[11] Gelang Hitam
Bismillah, selamat membaca
Jangan lupa tinggalkan komentar:)
----
"Mendengarlah dengan telinga yang toleran, melihatlah melalui mata belas kasihan, dan berbicaralah dengan bahasa cinta."
(Jalaludin Rumi)
☆☆☆
Setelah kejadian kemarin, Razita sempat berpikir kalau Ines akan salah paham melihatnya makan berdua dengan Ghazi. Namun, ternyata wanita itu lebih dewasa dari yang ia pikirkan. Bukannya marah tetapi hari ini Ines malah mentraktir teman satu ruangan Ghazi di salah satu restoran All You Can Eat terkenal di Bandung.
"Ya, kalau Mbak tau Ghazi sama kamu pasti Mbak gak marah. Mbak kira itu orang lain," kata Ines yang duduk di sebelah Sekar. Entah apa yang membuat Ines mempercayai Razita. Di saat Lita dan Mesya tampak terkejut dan memandang Razita dengan tatapan seolah bertanya 'lo habis keluar sama Kak Ghazi?'.
Sedangkan Razita memilih untuk diam karena tidak mau menimbulkan salah paham lagi. Lebih baik menikmati grill dan suki yang sudah tersaji manis di depannya. jujur ini pertama kali bagi Razita makan di restoran bernuansa Jepang seperti ini.
Ia bahkan baru tahu kalau selain menjual suki syang isinya bisa memilih sendiri juga ada grill, berbagai macam dessert, sushi, dan minuman sepuasnya dengan sekali bayar. Ya, meskipun tersedia berbagai paket harganya tetap sangat tidak ramah di kantong Razita. Setara dengan gaji satu hari di kantor.
"Ini kuahnya gimana? Razita kan nggak suka pedes?" tanya Sekar yang baru ingat saat akan memasukkan isian ke dalam kuah.
"Eh gak suka pedes, Zit?" Ines terkejut. "Kalau gitu aku pesenin yang nggak pedes ya!" ia segera berdiri dari kursinya.
"Nggak usah Mbak, aku makan yang lain aja kan masih ada banyak." Razita cukup sadar diri untuk tidak merepotkan. Lagi pula ia tidak akan habis kalau memakan satu porsi sendirian.
"Pesen aja, Zit gak papa kalau perlu yang banyak sekalian! Kapan lagi coba ditraktir sama Bu Manajer!" Yudha sengaja menggoda Ines yang baru saja naik jabatan. Itulah sebabnya mereka diajak kemari.
"Razita bukan TPA kayak lo!" ucap Daniel pelan namun langsung membuat Yudha kicep.
"Beneran nih gak usah dipesenin?" Ines bertanya lagi untuk memastikan. Melihat Razita mengangguk sambil tersenyum ia akhirnya kembali duduk. "Kamu kok diem banget sih, gak papa gausah sungkan sama aku biasa aja!"
Mesya tertawa kecil. "Zita emang biasanya diem Mbak. Di kantor juga sama kok."
"Sebelas dua belas sama Kak Daniel," sahut Lita. "Tapi bedanya kalau Razita diemnya kalem kalau Kak Daniel-" Lita melirik Daniel yang balik mentapnya tajam. "Tuh-tuh kayak gitu tuh mukanya serem!" tudingnya dengan sumpit yang hampir berjarak beberapa senti dari depan wajah Daniel.
"Gue diem salah ngomong juga salah, serah deh!" timpal Daniel pasrah.
"Lo napas aja salah, Nil!" imbuh Ghazi yang lebih banyak diam dari tadi.
Sungguh, Ghazi heran dengan sikap Ines sejak kemarin. Sudah berulang kali Ghazi katakan kalau perempuan yang bersamanya adalah Razita tapi Ines tidak percaya. Seharian Ines mendiamkannya lalu tiba-tiba sore tadi datang ke kantor untuk mengajak makan bersama seolah tidak terjadi apa-apa.
Apa dia meragukan kesetiaan dan kejujurannya?
"Setahu gue sih, Kuda Nil itu niru Papanya. Om juga pendiem banget kok sama," lanjut Yudha.
