[14] Benarkah?
"Lisanku mungkin tak pernah mengatakan cinta padamu, tapi ketahuilah namamu melambung tinggi dalam langit doaku."
☆☆☆
Sepulang dari kantor biasanya Razita akan langsung pulang ke kostan, tidak mampir keman-mana. Namun, hari ini harus pergi ke salah satu cafe untuk bertemu dengan Rasya. Pria itu mengatakan kalau ia ingin menunjukkan sesuatu padanya. Semampainya Razita di sana, Rasya sudah lebih dulu datang.
"Assalamualaikum. Udah dari tadi ya Kak?" Razita segera menarik kursi di depan Rasya.
Pria itu menggeleng. "Gak masalah gue emang suka ngopi disini." Tidak ingin terlalu lama berbasi-basi Rasya segera memperjelas maksud kedatangannya kemari. "Awalnya gue pikir bakal ngirim datanya lewat WA aja tapi gue rasa lebih baik lo tahu secara langsung."
Ketika tangan Rasya mulai menggulir buku berukuran sedang, raut wajah Razita makin terlihat cemas. Ia bahkan meremas jarinya sendiri di atas pangkuannya. Semoga saja hasilnya tidak mengecewakan.
"Lo kenal Ines dari Ghazi ya?" tampaknya Rasya sengaja mengulur waktu.
"Iya. Kakak kenal Kak Ghazi juga?" tanya Razita balik.
"Cuma sebatas tahu nggak akrab juga." Rasya kembali menegakkan pungunggnya saat sudah menemukan halaman yang ia cari. "Sebelumnya gue cuma mau negesin kalau data gue ini akurat. Ada tanggal, tanda tangan, sekaligus foto orangnya juga untuk pesanan khusus."
Rasya membalik buku tersebut menghadap ke arah Razita. Alangkah terkejutnya Razita saat mengetahui orang yang ada di foto tersebut adalah orang dia kenal. Razita juga tahu tulisan tangan dan tanda tangannya sangat mirip. Ia sempat menoleh ke arah Rasya meminta penjelasan. "Ini beneran?"
Setelah mengetukkan jarinya kemeja beberapa kali Rasya kembali menyandarkan punggungnya di kursi. "Gue udah ingat sejak lo ngasih gelang itu di toko tapi gue mau mastiin sekali lagi kalau memang waktu itu yang pesen gelang dari batu putih yang gue impor di Kalimantan cuma Ghazi." Rasya menghela napas panjang.
"Gue inget banget karena waktu itu belum banyak orang yang tertarik dengan karya gue, toko gue belum seterkenal sekarang dan Ghazi jadi satu-satunya orang yang pertama kali berani bayar gue mahal hanya untuk sebuah gelang."
Razita tiba-tiba merasa pasokan udara di sekitarnya kian menipis. Seharian ini ia sudah mencoba menghindari Ghazi demi tidak berprasangka buruk. Tapi kalau sudah ada bukti yang terpampang nyata di depannya Razita bisa apa? Benarkah Ghazi adalah pemilik gelang putih yang sesungguhnya?
"Di Bandung ada berapa toko yang nerima pesanan gelang kaya gini Kak?" razita masih tidak ingin mempercayai apa yang ia lihat. Tidak secepat ini.
Rasya mengingat-ingat sebentar. "Setahu gue ada tiga yang paling terkenal, toko gue salah satunya." Lalu, Rasya memasang wajah penasaran. "Kenapa nggak lo coba tanya langsung ke Ghazinya? Barangkali gelang itu emang punya dia."
Tidak. Lebih baik Razita tidak mendengar apapun daripada...
"Tapi kalau itu emang punya Ghazi kok bisa ada di lo? maaf kalau gue lancang tapi—" Rasya bingung memilih kata yang sesuai, "nggak mungkin darah sebanyak itu cuma karena jatuh dari sepeda, apalagi di tangan lo juga gak ada bekas luka!"
Razita langsung menyembunyikan tangannya ke bawah. Tidak ia sangka kalau Rasya akan seteliti itu dan mengingat perkataannya kemarin. "Em itu- gelang—"
Sebelum Razita selesai bicara, Rasya lebih dulu menyela, "nggak usah diceritain kalau emang itu privasi! Lagipula gue juga gak suka ikut campur urusan orang lain."
Sekuat apapun Razita memasang wajah baik-baik saja tetap saja susah. Konsentrasinya sedang terpecah dan ia berulang kali gagal menjawab pertanyaan kecil yang diajukan Rasya.
"Aku... pulang duluan ya, Kak." Razita langsung bangkit dari kursinya. "Terima kasih banyak infonya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Rasya jadi prihatin melihat Razita tampak seperti orang linglung. "Hati-hati di jalan!" bahkan, mungkin ucapan terakhirnya tidak akan didengar Razita.
☆☆☆
Di sisi cafe yang lain, tepatnya dari arah luar, tiga orang pria tampak mematung di tempat mereka. Terlebih seseorang yang berdiri di tengah. Matanya masih setia mengamati seorang perempuan berjilbab coklat yang baru saja beranjak pergi dari tempat ini.
"Gue bilang juga apa! Keduluan kan lo!" Yudha yang tidak sengaja mendengar saat Razita menerima panggilan dari seorang pria memang berinisiatif mengajak kedua sahabatnya kemari. Sekalian menguntit bahasa kasarnya.
"Dia siapanya Razita? Lo kenal, Gaz?" Daniel ikut mengamati seorang pria yang masih duduk manis di tempatnya dengan tatapan tenang.
