#8 Indecision

"Iya? Kamu mau sekalian ikut?" tawar Kenar sambil memanasi mesin mobil.

Gadis itu tersenyum cerah. "Nggak, Mas. Aku belum mandi. Nanti aja aku main ke rumah Mas Kenar kalau mama Mas Kenar dah datang."

Kenar mengangguk. Digesernya tuas transmisi. Mobil itu perlahan mundur menuruni carport rumah kontrakannya.

"Mari, Mas Gama, Runi. Saya berangkat dulu." Lelaki itu menganggukkan kepala ketika melintas di depan rumah Runi.

Kenar tahu gadis itu pasti akan menolak tawarannya. Runi tak mungkin mau semobil berdua dengannya, kecuali jika terpaksa seperti saat mengantarkan anak-anak Bu Broto. Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Kenar. Mungkin, karena ada Gama di sana. Entahlah. Ada sesuatu yang mendorong Kenar untuk menunjukkan keakrabannya dengan Runi di depan pria itu.

Pekerjaan Gama sebagai editor memang menuntutnya sering berinteraksi dengan Runi, tapi haruskah sesering itu? Rasanya setiap akhir pekan Kenar selalu melihat lelaki itu berkunjung ke rumah Runi. Benarkah hubungan mereka hanya sebatas teman dan partner kerja? Pertanyaan itu terus mampir di benak Kenar sejak berkenalan dengan Gama Fareza.

Mungkin kecurigaan Kenar berlebihan. Meski bayang-bayang Tsania telah semakin samar di ingatan Kenar, trauma yang ditinggalkan masih terasa. Dia tak ingin terjebak dalam harapan semu lalu jatuh ke lubang yang sama.

Sejak Tsania meninggalkannya, Kenar menganggap tak mungkin dua orang berbeda jenis kelamin dapat murni bersahabat dekat. Pasti ada yang akan terbawa perasaan, minimal salah satunya. Kenar cukup yakin, Gama tak sekadar menganggap Runi sebagai klien atau sahabat. Sikap lelaki itu yang terkesan ketus setiap bertemu dengannya membuat Kenar semakin yakin, Gama menyimpan perasaan khusus pada Runi. Yang belum dapat Kenar tebak adalah, apakah Runi membalas perasaan itu.

Kenar tak malu mengakui bahwa dirinya menyukai Runi. Senyum gadis itu seperti obat bagi kesedihannya, membuat Kenar ingin selalu dekat dengan Runi. Tapi untuk jatuh cinta, Kenar masih belum berani. Dia perlu memastikan terlebih dulu bagaimana perasaan gadis itu terhadap Gama.

Kedatangan Kamila sungguh sangat Kenar syukuri. Mungkin ibunya itu dapat memberikan saran yang tepat. Untung saja Runi sangat mengagumi Kamila. Kenar tak perlu mencari alasan untuk mempertemukan mereka berdua.

-AmelA-

Runi mengamati lembaran-lembaran sketsa Kamila yang beberapa hari terakhir dikerjakannya. Dia berhasil menyelesaikan tujuh sketsa, dan sampai sekarang belum bisa memutuskan sketsa mana yang akan dia pasang di pigura untuk dihadiahkan kepada wanita itu. Sejak kecil, Runi memang sangat mengagumi ibu Kenar. Dongeng-dongeng yang ditulis Kamila Sari selalu berhasil membuatnya terhanyut dalam dunia imajinasi.

Akhirnya, Runi menyerah. Dia perlu pendapat orang lain. Sayang sekali, Gama langsung pamit pulang setelah mengantarnya tadi. Satu-satunya orang yang tersisa untuk dimintai pendapat hanyalah ibunya.

Gadis itu berlari menuruni tangga untuk menemui Anita yang tengah memanggang kue di dapur. Derap langkahnya menggema di rumah mungil mereka.

"Runi. Biasa aja turun tangganya. Nggak usah buru-buru, nanti jatuh," tegur Anita sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Mau ke mana sih emangnya?"

