#14 Interruption
Entah sudah ke berapa kalinya Runi mematut diri di cermin, memastikan kemejanya rapi, roknya licin, jilbabnya tak miring, juga riasan natural wajahnya tak terkesan berlebihan. Hari ini adalah salah satu hari bersejarah baginya. Penentuan atas perjuangannya selama delapan bulan terakhir.
Jurusan yang dia pilih mungkin tak sesuai dengan passion-nya. Tanpa ijazah sarjana pun, Runi sudah menekuni pekerjaan yang dia suka. Namun, gadis itu tak ingin mengecewakan ibu dan almarhum ayahnya. Hari ini, akan dia buktikan bahwa dirinya dapat menyelesaikan kuliah dengan hasil membanggakan. Selangkah lagi dia akan menyelesaikan pendidikan sarjananya, lalu setelah itu dia tinggal menunggu jadwal wisuda.
Runi merasakan wajahnya panas. Kedua pipinya bersemu merah. Saat memikirkan wisuda, mau tak mau dia pun ikut teringat janji Gama untuk pulang dan melamarnya usai wisuda nanti. Sekeras apa pun Runi mencoba, hatinya tak bisa dibohongi. Sejak percakapan mereka waktu itu, perasaannya pada Gama tak sama lagi.
Setelah menimbang-nimbang, Runi akhirnya memutuskan untuk mengabari Gama. Jemarinya berulang kali mengetik, berulang kali pula menghapus, lalu mengetik lagi.
Suara klakson motor terdengar dari halaman. Tak lama kemudian, Runi mendengar sang bunda berteriak.
"Run! Mala dah datang tuh."
Mala adalah teman dekat Runi sejak tahun pertama kuliah, Mereka masuk kuliah di tahun yang sama, tetapi Mala telah lulus lebih dulu tahun lalu. Meski jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, mereka masih rutin berkomunikasi. Bahkan, hari ini Mala sengaja mengambil cuti agar dapat menemani Runi.
Runi menekan tombol kirim tanpa banyak berpikir lagi. Dilihatnya status Gama masih offline. Runi mengerucutkan bibir, sedikit kecewa karena tak segera mendapatkan respons dari Gama. Biasanya, lelaki itu selalu punya cara untuk menyemangatinya.
Tak mungkin mengulur waktu lagi, Runi segera menyambar tas dan keluar kamar. Dia tak ingin datang terlambat.
"Hati-hati, Run," tegur Anita ketika putri semata wayangnya berlari kecil menuruni tangga.
Sang putri justru terkikik pelan. Dihampirinya Anita, lalu dipeluknya dengan erat, seakan tak ingin melepaskan.
"Doain Runi ya, Bun," pinta gadis berwajah bulat itu. Sengaja dia tempelkan kepala di dada sang bunda. Mendengar detak jantung wanita terkasihnya itu selalu berhasil membawa ketenangan bagi Runi.
"Pastilah, Sayang." Anita merapikan ujung jilbab putrinya dengan penuh kasih. "Doa bunda mah nggak pernah putus buat kamu."
"Runi deg-degan banget, Bun." Gadis itu melepas peluk dan tertunduk menekuri ujung kaki. Detak jantungnya tak stabil sejak semalam. Semakin dekat dengan jadwal sidang, debarannya semakin kencang.
Anita mengecup dahi putrinya sekilas. "Banyak zikir dan salawat, Runi." Kedua tangan keriputnya menangkup pipi sang putri. Sorot matanya yang lembut berhasil sedikit meniupkan ketenangan ke hati Runi.
Gadis itu mengangguk. Dipaksakannya diri tersenyum untuk mengusir rasa cemas di hati. Perjuangannya tinggal sedikit lagi. Sayang jika dia menyerah sekarang.
"Pulang nanti, insyaAllah semua makanan kesukaan kamu sudah tersedia di meja." Anita melongokkan kepala ke ruang tamu untuk menyapa Mala yang sedang menunggu. "Nak Mala nanti makan siang di sini ya. Ajak juga teman-teman yang lain."
"Nggih, Bu Lik." Gadis itu menyahut.
"Titip Runi ya, Mala."
"Siap, Bu Lik."
"Apaan sih pakai dititip-titipin segala. Emangnya Runi barang," protes Runi. Sekali lagi didekapnya sang bunda erat.
"Sudah sana berangkat, Run. Nanti telat lho." Anita mengurai pelukan sang putri.
