[2] Tuan Kopi

"Dunia ini ibarat bayangan. Kalau kamu berusaha menangkapnya, ia akan lari. Tapi kalau kami membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu." Ibnu Qayyim Al Jauziyyah

☆☆☆

Razita sengaja membasuh wajahnya dengan air berulang kali untuk meredam amarahnya. Lantas, menghadap ke arah cermin besar di depannya sambil menolehkan wajah ke kanan dan ke kiri sambil mengingat insiden di ruang interview beberapa menit yang lalu.

"Apa saya akan diterima kalau saya melepas jilbab saya?"

Ketiga wanita itu tampak terkejut bukan main mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir Razita. Mereka sempat saling melempar pandang seolah merencanakan sesuatu yang sama sekali tidak Razita ketahui.

Salah seorang dari mereka akhirnya berdiri dan menghampiri Razita. "Baguslah kalau kamu membuat keputusan itu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir kamu cantik juga. Menarik. Saya yakin kamu pasti cocok dengan redaksi kami." Wanita itu bahkan menghamburkan pelukan tiba-tiba ke arah Razita.

"Teman saya dulu juga seperti kamu. Awalnya dia kelihatan menyesal lepas jilbab tapi sekarang dia udah bisa beli mobil sendiri," sahut wanita di seberang sana.

"Silahkan datang kesini lagi besok pagi untuk tes final pukul 10.00!" Ketiga wanita itu membereskan berkas-berkasnya dan bersiap untuk keluar dari ruangan. Tepat sebelum mereka membuka pintu, Razita merentangkan sebelah tangannya.

"Terima kasih sebelumnya karena telah meloloskan saya," ucapnya diakhiri senyuman samar. "Tapi maaf--" Razita menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dalam sekali embusan.

"Saya tidak berniat melanjutkan ke sesi berikutnya."

Senyum ketiga wanita itu perlahan pudar berganti dengan wajah yang mengeras menanti ucapan Razita selanjutnya.

"Sampai kapanpun saya tidak akan menukar hijab saya demi nyawa sekalipun, apalagi uang." Razita membungkukkan badanya sebelum mundur teratur. Kalimat terkhir yang dia ucapkan sebelum menutup seolah menampar rasa percaya diri ketiganya.

"Terima kasih sekali lagi karena secara tidak langsung kalian sudah memuji saya cantik bahkan saat jilbab masih menempel di kepala saya."

☆☆☆

Setelah merasa kepalanya sudah cukup dingin, Razita keluar dari kamar mandi dan hendak mencari angkot lagi untuk membawanya pulang ke kost-kostan yang sudah ia pesan jauh-jauh hari sebelumnya. Rasanya Razita tidak sabar sampai di sana untuk merebahkan diri atau setidaknya mengabaikan koper besar yang tengah diseretnya barang sejenak.

Pantas saja orang-orang di kantor redaksi tadi melihatnya dengan tatapan aneh! Apakah penampilannya terlalu mengenaskan?

Belum lagi perutnya yang mendadak berbunyi meronta minta diisi. Padahal Razita tidak sedang ingin makan. Alhasil, ia pun mampir ke starbuck untuk membeli kopi.

Jujur ini pertama kalinya Razita masuk ke kedai kopi ternama ini. Kalau bukan karena tempat ini berada paling dekat dengan kantor redaksi mungkin Razita lebih suka menikmati makanan kaki lima yang jauh lebih mengenyangkan. Tapi apa boleh buat, kakinya terlalu berat untuk diajak pergi ke tempat yang lebih jauh.

"Pesan Caramel Macchiato satu ya!"

Sembari menunggu pesanannya tiba, Razita sengaja memilih kursi di sebelah jendela supaya ia melihat ke luar. Hari pertama di kota orang nyatanya tidak semudah yang ia bayangkan. Butuh banyak adaptasi dengan lingkungan apalagi orang-orangnya. Setelah penolakan yang ia alami beberapa menit lalu, artinya Razita harus segera mencari pekerjaan baru.

"Ini udah selesai konsepnya tinggal eksekusi aja! Cuma buat dua feeds kan buat dipost di ig sama web?"

Saat Razita tengah fokus mencari lowongan pekerjaan di handphone, seseorang pria tiba-tiba duduk tepat di belakang kursinya. Mana suaranya kenceng banget! Emang cafe ini punya dia apa!

"Santai aja Bro! Mbak Sekar masih sanggup handle semua naskahnya sendiri. Dulu sebelum ada Rani juga dia bisa!" Dan seolah tidak menyadari keberadaan Razita di belakangnya, pria itu tidak sedikitpun memelankan suaranya.