"Namanya juga anaknya. Pasti ada gen yang diturunkan." Sekar ikut berkomentar.
"Berarti Zita juga sama dong!" kata Lita, "Kamu niru siapa, Zit? Mama? Papa?"
Mendengar dua kata itu disebutkan mendadak mood Razita turun seketika. Ia hanya tersenyum samar sambil menjawab, "Sama kaya Ibu."
"Wah, Mbak jadi penasaran sama Ibu kamu, pasti sama cantiknya! Kapan-kapan main ke rumah kamu boleh kan?" ternyata Ines jauh lebih ramah dari yang Razita pikirkan.
"Ibu aku udah meninggal, Kak," cicit Razita pelan. Langsung terjadi keheningan seketika dan semua mata tertuju padanya.
Ines menggigit bibirnya merasa tidak enak. "Maaf ya, Mbak gak tahu."
"Gak papa kok, Kak santai aja," Razita tersenyum.
Lita berulang kali hendak mengatakan sesuatu namun diurungkan. "Kalau boleh tahu meninggal karena apa?" Mesya sempat menyenggol kakinya karena berpikir pertanyaan itu terlalu privasi. Tapi Lita tidak bermaksud basa-basi saja. Ia benar-benar peduli.
Razita terdiam cukup lama sebelum berkata, "Tabrak lari."
"UHUK!" Ghazi sampai tersedak kuah tomyumnya dan terbatuk beberapa kali.
"Kok-kok bisa?" Tanya Ines sungkan. "Pelakunya udah ketangkep?"
Razita menggeleng. "Pelakunya masih belum ditemukan."
Mesya langsung mengelus punggung Razita. "Kamu yang sabar ya! Pelaku kayak gitu pasti gak bakal tahan lama. Kalau orang bilang sih arwahnya yang meninggal pasti gentayangin dia buat minta tanggung jawab."
"Kebanyakan nonton horor lo!" Yudha menyahut sinis. "Orangnya kabur gitu aja, Zit?"
Razita mengangguk pelan. "Tapi aku punya barang buktinya."
"Apa?" sahut Ghazi cepat.
"Lah, kok malah lo yang semangat Gaz?" cibir Yudha sambil tersenyum jahil.
"Ya, barangkali kita bisa bantu!" sahut Ghazi enteng.
"Bener banget kata Kak Ghazi. Gimana Zit mau kita bantu gak? Polisinya kelamaan nyari satu pelaku aja gak ketemu-ketemu!" geram Mesya.
Lagi-lagi perlakuan dari teman-temannya ini membuat Razita merasa tidak pernah sendirian. Ternyata benar, orang baik itu masih ada meskipun sulit menemukannya. "Sebenernya..." Terbesit keinginan untuk mengatakan hal ini tapi Razita takut akan merepotkan mereka. Tapi, biarlah. Mungkin dengan cara ini Razita bisa sedikit terbantu.
"Mobil yang nabrak plat nomornya D."
"Loh! Berarti orang Bandung dong? Bukannya kamu orang Surabaya?" tanya Lita bingung.
"Jangan bilang tujuan lo dateng kesini buat cari orang itu?" tebak Yudha.
Anggukan kecil dari Razita membuat semua orang menghela napas panjang. Mereka sangat tidak menyangka kalau orang sebaik Razita bisa mengalami nasib semengejamkan ini.
Mengapa dunia terlihat lebih tidak adil pada orang-orang yang bersabar?
☆☆☆
Selesai acara makan-makan gratis yang diseponsori oleh Ines, mereka bergantian mencuci tangan dan tibalah Razita dan Ghazi yang terakhir. Razita berulang kali melirik kaca di depannya hendak mengucapkan sesuatu pada Ghazi. Setelah memberanikan diri dia akhirnya berkata, "Kak, maaf ya buat yang kemarin."
Ghazi tersenyum sekilas. "Gak penting juga lupain aja!" Ia bahkan sama sekali tidak memikirkan masalah itu melainkan masalah yang lain. entah kenapa setelah mendengar cerita Razita tentang tabrak lari itu hatinya merasa iba.
