🦋 08. Rahasia Juni 🦋

Selamat siang temans❤💜
Cakra masuk siang juga dong, buat menyapa kamu yang biasanya suka bilang "i hate Monday"

Juni sedang sibuk dengan ponselnya setelah Cakra berangkat kerja. Dia tersenyum ketika usaha online yang dia lakukan banyak yang meminati. Juni hanya menggunakan akun instagramnya untuk memajang baju-baju muslimah sesuai dengan katalog dari Fabriana, temannya semasa kuliah yang masih rutin bertukar kabar hingga saat ini. Pesanan yang masuk kepadanya akan dia teruskan pada Fabriana dan selanjutnya akan diproses langsung kirim ke alamat pembeli. Dua puluh persen keuntungan Juni dapatkan hanya dengan bekerja seperti itu.

Bukan hal yang sulit bagi Juni untuk berjualan dengan sistem online. Dasarnya Juni memang suka bermain dengan Media Sosial, sehingga memudahkan usaha yang kini sedang ditekuninya. Selesai mengunggah foto dagangan baru, ada saja pesanan yang masuk kepada Juni dan menanyakan ketersediaan barang. Juni langsung mengkonfirmasikan kepada Fabriana dan transaksi pun dilakukan hari itu juga.

Juni kini bisa tersenyum, tidak peduli pada Cakra yang sok kuasa melarangnya ini dan itu. Juni bahkan meletakkan semua kartu ajaib pemberian suaminya di laci meja rias. Dia memakai kartu itu hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah sementara untuk kebutuhannya sendiri Juni memilih untuk menggunakan uang pribadinya.

Kosmetik dan semua perawatan kulitnya dia beli online dari klinik yang sama tempat dia melakukan perawatan kulitnya. Dokter pemilik klinik itu menghubunginya beberapa kali, tetapi Juni hanya mengatakan kalau dia sedang sibuk dan tidak bisa ke sana. Dokter itu menawarkan untuk melakukan facial ke rumah Juni dan perempuan itu menyetujuinya dengan senang hati. Dia berpesan supaya membawa krim tertentu untuk memperhalus kulit. Terkadang dokter itu juga datang ke rumah untuk memeriksa kulit Juni lalu asistennya akan melakukan perawatan sesuai dengan yang Juni butuhkan.

Semua dilakukan Juni dari rumah. Dia menjalani hari-harinya dengan lebih ringan semenjak kerjasamanya dengan Fabriana. Seringnya gamis terbaru yang diluncurkan oleh butik Fabriana maka semakin bagus untuk Juni. Penghasilannya bahkan melebihi apa yang dia dapatkan dari kios bunganya saat dia masih aktif. Berbicara tentang kios, Juni sudah tidak pernah lagi meributkan hal yang sama kepada Cakra, tetapi dia selalu menyambut Rea jika temannya itu datang namun Juni sudah tidak pernah menanyakan kegiatan apapun yang terjadi di kios mereka.

Seperti siang itu, Rea datang di akhir bulan untuk melaporkan penghasilan kios. Rea yang semakin spektakuler begitu ceria saat melangkahkan kakinya masuk ke rumah Cakra. Matanya berbinar meneliti penampilan Juni.

"Jun ... astaga, Nyonya Boss ... makin glowing." Rea memuji, memegang bahu Juni dan memutarnya supaya bisa melihat penampilan Juni secara keseluruhan. "Kulit yang makin bersih, mengenakan dress pendek dan wajah terawat ... kamu beneran elegan, Jun."

"Halah, udah ngaca? Kamu tuh yang makin cantik. Aku bahkan nggak pakai bedak sama sekali."

"Perawatan mahal, Jun?" Rea yang penasaran melirik ke sofa di mana lotion Juni tergeletak.

"Juni melirik ke arah mata Rea. "Masih sama kayak yang kita pake dulu." Meraih lotion itu dan memberikannya pada Rea.

Rea menerimanya dan mengangguk. "Iya ... tapi kok kamu lebih cerah. Aku kan heran, Jun."

"Karena aku nggak pernah keluar rumah. Itu aja sih penyebabnya."

Juni mengajak Rea ke taman belakang rumahnya setelah mengambil es sirup dan sepiring bolu kukus buatan simbok. Mereka duduk di kursi kayu, di bawah naungan pohon anggur yang dirambatkan pada rangka besi yang memang dibuat khusus. Juni memperhatikan wajah Rea, ada hal yang ingin temannya itu sampaikan, tetapi enggan untuk menanyakannya.

