#3 Intermission
(Halo. Kalau kamu suka cerita ini. Jangan lupa klik tanda bintang di bagian bawah untuk mendukung cerita ini ya)
***
Runi tersenyum lebar saat melihat kedua anak Bu Broto sudah rapi dan wangi. Tak mudah membujuk mereka bersiap-siap. Ada saja alasan mereka untuk menunda. Runi sampai harus menelepon Bu Broto agar anak-anak itu mau mandi.
Baju Devan dan Desi telah terkemas rapi dalam tas jinjing. Anita yang menyiapkannya saat Runi sibuk membujuk kedua kakak beradik itu makan siang.
Suara mobil terdengar dari luar, tak lama kemudian pintu depan diketuk pelan. Senyum di wajah Runi akhirnya memudar. Dia lupa satu hal menyebalkan yang harus dihadapi siang itu, yaitu mengantar kedua anak Bu Broto bersama Kenar.
Andai perjumpaan pertama mereka terjadi secara normal, Runi akan lebih mudah bersikap wajar di depan Kenar. Masalahnya ... Ah, membayangkan kejadian kemarin saja sudah membuat Runi kesal.
Dia sudah berusaha menghapus peristiwa memalukan itu dari memorinya, tapi entah kenapa selalu gagal. Semakin dia coba melupakan, semakin kuat ingatan itu menempel di kepala, membuat Runi semakin uring-uring.
Anita menyambut Kenar dengan ramah dan mempersilakannya masuk. Runi buru-buru menyusul ke depan ketika ibunya menawarkan minum pada tetangganya itu.
"Kami langsung berangkat saja, Bun. Biar nggak kesorean. Anak-anak juga sudah siap," cegah gadis itu. Dia tak ingin lelaki itu terlalu akrab dengan sang ibu. Runi benar-benar ingin membatasi pergaulan dengan tetangga barunya itu. Rasa tak nyaman selalu muncul tiap kali Kenar ada di dekatnya.
"Devan duduk di sebelah Om Kenar ya," perintah Runi. Bocah itu bersorak kegirangan, dia memang sangat ingin duduk di depan.
Kenar menyimpan tas jinjing di bagian belakang mobil, sementara Runi menempati kursi tengah bersama si bungsu Desi.
"Hati-hati di jalan ya, Devan, Desi." Anita melambaikan tangan pada kedua anak tetangganya.
"Devan pergi dulu ya, Budhe." Bocah tujuh tahun itu balas melambai dengan penuh semangat.
Desi yang belum lancar bicara ikut berceloteh, memancing tawa di bibir Kenar. Entah kenapa, hatinya terasa hangat. Mereka berempat seperti keluarga kecil yang akan pergi bertamasya. Sudah lama Kenar memimpikan hal seperti itu terjadi dalam hidupnya. Namun, semua hancur seiring dengan kepergian Tsania.
"Kami berangkat dulu, Bu." Kenar berpamitan.
"Iya. Kalau Runi bawel, lapor saja sama saya ya," canda Anita.
Berkebalikan dengan Kenar yang tertawa, Runi justru memasang wajah cemberut. Mana mungkin dia bawel pada Kenar. Sebisa mungkin akan dicobanya agar tak perlu bercakap-cakap dengan lelaki itu.
Ketika mobil mulai melaju, ponsel Runi berdenting pelan. Sebuah pesan dari Anita baru saja masuk.
[Bunda kok mendadak terharu ya ngelihat kalian berangkat. Rasanya kayak ngelihat kamu sudah menikah dan punya anak, terus pamitan mau pulang ke rumah sendiri.]
Gadis itu menoleh ke belakang. Dilihatnya Anita masih berdiri di halaman depan rumah sambil terus memandang ke arahnya. Sang bunda memang sering bersikap layaknya drama queen. Memandang segala sesuatunya secara berlebihan.
"Baiknya kita lewat mana, Run?" tanya Kenar ketika mobil mereka telah keluar dari kompleks perumahan.
