Prolog
Senja datang menyapa,
sama seperti janjiku pada kalian,
Etapi, sudah buka mushafnya atau belum hari ini? 😍😍
Doa penjagaan sore hari dulu yuk....baru kenalan deh sama Orin. 😘😘
Selamat membaca
Kata orang jatuh cinta itu adalah sebuah pilihan. Tapi bagi seorang Orinda Cyra, jatuh cinta itu tidak akan pernah menyisakan satu pilihan kecuali untuk memiliki. Cinta itu ibarat bilangan ganjil, yang tak menciptakan ruang untuk memilih, satu dan menyatu.
Tidak pernah melabuhkan hati kepada sosok lain selain Jeremy Maltha, laki-laki yang membuat Orin mengenal bagaimana cinta itu hadir secara sempurna. Jimmy, demikianlah Orin memanggilnya. Teman sejak SMA yang diyakini dihadirkan Allah sebagai jodohnya. Meski semua terasa sulit karena jalan mereka berbeda, toh akhirnya Orin bisa bernapas lega saat Jimmy memilih untuk mengalah. Orin berpikir itu adalah bukti keseriusan seorang laki-laki. Bukti cinta yang akhirnya mengerucutkan kesepakatan untuk bisa mengarungi bahtera rumah tangga bersama.
"Rin, sejauh ini aku berusaha untuk mengalah. Bahkan kamu tahu sendiri. Demi kamu, untuk kita bisa menikah aku merelakan apa yang selama ini aku yakini." Orin memandang Jimmy dengan tatapan memuja.
"Karena aku pikir, pelaku rumah tangga itu harus berada dalam satu atap yang sama," tambah Jimmy.
Orin kembali menatap Jimmy. Hatinya selalu berdesir kencang. Tidak pernah ada kata bosan. Terlebih karena Jimmy menunjukkan keseriusannya sejak dia memutuskan untuk mengucap dua kalimat syahadat sebagaimana iman yang diyakini Orinda Cyra dan keluarganya selama ini.
Tidak lagi ada perbedaan jalan, Orin yakin bahwa Jimmy adalah laki-laki yang akan melengkapkan setengah agamanya. Menyempurnakan cintanya dan membuat dia menjadi seorang wanita seutuhnya dengan sebutan istri.
Segala persiapan pernikahan membuat bibir Orin selalu berhias senyuman. Dia bahkan orang yang paling aktif mengarahkan, seolah menginginkan sesuatu tanpa cela di hari bahagianya nanti.
"Kamu sudah yakin dengan pilihanmu?" Orin langsung mengangguk.
"Kami mengenal sudah cukup lama, Abi. Jimmy tahu benar bagaimana sifat Orin, demikian juga sebaliknya. Orin cukup mengenal Jimmy. Kami bersahabat sejak SMA bukan? Jadi sepertinya tidak lagi ada masalah."
"Abi hanya mengingatkan, biar bagaimanapun Jimmy adalah orang baru di keluarga kita. Terlebih, dulunya kalian berbeda prinsip. Tidak mudah tapi bukan berarti sulit. Kamu harus bisa menjadi contoh untuknya nanti."
"Siap, Abi. Toleransi kami solid kok. Abi tidak perlu khawatir yang berlebihan ya."
"Abi percaya sama kamu, Rin."
Ayah, cinta pertama bagi anak perempuannya. Mutlak, valid dan tak terbantahkan. Orin menatap punggung kokoh yang sebentar lagi akan dia rindukan saat mereka mulai berjauhan. Meski tidak akan tergantikan, tapi Orin tahu bahwa bakti utamanya sebentar lagi harus beralih dari kedua orang tuanya kepada suami tercinta.
Demikianlah kiranya, Orinda Cyra memang terlahir dari keluarga dengan basic agama yang sangat kuat. Ayahnya seorang pengasuh pondok pesantren di salah satu kota yang ada di Indonesia. Meski banyak santri abinya yang mengantri untuk bisa menaklukkan hatinya, Orin memilih untuk mengikuti kata hati. Yang terpenting baginya Jimmy telah berjanji untuk membangun rumah di surga yang sama seperti yang Orin yakini selama ini.
Semua persiapan pernikahan Orin telah selesai. Hari yang bahagia itu akhirnya datang juga. Orin juga telah bersiap mengenakan gamis terindah dengan beberapa payet di dada juga jilbab yang menjuntai menutup rambut di kepalanya. Seorang penghulu dan dua saksi juga telah bersiap di tempat duduk mereka. Semua yang ada di ruangan tampak menunjukkan wajah semringah, tetapi rombongan calon mempelai pria yang datang justru menampilkan wajah yang bertolak belakang.
Orin yang hanya bisa menatap kedatangan Jimmy bersama kedua orang tuanya melalui layar LCD hanya bisa berdoa dalam hati semoga acara mereka dilancarkan sampai kata sah berdengung di telinga semua orang yang hadir dan menyaksikan pernikahan mereka.
"Semua sudah siap?" tanya Pak Penghulu mengawali prosesi akad nikah dengan mencocokkan beberapa data.
"Maaf, Pak Penghulu saya ingin bicara." Suara Jimmy menggema.
"Iya?" Penghulu yang duduk bersebelahan dengan Abi Maheer menatap Jimmy dengan saksama.
Semua dokumen telah lengkap, termasuk dengan bukti tertulis yang menyebutkan bahwa Jimmy telah beragama Islam. Sepertinya tidak ada lagi yang harus ditanyakan. Tetapi dengan sabar, penghulu itu menunggu ucapan yang ingin disampaikan oleh Jimmy.