Juni menoleh ke arah rea, menyentuh lembut pundaknya hingga Rea melihat ke arah Juni. "Ada apa?" lirih Juni bertanya.

"Kamu tau, kan, Jun ... kalau aku ini sayang kamu?" Rea bertanya, ekspresinya mendung seketika seolah tidak tega untuk mengatakan berita buruk kepada Juni.

"Ada apa, sih?"

"Kamu belum hamil?"

Hening ... tidak ada jawaban dari Juni. Juni tahu pertayaan ini mengarah kepada satu hal, tetapi dia merasa tidak seharusnya berbicara tentang hal ini pada Rea. Sebaik-baiknya teman Juni tetap memberikan batasan dalam membicarakan urusan pribadinya. Tidak akan Juni umbar kehidupan rumah tangganya dengan cakra meski Rea adalah teman baiknya.

"Kenapa tanya itu?"

"Mas Cakra kemaren ke kios sama mamanya, nganterin beliau pesan bunga buat teman-temannya. Sekilas sih nanyain kamu udah hamil apa belum."

"Trus ...."

"Mas Cakra sih bilang pernikahan kalian masih lima bulan, jadi nggak perlu terburu-buru."

"Poinnya apa?"

"Cakra disuruh kawin lagi kalau kamu nggak hamil-hamil, Jun."

Juni tidak terkejut, heran pun tidak. Tidak ada ajakan bersekongkol atau melakukan konspirasi untuk mengakali situasi. Semuanya tidak ada dalam pikiran Juni yang sederhana. Sejujurnya Juni malah senang mendengar cerita Rea karena itu artinya dia bisa berpisah dengan Cakra tanpa repot membuat drama.

Percakapan mereka siang itu hanya berputar di sekitar kabar kalau mama Cakra menginginkan Juni untuk mengandung segera. Tidak ada hal yang membuat Juni risau atau ketakutan akan kehilangan suaminya. Semua kabar dari Rea dia tanggapi dengan kelewat tenang.

Juni menyibukkan dirinya dengan pesanan yang masuk dan tersenyum di penghujung hari saat simbok datang ke ruang tengah mengantarkan sepiring bolu sifon untuk Juni. Juni mengucapkan terima kasih dengan ramah kepada wanita tua yang  juga menghormatinya sama seperti Cakra. Ketika simbok tidak segera pergi dan menatapnya dengan sorot mata teduh, Juni menghentikan pekerjaannya.

"Ada apa, Mbok?" tanya Juni setelah meletakkan ponselnya di meja. Diperhatikannya simbok dengan seksama dan menarik tangannya supaya duduk di sampingnya.

Simbok duduk mengikuti maksud Juni yang telah menarik tangannya. Meletakkan nampan di karpet, simbok memegang kedua tangan juni dan meletakkannya di pangkuan. Mata tuanya mulai berair hingga setetes jatuh di pipi. Cepat simbok mengusapnya sembari menarik napas panjang.

"Mbak Juni ... pertahankan Mas Cakra," ujarnya.

Juni menatap simbok tidak mengerti. Apa maksud simbok dengan kalimatnya barusan? Juni diam dan masih menunggu ke mana arah pembicaraan itu dibawa. Menyusut air matanya yang sempat menetes, simbok kembali memegang kedua tangan Juni, kali ini sedikit meremasnya.

"Simbok ini yang mengasuh Mas cakra sejak bayi. Tidak ada dalam saat-saat itu Mas Cakra menginginkan sesuatu yang menyusahkan mama dan papanya. Apa pun yang dia inginkan selalu dikatakannya kepada simbok."

Juni tetap membisu dan tidak ingin menyela cerita yang akan dikatakan oleh simbok. Dia merasa akan ada sesuatu yang penting untuk disampaikan padanya. Ketenangan Juni yang luar biasa nyatanya memang membuat simbok angkat bicara.

"Mas Cakra kuliah bayar sendiri sambil bekerja di toko piza. Mama dan papanya kepengen dia jadi dokter tapi Mas Cakra nggak mau. Sampai menjadi arsitek seperti sekarang ini, Mas Cakra melewati perjuangan panjang yang tidak mudah. Pada akhirnya mamanya menerima cita-citanya, tetapi tidak dengan papanya."

