[15] Hujan di Kota Bandung

"Kita tidak pernah tahu kapan tiba waktunya kita meninggalkan dunia ini, selagi sempat teruslah menebar manfaat agar hidup kita tidak sia-sia karena sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat untuk sesamanya."

☆☆☆

"Razita, kok nglamun terus dari tadi?" ucap Lita yang baru saja dari kantin bersama Mesya.

Mereka cukup khawatir dengan sikap Razita yang tiba-tiba menjadi sangat pendiam dan sedikit murung sejak tadi pagi. Razita bahkan menolak saat ia mengajaknya ke kantin.

"Aku beliin ini, dimakan dulu!" mesya menyodorkan nasi kotak. "Mikir juga butuh tenaga, Zit!"

"Kalian baik banget sih!" mood Razita rasanya sedikit naik kala melihat mereka sangat peduli padanya.

"Makan bareng, yuk!" Razita akhirnya membuka nasi kotak miliknya. Begitu juga dengan Mesya dan Lita. Benar kata Mesya, untuk bisa berpikir jernih ia butuh tenaga.

Lita dan Mesya saling melempar senyum kala melihat Razita masih bisa makan dengan lahap. "Ada masalah apa, Zit? Kamu nggak mau cerita ke kita?" tawar Lita.

Kunyahan Razita menjadi lambat seiring sendok yang ia lepaskan dari tangan. Razita sempat meneguk sedikit air sebelum memandang kedua sahabatnya dengan tatapan sendu. "Menurut kalian kalau seseorang udah melakukan kejahatan besar dia bisa bersikap seolah gak terjadi apa-apa gak? Hidup dengan damai gitu."

Lita menggeleng cepat. "Gak mungkin lah! Pasti ada yang berubah dari sikapnya."

"Bisa jadi dia kelihatan baik-baik aja di luar, padahal ya sebenernya enggak," komentar Mesya.

Memang tidak mudah menilai sesuatu dari mata, karena terkadang mata kita pun bisa berbohong pada diri kita sendiri. "Tapi kalau dia baik sama kita?" tanya Razita.

"Maksud kamu orang itu habis buat salah ke kamu tapi dia tetep baik?" Mesya berusaha memperjelas. Melihat Razita mengangguk ia melanjutkan, "Ya, bisa jadi itu sebagai bentuk permintaan maaf dia."

"Kamu lagi berantem sama orang, Zit?" Tanya Lita dengan polosnya.

"Enggak kok." Aku cuma bingung sama perasaanku sendiri, lanjutnya dalam hati.

Fakta yang ia ketahui dari Rasya kemarin cukup menampar hatinya. Razita belum siap bertanya pada Ghazi perihal gelang itu karena ia juga belum siap mendengar jawabannya. Maka dari itu, Razita mulai menghubung-hubungkan kemungkinan yang ia buat sendiri.

Razita jadi curiga, apakah selama ini Ghazi berbuat baik padanya karena pria itu tahu ia adalah anak dari orang yang Ghazi tabrak? Tapi sebagian besar hati Razita masih tidak yakin jika Ghazi bisa melakukan perbuatan sekeji itu.

"Oh ya, tadi gue nggak sengaja denger pembicaraan Kak Daniel sama Kak Yudha di kantin," bisik Lita pelan sambil sesekali melirik ke pintu barangkali orang yang ia sebutkan tiba-tiba muncul.

Razita mengibaskan tangannya. "Hus, nggak baik hibahin temen sendiri, Lita!"

Lita langsung menggeleng. "Bentar bukan gitu! Gue gak denger lengkap mereka bilang apa. Gue cuma denger kalau Kak Ghazi katanya habis berantem sama gak tahu siapa kemarin."

"Itu mah sama aja lo gibah, Lita!" seru Mesya mendukung Razita. "Eh tapi siapa yang berantem? Kak Ghazi? Tumben?"

Razita sudah hendak membuka mulut tetapi Lita lebih dulu berkata, "Dan parahnya gue denger mereka bawa-bawa nama Razita tahu!" ujarnya sedikit ngegas.

"Beneran lo!?" Mesya seolah meragukan. Lita memutar bola matanya malas.

