05B 💍 Cinta Pertama, Sydney
Mengenal Sydney dalam jarak dekat. Semula Orin mengemukakan keengganannya, tetapi karena dia melihat Ustazah Hanum telah meluangkan waktunya untuk mengantarkan dia menikmati udara Sydney, Orin akhirnya memilih untuk mengikuti jadwal yang sudah diberikan Ustaz Emil kepada mereka.
"Selamat menikmati udara Sydney, Mbak Orin."
Sebuah mobil mendekati tempat Orin berdiri bersama Ustazah Hanum. Rasanya belum lengkap jika pergi ke Sydney tidak menyaksikan Sydney Harbour Bridge yang bersebelahan dengan Opera House.
"Terkadang suatu tempat itu akan membawa kenangan tersendiri untuk seseorang. Mungkin juga untuk Mbak Orin, siapa tahu Sydney akan menggenapkan sebagian doa Mbak Orin untuk melaksanakan ibadah terpanjang dalam hidup."
Orin tersenyum tipis, mengartikan makna tersurat yang diucapkan dalam doa Ustazah Hanum. Jika nanti pada waktunya tiba, dia hanya ingin kejadian yang lalu tidak akan terulang lagi.
Kini pandangannya menyapu pemandangan yang bisa dia nikmati dari dalam mobil saat melaju. Dulu Orin hanya sanggup bermimpi, melihat betapa indahnya landmarknya Aussie ini. Sekarang mobil yang ditumpanginya sudah berhenti di jarak terdekat yang diperbolehkan untuk mencapai gedung yang terlihat seperti tumpukan piring putih di rak dapur itu.
"Mau masuk atau naik cruiser, mumpung sedang di sini kita nikmati. Tadi Ustaz Emil sudah titip pesan untuk menjamu dan mengenalkan Sydney kepada Mbak Orin."
"Waduh, Ustazah, saya jadi segan lo nanti kalau berkunjung ke Sydney lagi jika diistimewakan seperti ini." Orin tersipu tetapi mengikuti langkah Ustazah Hanum menuju ke dermaga. Sepertinya kali ini mereka akan mengelilingi teluk Sydney dengan cruiser.
Orin sudah memegang karcis untuk masuk ke cruiser yang sebentar lagi akan berlayar. Pengalaman pertama yang tidak akan dilupakan seumur hidupnya.
"Jangan takut, Mbak Orin, insya Allah aman," kata Ustazah Hanum ketika melihat raut kecemasan di wajah Orin.
"Saya tidak bisa berenang, Ustazah." Orin mencoba untuk tertawa kecil.
Percakapan ringan yang tersambung dengan percakapan lainnya hingga Orin lupa akan keresahannya. Sayangnya senyuman yang menghias bibirnya itu tidak bertahan lama saat kedua matanya menangkap bayangan yang sepertinya sudah sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya.
"Mbak Orin kenapa?" Melihat perubahan wajah Orin membuat Ustazah Hanum bertanya.
"Tidak ada apa-apa, Us." Tapi mata Ustazah Hanum lebih dulu menangkap sosok yang coba Orin hindari dari penglihatannya.
"Mbak Orin kenal dengan laki-laki yang sedang memandang ke arah kita itu?"
Orin bingung harus menjawab apa, jika dia menjawab iya pasti akan muncul pertanyaan lainnya. Sedangkan dia tidak ingin berbohong kepada siapa pun. Tetapi, mengakui bahwa laki-laki yang memandang mereka kepada Ustazah Hanum sebagai calon suami yang meninggalkannya karena pengkhianatan mualafnya dan wanita yang bersamanya itu adalah saudara sepupu yang hampir mengetahui semua cerita hidup Orin. Rasanya dia seperti menelanjangi diri sendiri di depan umum.
"Atau Mbak Orin mengenal wanita yang duduk di sebelahnya? Sepertinya sedari tadi mereka berdua melihat ke arah kita." Orin baru saja akan menjawab setelah berpikir lama. Tetapi suara mesin yang semakin menderu mengisyaratkan cruiser bersiap untuk memulai pelayarannya membuat Orin urung untuk bersuara.
Berusaha mengalihkan perhatiannya, meski sesungguhnya dalam hati Orin tidak bisa sepenuhnya menikmati perjalanan indah ini. Beberapa kali Ustazah Hanum menjelaskan apa dan bagaimana sejarah kota yang telah berusia ratusan tahun ini seolah menguap tidak satu pun yang masuk dalam ingatan Orin. Yang ada di otaknya sekarang adalah kapan perjalanan ini berakhir dan Orin memilih untuk menjauh dari Jimmy dan Dewi.
Dan akhirnya, waktu yang ditunggu Orin tiba, cruiser itu kembali berlabuh di dermaga. Seluruh penumpang berhamburan keluar dari kapal. Termasuk Orin dan Ustazah Hanum.
"Mbak Orin, sepertinya harus menunggu di sini sebentar. Saya ingin ke toilet sebentar." Orin mengangguk, dia lalu berjalan untuk melihat-lihat sekelilingnya.
"Orin! Kita harus bicara." Suara bas yang tidak asing lagi di telinga Orin itu membuatnya berjingkat.
"Ada yang ingin aku jelaskan padamu, Rin." Jimmy kini telah berdiri di depan Orin tanpa Dewi bersamanya.