Runi mengecup pipi ibunya sebelum pergi bersama Mala. Rumah mungil itu mendadak sunyi.
Wanita itu duduk termenung di kursi dapur. Berulang kali diusapnya ujung mata, tetapi usahanya sia-sia. Tak berapa lama, pipinya kembali basah oleh air mata.
"Kamu pasti bangga sekali melihat Runi sekarang, Mas. Dia tumbuh menjadi gadis yang kuat dan mandiri, juga sudah ada laki-laki baik hati yang berjanji akan segera melamarnya. Aku merasa tenang sekarang. Kalau aku pergi menyusulmu, Runi tidak sendiri," ujar Anita seolah sang suami tengah duduk bersamanya.
Deru mesin mobil terdengar dari rumah sebelah, membuat Anita tersentak dari lamunannya. Wanita itu gegas keluar, teringat tentang kabar yang perlu disampaikannya pada sang tetangga. Tak mungkin Anita membiarkan Kenar terus mengharapkan putrinya. Semakin cepat Kenar tahu tentang kesepakatan Runi dan Gama, semakin baik.
"Nar! Nak Kenar!" teriak Anita kala mobil sang tetangga melintas di depan rumahnya.
Kenar tak mendengar suara Anita. Mobil itu terus melaju hingga menghilang di ujung gang. Anita membuang napas dengan kasar. Raut wajahnya menyiratkan kekecewaan. Dengan langkah yang sedikit lunglai, Anita menuju kamarnya untuk mengambil ponsel.
Setelah mengirimkan pesan pada Kenar, Anita berganti pakaian. Masih ada beberapa bahan makanan yang harus dibelinya di pasar. Dia sudah berjanji pada sang putri untuk masak makanan spesial.
Karena terburu-buru keluar rumah, Anita tak sempat memeriksa kembali ponselnya. Dia tak menyadari bahwa pesan yang dikirimkannya pada Kenar masih bertanda centang satu.
**AmelA**
[Mas. Hari ini aku sidang. Mohon doanya.]
Tak mampu Gama sembunyikan kebahagiaan yang membuncah di dadanya. Baru saja dibacanya pesan pertama yang dikirimkan Runi sejak berbulan-bulan mereka berpisah. Pesan itu juga Gama pahami sebagai petunjuk baginya, tanda bahwa sebentar lagi tiba waktu yang telah dia nanti-nantikan.
Lelaki itu membalas pesan Runi dengan untaian doa tulus dan kalimat penyemangat. Gagal terkirim. Pesan Runi memang masuk ponselnya sejak satu setengah jam lalu, tetapi dia baru sempat membacanya. Sepertinya Runi telah mematikan ponselnya supaya tak menjadi distraksi saat presentasi.
"Kamu akhir-akhir ini sering melamun." Suara Angela mengagetkan Gama. Gadis itu menepuk pundaknya dengan lembut.
Gama menyimpul senyum. "Bukan melamun, Angela. Aku hanya sedang berpikir."
"Berpikir? Apa yang kamu pikirkan?" Kening Angela berkerut. "Sibuk memikirkan calon istrimu?"
Gama tak menjawab, tetapi Angela dapat menyimpulkan dari sinar wajah lelaki itu. Jelas sekali bahwa Gama tengah kasmaran.
Angela memalingkan wajah. "Calon istrimu itu sungguh beruntung."
"Kenapa?"
"Karena kamu mencintainya sedemikian besarnya. Aku bisa melihatnya dari sorot matamu, senyummu, segala gerak-gerikmu setiap kali membicarakan dia."
Gama menggeleng pelan. "Justru aku yang sangat beruntung, Angela. Kamu tahu tidak? Aku nyaris menyerah bahkan sebelum mencoba. Sebenarnya aku menerima tawaran pindah ke sini untuk menjauhinya. Aku minder Angela. Merasa tidak pantas untuknya yang begitu sempurna. Tapi ...."
Senyum yang merekah di bibir Gama justru membuat Angela sesak. Gadis itu merasa dadanya seperti tengah dihimpit beban yang teramat berat.
"Tapi dia datang dan mengungkapkan perasaannya kepadamu?" tebak Angela.
