12 💍 Eid Mubarak
Kebohongan tak akan selamanya abadi. Setelah sekian hari Orin berhasil meyakinkan keluarganya bahwa dia bisa melewati iktikaf lailatul qodr dengan baik di Al-Mansurin. Nyatanya setelah melewatkan salat Id berjamaah, Orin tidak lagi cukup memiliki keberanian untuk membohongi kedua orang tuanya. Terlebih saat panggilan video call yang selalu dia abaikan tidak berhenti berjeda. Mulai dari Umi kedua kakak sekaligus kakak iparnya.
Mungkin sudah saatnya Orin berterus terang akan keadaannya. Terlebih sudah tiga hari ini dia tidak lagi mengenakan cervical collar, beberapa kasa yang membalut kini telah diganti untuk ditempel saja. Kecuali untuk kaki kirinya.
Melihat jam dinding, Orin yakin di Indonesia sekarang telah rampung menunaikan salat Id. Sehingga kebiasaan bersilaturahmi dan saling bermaafan membuat abinya meluangkan waktu untuk meneleponnya meski Orin tahu, setelah ini pasti akan banyak acara di rumah mereka.
Orin memilih menelepon balik abangnya untuk bisa menjelaskan secara perlahan seperti apa kondisinya sekarang kepada abi mereka supaya beliau tidak kaget dengan keadaan Orin di Sydney.
"Dik, kamu kenapa? Eh itu, wajahmu--?" Belum juga mengucapkan salam, suara abangnya sudah cukup mendominasi untuk melakukan introgasi.
"Taqaballahu minna wa minka, Abangku."
"Na'am, taqoballahu minna wa minki, Adikku. Eh jawab Abang dulu, itu mengapa wajahnya? Kamu jatuh di mana? Eh tunggu, jangan bilang kamu sekarang sedang berada di rumah sakit."
Orin mengalihkan kamera teleponnya menjadi kamera belakang yang bisa menyorot kakinya yang masih terbungkus perban.
"Astagfirullah, Dik. Kamu kenapa? Cerita pada Abang." Histeris suara Aufar mengundang perhatian semua orang yang ada di sana.
"Adikmu kenapa?" Suara Umi Nur pertama kali terdengar.
"Orin kenapa, Bang?" Kini suara Zaid dan akhirnya mereka tampak berkerumun di belakang Aufar.
"Astagfirullah, Orin. Kamu kenapa, Nduk?" Tidak lagi sabar dengan penjelasan Aufar Umi Nur segera mengambil alih gawai yang ada di tangan anak sulungnya.
"Orin nggak apa-apa, Umi. Beberapa hari yang lalu, Orin mendapatkan musibah. Mungkin Allah ingin menghapus sebagian dosa yang Orin lakukan."
"Innalilahi, terus sekarang bagaimana? Mengapa tidak mengabari kami di sini?"
Pertanyaan demi pertanyaan dijawab Orin dengan sabar. Meski akhirnya dia melihat sendiri bagaimana uminya meneteskan air mata.
"Biar Abang yang terbang ke Sydney." Semua saling memandang. Tidak bisa secepat itu mengurus visa di kedutaan. Paling tidak butuh waktu paling cepat seminggu.
"Semua sudah diurus oleh asuransi, Bang. Sebenarnya Orin juga sudah diperbolehkan pulang. Tapi tidak mungkin jika harus kembali ke Melbourne saat ini, tidak ingin juga merepotkan Ustaz Manshurin karena kegiatan menjelang Idul Fitri pasti akan padat sekali."
Melihat semuanya berkumpul, Abi Maheer yang baru saja tiba dari masjid berniat mendekat. Dia yakin semuanya sedang tersambung panggilan video dengan Orin. Tapi melihat, wajah-wajah cemas dari istri sekaligus anak dan menantu membuat hatinya bertanya-tanya.
"Ada apa dengan Orin? Kenapa dia?" tanya Abi Maheer seketika mengambil gawai yang ada di tangan istrinya.
"Nduk?" Melihat lebam dan bekas luka di wajah Orin, hanya satu kata itu yang keluar dari bibir abinya.
"Maafin Orin ya, Bi. Bukan maksud Orin berbohong pada Abi, Umi dan semuanya, tapi karena Orin tidak ingin kalian khawatir di sana. Sekarang Orin tidak apa-apa. Mukmin di sini luar biasa, Ustaz Manshurin dan Ustazah Hanum juga luar biasa mengurus Orin di sini. Abi tidak perlu susah, Orin di sini bersama saudara-saudara mukmin yang solid."
"Harusnya Abi yang minta maaf kepadamu, Nduk. Andai saja Abi tidak memaksamu datang ke Sydney pasti kejadian ini tidak akan terjadi. Biar abangmu yang ke sana secepatnya." Orin mencoba tersenyum walau sesungguhnya dia ingin menangis.
"Tiga hari lagi teman Orin akan datang menjemput, dan kami akan berangkat ke Melbourne berdua."
"Teman kamu, siapa?" tanya Abi Maheer.
"Tantri, Abi. Teman satu flat Orin. Karena liburan Idul Fitri di sini tidak panjang, jadi dia harus kembali ke Aussie secepatnya."
Percakapan haru dan saling memaafkan itu akhirnya berakhir juga. Ada kelegaan tersendiri meski juga harus bersedih di waktu yang bersamaan, Orin akhirnya berani berkata jujur pada mereka.