"Sebelumnya aku minta maaf untuk hari itu. Aku memang harus kembali, tapi kita--"
"Tidak ada lagi kita, Jim. Aku dan kamu tetaplah dua orang yang berbeda. Kamu tidak bisa menjadi aku begitu juga aku tidak mungkin menjadi kamu, hingga kata kita itu tidak perlu ada. Rasanya tidak ada lagi yang harus kamu jelaskan, semua bagiku sudah jelas. Satu hal pesanku yang mungkin bisa kamu ingat ke depan, jangan pernah mempermainkan perasaan wanita jika kamu tidak ingin terbakar oleh api permainanmu sendiri," pungkas Orin.
"Aku tidak pernah ingin mempermainkan perasaanmu, Rin. Aku memang tidak bisa mengikuti akidahmu tapi bukan berarti aku sudah tidak mencintaimu lagi, kita masih tetap bisa menikah. Di sini, aku bisa mengurusnya di KBRI untuk melegalkan pernikahan kita." Orin menatap Jimmy tajam. Bukan salah Jimmy jika dia tidak mengerti bagaimana syarat dan rukun nikah dalam Islam.
"Jim, sudahlah, itu adalah ketidakmungkinan."
"Apanya yang tidak mungkin, aku sudah bertanya, Rin. Dan aku sudah memperoleh jawabannya. Sayangnya aku sama sekali tidak bisa menghubungi nomer teleponmu. Setelah kamu menggantinya dengan nomor yang baru."
"Aku harus pergi, Jim," kata Orin.
"Aku belum selesai bicara."
"Apalagi yang ingin kamu katakan, Jimmy?"
"Aku masih mencintaimu, Rin."
"Sama seperti kamu yang memilih Tuhanmu, aku juga mencintai Allahku melebihi apa pun yang ada di dunia ini."
"Tuhan itu satu, Orin. Aku percaya, kamu juga percaya, kita masih bisa bersama meski aku dan kamu berbeda." Jimmy mengusap mukanya dengan frustasi karena Orin yang selalu bersimpangan faham dengannya.
"Allah memang satu, Jimmy. Kita yang berbeda dan tidak mungkin bersama karena arah jalan surga kita berbeda." Orin hampir tidak mampu bersuara karena sesak yang memenuhi rongga di dadanya.
"Toh nantinya kita juga akan tetap menuju surga," kata Jimmy.
Orin menggeleng, tidak mengerti dengan arah pemikiran Jimmy yang sudah salah kaprah. Bagaimana Orin bisa mencapai surga jika titian jalannya menuju ke sana sudah salah?
"Tidak, cukup, Jim. Aku tidak ingin kita membahas ini lagi. Semua sudah selesai saat kamu memilih untuk kembali mengimani keyakinanmu yang terdahulu." Orin mencari sosok Ustazah Hanum tetapi tidak juga muncul sampai suara Jimmy kembali terdengar.
"Baiklah kalau itu keinginanmu, Rin. Tapi setidaknya izinkanlah aku untuk bisa menghubungimu, setidaknya menanyakan kabarmu di Melbourne. Kita masih bisa tetap berteman seperti dulu, kan?" Orin tersenyum kecut.
Tidak ada yang salah dengan berteman, sebagaimana cinta yang tidak pernah salah menyapa. Tetapi berdekatan dengan Jimmy itu akan semakin membuat luka d hati Orin tidak akan pernah sembuh.
"Tidak perlu, Jim. Biarkan aku menjaga diriku sendiri. Tolong hargai perasaanku. Aku tidak pernah membencimu, tapi kita memang sebaiknya tidak perlu lagi bertukar kabar. Lagian kamu tidak tahu nomor teleponku yang baru."
"Dewi memberikannya padaku, Rin." Orin menghela napas kasar. Dia semakin tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh saudara sepupunya itu.
Saat Orin melihat sekelebatan sosok Ustazah Hanum, dia segera berjalan cepat meninggalkan Jimmy untuk mengajak Ustazah Hanum pergi dari tempat ini. Entah karena tergesa-gesa atau memang Orin tidak melihat, kakinya terantuk pada benda yang ada di lantai hingga membuatnya nyaris tersungkur apabila tidak segera ditangkap oleh seseorang.
"Be careful--"
"Thanks," kata Orin segera melepaskan diri dari dekapan laki-laki bertubuh atletis yang tersenyum kepadanya.
"Sorry, I didn't mean--"
"Nevermind, I'm ok," Orin berniat untuk berjalan kembali tetapi laki-laki di depannya mengulurkan tangan untuk mengajaknya berkenalan.
"I'm Matthew, just call me Matt."
"Thank you, Matt, but I have to go, nice to see you." Orin menelangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Mbak Orin, tidak apa-apa?" tanya Ustazah Hanum ketika tiba di sebelah Orin sambil tersenyum tipis ke arah Matt.
"Tidak apa-apa, Us. Ayo kita pergi dari sini." Orin sedikit menarik lengan Ustazah Hanum.
Meski sedikit terkejut, Ustazah Hanum mengikuti langkah Orin. "Mbak Orin maaf ya, kalau saya mengajak Mbak Orin ke tempat ini, karena biasanya teman atau saudara yang dari Indonesia pasti mengajak ke tempat ini kalau berkunjung ke Sydney."
Orin menggelengkan kepalanya. Dia bukan tidak menyukai tempat indah ini, tetapi tidak nyaman berada di tempat yang sama di mana dia harus bersemuka dengan Jimmy lagi. Pertama dan untuk terakhir kalinya memenuhi amanat abinya, Orin tidak akan pernah punya niat untuk menginjakkan kaki kembali ke Sydney lagi.
klik next --->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top