#7 Inversion

(Halo, sambil bayangin makan croissant, jangan lupa klik tombol bintang buat vote bab ini)

***

Denting pelan terdengar dari bel kecil di atas pintu ketika Gama masuk ke ruangan bernuansa retro itu. Dia tak mengenali barista yang sedang bertugas. Beberapa ornamen baru juga menunjukkan bangunan telah direnovasi. Kelihatannya, kedai kopi itu banyak mengalami perubahan, seperti dirinya.

"Pesan apa, Mas?" tanya gadis berapron cokelat di balik meja kasir.

"Hot cappuccino sama butter croissant-nya satu," sebut Gama.

Gadis itu mengambil croissant dari rak penghangat lalu meletakkannya di piring yang telah dia siapkan. Jemarinya dengan lincah menekan tuts mesin kasir. Begitu mereka menyelesaikan transaksi, piring berisi croissant itu berpindah ke tangan Gama.

Lelaki bercambang halus itu memilih kursi pojok yang selalu menjadi favoritnya sejak dulu. Dari posisi itu, dia bisa mengamati klub malam yang terletak tepat di seberang jalan. Pada suatu titik di masa lalunya, tempat gemerlap itu lebih sering Gama kunjungi dari apartemennya sendiri.

Sebelum berkunjung ke klub itu, Gama biasa mampir kedai kopi agar bisa mengamati gadis-gadis muda yang datang ke klub. Seperti elang yang sedang mengincar mangsa, Gama smencari target yang paling lemah. Selalu ada setidaknya satu orang di antara para gadis itu yang terlihat ragu ketika akan melangkah masuk ke klub. First timer. Biasanya mereka paling mudah terpikat bujuk dan rayu.

Gama menyugar rambutnya yang mulai panjang. Masa lalu itu sungguh bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Setiap teringat masa kelam itu, Gama justru merasa malu. Dulu, dia melampiaskan kebencian pada sang ayah dengan meniru kebiasaan lelaki itu bermain wanita. Gama pikir, lelaki itu akan malu jika mengetahui kelakuannya. Ternyata, dia salah. Ayahnya sama sekali tak peduli.

Begitu kontras dengan suasana kafe yang sepi, klub malam itu justru semakin ramai. Ingatan Gama kembali melayang pada beberapa tahun lalu, pada kejadian yang menjadi titik baliknya.

Ketika mendengar kabar dari Agni bahwa ibu mereka masuk rumah sakit, saking paniknya Gama langsung menuju rumah sakit, tak sempat mengganti pakaian yang menguarkan bau alkohol. Tak ada lagi pura-pura menjadi anak baik di depan wanita yang melahirkannya, atau mungkin, ibunya telah tahu sejak lama.

Malam itu Gama menangis, menyesali kesalahannya yang selama bertahun-tahun melarikan diri dari masalah keluarganya dengan cara yang begitu bodoh. Cara yang dia pilih untuk membalas dendam justru membuatnya terjebak. Tanpa sadar, pelan-pelan dirinya justru mengikuti jejak sosok yang paling dia benci.

'Gama. Ibu tahu alasan kamu melakukan semua ini karena ingin membuat bapakmu malu, tapi ibu nggak rela anak ibu jadi seperti ini, karena ibu tahu kamu itu nggak seperti Bapak. Sudah, Nak. Berhenti. Kalau kamu memang nggak suka sama Bapak, tunjukkan dengan cara sebaliknya, bahwa kamu jelas berbeda dari beliau.'

Tentu tak mudah bagi Gama meninggalkan kehidupannya yang lama. Berat melepaskan kebahagiaan semu yang selama ini menjadi pelariannya. Beberapa kali tekad Gama goyah, tapi justru di saat itulah Runi hadir membawa cahaya.

"Eh. Ini beneran Gama? Gama Fareza? Ya ampun, Bro, ke mana aja lo selama ini?"

Gama menoleh kepada si pemilik suara. Jeff. Bersama dialah Gama dulu mengarungi kehidupan malam Jakarta. Saling bantu untuk menaklukkan hati gadis yang diincar.

"Nggak ke mana-mana kok, Jeff. Masih di Jakarta juga." Gama membalas kepalan tangan Jeff. Tinju mereka beradu di udara. Sejak dulu, begitulah cara mereka saling menyapa.

