03 💍 Keputusan Besar

Eits, sudah buka mushafnya hari ini???

Selamat membaca

Tidak ada yang keliru dengan perasaan cinta. Hanya saja mungkin tidak tepat menempatkan di mana cinta itu harus dilabuhkan. Meski dengan berat hati, Orin harus bisa merelakan apa yang telah menjadi jalan takdirnya. Menatap masa depannya meski harus dengan perjuangan yang tidak mudah.

Memutuskan untuk bersikap wajar. Meski beberapa kali menemui tatapan aneh dari para santri. Yang ada dalam otak Orin hanya ingin menebus semua kesalahan yang membuat keluarganya menanggung malu.

"Mbak Orin sudah sehat?" tanya seorang khadimah yang setiap pagi membantu di rumah Orin.

"Alhamdulillah sudah, Mbak Irma."

"Walaupun sudah sehat biarlah pekerjaan itu kami yang mengerjakan, Mbak," Irma menarik sapu yang ada di tangan Orin dengan lembut.

"Jangan, Mbak. aku ingin berkegiatan seperti yang lain." Orin menarik lagi sapu yang sudah berpindah tangan.

"Tapi ini pekerjaan khadimah seperti kami, Mbak Orin. Nanti kalau Abi atau Umi tahu, kami yang salah." Orin tersenyum. Meski sebagai 'Ning' di pesantren yang dikelola abinya, Orin tidak pernah menempatkan diri sebagai seorang Ning yang harus diistimewakan. Itu sebabnya dia juga enggan dipanggil dengan sebutan kehormatan itu layaknya kedua kakaknya yang selalu dipanggil 'Gus' oleh para santri.

Di tengah 'rebutan' pekerjaan antara ning dan khadimah itu, tiba-tiba datang seorang khadimah lain dengan berlari kecil mendekati mereka.

"Sinta, sudah berapa kali Mbak ingatkan kepadamu, perempuan itu dilarang berlarian di area pesantren. Nanti kena takzir baru tahu rasanya loh."

"Maaf Mbak Irma, aku mencari-cari Mbak Orin loh sedari tadi ternyata ada di sini bersama Mbak Irma."

"Ada apa Sinta, kamu mencariku?" tanya Orin sambil memberikan segelas air minum untuk Sinta.

"Mbak Orin, tadi Abi, Umi, Gus Auf, Gus Zaid dan istri mereka sedang berkumpul di kantor. Tanpa sengaja saya mendengar kalau Gus Auf meminta Abi untuk mengirimkan Mbak Orin kembali ke Mesir guna melanjutkan sekolah di sana. Gus Zaid juga mengaminkan."

Orin tersenyum mendengar berita yang dibawa Sinta. Dia sudah pasrah, tidak ingin membantah kedua orang tuanya tetapi jika diminta untuk memilih, Orin masih memendam inginnya belajar ilmu manajemen dan administrasi perusahaan.

"Aku pasrah, Sin. Ikut saja keputusan Abi." Irma yang sedari tadi diam mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan lagi tapi sayangnya Sinta tidak memahami.

"Iya Mbak Rin, siapa tahu nanti Allah pertemukan pengganti Mas Jimmy yang lebih baik di Mesir," kata Sinta yang disambut senyuman samar dari bibir Orin.

"Sinta, sudah, kamu kembali belajar sana. Santri kok sukanya nguping pembicaraan orang. Nggak baik itu, dosanya sama seperti mencuri." Orin justru tertawa melihat Sinta yang kecewa mendengar teguran dari Irma.

Setelah ketiganya berbincang, Orin memilih untuk menemui orang tuanya. Ada hal yang ingin dia bicarakan terkait dengan kuliah pascasarjana.

"Ada apa, Cah ayu?" tanya Umi Nur yang kini hanya duduk berdua dengan Abi Maheer di ruangan yang dikatakan Sinta.

"Sebelumnya Orin mau minta maaf jika harus membicarakan ini kepada Abi dan Umi," kata Orin mengawali perbincangan mereka sembari menyerahkan sebuah amplop kepada orang tuanya.

"Di awal rencana pernikahan Orin kemarin, sebenarnya Jimmy berjanji untuk mengabulkan permintaan Orin supaya bisa melanjutkan pascasarjana. Orin kemudian berusaha untuk bisa menjadi salah satu mahasiswa yang menerima beasiswa LPDP dan Melbourne menjadi tujuan Orin mengambil kuliah di Monashy University."

Abi Maheer membaca surat yang diserahkan Orin kepadanya lalu menatap putrinya sebelum menyerahkan lembaran itu kepada Umi Nur.

"Dikti menyetujui permohonan Orin, Abi. Kemarin Orin menerima surat pemberitahuan itu."

"Kamu mau berangkat?" tanya Abi Maheer.

Tidak ada jawaban dari bibir Orin. Setelah mimpinya kandas sebelum kenyataan itu tercipta, rasanya dia sudah tidak lagi tenaga untuk mewujudkannya. Namun, saat mengingat kembali perjuangannya memperoleh fasilitas ini, sangat disayangkan jika harus dilewatkan.

"Nduk, Abi bertanya, kok kamu diam saja. Ayo dijawab," kata Umi Nur.

"Mengapa harus ke Melbourne?" tanya Abi Maheer.

Orin masih terdiam. Dulu dia sepakat dengan Jimmy memilih Melbourne karena mereka berpikir kota ini sangat romantis untuk hidup sebagai pasangan yang baru saja halal. Monashy University juga sangat bersaing dengan universitas yang lain di dunia.

"Orinda--" Umi Nur kembali bersuara.