"Terserah. Ikut GPS saja, Mas. Saya juga enggak terlalu hafal jalan ke Condet."
Lelaki itu mengintip ke spion tengah. Dilihatnya Runi sedang berusaha menidurkan Desi di pangkuan. Wajah gadis itu tak terlihat jutek seperti tadi. Kali ini debar di dada Kenar bukan debar yang menyiksa seperti biasanya. Hatinya terasa begitu lapang ketika melihat secercah senyum tersungging di bibir Runi.
Mungkinkah luka hatinya berangsur sembuh? Dua hari terakhir, dia jarang mengenang Tsania, pikirannya terlalu sibuk memikirkan gadis yang tinggal di sebelah rumahnya itu. Rasa bersalah masih terus menghantui Kenar.
Mobil yang tadi ramai dengan celotehan Devan kini mendadak sunyi. Rupanya bocah itu telah terlelap dengan kepala bersandar ke pintu. Kenar kembali mengintip pantulan diri Runi di cermin. Gadis itu tampak memandang ke luar jendela, entah memikirkan apa.
Kenar memutuskan bicara untuk mengusir kecanggungan yang bergelayut di antara mereka. Juga meluruskan masalah mereka yang Kenar rasa masih mengganjal hatinya.
"Runi. Tentang masalah kemarin, saya sungguh-sungguh minta—"
"Sudah saya bilang enggak perlu diungkit lagi, Mas," potong Runi. "Saya percaya Mas Kenar enggak sengaja. Saya sendiri juga ceroboh. Jadi, sudahlah, enggak perlu dibahas lagi. Saya mohon."
"Ma-maaf. Saya masih merasa bersalah karena melihat apa yang seharusnya tidak saya lihat. Rasanya masih ada yang mengganjal di hati saya."
"Enggak perlu meminta maaf terus. Dengan Mas Kenar melupakan kejadian itu saja, saya sudah sangat berterima kasih," tutur Runi.
"Masalahnya ... saya belum bisa melupakannya." Kenar langsung menyesali ucapannya. Kini, Runi menatap tajam dan kembali memasang wajah jutek kepadanya.
"Bu-bukan saya sengaja mengingatnya. Apalagi berpikiran macam-macam tentang apa yang saya lihat. Hanya saja ... sulit untuk melupakannya." Kenar segera menambahkan penjelasan agar Runi tak semakin salah paham. "Ekspresi kamu waktu itu, entah kenapa terus teringat. Dan semua itu membuat saya terus dihantui perasaan bersalah, apalagi begitu tahu bahwa kamu berjilbab. Rasanya saya benar-benar sudah bertindak sangat lancang."
"Memang lancang, Mas. Tapi saya tahu, Mas enggak melakukannya dengan sengaja. Jadi saya mohon jangan membahasnya lagi. Hal ini sungguh membuat saya merasa tidak nyaman," ketus Runi. Wajahnya kini semerah tomat. Perkataan Kenar membuatnya kembali terbayang kejadian kemarin. Rasa malu kembali membekap, membuat gadis itu sedikit merasa sesak.
"Tentu saya marah atas kejadian itu, tapi bukan ke Mas Kenar, melainkan pada diri saya sendiri yang tidak berhati-hati. Harusnya, apa yang Mas Kenar lihat itu, hanya dapat dilihat suami saya kelak. Tapi saya enggak bisa memutar balik waktu untuk mencegah hal itu terjadi, kan?" Suara Runi terdengar lebih lembut, tidak ketus seperti tadi.
Senyap kembali menyelimuti mereka. Hanya ada dengung halus mesin mobil dan suara mekanis jam yang Kenar pasang di dashboard. Sebuah ide gila melintas begitu saja di kepala Kenar. Usulan itu telah menggantung di ujung lidah, nyaris terucap, tapi akal sehat masih mencegah. Dia tidak bisa menebak respons Runi jika mendengar gagasannya.
"Jadi saya mohon, tidak perlu ungkit masalah ini lagi. Saya mohon jaga aib saya ini dari orang lain, insyaAllah saya juga berlaku sama pada Mas Kenar," sambung Runi.