Lelaki sebayanya itu menarik kursi dan duduk di seberang Gama. "Serius lho, Bro. Sudah lama banget kita nggak ketemu. Ada tiga tahun kali ya?" Jeff menyilangkan tangan di belakang leher sebagai bantalan kepala.

"Kurang lebih," jawab Gama sambil mengaduk kopi. Dia menoleh ke samping, mengamati klub yang semakin ramai. Kilasan masa lalu bersama Jeff kembali melintas di kepala Gama.

"Kangen ajep-ajep? Ayuklah, gue temenin. Cewek-cewek yang datang sekarang makin cakep-cakep, Bro. Daun muda pula." Jeff terus mengoceh. "Sekali-kali nggak apa-apa lah. Ngilangin stres. Gue lihat muka lo lagi suntuk banget kayaknya. Lagi ada masalah?"

Gama memandangi teman lamanya. Benar kata Jeff, hingar-bingar musik selalu berhasil membuatnya melupakan segala masalah yang dihadapi. Apalagi ketika dipadukan dengan minuman getir dalam botol-botol kaca itu. Begitu menenggak minuman itu, pikiran Gama langsung kosong. Hidupnya terasa bebas, lepas. Tak perlu mengkhawatirkan segala masalah yang menghantuinya.

"Gue yang traktir deh. Bebas lo mau minum berapa botol pun. Daripada ngopi di sini, adanya lo malah nggak bisa tidur, overthinking, dan makin stres. Nggak ada salahnya kan, seneng-seneng dikit?"

"Atau nggak perlu minum kalau memang lo sudah berhenti. Nikmati suasananya aja. Lumayan, cuci mata, biar pikiran lo seger lagi."

Gama berpikir sejenak. Tak lama kemudian, dia menyambar tas dan mengikuti langkah Jeff ke tempat gemerlap itu. Saran Jeff memang terdengar sangat menggoda. Gama perlu menanggalkan beban yang mengimpitnya, sebentar saja.

'Aku kalau lagi galau sukanya lari ke masjid. Rasanya selalu damai setiap bertamu ke rumah Allah.'

Suara Runi kembali terngiang di kepala Gama. Kalimat itu dia dengar ketika tak sengaja menemui Runi di masjid kantornya, tepat setelah pertemuan dengan komikus yang menuduh gadis itu memplagiat karya. Meski tuduhan tersebut tak terbukti—karya Runi jelas berbeda dengan karya sang komikus—perusahaan tetap menyarankan gadis itu menghilangkan karakter yang dipermasalahkan, untuk mencegah konflik di masa depan.

Belum pernah Gama melihat Runi sekesal hari itu. Usai rapat, gadis itu langsung kabur entah ke mana. Belakangan baru dia tahu bahwa Runi bersembunyi di masjid untuk mencari ketenangan, agar tak salah mengambil keputusan.

Setelah merenung panjang, gadis itu akhirnya setuju mengikuti saran yang diberikan, meski itu berarti dia harus merombak banyak bagian komiknya. Kecewa tentu saja, tapi ternyata karakter baru yang dia ciptakan justru semakin kuat dan memikat pembaca.

'Allah itu selalu punya jawaban dari setiap pertanyaan kita. Cuma kita aja yang sering malu tanya.'

Suara merdu itu kembali mengalun di kepalanya. Senyum hangat Runi kembali terbayang, menyadarkan Gama bahwa melarikan diri ke klub malam hanya akan menambah masalah. Dia tak akan menemukan solusi di sana.

"Ayo, Bro." Suara Jeff menyentak Gama dari lamunannya.

"Sorry, Jeff. Gue baru ingat kalau ada urusan."

Gama kembali menyeberang ke parkiran kedai. Dilajukannya motor tanpa tujuan. Tak mudah mencari masjid yang masih membuka pintu saat malam telah selarut itu. Demi alasan keamanan, sebagian besar masjid telah terkunci lepas pukul sembilan, kecuali saat bulan Ramadhan.

Akhirnya Gama menemukan masjid yang lampunya masih menyala terang. Sekelompok anak muda rupanya sedang mengadakan kegiatan malam pembinaan mental. Gama menyusup di belakang dan diam-diam turut mendengarkan.

-AmelA-

"Lho. Mas Gama pagi-pagi sudah di sini aja," sapa Runi saat tak sengaja menemukan sosok Gama mengantri nasi uduk di car free day yang diadakan di jalan utama kompleks perumahannya.