"Karena Monashy termasuk salah satu kampus impian Orin dan Jimmy dari dulu, Abi. Dan--"

"Jimmy yang akan menemanimu tinggal di Melbourne karena kalian ingin hidup mandiri yang jauh dari seluk beluk pesantren, begitu?" potong Abi Maheer.

"Bukan, Abi. Bukan karena ingin menjauh dari seluk beluk pesantren. Tapi lebih karena mimpi Orin dari dulu ingin mengenyam pendidikan di sana. Tetapi Allah memberikan rezeki ke Mesir. Selain itu juga karena Orin menyukai kota Melbourne." Orin menggigit bibir bawahnya.

"Lalu kamu ingin berangkat ke sana sekarang dan bertemu dengan Jimmy lagi?" Pelan suara Abi Maheer menusuk tepat ke sasaran tembak di hati Orin.

Orin menggeleng, Jimmy memang bekerja di Aussie tetapi bukan di Melbourne melainkan di negara bagian yang lain, New South Wales.

"Tidak Abi, seperti yang Orin sampaikan kepada Abi sebelumnya. Apa pun yang menjadi titah Abi, Orin akan menjalaninya. Meski harus kembali ke Mesir seperti yang diinginkan Bang Auf dan Kak Zaid." Senyum Abi Maheer tercetak sempurna. Lalu meminta Orin berpindah duduk di sampingnya.

Pelukan hangat tanpa suara diterima Orin. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bermanja seperti ini kepada abinya. Setelah pulang dari Mesir atau sejak Orin memutuskan untuk menerima pinangan Jimmy? Orin sudah lupa, sejak kapan kemesraannya dengan sang abi terenggut paksa karena keadaan.

Hampir lima menit mereka saling memeluk tanpa suara. Menikmati sentuhan penuh cinta dengan bahasa yang hanya bisa diartikan dalam hati dan air mata. Ungkapan rasa sayang seorang ayah kepada anak, begitu juga sebaliknya.

"Kalau kamu harus memilih Abi atau Allah, siapa yang akan kamu dahulukan, Cah ayu?" tanya Abi Maheer di tengah kebisuan mereka yang membuat Orin seketika melepaskan pelukan abinya dengan tiba-tiba.

"Mengapa Abi harus bertanya seperti itu?" tanya Orin.

"Karena Abi ingin tahu jawabanmu."

Orin mengembuskan napas perlahan sebelum bibirnya bergerak untuk menjawab. Jawaban yang cukup sulit meski Orin sudah memiliki jawaban pastinya.

"Orin akan tetap memilih Allah, Bi. Tapi tetap saja, Bi, ridhollah fi ridho walidain wa sukhtullah fi shukhtil walidain. Jadi, jangan pernah bertanya berapa besar cinta Orin kepada Abi. Orin mencintai Abi dan Umi sebagaimana Allah memerintahkan anak untuk selalu ngugemi birrul walidain."

Abi Maheer berdiri, berjalan membelakangi Orin. Dengan hati bertanya-tanya Orin mengisyaratkan kalimat tanya tanpa suara itu kepada uminya. Tetapi justru dijawab gelengan kepala oleh Umi Nur.

"Kalau Abi memintamu untuk tidak berangkat ke Aussie, apa nanti kamu akan menuntut Abi di kemudian hari?" Orin menggelengkan kepalanya cepat tetapi setelah menyadari abinya tidak melihat gerakan kepalanya, Orin segera bersuara.

"Insya Allah tidak, Bi. Kalau menurut Abi itu buruk untuk Orin, Orin ikhlas, Allah pasti sudah menentukan jalan terbaik untuk Orin melalui rida Abi dan Umi."

Lalu Abi Maheer membalikkan tubuhnya menghadap Orin kembali. Tidak perlu banyak pertanyaan untuk mengetahui siapa dan bagaimana putrinya. Melepaskan bukan berarti memberikan kebebasan kepada Orin untuk berjalan tanpa arah dan tujuan. Abi Maheer percaya, Orin bukan perempuan yang aji mumpung menggunakan kesempatan jauh dari orang tua untuk melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan agama.

"Buktikan kepada Abi dan Umi kalau kamu benar-benar mencintai Allah, di mana pun kamu berada di muka bumi ini." Abi Maheer menyerahkan amplop berisi surat pemberitahuan itu kepada Orin sambil tersenyum lebar.

Orin yang masih belum percaya dengan keputusan abinya justru diam di tempat.

"Tanpa kamu beritahu, Abi tahu perjuanganmu, bagaimana kamu belajar wawancara di depan cermin seperti orang gila orasi sendiri dengan bahasa Inggris. Meluangkan waktu membaca buku-buku tentang manajemen dan administrasi kala longgar dari kegiatan mengajar di pesantren."

"Bi, ini bukan mimpi, kan?" tanya Orin yang langsung berhambur ke pelukan abinya.

"Abi ini seorang guru mengaji, ingin anak-anaknya seperti Abi. Tetapi minat seseorang tidak bisa dipaksakan, Nduk. Bagi Abi, kamu tidak melupakan Allah di setiap helaan napasmu, itu sudah lebih dari cukup. Berangkatlah, tapi Abi punya syarat yang harus kamu lakukan selama di sana."

Orin mengangguk, menyambut mimpinya yang sempat tertunda. Mungkin ini cara Allah untuk menghapus sedikit luka di hatinya atas rasa kecewa oleh sebuah pengkhianatan.

Dalam hati Orin berkata dengan jumawa, 'Orinda Cyra, welcome to Aussie.'

klik next --->>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top