"Bukan. Dia tipe gadis yang tidak sembarangan bilang cinta. Baginya, cinta itu hanya akan dia berikan pada lelaki yang menjadi suaminya." Pipi Gama bersemu merah kala membayangkan perjumpaan terakhirnya dengan Runi. "Tapi dia bilang tidak mempermasalahkan masa laluku. Dia bilang, jika aku ingin melamarnya, aku bisa menemuinya setelah dia wisuda."
"Bukankah itu sama saja? Artinya, dia memyambut perasaanmu, kan? Hanya saja dia meminta waktu sampai dia wisuda."
Gama menerawang jauh. "Aku harap juga begitu. Walau sebenarnya, tetap saja aku ragu. Rasanya semua berjalan terlalu lancar, terlalu sempurna. Kadang aku takut, aku bermimpi terlalu tinggi. Aku khawatir dengan kami berjauhan begini, dia justru semakin merasa tidak memerlukan kehadiranku lagi. Banyak hal yang bisa terjadi dan mengacaukan semua rencanaku, Angela. Rasanya masih sulit percaya, lelaki sepertiku dapat berdampingan dengan gadis sepertinya."
"Kamu terlalu rendah menilai dirimu sendiri, Gama." Angela meninju lengan Gama. Dipaksakannya diri tertawa untuk mencairkan kembali suasana. Meski masih kecewa karena tak punya kesempatan mendapatkan hati Gama, Angela tak tega melihat wajah lelaki itu yang mendadak muram.
"Kamu tidak mengenalku yang dulu. Aku bukan pria baik-baik. Sedangkan, gadis yang kukagumi itu benar-benar luar biasa baiknya."
"Tenang saja, Gama. Kalau nanti dia menolak lamaranmu, kamu bisa datang kepadaku."
Wajah Angela memerah kala menyadari apa yang barusan dia ucapkan. Untuk menutupi rasa malu, gadis itu terbahak keras, berharap Gama mengira dirinya sedang bercanda. Sengaja dipalingkan wajah agar Gama tak melihat ekspresinya yang salah tingkah.
"Mungkin aku akan mempertimbangkan tawaranmu itu." Gama ikut tertawa tanpa curiga.
Entah Angela harus merasa senang atau kecewa saat melihat respons Gama. Tampaknya, lelaki itu memang tak menyadari bahwa selama ini dia diam-diam mengagumi.
**AmelA**
Kenar mempercepat langkah menuju gedung C, tempat sidang skripsi Runi digelar. Sengaja dia percepat jadwal mengajarnya agar dapat menunggu di depan ruang sidang. Lelaki itu tak ingin terlambat mengucapkan selamat. Dia ingin berada di sana ketika Runi mengumumkan kelulusannya.
"Belum selesai sidangnya?" tanya Kenar pada Mala. Mereka telah sempat beberapa kali bertemu sebelumnya.
"Belum, Mas. Tadi mulainya memang agak ngaret karena salah satu dosen penguji terlambat datang." Mala menggeser duduk agar Kenar dapat duduk di sampingnya, tetapi rupanya lelaki itu lebih memilih tetap berdiri.
"Yang sidang si Runi, tapi kenapa Mas yang kelihatan tegang?" goda Mala sambil menahan tawa. Sejak tadi, diperhatikannya Kenar terlihat gelisah.
Lelaki itu tertawa kikuk. "Yah, soalnya ... saya tahu perjuangan Runi nyelesaiin skripsinya. Jadi saya ikutan gugup."
Mala mengangguk-angguk meski dirasanya jawaban Kenar tidak sesuai dengan pertanyaan yang tadi diajukannya.
Untuk mengusir rasa gugup, Kenar mondar-mandir di depan ruang sidang. Dia ingin segera melihat senyum riang Runi, tapi sebagian hatinya juga belum siap. Apakah perlu dia tunda rencananya?
"Mas Kenar kok kelihatan pucat? Sudah sarapan kan tadi?"
Kenar menoleh pada sahabat Runi itu. "Su-sudah, kok," jawabnya sambil mengusapkan telapak tangan yang basah ke celana.
"Seriusan, lho. Mas Kenar itu kelihatan lebih gugup dari Runi pas mau masuk ruangan tadi." Mala terus mengoceh. "Aku sampai berpikir Mas mau ngelamar Runi atau gimana. Soalnya kelihatan tegang banget."
Kenar tergagap mendengar celetukan Mala.