Mengusir rasa bosan. Orin yang sudah bisa membaca meminta kepada para santri yang menemaninya setiap hari untuk membawakan beberapa buku dan mushaf yang bisa dipergunakan sebagai bacaan. Seperti sekarang, sembari menunggu matahari terbenam Orin sibuk memainkan jari jemarinya menghitung berapa langkah doa penjagaan diri yang telah dia lantunkan. Setelahnya dia membuka mushaf untuk membaca beberapa ayat khalam-khalam Allah di dalamnya.
Hingga suara azan menggema dari gawainya. Orin segera menutup dan segera mempersiapkan diri menghadap Yang Mahakuasa. Namun, baru saja dia memulai suara ketukan pintu dan tak berapa lama kemudian masuklah seseorang ke kamarnya.
Layaknya orang yang sedang membesuk pasien sakit pada umumnya, dia membawakan buah tangan untuk Orin. Menunggu sampai dengan Orin menyelesaikan doanya, baru setelah itu suaranya terdengar menyapa nama Orin.
"Maaf, aku baru tahu dari harian kota kalau ternyata kamu adalah salah satu korban kecelakaan di Bexley beberapa hari yang lalu." Orin menoleh ke arah suara Jimmy.
"Terima kasih Jim, tapi aku sudah baikan. Kamu dengan siapa kemari?" tanya Orin.
"As you see, I'm alone."
"Jim, sebaiknya kita--" kata Orin terpotong.
"Aku tahu Rin, tapi niatku kemari murni karena aku ingin menjengukmu. Terlebih karena aku tahu hari ini kamu harusnya merayakan Idul Fitri. Maafkan untuk semua salahku."
"Semua sudah berlalu Jim, tidak ada lagi yang harus dimaafkan. Aku sudah melakukannya, tapi tolong jangan ganggu lagi dengan hal-hal yang nantinya menimbulkan fitnah," kata Orin.
"Tidak bisakah kita berteman seperti dulu, Rin? Setidaknya percakapan kita tidak kaku lagi seperti ini."
"Apa yang ingin kamu bicarakan lagi denganku? Rasanya di antara kita tidak ada topik bahasan yang patut dibahas selain kata luka."
"Aku minta maaf, Rin. Kamu memang berhak marah atas semuanya. Tapi aku tidak bisa mengikuti apa yang kamu yakini sebagaimana kamu yang juga tidak akan bisa mengikuti apa yang aku yakini tentang kebenaran itu. Tapi kita bukankah kita tetap bisa berada dalam satu amin walau dengan iman yang berbeda?" kata Jimmy.
"Tidak akan pernah bisa, Jim. Pembatalan itu adalah akhir dari semuanya. Terima kasih kamu sudah perhatian padaku saat aku sakit. Tapi, sepertinya itu tidak perlu lagi."
"Mengapa?" tanya Jimmy menuntut jawaban segera.
Orin menatap Jimmy dengan rasa enggan. Baginya semua sudah jelas, mengapa laki-laki yang kini bersamanya ini masih saja menuntut jawaban. Bukankah dia yang mengakhirkan semuanya, Orin berpikir Jimmy pasti telah tahu semua konsekuensi atas keputusannya itu. Tidak perlu lagi bertanya mengapa.
"Rin, kalau sekarang kamu berpikir aku dan Dewi--"
"Ini bukan tentang Dewi, Jim. Urusanmu dengan Dewi itu adalah urusan kalian, tidak ada sangkut pautnya denganku. Intinya perbedaan kita yang tidak akan mungkin pernah disatukan."
"Ok, aku bisa menerimanya. Tapi bukankah dulu kamu pernah bilang, dengan menyambung tali silaturahmi. Tuhan akan memanjangkan usia dan memberikan rahmatnya kepada kita?" Orin tidak menampik, pernyataan Jimmy adalah kebenaran yang tidak bisa dipungkiri.
"Mengapa kamu diam, Rin?" tanya Jimmy.
"Karena tidak ada hal lagi yang harus aku jawab." Orin gelisah, beberapa kali memandang jam yang ada di dinding. Berharap ada seseorang yang datang membersamai mereka supaya dia terhindar dari fitnah.
"Aku tidak akan pernah memaksa masuk, Rin. Aku hanya ingin kita berteman."
"Maaf, Jim. Untuk itu pun aku tidak bisa."
"Mengapa?" Pertanyaan berputar-putar yang membuat Orin semakin lama semakin merasa bosan.
"Jeremy Maltha, dengarkan kata-kataku karena aku tidak akan pernah mengulanginya lagi." Orin berkata dengan tegas meski raganya lemah.
"Niatku menerima lamaranmu dulu itu suci. Sesuci hatiku menumbuhkan perasaan cinta karena Allah telah memilihkanmu sebagai jodohku. Kami tidak pernah memaksa, kamu yang meminta untuk menjadi sama seperti kami. Tapi kamu mengkhianati ikrarmu sendiri. Aku punya keluarga, Jim. Mereka semua masih punya hati, dan hatiku ini bukan rest area yang dengan mudah bisa disinggahi lalu ditinggal pergi karena semua urusan dan hajatmu telah selesai."
Bersamaan dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Orin, pintu kamarnya terbuka dengan sosok yang selama ini dekat dengan Orin. Ada kejut yang seolah disembunyikan dari pancaran matanya.
"Maaf, kalau Ibu mengganggu pembicaraan kalian."
"Tidak, Bu. Jimmy juga sudah selesai, dia akan segera pulang," kata Orin sambil tersenyum ke arah Bu Alyne.
Tanya menyeruak di hati Jimmy tapi enggan untuk menyuarakan. Orin telah berkali-kali menolaknya, tapi menurut Jimmy, batu saja akan berlubang jika ditetesi air terus menerus. Apalagi hati selembut hati milik Orinda Cyra.
Klik next ---->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top