Ghazi tidak menjawab. Harusnya ia merasa biasa saja toh, Razita bukan siapa-siapanya. Dia mau pergi dengan siapapun bukan urusannya kan? Tapi, rasanya aneh saja melihat perempuan yang selalu menghindar dari lawan jenis tiba-tiba mau duduk berdua dengan seseorang. Walaupun hanya untuk beberapa menit dan di dalam tidak hanya mereka berdua tetap saja rasanya aneh.
Tunggu, Ini hanya alibi ataukah Ghazi sedang cemburu?
"Tapi kelihatannya ngomongin sesuatu yang serius sih!" celetuk Daniel lagi.
Insting Ghazi mulai menerka-nerka berbagai kemungkinan. Namun, satu hal yang pasti ia tidak bisa berdiam diri saja seperti ini. Setidaknya ia harus memastikan sesuatu. Tanpa berpamitan atau mengucapkan sepatah kata pada orang di sebelahnya Ghazi berderap masuk ke dalam untuk menghampiri Rasya.
"Eh- Gas mau kemana?" Yudha hendak menyusul Ghazi namun Daniel menahannya.
"Biarin dia sendiri!" pinta Daniel tegas. Meskipun tidak banyak bicara ia cukup pandai mencerna situasi. Itulah sebabnya mereka berdua hanya duduk di sisi luar jendela untuk mengawasi.
"Lama nggak ketemu!" bukannya mengucapkan salam Ghazi langsung duduk begitu saja membuat orang di depannya sempat menatapnya dengan tatapan terkejut sesaat sebelum terkekeh pelan.
"Lo yang kemana aja! Mentang-mentang ada yang baru jadi jarang ke toko gue lagi!" sindir Rasya to the point. Ia meletakkan kedua tangannya yang saling bertaut di atas meja, "siapa ya namanya gue lupa? Zita? Razita?"
"Maksud lo apa?" balas Ghazi dengan nada tegas.
Berbanding terbalik dengan sikap santai yang ditunjukkan Rasya. "Kok lo tahu gue ada di sini? Ngikutin Razita kan lo!"
Ghazi tidak menjawab dan masih menatap Rasya dengan pandangan tajam. "Ada urusan apa lo sama Razita?"
"Menurut lo kalau laki-laki sama perempuan ketemuan berdua di cafe biasanya ngapain? Apa ya istilahnya?" lantas Rasya menjentikkan jarinya. "Ah iya, kencan mungkin," godanya semakin gencar.
Kalau saja ini bukan di tempat umum dan dia bukan teman baik kekasihnya sudah Ghazi pastikan tangannya mendarat di wajah Rasya sekarang. "Lo jangan main-main dia wanita baik-baik!" peringatnya serius.
"Why not?" sahut Rasya cepat. "Setahu gue pacar lo namanya masih Ines kan bukan ganti Razita?"
"Bacot lo!" dua kata itu sudah lama tidak keluar dari mulut Ghazi. Lagi-lagi orang yang sama yang menyebabkan dia melontarkannya. Inilah alasan sebenarnya kenapa Ghazi meminta Ines menemani Razita ke toko gelang itu bukan ia sendiri. Sebab Ghazi malas berurusan dengan Rasya yang di balik suara riangnya sering kali melempar ucapan menjengkelkan.
Tuh kan, bukannya marah Rasya malah tertawa terbahak. Dasar, sinting! Batin Ghazi.
"Lo gak berubah ternyata! Masih aja sentimeter." Tersadar ada yang salah ia langsung meluruskan. "Ups sorry, maksud gue sentimental!"
Ghazi memilih untuk tidak meladeni jokes unfaedah tersebut.
"Pilihan lo dari dulu gak pernah salah, Gaz. Selalu cantik dan karismatik." Rasya seolah tidak memberikan jeda bagi Ghazi untuk tidak emosi. "Buat gue satu gimana?"
Orang bilang sabar itu ada batasnya kan? kali ini kesabaran Ghazi sudah mencapai batas. Tangannya bahkan sudah terkepal sempurna. Siap untuk menonjok wajah menyebalkan di depannya jika sepatah kata lagi keluar dari mulutnya.
Rasya yang merasa menang sama sekali tidak bergidik takut. Ia justru menambah tekanan gas kompornya. "Bilang aja kalau lo udah bosen sama Ines gue siap menerima dia kembali. Atau mungkin Razita aja bu—"
BUUGGG
Sebuah bogem mentah akhirnya melayang dan membuat sudut bibir Rasya bersarah. Bersamaan dengan itu Daniel dan Yudha langsung berlari ke dalam, menahan Ghazi agar tidak bertindak semakin jauh. "Gas, sadar ini tempat umum!" bisik Daniel.
Peduli setan tempat umum. Ghazi sangat tidak suka kalau ada seseorang yang menghina perempuan. Entah itu ditujukan pada keluarga, teman, ataupun orang lain tetap saja sama. Islam menjunjung tinggi derajat wanita untuk dimuliakan bukan untuk dijadikan ejekan.
Namun, bukan Rasya jika tidak sempat tersenyum bahkan di saat seperti ini. ia sedikitpun tidak berniat menghina atau merendahkan. Justru ia ingin menyadarkan orang di depannya kalau akan ada banyak hati yang tersakiti jika Ghazi tidak segera bertindak. Sayang pria itu tidak menangkap kode darinya.
"Lo harus pilih salah satu diantara mereka kalau lo gak mau kehilangan keduanya!"
☆☆☆
Dari penulis
Semakin kesini Ghazi semakin tersudutkan. Kalian tim siapa nih?
#TimGhazi
#TimRasya
Inget ucapan Rasya di akhir yaa gak boleh serakah jadi orang. Banyak-banyak bersyukur:)
Karena gak semua yang kita inginkan itu yang kita dapatkan. Sebab Allah selalu memberi yang terbaik.
Semoga bermanfaat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top