11 💍 Kemenangan Jiwa
Cerita itu mengalir dari bibir Matthew dengan lancar. Tidak satu pun terlewat sampai dia tidak sadarkan diri setelah peristiwa kecelakaan itu terjadi. Semua masih terbilang masuk akal, dan Matthew mempersilakan polisi yang mengintrogasinya mencocokan data dengan CCTV atau apa pun yang bisa mendukung keterangannya.
"I'm sorry to make you worried, Mom."
"I never taught you to do things that endanger yourself even for others too."
"I'm really sorry, Mom," kata Matt.
Kebodohan yang harus dibayar mahal oleh Matthew, air mata ibunya. Kekhawatiran dan lelah yang tampak dari raut wajah wanita yang melahirkannya ke dunia seolah memberinya cerita bahwa dia telah melewatkan banyak mimpi dalam tidur malamnya.
"There are two people who are also struggling like you. This stupid act of yours really embarrasses me."
"Ya, Mom. Matt keliru, harusnya malam itu Matt meninggalkan mereka dulu. Tapi justru Matt ditinggalkan dan pulang sendiri dengan keadaan yang seharusnya tidak mungkin mengendarai kendaraan sendiri."
"Bersyukurlah Matt, Tuhan masih memberimu kesempatan untuk memperbaiki hidup. Apa kamu masih belum percaya atas keagungan-Nya?" Matt hanya terdiam. Badannya masih sulit untuk digerakkan. Beberapa kasa masih membebat erat tubuhnya. Ada beberapa luka yang masih belum mengering.
"Mom, apakah orang yang aku tabrak menuntutku balik?"
"Jangan pikirkan itu, yang terpenting sekarang adalah kamu sembuh, dan bisa beraktivitas seperti semula. Melbourne menunggu keahlianmu, Sayang."
Meski meluapkan sedikit rasa kecewanya, Bu Alyne tetap menunjukkan betapa dia menyayangi putranya dan percaya apa yang diceritakan Matt adalah suatu kebenaran.
"Kapan aku bisa pulang, Mom?" tanya Matt lirih.
"Did I hear wrong? Are you delirious now?"
"No, Mom. I'm tired of being here." Bu Alyne menatap putranya dengan tatapan penuh cinta. Dia bahkan baru tersadar tidak kurang dari 24 jam dan sudah berkata bosan. Bagaimana rasanya menjadi Orin dan sopir taksi yang masih harus dirawat karena lukanya lebih serius daripada Orin?
"Matt, listen to me. Di dunia ini, ada hal-hal yang harus kita percaya meskipun itu sangat sulit diterima oleh logika. Karena kebesarannya yang merubah sesuatu yang bagi kita tidak mungkin menjadi mungkin." Matt kembali diam. Jika sudah berbicara seserius ini, ibunya akan semakin panjang bercerita ketika dia menanggapinya dengan bersuara.
"Jika melihat seberapa parah kondisimu kemarin? Rasanya sulit untuk berada di titik sekarang. Bahkan dokter pun menyerah ketika kondisimu turun drastis satu hari sebelum kamu tersadar. Namun, Mommy percaya bukan manusia yang menentukan umur sesamanya. Ada Allah yang selalu menjaga doa yang setiap saat Mommy panjatkan untuk kesembuhanmu." Matt menghela napasnya pelan.
"Dan doa Mommy terkabul, the miracle of love. Cinta yang pada akhirnya membuatmu bisa bertahan dan kuat. Cinta Mommy dan cinta Allah yang ingin memberimu kesempatan untuk memperbaiki diri. Apa kamu belum bisa menerima itu sebagai hadiah terindah?"
"Mom--"
"Mommy tidak akan memaksamu, karena kamu sudah cukup dewasa. Tapi apa yang kamu kejar di dunia ini? Karir yang cukup gemilang? Allah sudah memberikannya padamu. Mommy yakin, ada kekosongan tempat di hatimu yang kamu sendiri tidak pernah tahu karena apa itu."
"Karena apa?" tanya Matthew.
Bu Alyne menggeleng. Berbicara dengan putranya tentang makna kehidupan ini memang butuh tenaga ekstra. Mengembalikan kepercayaan bahwa semua yang mereka jalani sekarang adalah ketetapan Allah.
"Do you believe in love, Matt?" tanya Bu Alyne.
"No, except yours for me." Matthew mengalihkan pandangannya. Mengingat betapa ibunya berjuang untuk memberikan penghidupan yang layak untuk mereka membuat hatinya teriris-iris. Itu sebabnya, di dunia ini tidak ada yang lebih penting baginya selain senyuman wanita itu yang menandakan kebahagiaan hatinya.
"Besok Idul Fitri tiba. Tidakkah kamu ingin menyambutnya sebagaimana Mommy atau orang-orang mukmin di seluruh dunia menyambut hari kembali fitrahnya manusia untuk menabung kebaikan di dunia?" Pertanyaan yang sedikit mengganggu Matt hingga dia memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Can we talk about something else, Mom? Let me know, what about the condition of the two people I hit?" kata Matthew.
Bu Alyne melayangkan ingatannya kepada sosok Orin yang selalu bisa membuatnya tersenyum di saat hatinya sedang bersedih. Pun demikian halnya kepada keluarga sopir taksi yang begitu baik memaafkan kesalahan putranya.