"Kok aku?" Razita tidak merasa terlibat sesuatu dengan ketiganya sejak kemarin. Hanya pembicaraan biasa tentang pekerjaan tidak lebih.

"Aduh, percaya deh! Ngapain juga sih gue bohong? Demi Allah mereka tadi nyebut nama Razita sama siapa ya satunya gue lupa!" Lita berpikir sejenak. "Ras- Rasa..."

"Kak Rasya?" sahut Razita cepat.

"Nah, itu dia!" Lita bersorak senang. akhirnya, ia terbukti tidak berbohong. "Kamu kenal dia?"

Razita hanya diam. Bertengkar di cafe? Rasya? Apa ketiga orang itu megikutinya kemarin? Tapi untuk apa? Semakin banyak yang Razita tahu kepalanya malah semakin pusing karena tidak bisa mencari benang merah yang sesungguhnya.

"Kayanya ini ada hubungannya sama lo deh, Zit!" praduga Mesya. "Sejauh yang gue lihat nih ya, meskipun cuma opini gue sendiri tapi gak tahu kenapa gue lihat akhir-akhir ini sikap Kak Ghazi antara ke lo dan ke gue sama Lita itu beda."

"Gue juga ngrasa gitu," imbuh Lita. "Kayanya Kak Ghazi suka sama kamu, Zit."

Sejujurnya jauh sebelum ini Razita juga merasakan hal yang sama. Tapi ia hanya tidak mau berharap lebih pada sesama manusia, apalagi hanya untuk menjalin hubungan bernama 'pacaran'. Karena belum tentu pacarnya sekarang akan menjadi imamnya di masa depan.

"Tapi Kak Ghazi udah punya pacar," kala mengingat Ines yang jauh lebih segAlanya dibandingkan dirinya, Razita menjadi sadar diri. Tidak mungkin Ghazi akan meninggalkan Ines hanya demi dirinya.

"Ya, justru itu! orang zaman sekarang tuh aneh. Pacarannya sama siapa, hatinya buat siapa, gak sinkron!" sarkas Mesya yang kebetulan sama-sama jomblo.

Lita tertawa terbahak. "Mendingan jomblo daripada pacaran sama orang yang hatinya bukan buat kita. Ditinggal nikah mampus lo!"

"Kok gue jadi banyangin Kak Ghazi sekarang sama Kak Ines tapi suatu saat nikahnya sama Razita ya?" ucapan itu meluncur dengan santainya dari bibir Mesya.

Sontak Razita membulatkan matanya. "Astagfirullah, kok jadi aku!"

"Kenapa nggak? Kak Ghazi juga baik loh, Zit! Buktinya dia amalan sunnah aja dijalanin. Soal sikap dia yang kadang agak bar-bar mungkin karena temennya juga sebobrok Kak Yudha sama Kak Daniel. Coba kalau sama kamu pasti kalem," Lita juga ikut-ikutan membela Ghazi.

Walaupun pembicaraan mereka jadi keluar topik awal setidaknya Razita sedikit merasa lega. Sebab kalau kedua sahabatnya saja begitu percaya pada sosok Ghazi kenapa Razita harus meragukannya?

☆☆☆

Di musim pancaroba cuaca sangat tidak bisa ditebak. Siang tadi langit masih sangat cerah. Kemudian malam ini, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Karena ada lemburan dan sekalian Shalat Magrib, Razita bersama teman-temannya belum pulang sampai saat ini. Mereka masih berdiam di serambi mushola sambil menunggu hujan sedikit reda.

"Allahumma soyyiban nafi'ah," ujarnya sembari menangkupkan kedua tangannya sejajar dada. Walau ada kalanya Razita tidak menyukai hujan yang turun tiba-tiba dan kadang menghambat beberapa aktivatasnya, Razita tidak pernah sekalipun mengutuk atau menyumpahi hujan yang sejatinya merupakan rahmat bagi sebagian orang lainnya.

Syukurlah beberapa saat kemudian, hujan deras sudah berganti menjadi gemericik air. Di saat yang lain sudah memakai sepatunya Razita masih berdiam diri karena ia tahu sudah tidak ada angkutan melintas di jam begini. Razita ingin memesan driver online namun ia lupa kalau baterai hpnya habis.