Semalam, tanpa sadar Gama mengarahkan motornya menuju kawasan tempat tinggal Runi. Masjid yang dia kunjungi terletak beberapa kilometer dari rumah gadis itu. Sepertinya, Gama memang belum siap berjauhan dari Runi. Setiap kali membutuhkan ketenangan, alam bawah sadar selalu menuntunnya menemukan gadis itu.

Gama sendiri tak bisa memahami, bagaimana bisa Runi memengaruhinya begitu kuat. Dari sekian banyak gadis yang pernah dia temui, hanya Runi yang bisa membuatnya merasa nyaman seperti itu. Jelas-jelas gadis itu hanya menganggapnya sebagai teman biasa, tak ada perasaan khusus. Akan tetapi, untuk pertama kalinya Gama tak peduli. Berdekatan dengan Runi saja sudah cukup membuatnya bahagia.

"Aku tuh penasaran...." Runi menyentuh dagunya dengan telunjuk dan lanjut berbicara, "Ngapain Mas Gama cari tempat jogging jauh-jauh. Bukannya di dekat apartemen Mas Gama ada jogging track, ada gym. Sampai jauh-jauh ke sini. Kadang aku suka ge-er Mas Gama cuma cari alasan buat ketemu aku lho."

"Kalau memang iya gimana? Nggak apa-apa kan?" tanya Gama dengan seringai usilnya yang biasa, melancarkan salah satu trik yang selama ini dilakukannya untuk menyembunyikan rasa sebenarnya, menjadikan topik sensitif itu sebagai bahan candaan.

"Ish. Sudah kubilang jangan lancarin jurus gombal itu ke aku. Nggak bakal mempan," omel Runi. Gadis itu membuang muka, menyesal telah bertanya. Kini, dia justru jadi salah tingkah sendiri.

"Belum aja ...." gumam Gama.

"Belum apa?" Mata Runi membulat, penuh rasa ingin tahu.

"Aku belum ngeluarin jurus pamungkas. Kalau sudah aku keluarin, palingan kamu juga bakal terpesona sama aku."

"Nggak lucu ah becandaannya." Runi menepuk bahu Gama dengan gulungan majalah di tangannya.

Gama tergelak. "Lah kamu sendiri yang suka mancing-mancing gitu."

"Atau jangan-jangan Mas Gama lagi ngincer cewek daerah sini ya? Siapa? Aku kenal nggak?" cecar Runi dengan mata berbinar penasaran.

Pertanyaan Runi membuat tawa Gama semakin keras, sampai orang-orang di sekitar mereka menoleh. Gadis itu mendelik pada sang editor, memintanya memelankan suara.

"Eh, tapi kok Mas nggak pakai baju olahraga. Ini baju kemarin malah. Mas habis nginep di mana emangnya?" tanya gadis itu sambil mengamati penuh selidik.

Semalam Gama memang jadi ikut tidur di masjid, bersama rombongan remaja itu. Setelah salat Subuh berjamaah, dia masih terus tinggal untuk menyimak kajian sampai tiba waktu Duha. Benar kata Runi, masjid merupakan sebaik-baiknya tempat pelarian.

Selesai salat Duha, perutnya mulai keroncongan. Gama memutuskan mampir ke car free day. Setiap Sabtu pagi, jalan utama kompleks perumahan Runi akan dipenuhi lapak makanan. Gama memang sering berkunjung ke tempat itu sejak mengenal Runi. Sesuai tebakan pertama Runi, semua itu dia lakukan agar punya alasan menemui gadis itu.

"Bukan nginep tempat cewek, 'kan?" Runi masih belum menyerah meminta jawaban.

"Kalau iya kenapa? Kamu cemburu?" Gama balas bertanya. Alisnya terangkat tinggi, sengaja mencipta ekspresi jahil yang selalu berhasil membuat Runi tersipu.

Untunglah akal sehat Gama masih jalan semalam. Jika saja menuruti ajakan Jeff, mungkin pagi ini dia terbangun di kamar gadis yang tak dikenalnya, kembali menjelma sosok yang paling dibencinya. Apabila hal itu benar terjadi, dia tak akan sanggup bertemu muka dengan Runi, apalagi sampai membercandai gadis itu seperti yang sedang dilakukannya.

"Bukan gitu. Kan katanya Mas Gama mau tobat. Aku tuh cuma ngingetin aja. Jangan sampai mengulang kesalahan yang dulu-dulu lagi."