"Nanti Mommy kenalkan salah satu dari mereka. Orin, gadis itu selalu menemani Mommy ketika kamu belum sadar."
"Orin? Who's she?"
"She is the girl who was in the same accident as you." Tiba-tiba ingatan Bu Alyne kembali pada saat Orin mengatakan sepertinya dia pernah tidak asing dengan wajah Matthew.
"Wait a moment, Matt. Orin ever told me, it seems like you two have met at one time, because she's no stranger to your face. Maybe you already know her?"
"Are you kidding me, Mom. I have no friends with name Orin."
"No, not like that. Maybe you've met in Sydney Harbor Bay or at the Opera House." Matthew menggeleng lemah. Tidak satu pun ingatan yang membawanya kenal dengan perempuan bernama Orin.
"No, I haven't."
Percakapan itu terhenti manakala seorang perawat dan dokter datang berkunjung untuk memeriksa kondisi Matt. Bu Alyne hanya melihat tanpa bermaksud menginterupsi sampai dokter itu menceritakan sendiri bahwa kondisi Matt telah stabil. Semua telah berfungsi kembali, perlu waktu dan kesabaran untuk menyembuhkan luka-luka yang ada di tubuhnya. Juga perawatan pascaoperasi untuk penyambungan beberapa patahan tulang kaki dan tulang lengannya.
"For a while, don't move a lot so the stitches dry up quickly."
"Take attention to what the doctor says Matt. You have to be strong."
"We also hope and will do the best for you, Mr. Matthew," kata dokter sebelum pamit meninggalkan ruangan.
Bu Alyne baru saja membersihkan badan Matt supaya dia nyaman untuk beristirahat kembali. Dia pun bersiap untuk berbuka puasa yang terakhir kalinya di Ramadan tahun ini. Namun, suara ketukan pintu membuatnya harus bangkit untuk menerima tamu.
"Mungkin itu teman kantor Matt, Mom."
Perkiraan Matt keliru, senyum di balik pintu itu bukan milik teman-teman kantor Matt. Tetapi senyuman Orin yang melebar bersamaan dengan seorang perawat yang mendorong kursi rodanya.
"Let me push it in," pinta Bu Alyne.
"Thank you for bringing my daughter here." Kalimat lanjutan yang diucapkan ibunya membuat Matt mengernyit heran. Sejak kapan dia memiliki saudara perempuan?
"Matt, look at here. Who's coming with me?" Matt menatap lekat ibunya meski sedikit sulit untuk melihat siapa yang datang bersamanya sampai pada jarak yang memungkinkan untuknya mengetahui.
"Hi, Matt. How are you, feel better now?" tanya Orin sambil tersenyum.
"You--" Matt menatap Orin dengan saksama. Mengembalikan ingatannya akan wajah perempuan yang pernah ditolongnya ketika nyaris jatuh terjerembab karena tidak melihat ada tangga di depannya.
"Matthew, is it true that we met in Sydney Harbour? You are the one who helped me that time," kata Orin.
Senyum Matthew terukir, dan helaan napas Orin membuat senyum mereka bertemu dan pecah pada sudut pemikiran yang sama.
"Apa kamu masih berpikir, kamu tidak mengenalnya, Matt?" Orin menatap Bu Alyne kaget.
"Kamu kenapa, Sayang, memandang Ibu dengan tatapan seperti itu?" tanya Bu Alyne yang menyadari kekagetan Orin.
"Ah, tidak, Bu. Orin hanya kaget, ternyata Matt mengerti bahasa Indonesia juga." Bu Alyne mengangguk membenarkannya.
Pandangan Bu Alyne beralih kepada Matthew lagi.
"Dia adalah Orin, gadis yang Mommy ceritakan mengalami kecelakaan yang sama denganmu, Matt."
"Ya, Mom. Kami memang pernah bertemu sebelumnya." Matt menatap Orin sekali lagi. Jika dia satu kecelakaan yang sama, berarti dia pulalah yang dimaksud ibunya orang yang tidak menuntutnya atas kecelakaan itu.
"Orin, aku ingin meminta maaf sekaligus mengucapkan terima kasih. Kecelakaan itu memang kebodohanku, tapi aku berani bersumpah bahwa itu bukan merupakan inginku." Matthew kembali menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Orin. Bukan untuk menarik simpatinya tetapi dia tidak ingin dianggap bahwa dia laki-laki yang tidak bertanggung jawab dengan banyak melakukan perbuatan sia-sia seperti itu.
"Mungkin benar apa yang Ibu katakan, ini caranya Allah untuk mempertemukan kita lagi. Kamu tidak perlu berterima kasih, asal kamu berjanji tidak akan mengulanginya lagi, Matt. Aku adalah saksi bagaimana air mata Ibu tumpah karena sayangnya padamu." Matthew mengatupkan kelopak matanya sekilas lalu tersenyum.
Orin beralih menatap Bu Alyne, dia lalu menyampaikan maksud kedatangannya di kamar rawat Matthew.
"Kita takbir bersama di sini saja, Bu. Orin ingin merasakan Idul Fitri bersama keluarga."
Bu Alyne tersenyum, mengangguk dan setuju. Dalam hati dia berdoa, semoga Idul Fitri ini bukan hanya menjadi hari kemenangan untuk semua orang mukmin di dunia, tetapi juga kemenangan jiwa atas kekosongan hati yang sepertinya masih melakukan pencarian atas jati dirinya.
Klik next ---->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top