#19 Interrelation
Ketika Runi akhirnya keluar dari kamar mandi, Anita tengah mendengarkan cerita Gama tentang culture shock yang dialaminya saat pertama kali datang di Korea. Runi terus memperhatikan Gama, berusaha mencuri sepuas-puasnya derai tawa dan senyum lelaki itu, karena mungkin setelah ini Runi tidak akan mendapatkan kesempatan itu lagi.
"Are you okay, Run?" Gama akhirnya menoleh kepada Runi. Raut wajahnya menyiratkan rasa cemas.
Runi memaksakan diri untuk tersenyum, meski dia tahu sudah terlambat untuk berpura-pura. Matanya kini pasti terlihat merah dan bengkak. Lagi pula, dia tidak pernah bisa membohongi Gama. Lelaki itu pasti dapat langsung menebak bahwa Runi habis menangis.
"Nggak apa-apa, kok, Mas." Runi berjalan menuju bufet kecil di dekat ranjang. "Mas Gama mau minum? Tapi, aku cuma punya teh."
Sebelum Gama sempat menjawab, Anita terlebih dulu menyela, "Kamu ajak Gama minum di kafe depan rumah sakit aja, Run. Kalian, kan, sudah lama nggak ketemu. Pasti banyak yang pingin kalian obrolin. Gama juga dari bandara langsung ke sini, pasti lapar. Biar dia bisa sekalian makan di sana."
"Tapi, Bun--"
"Nggak perlu khawatirin bunda. Bunda nggak apa-apa kok. Kamu sesekali perlu keluar dari ruangan ini, Run. Yang sakit itu, kan, bunda, kamu nggak perlu ikut-ikutan mengurung diri di rumah sakit."
Runi bertukar pandang dengan Gama. Runi memang butuh bicara berdua dengan lelaki itu, tetapi dia khawatir sang ibu membutuhkan bantuannya.
"Kalau ada apa-apa, bunda janji bakal panggil suster. Tinggal pencet tombol ini kan?" Anita menunjuk tombol nurse call yang menjuntai di dekat kepalanya. "Sudah, sana cepat pergi. Bunda ngantuk, mau tidur."
Runi akhirnya menyetujui saran ibunya. Saat melewati ruang perawat, gadis itu mampir sebentar untuk memberikan nomor ponselnya kepada perawat yang sedang berjaga sekaligus menitipkan Anita.
Suasana canggung menyelimuti Runi dan Gama. Mereka jalan beriringan tanpa berkata apa pun, seolah kehabisan bahan pembicaraan.
"Kamu benar baik-baik saja, Run?" Gama mengulang pertanyaannya saat mereka berdua telah duduk berhadapan di kafe bernuansa ekletik itu. "Kamu masih bisa cerita apa aja ke aku, lho, Run. Nggak perlu pura-pura kuat di depanku."
Runi memberanikan diri balas menatap lelaki itu. Sorot mata itu masih setajam dan setenang biasanya, menawarkan tempat ternyaman bagi Runi seperti sebelum-sebelumnya.
"Aku nggak tahu, Mas. Rasanya beberapa minggu terakhir, aku bahkan nggak sempat memikirkan diriku sendiri."
Untuk pertama kalinya sejak sang ibu kecelakaan, Runi menunjukkan sisi rapuhnya kepada orang lain. Selama ini, dia menahan diri untuk tidak terlihat lemah, berusaha selalu tampak tegar. Hanya kepada Gama, Runi merasa bebas membagi beban.
"Maaf, ya. Kemarin, aku terlalu sibuk ngurusin event, sampai lupa nanyain kabar kamu."
Percakapan mereka terhenti sejenak kala pelayan mengantarkan pesanan mereka. Segelas lemon tea untuk Runi, serta segelas jus jeruk dan sepiring nasi goreng untuk Gama. Runi dan Gama meraih gelas masing-masing, lalu minum dengan cepat.
"Kata bundamu, lusa beliau sudah boleh pulang?" Gama bertanya sambil mulai menyendok nasi. "Kamu beneran nggak pesan makan?"
"Aku sudah makan tadi." Runi menggeleng untuk menjawab pertanyaan kedua Gama. "Iya, insyaAllah bunda pulang lusa."
"Besok, aku pulang dulu ke rumah. Lusa, insyaAllah aku sudah balik lagi ke sini. Nanti, aku sekalian bantu pindahan."
"Nggak perlu repot-repot, Mas." Di bawah meja, jemari Runi sibuk memilin ujung kemejanya. Sejak kemarin, dia sudah menyiapkan kata-kata yang dia ucapkan kepada Gama. Namun sekarang, dia benar-benar kehilangan keberanian. Setelah melihat wajah Gama lagi, dia merasa tidak ingin melepas lelaki itu pergi.
"Sejak kapan aku merasa kamu repotin, Run? Aku nggak pernah ngerasa direpotin sama kamu."
Runi menggigit bibir untuk menahan tangis. Entah kenapa, kehadiran Gama membuatnya jadi begitu cengeng. Sorot mata lelaki itu terlihat begitu tulus. Bagaimana mungkin Runi tega menorehkan luka di hati Gama setelah begitu banyak kebaikan yang Gama berikan kepadanya? Namun, membiarkan lelaki itu terus menunggunya tanpa kepastian juga sangat egois. Bukankah akan lebih menyakitkan bagi Gama jika Runi tidak bisa memberikan jawaban yang lelaki itu harapkan setelah penantian yang begitu lama?