Lelaki itu membalas nasihat Runi dengan senyuman. Andaikan tahu semalam hampir saja Gama mengulang kesalahan, pasti Runi akan mengomel sampai telinganya panas. Sejak tahu tentang masa lalu dan niatnya untuk berubah, gadis itu memang yang paling semangat mendukung. Runi berjanji akan menjadi orang yang pertama mengingatkan jika Gama mulai kehilangan pegangan. Janji yang membuat Gama menambatkan hati padanya Hubungan mereka memang serumit itu.

-AmelA-

"Mas Gama langsung pulang aja sih. Ngapain nganterin aku pulang. Wong rumahku dekat kok." Gadis itu kembali memprotes pada Gama yang berjalan di sebelahnya sambil menuntun motor.

"Buat mastiin kamu nggak mampir ke mana-mana lagi. Masih ada tanggungan desain merchandise yang belum kamu setor." Gama mengulang kembali jawabannya. "Bakal lebih cepat kalau kamu mau aku anter pulang pakai motor."

"Enak aja. Enggak mau aku dibonceng motor Mas Gama yang joknya sengaja dibikin miring enam puluh derajat begitu. Jebakan batman buat cewek-cewek yang dibonceng," ketus gadis itu.

"Bukan aku yang bikin miring begini Runiii. Memang dari pabriknya begitu."

"Tapi Mas Gama beli motor ini karena pertimbangan itu, 'kan? Biar bisa modusin cewek, Bawa ngebut terus ngerem mendadak biar dipeluk dari belakang," tuduh Runi tanpa ampun. "Pulang aja sih. Atau Mas Gama naikin aja motornya. Jalan duluan. Kita ketemu aja di rumah. Aneh banget ih, motor baik-baik aja, bukannya dinaikin, malah dituntun."

Gama tertawa. "Enggak mungkin aku tinggalin kamu jalan begini. Bahaya kalau sampai ada yang culik. Mau dicari kemana komikus kayak kamu, yang lebih bawel dan galak dari editornya."

"Mas Gama aja yang terlalu baik. Salah sendiri."

Tawa Gama kembali pecah. Masih saja Runi belum menyadari bahwa perlakuan yang dia terima adalah pengecualian. Di kantor, Gama mendapat predikat sebagai editor paling galak. Komikus yang tidak mampu menghadapi tuntutan Gama lebih memilih mundur atau mengajukan pergantian editor. Meskipun begitu, Gama selalu serius menangani setiap kliennya. Komikus yang sanggup bertahan biasanya akan sukses di platform mereka.

Jika komikus lain mengeluhkan writer block, Gama pasti akan berceramah panjang. Namun, jika Runi yang mengeluh, lelaki itu tanpa ragu akan mendatangi, membawakan makanan kesukaan gadis itu, menemaninya berdiskusi, dan memotivasi dengan segala cara agar Runi dapat lanjut berkarya.

Untungnya, Runi tak terlalu aktif mengikuti pertemuan para komikus. Perbedaan perlakuan yang selama ini diberikan Gama belum terbongkar. Gadis itu masih menganggap sang editor selalu berlaku ramah dan sabar dengan semua klien, tidak hanya pada dirinya saja.

"Kenapa, Mas? Bannya bocor?" Pertanyaan yang diajukan tetangga sebelah rumah Runi berhasil mengubah suasana hati Gama. Entah kenapa, sejak pertama kali melihat Kenar, Gama langsung tak menyukai lelaki itu.

Cemburu. Gama tahu mungkin yang sedang dia rasakan adalah kecemburuan. Lelaki itu datang begitu tiba-tiba, mengancam posisinya sebagai teman dekat Runi. Mungkin juga iri, karena Gama tahu lelaki seperti Kenar lebih pantas untuk Runi. Membuatnya terus menerus cemas, khawatir Runi akan meninggalkannya lebih cepat.

"Nggak, Mas. Ini Mas Gama aja yang kurang kerjaan, sekalian olahraga katanya," jawab Runi mewakili Gama. "Mas Kenar sudah mau berangkat ke bandara?"

"Iya? Kamu mau sekalian ikut?" tawar Kenar sambil memanasi mesin mobil.

Gama membuang muka ke samping. Mungkin seharusnya tadi dia menuruti saran Runi untuk langsung pulang. Supaya kebahagiaan yang dia rasakan karena bertemu Runi tidak tercemar cemburu yang kini tengah melandanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top