Kenar berusaha melupakan idenya tadi. Memang tak mungkin untuk dilaksanakan. Terlalu tergesa-gesa dan gegabah. Sepertinya dia hanya terbawa suasana. Bukan benar-benar serius dengan rencananya barusan.
Kehadiran Devan dan Desi di antara mereka, membuat Kenar hanyut dalam khayalan keluarga bahagia yang selama ini dia mimpikan. Mungkin juga, ibunya yang terus menyuruh menikah tanpa dia sadari memengaruhi pikirannya. Makanya, ide itu muncul begitu saja, seolah bisa menjadi solusi terbaik bagi mereka.
Memutuskan menikah tentu tidak sesederhana itu, apalagi dengan gadis yang nyaris tidak dikenalnya. Mereka hanya bertemu di tempat dan waktu yang salah. Itu saja. Tidak ada alasan lain kenapa dirinya terus-terusan terbayang wajah Runi. Kenar berusaha meyakinkan diri.
"Oom. Rumah nenek masih jauh ya?" tanya Devan. Ternyata bocah itu sudah bangun.
"Masih satu jam lagi, Devan. Sabar ya," bujuk Kenar.
Bocah itu memegangi perut sambil meringis seolah sedang menahan sakit.
"Aku sakit perut. Mau pupup, Om." Wajah Devan memerah.
Mendengar rengekan Devan, Desi ikut terbangun. Runi menyimpan kembali ponselnya dan berusaha menenangkan bocah perempuan itu.
"Nggak bisa ditahan dulu, Van?" tanya Kenar pada bocah lelaki itu.
"Nggak bisa, Om."
Sambil menepuk-nepuk pundak balita di pangkuannya, Runi memerhatikan sekeliling. Dilihatnya logo gerai fast food ternama tegak berdiri beberapa meter di depan mereka.
"Mas. Kita mampir saja ke restoran itu sebentar. Kasihan Devan. Sepertinya dia beneran dah kebelet," usul Runi.
Kenar tak membantah. Dinyalakannya lampu seins untuk memberi kode pada pengemudi di belakang. Mobilnya perlahan menepi dan masuk ke parkiran restoran bernuansa merah-kuning itu.
"Aku anterin Devan ke toilet dulu ya. Kamu tunggu aja di dalam," pesan Kenar setelah mereka semua turun dari mobil.
Runi mengangguk. Digendongnya Desi masuk ke restoran. Setelah memesan minuman, dia berjalan ke salah satu meja yang kosong. Awalnya Desi berceloteh riang, tapi tiba-tiba bocah tiga tahun itu merengek. Runi kembali berdiri dan mondar-mandir berusaha menenangkannya.
Desi terus berontak, meminta turun dari gendongan. Runi mulai kebingungan, juga malu karena menjadi pusat perhatian.
"Desi kenapa? Coba sini aku yang gendong," tawar Kenar yang baru kembali dari toilet. Diulurkannya tangan untuk mengambil Desi dari gendongan Runi.
Dengan pasrah, Runi membiarkan Kenar ganti menggendong balita itu. Devan yang berjalan di samping Kenar memegangi kaki adiknya.
"Kak Runi. Kayaknya Desi pingin mainan itu deh. Dari tadi dia nunjuk-nunjuk ke situ."
Runi mengikuti arah telunjuk Devan, lalu beralih memerhatikan si bungsu. Benar juga. Bocah perempuan itu terus menunjuk ke arah etalase yang memajang deretan mainan yang dapat mereka peroleh jika membeli menu khusus restoran itu.
"Kalau gitu kakak belikan dulu. Devan mau sekalian pesan?"
Bocah lelaki itu mengangguk sambil menyebutkan menu favoritnya.
"Saya tunggu di sini sama anak-anak. Kamu silakan pesan." Kenar mengeluarkan dompet dan mengulurkannya pada Runi. "Ini. Pakai uang saya saja."
"Nggak perlu. Saya ada uang kok," tolak Runi dengan halus. "Mas Kenar ada yang ingin dipesan sekalian?"