"Mau ketemu Bunda." Gadis itu terkekeh pelan, Dengan gerakan cepat, Runi menjajarkan kertas-kertas itu di atas meja makan. "Menurut Bunda, mana yang paling bagus?" tanyanya dengan mata berbinar penuh semangat.

Kening Anita berkerut. Diperhatikannya wajah sang putri yang tampak begitu gembira, lalu beralih pada sketsa wanita yang ditunjukkan Runi. Diambilnya salah satu sketsa dan diamatinya dengan saksama. "Ini gambar siapa emangnya?"

"Kamila Sari. Penulis dongeng yang aku idolain dari kecil itu lho, Bun. Yang bukunya sering Ayah bacakan pas aku mau tidur," jelas Runi penuh semangat.

"Mamanya Kenar?" tanya Anita dengan sebelah alis terangkat. Beberapa hari lalu Runi memang pernah bercerita tentang ibu tetangga mereka itu.

Runi mengangguk cepat. "Iya. Hadiah buat penulis kesayanganku." Senyumnya terkembang lebar. Raut mukanya mirip anak kecil yang sedang bersemangat menanti hadiah yang sudah lama dinantikan.

"Hadiah buat penulis kesayangan apa ... buat calon mertua?" goda Anita sambil menahan tawa. Jemarinya mencubit gemas pipi putri semata wayang. Dia tahu bagaimana putrinya itu serius menjaga diri, sesuai pesan terakhir yang disampaikan sang ayah. Namun, dia juga dapat melihat bagaimanan roman wajah Runi selalu tampak berseri ketika membicarakan tetangga baru mereka.

Wajah Runi langsung memberengut. Gadis itu segera membereskan sketsanya. "Ah. Salah deh aku tanya sama Bunda," ketusnya dengan bersungut-sungut.

"Lho. Apanya yang salah?"

"Ya itu. Tanya baik-baik, malah diledekin, bukan ngasih saran," gerutu Runi.

Anita tak bisa lagi menyembunyikan tawa. Wajah putri semata wayangnya begitu merah, membuat gadis itu terlihat lucu.

"Ini baru Bunda mau kasih saran, kamunya sudah keburu sewot."

"Habisnya becandaan Bunda itu nggak lucu. Kalau Runi sebut-sebut nama Mas Kenar, pasti aja digodain. Runi tuh nggak suka digituin."

Tangan Anita kembali terulur untu menyentuh pipi gadis kesayangannya. Diusapnya wajah Runi dengan lembut. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Gadis kecilnya itu kini telah menjelma seorang wanita dewasa, meski tingkahnya kadang masih kekanak-kanakan. Tiba-tiba, Anita merasa melankolis. Terkenang pada almarhum suaminya.

"Maaf. Habisnya Bunda tuh khawatir. Kalau Bunda dipanggil Allah, nanti yang jagain kamu siapa. Dulu, seumur kamu ini, Bunda sudah nikah lho sama ayah kamu. Bentar lagi wisuda, 'kan? Enggak ada salahnya lho mulai masukin agenda nikah sebagai target selanjutnya," tutur Anita.

"Ya kan calonnya belum ada, Bunda," cetus Runi sambil melangkah mundur, berusaha lepas dari jangkauan tangan Anita. Bening kristal yang Runi lihat di mata sang ibunda membuatnya merasa sesak. Gadis itu tahu, ibunya tengah merindu sosok lelaki jagoan mereka. Runi juga.

Anita menarik napas dalam-dalam. Dipaksakannya diri tersenyum, tak ingin putri semata wayangnya turut merasa haru.

"Itu tetangga sebelah high quality jomblo lho." Anita mengurai tawa untuk menutupi kesedihannya. "Atau Gama juga boleh. Mereka berdua sama-sama baik. Bunda suka keduanya. Tinggal kamu aja mau pilih yang mana."

Muka Runi semakin merah. "Ih. Bunda! Jangan sembarangan ah kalo ngomong. Mas Gama itu kan editor Runi, nggak mungkin macam-macam, sudah tanda tangan kontrak nggak boleh menjalin hubungan khusus sama kliennya. Mas Kenar itu tetangga, baru kenal. Nggak mungkin lah suka Runi. Wong kalau ketemu juga cuma basa-basi kok."

