10 💍 Keajaiban Tuhan
Orin ingin ikut masuk ke ruangan saat dokter memberikan izin kepada Bu Alyne melihat keadaan Matt.
"May I, Doctor?" tanya Orin.
"Not more than a quarter hour."
Orin mengenakan pakain khusus untuk bisa masuk ke ruangan steril. Dibantu Bu Alyne, akhirnya untuk pertama kalinya Orin akan melihat seperti apa keadaan Matt di ICU.
Seperti yang diceritakan Bu Alyne sebelumnya, beberapa alat medis tampak difungsikan untuk memberikan informasi bagaimana kerja organ tubuh Matt saat ini. Orin memberikan kesempatan terlebih dulu kepada Bu Alyne untuk menyapa Matt.
"Matt, I came with a woman who had the same accident as you." Orin mencoba untuk melihat wajah Matt yang masih tertutup kasa sebagian.
Namun, sepertinya Orin harus mencari kepingan puzzle yang cocok karena sepertinya wajah Matt tidak asing baginya. Orin seperti mengenal wajah itu tetapi dia lupa tepatnya kapan dan di mana mereka pernah bertemu.
"Matt, Matt, Matthew--" Gumaman Orin terdengar hingga membuat Bu Alyne memperhatikannya.
"Kenapa, Rin?" tanya Bu Alyne.
"Orin sepertinya mengenal wajah Matt, tapi di mana dan kapan kami pernah bertemu sebelumnya Orin tidak ingat."
"Apa kamu pernah ke Sydney sebelum ini?" tanya Bu Alyne.
"Matt bekerja sebagai tenaga ahli rancang bangunan. Terakhir dia memegang pekerjaan untuk perawatan Sydney Harbour Bridge sebelum akhirnya mendapatkan surat mutasi ke Victoria,"tambahnya.
Membicarakan Sydney Harbour, ingatan Orin tiba-tiba kembali ke tempat di mana dia pernah bertemu dengan Jimmy dan Dewi satu bulan yang lalu. Hingga menyeretnya serta mengingat kembali saat dia hampir jatuh terjerembab dan ditolong oleh seorang pemuda yang bernama Matt, Orin masih mengingatnya dengan jelas. Pemuda itu menyebutkan nama sekaligus mengulurkan tangannya tetapi dia menolaknya.
Tangan kanan Orin yang bisa berfungsi normal memutar roda hingga kursi yang didudukinya mendekat ke ranjang Matt. Memastikan apakah Matt yang kini ada di depannya adalah Matt yang sama dengan laki-laki yang telah menolongnya dulu.
"Kamu pernah bertemu Matt, Rin?" tanya Bu Alyne dengan tidak sabar.
"Orin tidak bisa memastikan karena pertemuan kami sangatlah singkat." Orin kemudian bicara kepada Matt yang masih membujur tak berdaya.
"Matt, kamu harus kuat. Ibumu sangat mencintai kamu, kamu adalah kekuatan dan separuh napas untuk beliau. Beliau ingin melihatmu sembuh, setidaknya, bukalah matamu untuk menghapus air matanya di hari raya Idul Fitri besok. Kamu pun tentu ingin merayakan hari kemenangan ini dengan menang yang sesungguhnya bukan?"
Orin menatap Bu Alyne lagi setelah selesai bicara pada Matt. Dengan menggenggam tangan keriput wanita paruh baya itu, Orin berkata.
"Mungkin nanti ketika Matt sudah sadar kita bisa bertanya padanya. Apakah Matt adalah orang yang sama dengan Matt yang pernah menolong Orin dari musibah di area Sydney Harbour Bridge satu bulan yang lalu."
Mata Bu Alyne seketika tampak berbinar. Sampai detik ini pun, dia masih yakin bahwa putranya adalah anak yang baik. Dan kembali rasa hangat itu merayap di hati manakala tumbuh harapan baru atas doa-doa yang selama ini dia panjatkan kepada Allah.
Dalam hati Bu Alyne berkata sambil memuji kebesaran Allah dan beristigfar. Boleh jadi dia tidak menyukai atau membenci kecelakaan yang menimpa Matt dan Orin. Padahal Allah menunjukkan kebaikan dengan cara-Nya. Allah tahu, apa-apa yang tidak dia ketahui.
"Boleh Ibu memelukmu, Rin?"
Orin mengangguk meski masih meragu dalam hati. Bukan karena menerima pelukan dari ibunda Matt. Tetapi sepertinya dia merasa ada hal yang disembunyikan oleh wanita paruh baya ini dalam tatapan dan senyumnya.
Pelukan yang begitu erat dan menghangatkan. Seperti rumah yang begitu nyaman saat lelah datang dan Orin ingin mengistirahatkan tubuh serta jiwanya.