"Sebenernya gue yang milih tempat ini tadi. Ya, meskipun Ines yang bayarin sih."
"Emang kenapa sama tempat ini?" Setahu Razita tidak ada sesuatu yang istimewa.
"Restoran ini kan punya slogan 'All You Can Eat' yang artinya kita bisa makan sepuasnya kan?"
"Iya terus?"
"Menurut gue percuma bisa ambil sepuasnya kalau perut kita punya daya tampungnya sendiri dan gak mungkin bisa makan semuanya."
Razita semakin mengerutkan keningnya. Sama sekali tidak paham kemana arah pembicaraan Ghazi. Sementara pria itu mengeringkan tangannya kemudian menoleh ke arah Razita.
"Sama kaya kehidupan. Andaikata Allah bisa kasih kita semua yang kita inginkan, kita nggak akan bisa menikmatinya sekaligus kan?"
Untuk beberapa detik Razita sempat tertegun mendengarnya. Ia tidak menyangka Ghazi akan menyambungkan filosofi tempat makanan dengan kehidupan. "Iya sih. Itulah kenapa Allah kasih apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan," balasnya.
Sepertinya ia mulai menyadari kemana arah pembicaraan ini berlangsung.
"Gak enaknya makan di tempat ini kalau makanan yang kita pingin nggak ada, jadinya terpaksa ambil makanan lain," sambung Ghazi lagi.
"Tapi tahu apa untungnya? Kita jadi bisa nyobain semua rasa yang ada di sini. Karena kalau makanan yang kita suka ada kita akan memilih itu terus dan gak akan pernah nyoba makanan yang lain."
Ghazi memberi jeda cukup lama untuk razita mencerna kalimatnya sebelum kembali melanjutkan, "Padahal setelah kita coba kadang rasa makanan lain lebih enak daripada yang biasa kita pesen."
Oke, Razita mengerti dengan jelas sekarang. Ghazi hanya mencoba menghiburnya agar tidak bersedih karena kasus tabrak lari itu. walaupun untuk saat ini, masih sulit bagi Razita untuk mengikhlaskannya.
"Tapi aku nggak lagi pingin nyobain menu baru, Kak. Karena bisa jadi menu baru itu rasanya bukan lebih enak tapi lebih buruk."
Ghazi mengendikkan bahu. "Itu tergantung keberuntungan sih. Tapi kita gak akan pernah tahu rasanya sampai benar-benar mencobanya."
Razita tertawa kecil. Setidaknya ia cukup menghargai usaha pria itu untuk membuatnya berbesar hati. "Oke, kapan-kapan aku coba menu yang beda," guraunya.
"Oh ya masih ada satu lagi!" Ghazi sudah hendak pergi tetapi berbalik lagi. "Makan di sini juga bikin gue semangat kerja! Lo tahu sendiri gimana harganya kan? Anggap aja itu filosofi bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai lebih, kerja keras dan pengorbanan lo juga harus lebih dari yang lain. " Ghazi sempat terkekeh. "Kecuali kalau ada yang nraktir."
Reflek Razita langsung tertawa karena kalimat terakhir Ghazi. Sampai kemudian, tawanya lenyap dan matanya menemukan sebuah gelang hitam tergeletak di posisi Ghazi mencuci tangan tadi. Seseorang pasti tak sengaja menjatuhkan gelangnya.
Apa mungkin ini milik Kak Ghazi?
Tanpa pikir panjang, Razita langsung memungut gelang itu dan memasukkannya ke dalam saku. Nanti akan ia kembalikan. Mungkin sekaligus berterima kasih karena sekali lagi Ghazi telah membantu melegakan hatinya. Tanpa pernah Razita minta.
Ini gelang yang ditemuin Razita yaa
☆☆☆
Dari penulis
Assalamulaikum semuanya, apa kabar?
Maaf ya jarang update karena lagi ada kesibukan. Semoga kalian gak lupa ya sama cerita ini. Kalau lupa boleh baca ulang dari awal hehe:)
Jangan lupa follow ig dan wattpad aku _storyfadila
Sampai jumpa lagi, wassalam
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top