"Tapi kalau Allah membelokkan hati mereka supaya suka Runi, gimana? Runi akan pilih siapa? Gama apa Kenar?"

Bibir gadis itu kembali mengerucut. "Runi pilih yang sudah dipilihkan Allah aja. Udah deh, Bunda. Enggak usah bahas ini lagi. Jangan bikin aku mikir macem-macem. Nanti malah makin grogi pas ketemu mamanya Mas Kenar."

"Kan wajar, ngerasa grogi pas mau ketemu calon mertua." Anita kembali meledek putrinya.

Gadis itu mendesah kesal. "Ah, Runi balik ke kamar aja. Daripada digodain terus sama Bunda." Dia gegas menaiki tangga. Meninggalkan sang bunda yang masih terpingkal-pingkal menertawakan tingkahnya.

Runi langsung menutup pintu begitu masuk kamar. Tubuh bagian atasnya rebah di atas tempat tidur, sedangkan kakinya menjuntai ke lantai. Gadis itu menatap lurus ke langit-langit. Otaknya memutar kembali rekaman kalimat sang bunda.

Dia telah mengenal Gama cukup lama. Runi tak pernah bosan mengobrol dengan lelaki itu. Hubungan mereka memang tergolong akrab. Gama selalu hadir setiap kali dibutuhkan. Editornya itu selalu punya cara untuk membantu Runi menemukan ide-ide baru untuk karyanya.

Kenar baru hadir beberapa bulan saja di hidupnya. Akan tetapi, setiap pertemuan mereka meninggalkan kesan tersendiri. Senyum teduh lelaki itu selalu berhasil menyejukkan hati Runi, membuatnya susah berpaling ataupun menundukkan pandangan. Saat bersama Kenar, gadis itu menemukan kenyamanan yang sukar dijelaskan. Ada sesuatu dalam diri Kenar yang membuat Runi teringat almarhum ayahnya.

Jika harus memilih salah satu di antara kedua lelaki itu, siapa yang akan dia pilih? Runi tak tahu jawabannya. Selama ini, dia selalu berusaha menekan perasaan, jangan sampai jatuh cinta pada lelaki yang belum halal baginya. Jangan sampai menyimpan harap pada lelaki sembarangan. Tapi benarkah dia telah berhasil melakukannya? Atau jangan-jangan, tanpa sadar dia sebenarnya telah jatuh cinta?

Dalam satu gerakan menyentak, gadis itu akhirnya kembali berdiri di atas kedua kaki, lalu bergegas menuju kamar mandi. Sepertinya dia perlu membasuh muka untuk mengusir bayangan kedua lelaki itu. Biarlah masalah jodoh, nanti Tuhan yang memutuskan. Runi pasrah. Tak ingin sibuk berandai-andai, meski baru saja seraut wajah melintas di kepalanya.

-AmelA-

Suara mobil terdengar dari rumah sebelah. Runi langsung menyambar jilbab dan memakainya. Kenar telah pulang. Itu artinya, Kamila Sari sudah datang.

Setelah memastikan jilbabnya rapi, Runi meraih kotak cokelat berpita kuning dari atas nakas. Gadis itu akhirnya memutuskan memberikan semua sketsa kepada Kamila, biar wanita itu saja yang memilih mana yang paling disuka.

Dengan langkah cepat Runi menuruni tangga. "Bun. Runi ke sebelah dulu ya," pamitnya pada Anita yang tengah menonton televisi di ruang tamu.

"Eh? Mau langsung ke sana. Mamanya Kenar kan baru datang, Run. Biar istirahat dulu lah," cegah Anita. "Coba kamu tanya Kenar dulu, baiknya berkunjung jam berapa."

Gerakan Runi tertahan ketika mendengar saran sang bunda. Ditatapnya Anita dengan penuh ragu. "Gitu ya, Bun?"

"Lah iya, dong." Anita melirik putrinya dengan sorot mata penuh arti. "Nggak sabaran banget sih mau ketemu calon mertua." Bibirnya kembali menyimpul senyum.