'Umi, Orin rindu. Umi sehat kan di Candiretno?' Orin berteriak dalam hati. Hingga sesak di dadanya tidak lagi dibendung. Air matanya tumpah ruah dalam pelukan yang sama seperti kala dia berada di dalam pelukan Umi Nur.
Bu Alyne merenggangkan pelukannya saat merasakan getaran tubuh akibat tangisan Orin semakin kencang. Lalu dia tersenyum dan merangkum wajah Orin dengan kedua tangannya. Sesekali mengusap air mata Orin yang masih menetes.
"Are you okay, Rin?" tanya Bu Alyne pelan.
"It's just about a child's longing for her mother, Mom. I really miss being hugged by my mom." Orin memilih menjawab jujur.
"Kamu boleh memeluk Ibu, kapan pun ketika kamu merindukan ibumu. Ibu akan memeluknya sama eratnya seperti pelukan yang diberikan oleh beliau."
Orin menatap Matt sesaat sebelum dia memeluk Bu Alyne kembali. "Matt, maafkan aku. Selama kamu tidur panjang, aku mengambil hakmu untuk bisa memeluk Ibu."
Bu Alyne tersenyum melihat Matt kemudian melepaskan pelukannya untuk berganti menatap Orin. Inginnya tak lagi terbendung untuk menghujani Orin dengan ciuman.
"Semoga kelak Allah memang mengirimmu datang untuk menjadi anak Ibu yang sesungguhnya."
Tepat di lima belas menit waktu yang diberikan dokter untuk mereka. Bersamaan dengan seorang perawat yang masuk ke ruangan itu, tangan kanan Matt bergerak.
"Ibu, lihat, tangan Matt bergerak." Orin berkata setengah berteriak saking bahagianya.
Perawat yang tadinya ingin mengingatkan waktu kunjung telah berakhir kepada Bu Alyne dan Orin berbalik arah memberitahukan kondisi terbaru Matthew kepada dokter.
"Matt, I'm here, Darling. Open your eyes, please, I want you to open your eyes. Doctor, doctor, please safe my son, please--" kepanikan yang otomatis keluar saat gerakan tangan Matt semakin terlihat nyata. Dan dokter datang bersama tim untuk memeriksanya.
"Sorry, the doctor will do his job, you'd better go outside to waiting for the results." Salah seorang perawat mendorong kursi roda Orin dan meminta Bu Alyne untuk mengikutinya.
Cemas, haru, dan bahagia, semua rasa itu seolah bercampur menjadi satu dan waktu seolah semakin berjalan lambat hingga rasa tidak sabar semakin menggerogoti hati untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.
Tidak ada percakapan antara Orin dan Bu Alyne. Keduanya sibuk dengan pemikiran dan doa masing-masing walau sesungguhnya apa yang mereka pikir dan harapkan adalah satu hal yang sama.
Sampai seorang dokter melepas masker tampak di depan mereka. Menampilkan senyuman lalu memberitahukan kondisi Matt saat ini.
"Thank your God. Matthew has woken up, he made it through his critical period when the doctors have given up because his condition got worse yesterday."
"Soon, he will be transferred to the infirmary."
"Alhamdulillah." Suara Orin dan Bu Alyne terdengar bersamaan setelah dokter menyelesaikan penjelasannya.
Mukzizat dari Allah, rasanya seperti Siti Hajjar menemukan sumur zam-zam untuk memberikan minum kepada Ismail kecil yang menangis karena kehausan. Akhirnya sumur itu bisa memberikan manfaat di tengah tandusnya kota Makkah kala itu yang tidak berpenduduk dan hanya terdiri atas pasir dan bebatuan.
Dalam hati Bu Alyne berharap, kesadaran Matthew akan membawa kebaikan untuk banyak orang.
Seorang polisi yang ditugaskan pun segera memberikan laporan pada kesatuannya tentang kondisi Matthew. Orin melihat dia sibuk dengan gawai di tangannya kemudian berjalan mendekat ke arah mereka.
"We won't block your way. But please give Matt some time. He needs to stabilize his emotions and remember what happened to him before that terrible accident clearly," kata Bu Alyne kepada polisi.
"Yes, of course we will be waiting for a recommendation from the doctor. When is the right time for us to interrogate Matt. This is just a notification to his family." Bu Alyne mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.
Tidak ingin merusak rasa bahagia yang kini tersemat di hati wanita itu, Orin mengajak Bu Alyne untuk berpindah ke kamarnya sementara dan memberitahukan kepada perawat untuk menghubungi mereka jika Matt sudah dipindahkan ke kamar perawatannya.
Klik next ---->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top