#18 Insolubilization
Suara air mengalir terdengar dari arah dapur saat Kenar menuruni tangga. Lantai rumahnya sedikit licin, tanda habis dipel. Kenar berjalan dengan hati-hati menuju bagian belakang rumahnya. Dari pintu dapur yang setengah terbuka, Kenar diam-diam mengintip dan mengamati punggung sang ibu yang tengah berdiri menghadap bak cuci piring.
Kamila tiba di Jakarta pagi sebelumnya dan langsung menuju rumah sakit untuk menemani Kenar menjalani medical checkup seharian. Dokter bilang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, hanya menyarankan supaya Kenar tidak terlalu capek dan banyak pikiran. Namun tetap saja, Kamila memutuskan tinggal di Jakarta untuk sementara waktu.
"Mau sampai kapan kamu ngelihatin mama kayak gitu?" tanya Kamila tanpa menoleh. Tangannya dengan cekatan mengelap piring-piring lalu menatanya di rak. Dia mencuci ulang semua peralatan makan di rak karena Kenar tidak pernah memindahkannya ke lemari. Menurut wanita itu, piring-piring itu sudah terkontaminasi debu, harus dicuci ulang.
Kenar berjalan menuju meja makan, lalu menarik salah satu kursi yang ada di sana. Setelah mengeringkan tangannya dengan kain lap, Kamila pun menyusul duduk tepat di seberang Kenar. Wanita itu bertanya apakah Kenar ingin makan siang lebih awal.
"Mama sebaiknya istirahat dulu. Nggak perlu langsung beres-beres kayak gini," saran Kenar dengan nada khawatir saat melihat kantung mata Kamila yang terlihat lebih gelap dari biasanya. "Saya nggak pingin Mama ikut sakit."
Kenar merasa kerutan di wajah ibunya bertambah banyak dalam semalam. Kamila seolah menua dengan cepat. Mulanya, Kenar pikir kesan itu timbul karena wajah sang ibu sedang polos tak terpoles riasan. Namun, setelah Kenar perhatikan lagi, pundak Kamila juga terlihat merosot, lebih bungkuk dari yang mampu Kenar ingat.
"Kalau nggak beres-beres. Mama cuma bisa bengong sendirian, ujung-ujungnya pikiran mama jadi ngelantur," tutur Kamila. Rasa penat tergambar jelas di wajahnya. "Sebenarnya, apa yang terjadi toh, Nar?" Kamila tak tahan lagi untuk bertanya. Seharian kemarin, dia menunggu Kenar bercerita, tetapi putranya itu terus saja bungkam penuh rahasia.
Kenar tidak tahu harus mulai bercerita dari mana. Malah, dia sebenarnya ingin merahasiakan pertemuannya dengan Tsania. Kenar tidak ingin ibunya kembali dihantui perasaan bersalah jika tahu penyebab dia pingsan. Kamila kerap menyalahkan diri sendiri karena telah mengenalkan Kenar kepada Tsania.
"Maaf sudah membuat Mama cemas." Kenar meraih telapak tangan Kamila dan menggenggamnya erat. "Saya pingin bilang saya baik-baik saja, tapi nyatanya saya nggak sedang baik-baik saja. Tapi ... saya janji bakal berusaha untuk sembuh. Saya harap mama bisa percaya."
Kamila menatap ke dalam mata Kenar, berusaha mencari tahu apakah yang diucapkan putranya itu sekadar untuk menenangkan hatinya atau memang serius.
"Apa ini ada hubungannya dengan Runi? Makanya, kamu minta mama untuk nggak cerita sama dia?" tanya wanita itu. "A-apa Runi menolak lamaran kamu?"
Kamila kembali teringat bagaimana Kenar terpuruk saat Tsania membatalkan rencana pernikahan. Berhari-hari Kenar tidak keluar kamar. Putranya seolah berubah menjadi sesosok mayat hidup. Tidak makan. Tidak tidur. Hingga tubuh Kenar tidak sanggup lagi.
"Saya bahkan belum melamar Runi, Ma." Kenar buru-buru menjawab. Dia tidak ingin Runi menjadi kambing hitam atas masalahnya. "Runi masih fokus merawat ibunya, saya tidak ingin mengganggunya."
"Terus, kenapa, Nar? Mama sudah hitung sisa obat kamu. Jumlahnya pas. Sejak operasi, kamu nggak pernah kambuh lagi. Walau kemarin kamu bilang kecapekan ke dokter, mama nggak percaya. Kamu nggak pernah bisa bohong sama mama."