"Bunda ih! Dibilangin juga udahan ah godainnya." Gadis itu memprotes. Lagi-lagi wajahnya memberengut kesal, meski pipinya tak mau berkompromi menyembunyikan rona merah yang menggambarkan perasaan sesungguhnya.

Tawa Anita kembali pecah. Melihat wajah tersipu Runi sudah menjadi hiburan tersendiri bagi wanita itu akhir-akhir ini. "Ya gimana, Run. Kenar soalnya baik, sopan, ganteng pula. Bunda mah enggak nolak kalau punya menantu kayak dia."

Gadis itu membuka mulut untuk kembali melayangkan protes, tapi suara ketukan di pintu membuatnya kembali mengatupkan bibir. Tak lama kemudian, terdengar suara Kenar mengucap salam.

Anita buru-buru ke kamar untuk mengambil jilbab, sementara Runi berjalan ke pintu sambil menjawab salam. Dibukanya pintu dengan segera, tak ingin membuat kedua tamunya menunggu terlalu lama.

"Halo. Runi ya? Sepanjang perjalanan tadi Kenar banyak cerita tentang Runi," sapa Kamila dengan senyum lebar yang semringah.

Runi terpaku di tempatnya. Sosok yang dia idolakan sejak kecil kini berdiri di hadapannya. Tersenyum lebar seakan telah mengenalnya sejak lama.

"Lho, Runi. Kok tamunya enggak disuruh masuk?" tanya Anita yang baru saja kembali dari kamar. Kini, wanita paruh baya itu telah mengenakan bergo yang berwarna senada dengan gamisnya.

"Eh ... i-iya. Mari masuk Mas Kenar, Tan-tante Kamila." Runi membuka pintu lebih lebar. Rasa gugup benar-benar menguasainya. Baru kali ini dirinya merasakan star struck sebegitu parah. Rasanya masih seperti mimpi dapat bertemu langsung dengan penulis yang dia kagumi sejak kecil.

"Mari, Bu Kamila. Silakan duduk. Biar ditemani Runi dulu ya, saya buatkan minum dulu." Anita menyalami tamunya.

"Ndak perlu repot-repot, Mbakyu," tolak Kamila sembari duduk di sofa, tepat di seberang Runi.

"Nggak repot kok. Sebentar ya."

Runi merasa otaknya tiba-tiba kosong. Segala bahan pembicaraan dan pertanyaan yang dia siapkan sejak kemarin menguap begitu saja ketika melihat Kamila berdiri di hadapannya. Diliriknya Kenar yang duduk di sebelah Kamila untuk meminta bantuan.

Lelaki itu justru tertawa melihat Runi yang salah tingkah. Gadis itu tampak semakin menggemaskan di matanya. "Enggak perlu grogi, Run. Mama saya nggak gigit kok," canda Kenar berusaha mencairkan suasana.

"Memangnya Runi grogi ketemu saya?" tanya Kamila membuka pembicaraan.

Gadis itu mengangguk lemah. Lidahnya masih terasa kelu untuk menjawab.

"Padahal kemarin, waktu saya cerita Mama mau berkunjung ke sini, Runi begitu semangat, tanya banyak hal. Terus minta Kenar langsung kirim foto mama biar bisa segera dia lukis."

"Benar begitu? Runi membuat lukisan saya?"

"I-iya, Tante." Gadis itu menyodorkan kotak kado yang telah dipersiapkan sejak tadi. "Tapi jangan diketawain ya Tante, kalau hasilnya jelek."

Kamila mencondongkan tubuh ke depan, ditepuknya pipi Runi dengan lembut. "Kamu lucu banget sih. Gemes tante jadinya." Wanita itu mengambil kotak ke pangkuannya. "Boleh Tante buka sekarang hadiahnya?"

Gadis itu kembali mengangguk. Diliriknya Kenar yang tak ikut berkomentar. Mata mereka bertemu, dan keduanya pun tersipu malu.

Debar itu kembali menghentak dada Kenar.

**AmelA**

(Halo, kalau bab ini juga menghentak perasaan kamu, jangan lupa klik tanda bintang di bawah ini ya. Sampai jumpa di bab selanjutnya)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top