02 💍 Penghakiman Diri
Masih setia bersama senja?
Atau sudah mulai mengukir malam-malam indah??
Selamat membaca
Azan Subuh telah menggema beberapa saat lalu, tapi Umi Nur belum melihat Orin keluar dari kamarnya. Setahunya, putri bungsunya ini tidak sedang mendapatkan periode hingga Orin bisa leluasa meninggalkan kewajibannya saat Malaikat hendak melaporkan semua catatan manusia kepada Allah.
"Umi kok belum ke berangkat ke masjid?" Abi Maheer yang baru saja keluar dari kamar kaget.
"Sebentar, Bi. Mau melihat Orin di kamarnya, dari tadi Umi tunggu belum keluar juga." Abi Maheer mengangguk kemudian melangkah keluar meninggalkan istri dan anaknya.
"Jangan lama-lama," kata Abi Maheer.
Tidak ada kehidupan, tempat tidur Orin masih rapi atau mungkin lebih tepatnya telah rapi kembali. Namun, perasaan Umi Nur bukannya semakin tenang justru semakin merasa tidak enak. Insting seorang ibu mengatakan ada keganjilan dari apa yang matanya lihat saat ini. Seketika pikiran kotor menyapa hingga Umi Nur mencari sesuatu yang bisa menjelaskan ketiadaan putrinya di kamar.
Tidak ada yang berubah, semua masih sama. Tidak ada surat dan semua pakaian Orin juga masih ada di tempatnya. Umi Nur menggelengkan kepalanya, berharap apa yang sempat singgah ke dalam pikirannya tidak terjadi. Mungkin Orin memang sudah berangkat ke masjid terlebih dulu karena ingin bersujud lebih lama dan mengadukan semuanya kepada Allah sebelum Subuh memanggil.
Namun, saat kakinya hendak melangkah keluar kamar. Mata Umi Nur melihat pintu ke balkon tidak tertutup sempurna. Mengurungkan niatnya hingga Umi Nur memilih berjalan mendekat ke balkon. Matanya terbelalak tidak percaya. Putri yang dia sayang tergeletak tanpa alas di balkon dengan suhu udara yang nyaris beku.
"Astagfirullah, Orinda."
Pengajian bakda Subuh terpaksa dialihkan kepada ustaz yang lain setelah Umi Nur sendiri yang tergopoh memberitahukan kondisi Orin kepada Abi Maheer.
Kepanikan semakin mencekam saat lebih dari jam tujuh Orin juga masih belum sadarkan diri. Padahal dokter sudah melakukan tindakan di IGD.
"Umi pulang saja dulu dengan Aufar, Abi akan menjaga Orin di sini," perintah Abi Maheer yang mendapat tatapan keberatan dari Umi Nur.
"Umi juga ingin tahu kondisi Orin, Bi. Setidaknya sampai dia sadar. Izinkan Umi berada di sini."
"Abi hanya tidak ingin Umi kelelahan setelah apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini di keluarga kita. Abi yakin, Umi juga butuh waktu untuk istirahat. Abi tidak ingin lagi, kedua wanita yang Abi sayang justru sama-sama sakit."
Tidak ada jawaban selain lelehan air mata di kedua pipi Umi Nur. Bahkan Aufar yang berdiri di samping kedua orang tuanya juga tidak berniat untuk menginterupsi percakapan keduanya. Sampai seorang dokter datang menghampiri mereka untuk menyampaikan kondisi Orin.
"Keluarga pasien Orinda Cyra?"
"Kami, Dokter." Abi Maheer segera berdiri.
"Tekanan darah pasien sangat rendah, begitu juga dengan hemoglobinnya. Kemungkinan dua hal tersebut yang membuat pasien belum sadarkan diri sampai saat ini. Apakah pasien menderita anemia sebelumnya, Pak?" kata dokter.
Abi Maheer menatap Umi Nur sesaat, sebelum peristiwa batalnya akad nikah itu, Orin terlihat sangat bahagia. Mungkin karena faktor kecapekan kemudian kejiwaannya terguncang oleh badai yang memporak-porandakan seluruh mimpi yang telah dia bangun.
Percakapan dengan dokter itu semakin serius saat Abi Maheer menceritakan beberapa poin penting yang mungkin bisa menjadikan dasar analisa dokter.
"Maafkan Umi, ya, Bi. Karena Umi yang selalu meminta Abi menuruti keinginan Orin sehingga dia harus merasakan kesakitan ini."
"Abi juga keliru, Um. Tidak sepantasnya menuntut Orin seperti kedua abangnya, karena dia anak perempuan. Sebenarnya niat Abi hanya ingin anak-anak mendapatkan bekal yang sama untuk kehidupan mereka nanti." Dari awal Orin lebih tertarik untuk belajar ilmu manajemen dan perhitungan pembukuan sebelum abi dan uminya memberikan titah untuk berangkat ke Mesir guna menimba ilmu agama yang lebih banyak.
"Padahal dulu dia sudah menjelaskan keinginannya, belajar ilmu manajemen di sini yang nantinya bisa dia terapkan untuk mengelola pesantren selain itu dia bisa nyantri di pesantren, ngalap ilmu dari kedua kakaknya. Mengapa kita juga terlalu egois menuntut hingga dia meminta konsekuensi kebebasannya dengan memilih yang lain--" Mata Abi Maheer menerawang jauh.
Menyalahkan keadaan tidak akan mengembalikan rasa. Orin sudah jatuh, tersungkur, tetapi sebagai ayahnya, Abi Maheer yakin putrinya bisa melalui semua ini dengan baik. Hanya butuh dukungan keluarganya.