Kenar memalingkan wajah ke samping. Dicobanya menghindari tatapan sang ibu yang menuntut penjelasan. Bayang-bayang kejadian kemarin kembali merasukinya. Namun kali ini, Kenar melihat Tsania tengah mentertawakannya. Hal itu berhasil membakar lagi amarahnya. Napas Kenar mulai memburu. Wajahnya terasa dingin, seolah aliran darah hanya terhenti sampai di leher.
Melihat wajah Kenar yang memucat, Kamila mulai panik. Digoncangnya tangan Kenar dengan cepat.
"Nar. Sudah, Nak. Nggak usah dipikirin. Kamu nggak harus jawab pertanyaan mama sekarang." Kamila buru-buru bangkit dari duduk dan segera menghampiri Kenar. Hatinya terasa remuk ketika dilihatnya kedua mata Kenar yang redup. Tidak ada lagi binar riang yang tempo hari ditemukannya di dalam sana.
"Nar," ucap Kamila lembut. Ditangkupkannya kedua tangan pada pipi tirus Kenar. "Biar mama yang ngelamarin Runi buat kamu, ya?" tanya Kamila dengan nada memohon. Hanya itu solusi yang dapat dia pikirkan. Runi dapat membuat Kenar kembali tertawa lepas. Kamila rela melakukan apa pun agar tawa itu tidak lenyap lagi.
Kenar seolah terbangun dari mimpi saat dia mendengar nama Runi disebut. "Saya sepertinya nggak jadi melamar Runi, Ma." Akhirnya dia kemukakan juga keputusan yang telah dia pikirkan sejak sadar dari pingsan tempo hari.
Kenar memang sempat mengira dirinya telah siap untuk menikah dan memulai lembaran baru di hidupnya. Namun, pertemuannya dengan Tsania membuat Kenar sadar bahwa dia belum berhasil berdamai dengan dirinya sendiri.
"Kenapa, Nar? Bukannya kamu bahagia kalau lagi sama dia?"
Kali ini, Kenar membalas tatapan Kamila. "Tapi, saya nggak akan bisa buat dia bahagia, Ma. Sekarang, dia harus merawat bundanya. Nggak mungkin saya nambah beban dia. Kalau menikah dengan saya, dia hanya akan tambah repot karena juga harus mengurus saya."
Walaupun Kenar berkata bahwa keputusan itu dia ambil demi kebahagiaan Runi, tapi kenyataannya tidak begitu. Sebenarnya, Kenar hanya sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Kenar benci melihat Runi sedih, tapi dia lebih benci dengan perasaan yang timbul saat menyadari tidak ada hal yang dapat dia lakukan saat cahaya gadis itu meredup. Rasa bersalah itu menggerogotinya pelan-pelan dari dalam, membuatnya semakin membenci diri sendiri, seperti yang selama ini terjadi antara dia dan Tsania.
Kenar memang marah kepada Tsania karena telah meninggalkannya. Akan tetapi, dia lebih marah kepada diri sendiri karena tidak segera menyadari perasaan Tsania yang sebenarnya. Dia marah karena tidak memperjuangkan Tsania lebih keras. Dia juga marah karena membiarkan semua orang menganggap Tsania sebagai wanita tidak tahu diri yang membatalkan pernikahan setelah undangan disebar. Semakin besar amarahnya kepada Tsania, semakin besar juga dia membenci diri sendiri. Kenar tidak ingin hal serupa terulang kembali jika hubungannya dengan Runi tidak sesuai yang dia harapkan.
Kenar mengakui bahwa dirinya memang seorang pengecut. Dia lelah jatuh cinta untuk kemudian patah hati.
-AmelA-
Entah untuk ke berapa kalinya, Runi melirik layar ponselnya untuk memeriksa jam. Seperti ada yang menabuh genderang di dalam dadanya. Tisu yang tadi dia gunakan untuk mengelap peluh di keningnya kini telah berubah menjadi gumpalan kertas tak berbentuk.
Runi gagal memahami keinginannya sendiri. Beberapa hari yang lalu, dia telah memikirkan matang-matang keputusannya. Harusnya, dia mencegah dirinya untuk tidak terlalu merasa antusias seperti saat ini. Akan tetapi, hatinya tidak mau berpura-pura. Ada rindu yang tengah menggelegak di dalam sana.
"Run, bunda haus," ucap Anita yang baru saja membuka mata.
Runi tersentak dari duduknya, lalu buru-buru membantu sang bunda agar dapat duduk bersandar di atas ranjang. Setelah menata bantal-bantal untuk menyangga punggu Anita, Runi buru-buru menuangkan air ke dalam gelas, lalu menyambar sedotan kecil. Anita masih kesulitan meneguk air langsung dari bibir gelas.
