🦋 01. Yang Tak Terduga 🦋
Juni sedang menikmati sunset di Pantai Parangtritis ketika angin dingin berembus meniup rambut panjangnya yang terurai. Kaki tanpa alas yang terjilat ombak perlahan tenggelam dalam pasir. Juni merasa damai dan tenang menikmati keindahan itu seorang diri.
"Jadi akhirnya aku menemukanmu, Juni," sebuah suara mengusik pendengaran Juni.
Juni menoleh dan wajahnya memucat seketika. Apa yang dia lihat adalah sosok pria dengan tinggi sekitar 180cm bercelana panjang yang dilipat hingga separuh betis. Tubuh tegapnya terbungkus kemeja longgar berwarna putih tidak terkancing dan memamerkan dada bidang tertutup kaos pas badan yang juga berwarna putih.
"Kau ... apa yang kau lakukan di sini?" tanya Juni menyembunyikan kegugupannya.
"Tentu saja berlibur dan merasa beruntung karena telah menemukanmu," jawab pria itu ringan.
"Apa maumu? Sepanjang yang aku ingat, kita tidak punya urusan apa-apa, Mas."
"Namaku Cakra."
"Terserah kau. Aku tidak bisa membayangkan kalau kita punya urusan."
"Tentu saja ada dan kau harus menyetujuinya, Juni."
"Apa itu?" Juni penasaran.
"Kita akan menikah sebulan kemudian, di Malang," ujar Cakra.
"Kau sudah tidak waras? Melamarku di saat seperti ini?" tanya Juni ingin tertawa.
"Aku tidak melamarmu, Juni. Aku menyatakan bahwa kita akan menikah."
Tubuh Juni oleng karena terkejut dan tidak percaya. Secepat kilat Cakra menyambarnya supaya Juni tidak tersungkur di pasir. Juni bisa menghidu aroma kopi dan tembakau dari tubuh Cakra untuk mempertahankan kesadarannya yang terancam hilang.
Dekapan Cakra masih sama seperti yang dia ingat. Kenangannya akan pria itu tak seburuk yang dia kira. Juni mengingat Cakra dengan baik mulai dari cara pria itu memandang sampai aroma memabukkan yang menguar dari tubuh maskulinnya.
Juni menurut ketika Cakrawala membawanya berjalan ke arah kursi pantai terdekat. Kursi yang banyak terdapat di sana dengan payung-payung besar yang menaungi dari sengatan panas matahari. Juni duduk lalu bersandar sambil memijat keningnya untuk meredakan sakit kepala dadakan yang dia rasakan.
"Minum ini," ujar Cakra mengulurkan sebotol air mineral ke mulut Juni.
Juni memegang tangan Cakra dan meminum air itu beberapa teguk. Sakit kepalanya berkurang setelah menarik napas panjang beberapa kali. Matanya terpejam, tak ada niat untuk menatap Cakra sedikitpun.
"Sudah lebih baik, Juni?" selidik Cakra.
Juni memalingkan muka, tahu kalau Cakra menatap lekat ke arahnya. Dia berpikir bagaimana cara menghindari pria yang sudah mengobrak-abrik ketenangannya itu. Pikirannya sedang berencana untuk kembali melarikan diri.
"Jangan coba-coba berpikir untuk melarikan diri, Juni," tegur Cakra.
"Memangnya kau bisa apa selain memaksaku, Pak?'
"Kau panggil aku Pak sekali lagi maka aku akan meyeretmu ke hotel terdekat dan mengingatkanmu betapa kita saling mengenal dengan sangat baik," ancam Cakra.
"Kau tidak akan berani," tantang Juni.
Cakra mendekatkan bibirnya ke telinga Juni. "Jangan menguji kesabaranku karena sabar tidak pernah menjadi nama tengahku."
Juni menggigil dingin hingga ke tulangnya hanya karena mendengarkan bisikan Cakra. Telinganya menangkap setiap kata dengan jelas disertai gelenyar manis yang sudah dia kenali ketika bibir tipis itu menyentuh telinganya. Tubuhnya mengkhianati dirinya dan Juni tahu itu.
"Jangan dekat-dekat denganku," sergah Juni.
Juni berangsur lega ketika Cakra menjauh dan memberinya jarak untuk melegakan napasnya. Kedekatan Cakra memang sukses membuat Juni mati gaya dan melupakan segalanya yang dia anggap buruk di masa lalu. Kenangan yang selalu dia singkirkan setiap harinya.
"Katakan padaku, apakah ada anak dari hasil hubungan semalam kita?"
Juni terdiam dengan tatapan menerawang memindai senja. Dalam diam, dinikmatinya mentari yang perlahan tergelincir di kaki langit. Sisa senja berwarna jingga yang masih tertinggal di langit tak luput dari kekagumannya.