"Maaf, untuk Om Maheer dan semua yang ada di sini." Hati Orin sudah diliputi perasaan was-was hanya dengan mendengar kata maaf yang disampaikan oleh Jimmy.
Jimmy terlihat menggigit bibir bawahnya sebelum dia mengatakan apa yang tersimpan di dalam benaknya. Ibunda Orin yang duduk di sebelah putrinya langsung mendekap untuk mentransfer kekuatan jika sesuatu yang besar akan terjadi.
Setelah Jimmy menghela napasnya, barulah bibirnya kembali bergetar untuk bicara. "Dari kesungguhan hati saya meminta Orin menjadi istri adalah satu kebenaran yang sangat tulus. Namun, sesungguhnya dari awal kami berdua tahu bahwa hati kami telah bersimpangan arah untuk mencapai kata mufakat."
Semua mata menatap Jimmy yang duduk tertunduk bak seorang terdakwa dalam sidang di pengadilan. Tangan Abi Maheer telah mengepal kuat di atas tumpuan pahanya.
"Hingga saya mengalah untuk melebur atas nama kekuatan cinta. Saya mencintai Orinda Cyra, putri Om Maheer. Tetapi setelah saya melangkah sampai di titik ini, hati saya belum bisa menerima atas kesamaan jalan yang baru saja saya lalui. Rasanya justru terasa kosong, saya meninggalkan Tuhan untuk mendapatkan Tuhan baru demi cinta." Abi Maheer memejamkan matanya. Ayah tiga anak ini sepertinya tahu ke mana muara kalimat yang hendak diucapkan oleh calon menantunya ini.
"Maaf, jika pada akhirnya saya sampai pada keputusan untuk kembali pada keyakinan saya yang lama--"
"Innalillahi wa inna ilaihi rajiun." Dengan sangat kompak, seluruh undangan mendengungkan kalimat istirjak.
"Nyatanya memunafikkan hati untuk menerima keberadaan Tuhan baru itu tidak semudah mencintai Orinda Cyra. Saya tidak ingin meninggalkan apa yang telah menjadi keyakinan saya sebelumnya."
"Sebentar-sebentar," kata Penghulu menengahi.
"Mas Jeremy inginnya bagaimana? Supaya tidak berputar-putar dan kami salah mempersepsikan apa yang menjadi maksud Anda."
"Saya bersedia tetap menjadi suami Orin karena jujur, saya mencintainya. Namun, dengan tata cara dan hukum agama dari keyakinan saya sebelumnya."
Air mata Orin meluruh seketika. Hatinya seolah tercampakkan oleh sebuah pengkhianatan. Rasa cinta itu perlahan menguap bersamaan dengan bara amarah yang menggumpal dalam dada.
"Apakah ini ada tekanan dari pihak lain?" Jimmy terlihat menggelengkan kepala.
Kecewa sudah menjadi kepastian yang terlihat di wajah Abi Maheer sampai tidak lagi bisa berkata-kata. Kedua kakak laki-laki Orin yang justru terlihat menampakkan emosi yang mereka tujukan kepada Jimmy. Jika tidak dilerai pasti sudah terjadi baku hantam di majelis akad nikah adik mereka.
"Bi, dia itu sengaja mempermalukan keluarga kita. Atau mungkin justru dengan sengaja menyakiti hati Orin dengan mengatakan semua ini di hari yang telah ditetapkan menjadi hari pernikahan mereka."
"Bi, kami tidak terima."
"Aufar, Zaid, redam emosi kalian! Abi tidak pernah mengajarkan kalian bersikap anarkis seperti ini. Allah telah memilih, harusnya kita bersyukur, akad nikah belum terlaksana dan Orin masih tetap berdiri dalam jalur keimanan yang telah kita yakini selama ini."
"Tapi, Bi--" Aufar masih belum bisa menerima.
Abi Maheer menepuk pundak kedua putranya lalu meminta mereka mendatangi Orin dan menyampaikan apa yang terjadi di majelis akad dengan benar.
"Kita menghormati keputusan Jimmy, sama halnya dengan kita jika harus memilih. Kita pun pasti akan berat atau bahkan tidak pernah bisa meninggalkan keyakinan yang kita yakini dengan mengkhianati Allah hanya karena mencintai makhluk-Nya."
Helaan napas panjang mengiring langkah kaki kedua putranya menuju ruangan di mana Orin berada bersama kakak ipar dan ibunda mereka. Abi Maheer kemudian berbalik menatap Jimmy yang masih menundukkan kepala.
"Jim, Om menghormati semua keputusanmu. Keyakinan itu memang tidak bisa dipaksakan. Satu pesan Om untukmu, nanti jika memang kamu meragu saat pertama kali kakimu melangkah, sebaiknya tidak perlu dilanjutkan. Daripada nantinya akan menimbukan beban yang membuat penyakit hati itu tumbuh karena kesalahpahaman."
Tidak ada pernikahan, semua undangan membubarkan diri tanpa harus menerima penjelasan dari keluarga Orin karena drama di depan mata mereka sudah cukup menjelaskan. Abi Maheer sendiri tidak bisa melakukan hal yang lebih selain menerima semuanya dengan besar hati. Menyadari bahwa Allah telah memilih, siapa saja yang berhak untuk menerima hidayah-Nya dan memberikan penghormatan sesuai firman Allah yang termaktub dalam surah Al-Kafirun ayat 6, lakum diinukum waliyadiin.
Klik next -->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top