"Kamu kok, diam aja, Run? Ada yang kamu pikirin?" Gama menatap Runi lekat-lekat. Bukannya dia tidak dapat menebak apa yang tengah memenuhi kepala Runi. Seperti dirinya, Runi pasti juga tengah memikirkan nasib hubungan mereka ke depannya.
"Kita nggak perlu bahas hal itu sekarang kalau kamu belum siap, Run. Lagi pula, perjanjian kita waktu itu, kan, paling cepat setelah kamu wisuda," lanjut Gama. "Kepulanganku sekarang bukan untuk menagih janji itu. Aku cuma mau mastiin kamu baik-baik saja, karena aku nggak bakal tenang kecuali memastikannya dengan mata kepalaku sendiri. Aku cuma pingin kamu tahu, aku ada buat kamu, Run. Aku yakin beberapa minggu terakhir, hidup kamu berat banget. Walau mungkin ada Mala dan Kenar yang selalu bantu kamu, aku nggak yakin kamu jujur kepada mereka."
Runi menelan ludah. Kali ini, dia membiarkan air matanya tumpah membasahi pipi.
"Aku capek, Mas. Aku berusaha fokus ngerawat Bunda, tapi di saat Bunda tidur, aku malah sering memikirkan banyak hal yang nggak mau aku pikirkan. Semua rencanaku kacau gara-gara kejadian ini, Mas. Aku nggak pingin nyalahin siapa pun, tapi tetap aja aku ngerasa semua ini nggak adil."
Gama ingin sekali memeluk gadis di hadapannya itu, membiarkan Runi bersandar di dadanya untuk melepas segala kesah yang selama ini terpendam.
"Nggak apa, kok, ngerasa capek, Run," ucap Gama dengan suara yang begitu lembut seraya menyodorkan tisu kepada Runi.
"Aku tahu, sebagai manusia, aku nggak boleh berandai-andai dan berharap kecelakaan itu nggak pernah terjadi. Itu sama aja kan, aku nggak menerima takdir yang sudah diberikan Tuhan?" Runi mengusap pipinya dengan tisu. "Kalau aja kecelakaan itu nggak terjadi, mungkin sekarang kita dapat membicarakan rencana-rencana kita. Kalau aja kecelakaan itu nggak terjadi, mungkin sekarang aku nggak akan bingung harus ngapain kayak gini."
"Runi." Gama mengulurkan tangannya, hendak menyentuh tangan Runi, tetapi dengan cepat mengurungkan niatnya. "Kita nggak harus ngomongin hal itu sekarang kalau kamu belum siap." Lelaki itu kembali mengulang perkataannya tadi. "Aku nggak masalah buat nunggu. Sekarang, kamu bisa fokus dengan bunda kamu dulu."
Tatap mata Runi terlihat begitu sendu. Gadis itu benar-benar tidak mengerti pemikirannya sendiri. Rasanya, otak dan hatinya mengarahkan ke dua titik yang berlawanan.
"Kalau boleh jujur, aku juga sempat kepikiran untuk melamar kamu sekarang, malah kalau pun kita mau nikah besok, insyaAllah aku siap, Run. Dengan begitu, aku nggak perlu menahan diri buat meluk kamu, buat genggam tangan kamu, buat biarin kamu bersandar ke aku, supaya kamu nggak ngerasa harus ngehadapin semua itu sendirian," tutur Gama dengan suara tersekat. "Tapi, kalau kamu belum siap. Nggak apa-apa, Run. Aku tetap ada buat kamu meski sekarang aku nggak bisa menyentuh kamu. Telingaku selalu siap dengerin keluhanmu."
"Kalau kita nikah, aku nggak bisa ikut Mas Gama ke Korea. Aku nggak mungkin ninggalin bunda."
"Aku nggak bakal maksa kamu ikut, Run. Yah, itu artinya kita terpaksa LDR, tapi kurasa itu nggak masalah. Bukannya tiga bulan ini kita sudah latihan?"
Tawaran Gama terasa begitu meyakinkan. Namun, Runi masih belum bisa mengusir pikiran terkelam yang beberapa hari terakhir terus mengusiknya setiap malam.
Bagaimana jika kecelakaan yang menimpa sang bunda justru adalah pertanda bagi Runi bahwa sebaiknya dia melepaskan Gama?
Gama mendorong piringnya yang telah kosong. Tentu saja dia ingin Runi menerima tawarannya. Jika mereka menikah, Gama akan lebih leluasa membantu gadis itu, juga tidak perlu khawatir cintanya akan kandas di tengah jalan. Akan tetapi, Gama masih melihat bias keraguan dari kedua mata Runi. Gama tidak ingin Runi mengambil keputusan karena merasa tidak memiliki pilihan lain. Lelaki itu ingin Runi bersedia menjadi istrinya dengan penuh kesadaran.
"Untuk kesekian kalinya, Run. Aku nggak menuntut kamu memutuskan malam ini."
=-=-=-=-
Hai, halo. Terima kasih sudah mampir dan membaca.
Siapa yang gemes sama Runi yang galaunya tidak berkesudahan? Sabar ya, dikit lagi tamat, kok (harusnya).
Saya juga gemes sih, tapi memang orang yang mau nikah itu suka waswas, karena katanya nih, setan itu nggak suka kalau ada yang mau nikah.
Oh iya, jangan lupa vote untuk mendukung cerita ini, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top