"Zita, bareng aku aja ya! Udah gaada angkot kan jam segini?" celetuk Lita yang ternyata menyadari kecemasannya.

"Gak usah, Lita kan rumah kita gak searah. Jauh banget!" tolak Razita halus. Malam-malam seperti ini kasihan kalau sahabatnya harus bolak balik di jalan sendirian.

"Terus kamu mau pulang sama siapa? Rumah kita emang gak ada yang searah!" Mesya berusaha membujuk Razita agar mau ikut ikut pulang. "Masa kamu sendirian di sini? Kalau diculik gimana?" bukan berniat menakuti, tapi kriminalitas di Bandung juga tidak bisa disepelekan.

Yudha sempat memberi kode kepada Daniel. "Bareng Ghazi aja, Zit. Dia katanya mau mampir ke apotek beliin mamanya obat!" ujarnya tanpa mempedulikan tatapan tajam Ghazi.

"Gak baik juga perempuan pulang malem-malem. Ya kan Gaz?" Yudha langsung menyenggol Ghazi dan tersenyum miring.

Sebenarnya Ghazi memang bilang akan mampir ke apotek yang kebetulan letaknya serah dengan kostan Razita tapi itu tadi sebelum ada hujan. Namun, mengingat seorang perempuan sendirian dia juga tidak tega. Akhirnya Ghazi mengangguk, "Sama gue aja. kebetulan motor gue juga matic." Di antara mereka bertiga hanya Ghazi yang memakai motor matic.

Sungguh, Razita tidak pernah suka kalau harus berboncengan dengan lawan jenis tapi bagaimana lagi ini benar-benar darurat.

"Gimana, Zit! Keburu hujan deres lagi ini," desak Mesya yang sudah memakai mantelnya.

Dengan terpaksa Razita mengangguk. "Yaudah, aku sama Kak Ghazi aja, kalian duluan aja biar gak kemaleman!" pamitnya.

"Tenang aja Zit, Ghazi gak pernah ngebut kok dia paling safety pokoknya! Nih, pakai helm gue biar aman!" Yudha menyerahkan helmya karena rumahnya yang paling dekat dengan kantor. Paling sepuluh menitan sudah sampai. Dia memang sudah seperti kakak laki-laki bagi Razita.

Sebelum Razita naik, Ghazi lebih dulu berkata. "Lo bisa taruh tas lo di tengah! Ada tas gue juga kan bisa buat batasan! anggep aja gue gojek atau apalah terserah! Gue gak bakal ngajak lo ngomong kalau emang lo nggak nyaman."

"Oke, Kak." Razita sedikit senang kala Ghazi memahami perasaannya.

"Eh, tunggu!" cegah Ghazi yang kemudian mengulurkan karet gelang ke arahnya. "Jilbab lo iket dulu biar nggak kebuka di jalan!"

Razita langsung menunduk dan meraba jilbabnya. Bahkan ia baru sadar kalau brosnya lepas, entah hilang di mana. "Makasih, Kak!" setelah mengikat jilbabnya dengan karet gelang yang diberikan Ghazi Razita langsung naik ke atas motor.

Pria itu benar-benar menepati ucapannya. Sepanjang perjalanan Ghazi melaju dengan kecepatan sewajarnya dan tidak mengajaknya berbicara sama sekali. Walaupun begitu, Razita tidak bisa membohongi dirinya kalau sepanjang perjalanan hatinya terus berdebar.

Bandung yang sangat dingin kala hujan ternyata masih bisa membuat hatinya menghangat.

☆☆☆

Dari penulis

Setelah tegang-tegang mari kita bersantai sejenak. Siapkan hati dan pikiran untuk part selanjutnyaa

Sejauh kalian baca cerita ini? Hal atau adegan apa yang paling kalian membekas?

Aku mau bilang makasih juga untuk kalian yang masih setia baca cerita ini. Semoga gak bosen yaa:)

Jangan lupa mampir ke wattpad aku juga _storyfadila

See you, Wassalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top