ada banyak cinta yang terasa, walau dunia mengatakan bahwa Dazai tengah mabuk biarlah demikian. Ia senang bisa akrab dengan calon mertua.
"Lalu kemana kalian akan berlibur?"
"Jerman."
Chuuya beserta ibunya tersedak.
"Kau bilang Tokyo?" Chuuya menelan paksa segelas air putih karena sama seperti sang ibu, ia tidak tahu tentang berita ini.
"Ya, awalnya begitu. Tapi aku punya pekerjaan mendadak di Jerman."
"Kalau begitu kenapa kau ajak aku liburan?"
"Tidak mungkin aku batalkan janjiku hanya karena pekerjaan, bukan?" Jawaban Dazai datang dengan frontal hingga dua detik otak Chuuya macet sebelum pipinya bersemu- karena Dazai mengutamakannya.
"Ekhem," ibu Chuuya berdeham menarik perhatian. "Berapa hari?" Tanyanya berusaha tenang. Karena, pemuda ini baru muncul sekali setelah setahun dan ingin membawa anak semata wayangnya jauh ke sebrang lautan. Tidak mungkin dia tidak takut meski jelas-jelas kedua muda-mudi itu saling mencintai.
"Mungkin empat atau tiga."
"Terlalu lama." Chuuya menyalib. Memang benar ia begitu senang karena punya banyak waktu berkencan, tapi kepalanya juga cemas pada kondisi sang Ibu yang harus bekerja ganda menggantikannya.
"Benar, terlalu lama," wanita itu menghela napas. "Chuuya kau punya tabungan?"
"Ya?" Agak-agaknya Chuuya cemas karena uang yang ia kumpulkan bukan untuk berlibur di negeri sebrang lautan selama empat hari.
Ibunya juga menatap ragu, lalu tersenyum. "Aku tidak pernah mengajakmu liburan jadi akan aku beri uang."
"Tidak apa, Nyonya," buru-buru Dazai memotong niat wanita itu. "Kami tinggal di rumah Paman saya, jadi Chuuya hanya butuh uang untuk jalan-jalannya. Karena ini kencan jadi saya akan membayar."
"Wah, tidak bisa begitu."
"Tentu bisa, karena saya yang ingin membawa Chuuya. Saya bersih keras."
Mulut Chuuya terkatup rapat melihat kedua orang yang begitu istimewa di hidupnya tengah berdebat untuk dirinya dengan penuh kasih sayang.
"Aduh, susah juga ya.." Ada sebuah senyum sendu di bibir wanita itu sebelum menghela napas. "Dazai-kun terlalu baik padanya sampai saya khawatir Chuuya akan bersikap manja."
"Tidak apa kan?" Mata Dazai begitu jujur, "...kalau dia manja, tidak apa kan?"
Kalimat yang diucapkan bukan sindiran ataupun acuh melainkan pertanyaan lugu karena menurut Dazai benar-benar bukan hal aneh jika Chuuya bergantung padanya. Dazai ingin Chuuya bergantung padanya- dan pesan itu diterima dengan baik oleh wanita di hadapannya yang tersenyum sebagai jawaban.
"Aku mengizinkan," ia memaksakan hati membuang cemas karena ingin mempercayai pemuda yang asing namun keberadaannya membuat rumah ini menjadi lebih hangat. "Tapi sedikit sulit bekerja sendirian."
"Oh," Dazai memiliki jalan keluar untuk itu. "Saya akan carikan pembantu." Karena dia benar-benar ingin pergi.
TBC
26 November 2020
SeaglassNst
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top