"Tidak," tukas Juni cepat.
"Benarkah?"
Juni hanya mengangguk dan benar-benar tidak ingin berurusan dengan Cakra. Dia ingin pria pemaksa ini pergi lalu kembali melanjutkan hidup dengan tenang seperti biasa. Tidak sedikitpun Juni ingin bertemu Cakra karena tidak ada yang Juni harapkan dari pria itu.
"Juni ...."
"Hmm."
"Jawab yang benar atau kita akan menikah sekarang juga!" Cakra memperingatkan dengan suara dalam.
"Kau suka sekali mengancamku," desis Juni.
"Perempuan sepertimu memang harus diancam. Supaya menurut dan tidak nakal lagi."
"Aku bukan urusanmu. Kalau kau ingat ...."
"Aku hanya mengingat bahwa kau sudah pergi dari kamar kita."
Wajah Juni kembali memerah. Dia memang mengingat semuanya dengan baik ketika terbangun di pagi hari. Merasa malu karena telah berbuat kesalahan, Juni segera berpakaian dan pergi secepat yang dia bisa.
"Bisakah kita lupakan saja masalah itu, Mas?" tanya Juni.
"Cakra."
"Apa?"
"Cakra. Panggil aku begitu. Atau mau memanggilku dengan sebutan Senja?"
Juni mengernyit semakin heran dengan kata demi kata yang dikatakan Cakra. Dahinya berkerut dalam, tetapi hal itu tidak mengurangi kecantikannya.
"Namaku Cakrawala Senja. Ingatlah itu, Juni."
Juni mengangguk tanpa sadar. Dia bangkit dan mulai berjalan menyusuri pasir Pantai Parangtritis menuju penginapannya. Langkah pelannya meninggalkan jejak-jejak kaki yang kemudian hilang tersapu ombak.
"Kau tidak akan meninggalkan aku lagi, Juni. Aku memastikan itu kali ini," ujar Cakra yang berjalan di belakang Juni.
Juni menghentikan langkah dan menoleh hanya untuk menatap Cakra. Di matanya, Cakra terlihat sangat maskulin dengan kulit kecokelatan dengan cambang tipis di sekitar rahangnya. Juni pusing seketika, niatnya berlibur sejenak dari rutinitas justru berbuah kesialan.
Bertemu Cakra sama seperti mengingat kembali luka lama. Ketika tahun lalu tepat setahun suaminya meninggal, dia bertemu Cakra di Kuta. Dalam keremangan malam dan pengaruh arak, Juni melihat pria itu sebagai sosok yang telah meninggalkannya di bulan ketiga pernikahan mereka.
"Bagus ... ingat aku seperti itu, Juni. Karena kau harus tahu bahwa akulah satu-satunya pria yang akan menjadi suamimu."
Juni terdiam sambil menatap wajah Cakra dalam diam. Benaknya terus bertanya-tanya bagaimana pria itu bisa membaca jalan pikirannya dengan baik. Menebak isi kepalanya tepat seperti apa yang sedang dia pikirkan.
"Ekspresimu itu seperti buku terbuka bagiku. Dan aku tidak perlu kata-kata terlontar dari bibirmu karena itu hanya akan menghasilkan hal yang bertolak belakang dengan yang ada di hatimu."
Juni tidak bisa membantah apa pun. Cakra tidak akan mudah dihadapi jika sedang waspada dan dia tahu itu. Meski Juni hanya bertemu sekali tetapi dia bisa mengenali aura mengintimidasi yang melingkupi Cakra.
"Tidak ada anak yang terlahir setelah hubungan itu. Kau aman, Cakra. Jadi pergilah," usir Juni.
Juni yang mulai emosi kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Dinikmatinya angin dingin yang berembus dalam diam yang hanya dimeriahkan suara ombak. Sementara itu, Cakra berjalan mengikutinya dengan jarak yang tak begitu jauh di belakangnya.
"Kalau begitu, bagus. Sangat bagus karena kau tidak akan berpikir bahwa aku menikahimu hanya karena rasa tanggung jawab," kata Cakra ringan.
Juni kembali menarik napas panjang untuk meredakan emosi yang mulai naik dalam dirinya. Berhadapan dengan Cakra benar-benar menjengkelkan dan menguras kesabarannya yang sudah menipis. Juni memerlukan kesabaran ekstra supaya bisa lebih bijaksana menyikapi Cakra yang menurutnya keras kepala.
Sedikit dulu buat menyapamu. Komenlah dan chat saiaaa, buat kasih salam ke mamas tukang paksa. Cuzz
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top