"Ini batas buat yang nglamar apply berkas jadi tanggal berapa? 14 apa 15?"

Pergerakan jari Razita di layar langsung terhenti. Tunggu, bentar! Telinganya tidak salah dengar kan?

Pria di belakangnya itu seperti baru saja mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan lowongan kerja.

Guna memastikan Razita memutar kepalanya ke belakang. Hanya ada sebuah kertas dan pena di meja. Setelah panggilan telpon pria itu berakhir buru-buru Razita kembali menghadapkan kepalanya ke depan.

Aduh, gimana cara mastiinnya ya?

Apa harus ia bertanya, "Pak, permisi? Tadi Bapak bilang ada lowongan kerja ya?"

Eh, tapi pria itu terlihat terlalu tua untuk dipanggil bapak-bapak! Sepertinya mereka seumuran. Lalu siapa? Mas? Aish, dia kan bukan kakak aku!

Bukannya segera bertanya Razita malah sibuk merancang kalimat yang pas. Dan setelah ia menemukan kalimat yang sesuai Razita memberanikan diri menolehkan kepalanya ke belakang dan berkata, "Permisi, Kak say--"

"Lah, kemana orangnya?"

Saking sibuknya berpikir Razita sampai tidak sadar kalau pria itu menghilang. Tidak, barang-barangnya masih di ada di meja, berarti ia masih ada di sekitar sini. Razita sempat menggelengkan kepala karena terheran.

Meninggalkan barang berharga seperti ponsel, laptop, dan tas di meja termasuk tindakan yang cukup berani. Bagaimana kalau ada orang yang mengambilnya?!

Dan entah mendapat keberanian dari mana, Razita mendadak berencana untuk mengintip kertas yang terbalik di meja itu. Feelingnya mengatakan kalau ia bisa mendapat petunjuk dari sana. Tapi apakah sopan melihat barang orang lain tanpa seizinnya?

Ah, tapi aku tidak berniat mencuri, hanya melihat saja apa salahnya?

Walaupun takut dan sedikit ragu Razita tetap menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit mendekati meja di belakangnya. Sambil sesekali mengamati sekitar barangkali pria itu kembali. Setelah memastikan situasinya aman Razita langsung berjongkok dan mengambil kertas tersebut. Ada sebuah ilustrasi dan tulisan besar di tengahnya.

WE ARE HIRING

EDITOR FIKSI

Razita langsung membekap mulutnya tidak percaya. "Ini... beneran?" Apakah Allah benar-benar menolongnya secepat ini. "Yess, Alhamdulillah akhirnya ada low--"

BRUKK

Karena terlalu senang Razita berbalik begitu saja dan menabrak sesuatu. Tidak, lebih tepatnya seseorang.

Dan matanya membulat semakin lebar kala mendongak dan mengetahui pria itu adalah pemilik kertas yang dibawanya sekarang. Spontan Razita langsung meremas kertas tersebut dan memasukkannya ke kantung bajunya.

"Maaf, kopi saya-"

"Tidak apa nanti saya bersihkan sendiri," potong Razita cepat. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata dengan pria tersebut. "Maaf saya buru-buru. Assalamualaikum."

Dengan cepat Razita berpindah ke mejanya semula untuk mengambil koper dan berlari meninggalkan cafe tersebut.

Razita menghentikan langkahnya setelah merasa sudah cukup jauh dari cafe. Napas dan irama jantungnya masih tidak beraturan. Entah karena berlari tadi atau karena sebuah kertas di sakunya. Razita kembali membuka kertas itu lagi diiringi senyuman lebar. Pilihannya pergi ke Starbuck tidak salah.

Setidaknya meskipun Razita tidak sempat mencicipi kopi yang ia pesan, ia mendapatkan yang lebih dari sekedar kopi. "Terima kasih Ya Allah."

Sekarang barulah ia percaya, kalau pertolongan Allah itu nyata. Bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Razita tidak diterima di kantor redaksi karena mempertahankan keyakinannya tapi pada hari yang sama Allah langsung menunjukkan jalan lain. Jalan yang mungkin menjadi jalan terbaik baginya.

Dan untuk pria di cafe tadi, Razita bingung harus mengatakan apa. Apakah ia harus berterima kasih karena kertas lowongan kerja atau kesal karena baju putih yang baru ia pakai terkena tumpahan kopi?


☆☆☆

Dari penulis

Assalamualaikum semua gimana kabarnya?

Gimana perasaan kalian setelah membaca part dua ini?

Follow wattpad aku juga dan juga instagram @romancewp123

Sampai jumpa di part berikutnya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top