Kenar mengangguk. "Air mineral dan kentang goreng saja."
Saat Runi mengantri di kasir, tangis Desi telah reda. Bocah itu masih merengek, tapi tidak sekencang tadi.
"Wah. Suaminya idaman banget ya Mbak. Sudah ganteng, ngemong pula sama anak-anak," celetuk perempuan yang mengantri di depan Runi.
Wajah Runi sontak memerah. Gadis itu bingung harus bagaimana menanggapi.
"Mbaknya awet muda ya. Sudah punya anak dua tapi masih kelihatan kayak mahasiswi." Perempuan itu kembali memuji.
"Mereka bu—"
Ucapan Runi terpotong oleh seruan kasir restoran yang meminta perempuan di depannya maju. Sementara perempuan asing itu sibuk dengan pesanannya, Runi menoleh ke meja tempat Kenar dan kedua bocah itu duduk.
Runi menebak usia Kenar sudah sekitar tiga puluhan. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga. Bahkan, bisa saja pria itu memang telah menikah dan memiliki anak. Runi sama sekali tak tahu latar belakang Kenar. Perkenalan mereka hanya sepintas lalu saja karena memang dia sendiri yang selalu berusaha menghindar.
Ah, kenapa baru terpikirkan olehnya? Bagaimana jika istri Kenar cemburu ketika tahu pria itu pergi bersamanya. Harusnya dia memastikan dulu supaya tidak terjadi kesalahpahaman di masa depan.
Gadis itu buru-buru memalingkan wajah ketika Kenar menoleh padanya. Rasanya seperti tertangkap basah sedang diam-diam mengamati, meski memang itulah yang sedang dilakukannya sekarang. Saat Kenar kembali sibuk bermain dengan Desi dan Devan, Runi kembali memerhatikan.
Ada dentuman yang tak biasa di dada Runi ketika melihat senyum itu lagi. Dia kembali merasakan deja vu ketika melihat kedua sudut bibir Kenar tertarik ke atas. Seperti dilihatnya senyum sang ayah dalam wajah Kenar, padahal secara fisik kedua pria itu sama sekali tak mirip. Ayah Runi memiliki rahang yang tegas dengan sorot mata yang tajam, sedangkan wajah Kenar terlihat jauh lebih lembut. Hanya satu kesamaan yang mereka miliki, cara mereka tersenyum. Begitu teduh, menyejukkan hati Runi.
"Silakan Mbak, pesanannya." Pemuda di balik meja kasir mempersilakannya maju.
Gadis itu terkesiap dan mengusir bayang-bayang senyum Kenar dari pikirannya. Apa jadinya kalau pria itu tahu bahwa Runi sejak tadi mengagumi senyumnya?
"Thanks, Runi," ucap Kenar begitu Runi datang dengan nampan penuh berisi makanan.
Desi langsung kembali riang ketika Runi menyerahkan mainan yang diperolehnya sebagai bonus menu yang mereka pesan. Kakak bocah itu juga tak kalah semangat menyantap potongan nugget yang Runi beli.
Sambil menikmati kentang goreng, Runi mengamati dua bocah yang tengah manikmati makanan seperti orang kelaparan. Padahal sebelum mereka berangkat, Runi telah menyuapi kedua bocah itu. Sepertinya benar kata orang, perut anak-anak seperti karet. Mereka tak pernah kenyang, apalagi jika berhadapan dengan makanan kesukaan mereka. Entah ke mana larinya semua makanan itu.
"Run. Ada saos di pipi kamu," kata Kenar sambil mengulurkan kotak tisu.
Runi mencabut selembar tisu dan mengusapkannya ke wajah. Tanpa sengaja, matanya bersitatap dengan Kenar. Sinar mata pria itu terlihat begitu tulus dan teduh. Runi buru-buru melengos ke samping. Selama ini, Runi berusaha menjaga pandangan jika sedang berinteraksi dengan lawan jenis, tapi entah kenapa tatapan Kenar seolah menguncinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top