Juni mulai menangkap arah pembicaraan simbok. Wanita tua ini sedang membicarakan masa lalu Cakra dan sedang menceritakan perjalanan hidup Cakra hingga menjadi arsitek seperti sekarang. Supaya Juni mengetahui hal yang sepertinya begitu penting. Apa tadi kata simbok? Arsitek? Cakra bahkan lebih dari seorang arsitek atau mungkin simbok yang tidak tahu tentang hal lainnya.

"Simbok lihat Mas Cakra sangat bahagia saat menggandeng Mbak Juni masuk ke rumah ini sebagai istrinya. Sejak hari itulah dia selalu pulang sore ketika pergi bekerja karena sebelumnya Mas Cakra selalu pulang larut malam, bahkan sering menginap di kantornya. Maaf kalau simbok ikut mendengar pembicaraan Mbak Juni sama temannya. Tolong pertahankan Mas Cakra, simbok tau kalau dia itu suka sama Mbak Juni. Untuk pertama kalinya Mas Cakra punya keinginan yang sempat dikatakannya pada simbok, punya anak dan bahagia bersama keluarga kecilnya.

Sepeninggal simbok, Juni terdiam dan merenungkan semua ucapannya. Bukan berarti dia merasa kasihan terhadap Cakra, tetapi lebih kepada cara yang salah. Suaminya itu tidak mendapatkan dukungan dan sekarang ganti memperlakukan Juni dengan tidak adil. Juni tetap mempertahankan prinsipnya dan bersikukuh pada keinginannya. Tidak ada yang boleh mengintimidasinya, termasuk suaminya.

Pernikahan itu untuk menyatukan dua kepala yang memiliki perbedaan, kemudian mengkompromikannya dalam keseharian sehingga akan memberikan hidup yang lebih baik. setidaknya itu yang Juni pikirkan. Juni sudah berada di dalam kamarnya ketika mendengar langkah-langkah menaiki tangga. Membuka selimut yang sudah menutupi kakinya, dia menurunkan kaki hendak turun dari tempat tidur.

Pintu terbuka dan yang pertama Juni lihat adalah wajah Cakra yang penuh kemarahan. Juni heran, tidak biasanya sang suami marah hingga terlihat hendak kehilangan kendali. Langkah lebar Cakra membawanya sampai di sisi ranjang dengan cepat dan melemparkan sesuatu yang membuat Juni memucat.

"Jadi begitu caramu ... Sayang, kau ...," Cakra meremas rambutnya dengan kedua tangan, lalu berakhir dengan meraup wajah dan menghasilkan muka kusut yang sarat akan kelelahan.

"Mas, aku ...."

"Aku apa? Aku bisa jelasin? Mau bilang begitu? Itu kalimat klasik yang adanya hanya di tv. Kau mencurangi aku, Sayang." Cakra berujar pelan dengan rahang terkatup menahan marah.

"Aku nggak mencurangi, ya ... kamu sendiri yang menyebalkan, memotong ruang gerakku dan berbuat semaumu. Kenapa kamu harus bahagia saat aku sendiri nggak bahagia?"

"Sayang ... kau ...," Cakra kembali meremas rambutnya untuk menyalurkan frustasi yang dia rasakan. "Baiklah, jika kau pikir aku membatasi gerakmu dan itu membuatmu tak bahagia maka lakukan apa saja semaumu. Pergi ke kiosmu, bekerja sampai lelah ... apa pun. Lakukan saja, aku capek mikir gimana aku sudah gagal sebagai suami untukmu." Cakra masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya dengan keras.

Juni agak terkejut dengan bantingan pintu yang sebenarnya tidak begitu keras, tetapi kemarahan Cakra adalah sesuatu yang baru dia ketahui. Dapat Juni lihat dengan jelas bagaimana sorot penuh kepahitan itu di mata suaminya. Juni paham dan mengerti, siapa pun pasti akan marah jika menemukan pil pencegah kehamilan saat menginginkan seorang anak.

Ketauan deh gegara nggak rapi nyimpen obat. Tepok jidat dulu akunya😁

Cerita ini sudah ada di google play. Yang mau cepet-cepet pengin tahu boleh langsung melipir ke sana🥰

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top