"Jangan sudutkan adikmu lagi, Auf. Kita sakit, Orin pasti juga terluka hatinya. Mengenai anggapan masyarakat, biar nanti waktu yang akan menjawab. Lakukan saja tugas kita dengan baik, tidak perlu membuat pencitraan diri yang akhirnya akan menjadi bumerang untuk diri kita sendiri jika semua itu tidak pernah kita lakukan dari hati. Gantikan tugas Abi sementara waktu di pesantren, selama adikmu sakit dan harus dirawat."
"Baik, Bi."
Satu jam setelah Orin dipindahkan di ruang perawatan, kedua matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang ditanggap oleh pupil matanya adalah bayangan kedua orang tuanya yang bisa dikatakan tidak lagi muda.
Ruangan asing tempatnya berbaring, dua cairan dengan slang yang mengikat lengan kanan dan kirinya membuat bibirnya tergerak untuk bertanya.
"Orin di mana, Bi? Mengapa harus diinfus dan--" Orin menatap cairan merah pekat di sisi kanan tempat tidurnya.
"Tekanan darahmu rendah, hemoglobinmu juga sangat rendah. Dokter menyarankan untuk melakukan transfusi darah supaya kamu segera pulih dan sadar lagi." Orin mengingat, terakhir kali dia berdiri di balkon lalu setelahnya dia tidak lagi ingat apa yang terjadi.
"Maafkan Orin, Umi, Abi. Orin selalu membuat Umi dan Abi susah. Andai dulu Orin mendengar nasihat Abi tentang beratnya nikah dengan seorang mualaf yang mengimani Islam bukan karena Allah melainkan karena ingin melegalkan pernikahan." Air mata Orin kembali merebak. Penyesalan terdalamnya adalah membuat air mata kedua orang tuanya keluar saat mereka harus menahan malu menyampaikan alasan mengapa pernikahan putrinya dibatalkan.
"Rin, pikirkan kesehatanmu dulu, jangan mengingat peristiwa kemarin. Abi tahu itu sangat melukai hatimu." Umi Nur mengangguk menyetujui ucapan Abi Maheer.
"Semoga Allah selalu menjauhkan keluarga kita dari orang-orang munafik, Sayang," tambah Umi Nur.
"Tapi tetap saja Orin yang harus bertanggung jawab atas semua kerusuhan yang terjadi di pesantren, kan, Bi?" tanya Orin.
"Abi yang bertanggung jawab," jawab Abi Maheer dengan tegas tetapi justru membuat Orin semakin syahdu dalam tangisannya.
"Jangan, Bi. Orin yang akan menjelaskan kepada masyarakat. Orin yang harus meminta maaf kepada mereka, dan biarkan Orin yang melakukannya. Jangan Abi, biar mereka tahu bahwa Abi tidak pernah salah mendidik Orin. Orin yang salah karena meminta Abi untuk menerima keinginan Orin dan Jimmy--"
"Jangan sebut nama itu, di hadapan Abi lagi, Sayang. Kamu juga tidak perlu mengingatnya lagi. Tutuplah lembaran kisah kelam itu, kamu harus melangkah maju menyongsong masa depanmu."
"Abi, Abi tidak marah kepada Orin setelah semua yang Orin lakukan?" tanya Orin dengan terbata.
"Untuk apa Abi marah kepada orang yang tidak bersalah?" jawab Abi Maheer dengan tersenyum.
Melihat senyuman tulus dari wajah abinya, tangisan Orin semakin menjadi hingga Umi Nur turun tangan menenangkan sang putri.
"Orin yang bersalah, tidak sepatutnya Abi dan Umi yang menerima hujatan dari masyarakat." Orin menatap mata Abinya dalam.
"Orin harus bertanggung jawab, jika perlu Orin siap jika Abi memilihkan calon suami untuk Orin sekarang. Orin akan menikahinya, Orin akan--"
"Sst, jangan pikirkan pernikahan dulu. Allah telah menyelamatkanmu, menyelamatkan kita dari siksa api neraka. Mengapa tidak kita syukuri saja kesakitan ini, Sayang?"
Harusnya Orin bahagia melihat senyuman tulus dan kesabaran seorang ayah. Allah menganugerahinya seorang ayah yang memiliki hati seluas samudra. Sayangnya Orin semakin bingung apa yang harus dia lakukan untuk sedikit mengurangi beban yang harus abinya tanggung.
"Benar, Bi. Orin bersungguh-sungguh. Nikahkan Orin dengan laki-laki pilihan Abi dan Umi."
Abi Maheer meraih telapak tangan Orin lalu menciumnya sekilas. "Insya Allah, Abi akan mengantarkanmu sendiri kepada calon suamimu kelak. Tapi itu nanti, tidak dalam waktu dekat terlebih sekarang. Doakan Abi selalu sehat supaya pada waktunya nanti tiba, Allah masih menyisakan usia untuk melihatmu bahagia."
"Abi--" Air mata Orin semakin deras mengalir.
"Abi dan Umi boleh peluk, Orin?" Orin merentangkan tangannya meski sulit.
"Maafkan Orin ya, Umi. Orin belum bisa menjadi wanita sesaleha Umi. Orin belum bisa menjadi panutan sebagai anak pengasuh pesantren seperti Bang Aufar dan Kak Zaid."
Sebanyak apa pun amarah tidak akan mengembalikan semua luka dan kesakitan. Sepertinya itu yang ingin ditanamkan oleh Abi Maheer kepada seluruh anggota keluarganya.
klik next --->>
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top