Isi gelas hanya berkurang sepertiga, tetapi Anita telah melepas sedotan dan mengibaskan tangan sebagai isyarat bahwa dia sudah puas minum.
"Bunda mau apa lagi? Mau makan buah?" tawar Runi.
Anita menggeleng lemah. Matanya bergerak cepat, menyisir penampilan Runi dari ujung kepala hingga kaki. "Kamu mau ke mana? Kok, pakai jilbab rapi begitu?" tanyanya dengan raut polos. Ekspresinya seperti anak kecil yang khawatir akan ditinggal pergi.
Runi mengusap bahu sang bunda. Bibir gadis itu melengkungkan senyum penuh pengertian."Nggak, kok. Runi nggak mau ke mana-mana."
Sebelum Anita tidur tadi, Runi telah menjelaskan bahwa sore itu Gama akan datang berkunjung. Namun tampaknya, wanita itu kembali lupa.
"Mas Gama sebentar lagi mau ke sini," jelas Runi lembut.
"Oh. Sudah lama bunda nggak ketemu Gama. Sudah lama ya dia nggak mampir ke rumah. Kalian nggak lagi marahan, kan?"
Runi menggeleng. Meski bibirnya masih tersenyum, sebenarnya hati Runi tengah gelisah. Dia tidak yakin masih dapat berteman baik dengan Gama setelah pertemuan mereka sore itu. Lebih tepatnya, dia tidak bisa kembali memandang Gama layaknya teman tanpa teringat pada nuansa merah jambu yang menyelimutinya beberapa bulan terakhir. Mustahil meneruskan hubungan mereka tanpa melibatkan perasaan seperti dulu. Sudah terlambat untuk berpura-pura tidak ada yang terjadi di antara mereka.
"Kalau gitu, bantuin bunda pakai jilbab, Run."
"Bunda yakin?" Runi mengamati bekas operasi di kepala Anita. "Disampir saja, ya? Nggak perlu ditutup rapat?"
Anita mengangguk patuh.
Dengan gerakan yang teramat hati-hati, Runi menyampirkan kain kerudungnya yang paling ringan dan lembut ke atas kepala Anita. Tidak terlalu rapi, masih ada beberapa anak rambut yang lolos dari balik kain, tetapi Runi sudah berusaha sebisanya. Jika terlalu rapat, dia khawatir kain tersebut akan bergesekan dengan bekas-bekas luka di wajah dan kepala ibunya.
Setiap kali ada yang mengetuk pintu, Runi akan terperanjat kaget, lalu kecewa ketika melihat wajah yang muncul bukan orang yang sedang ditunggunya. Perawat yang hendak memeriksa infus, petugas kebersihan yang berniat membersihkan kamar, bahkan ada serombongan pembesuk yang salah kamar.
"Gama ke mana, Run? Kok, belum datang?"
Pertanyaan Anita memecah lamunan Runi. Gadis itu memeriksa kembali ponselnya, siapa tahu Gama mengirimkan pesan. Nihil. Runi mulai cemas. Pesan terakhir dari Gama masih yang tadi pagi lelaki itu kirimkan sesaat sebelum boarding.
Rasa cemas itu langsung sirna ketika terdengar seseorang mengucap salam dari balik pintu. Suara itu telah Runi hafal di luar kepala. Sebelum Gama pindah kerja, suara itu selalu menyambangi Runi setiap hari, baik lewat telepon maupun secara langsung.
"Waalaikumsalam," ucap Runi sembari membuka pintu.
Wajah itu tersenyum kepadanya, meski cekungan di sekitar mata menunjukkan bahwa sang pemilik wajah sedang lelah. Sekuat tenaga, Runi menahan diri untuk tidak menghambur ke pelukan lelaki itu. Rindu yang selama ini dia coba kesampingkan, kini merangsek masuk dan mengisi dadanya penuh-penuh.
"Silakan duduk, Mas." Runi menunjuk karpet yang dia gelar di lantai. "Maaf, aku permisi ke kamar mandi."
Kedua mata Gama mengikuti Runi hingga gadis itu menghilang ke dalam kamar mandi. Padahal, dia sudah menyiapkan dan melatih kata-kata yang akan dia ucapkan, tetapi semua hilang begitu saja.
"Masuk, Gama."
Suara Anita menyadarkan Gama. Lelaki itu melepas sepatu dan menyimpannya di dekat pintu. Dengan senyum terkembang di wajahnya, dia mendekat ke ranjang untuk menyapa wanita baik hati yang selalu menyambutnya ramah setiap kali Gama berkunjung ke rumah Runi.
----
----
Halo. Terima kasih sudah mampir.
Kalau kamu menyukai cerita ini, jangan lupa beri vote dan tinggalkan komentar ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top