"Wait! Jangan bilang Mas beneran mau-"
Kalimat Mala terpotong oleh dering ponsel Kenar. Lelaki itu buru-buru mengangkat telepon tanpa sempat melihat siapa yang menghubungi. Dimanfaatkannya kesempatan itu untuk menghindari pertanyaan Mala.
"Assalamualaikum." Kenar mengucap salam setelah menepi agak jauh dari tempat Mala gugup.
Begitu sang penelepon mengucap salam, Kenar langsung mengenali suara Bu Broto, tetangganya. Perempuan itu berbicara terlalu cepat, sampai Kenar harus memintanya tenang dan mengulang lagi kalimatnya.
"Mas Kenar. Maaf ganggu sampeyan. Runi lagi ada di kampus nggak ya? Soalnya, saya nggak bisa nelepon Runi. Hapenya nggak aktif dari tadi," ucap Bu Broto dengan lebih lambat.
"Iya, Bu. Runi saat ini sedang sidang skripsi. Kebetulan saya ada di gedung yang sama dengan tempat dia sidang. Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
Bibir Kenar tak lagi menyunggingkan senyum. Air mukanya berubah serius kala mendengar penuturan sang tetangga. Kenar mengucap terima kasih dengan suara tersekat, lalu menutup telepon dengan perasaan yang entah. Sungguh Kenar bingung bagaimana caranya menyampaikan kabar yang baru saja dia dengar.
Dengan setengah melamun, Kenar duduk di samping Mala.
"Kenapa, Mas?" Gadis itu terlihat heran melihat perubahan sikap Kenar yang tiba-tiba.
Belum sempat Kenar menjawab, pintu di hadapan mereka berderit terbuka. Mala dan dan Kenar kompak berdiri menyambut Runi yang terlonjak girang mengumumkan kelulusannya. Runi berlari memeluk sahabatnya. Hati Kenar terasa mencelus saat membayangkan senyum itu pudar begitu mendengar berita yang akan segera dia sampaikan.
"Mas Kenar," kata Runi dengan mata berbinar "Makasih ya, Mas, atas bantuannya selama ini. Alhamdulillah aku berhasil lulus juga."
"Iya, sama-sama. Selamat ya atas kelulusanmu." Kenar memaksakan diri tersenyum.
"Kenapa, Mas?" Runi tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya saat melihat Kenar tidak antusias mendengar kabar kelulusannya. Diliriknya Mala untuk meminta penjelasan, tetapi sang sahabat hanya dapat menjengkitkan bahu tanda tak tahu apa-apa.
Kenar menatap Runi dengan perasaan yang berkecamuk. Tak tega merusak kebahagiaan yang terlukis di wajah gadis itu, sayangnya dia tak punya pilihan lain.
"Run," ucap Kenar lembut.
Runi tak menyahut. Keningnya berkerut. Senyum cerah yang tadi menghias bibirnya lenyap begitu saja. Respons Kenar membuatnya resah.
"Barusan, Bu Broto telepon aku karena katanya hapemu nggak aktif." Kenar menelan ludah. Rasanya begitu berat untuk bicara. Tak tega. Kenar tak tega membayangkan gadis yang dia cintai terluka oleh kabar yang dibawanya.
"Bu Broto?" Suara Runi sedikit meninggi. "Untuk apa Bu Broto menelepon?"
Keceriaan yang tadi menghias wajah Runi hilang tak berbekas, berganti raut cemas dan bingung yang membuat Kenar semakin prihatin.
"Bundamu kecelakaan, Run. Sekarang beliau sedang dirawat di rumah sa-"
"Nggak mungkin. Mas Kenar pasti bohong. Tadi pagi, Bunda baik-baik saja kok." Runi berusaha menyangkal. "Ini Mas Kenar lagi janjian sama Bunda kan mau ngerjain aku? Nggak lucu tau, Mas!"
"Ma-maaf, Run. Ta-tapi barusan Bu Broto beneran telepon dan-"
"Nggak mungkin, Mas! Bunda sudah janji akan masak makanan kesukaanku buat ngerayaain kelulusanku." Runi mulai histeris. Teriakannya membuat orang-orang berkerumun, termasuk tiga dosen yang menjadi penguji sidangnya tadi.
"Run," bisik Mala lirih sambil melingkarkan lengan ke pundak sahabatnya. "Mending kita coba ke rumah sakit buat memastikan."
"Iya, Run," timpal Kenar. "Biar aku antar."
Runi tak menjawab. Kebahagiaan yang tadi sempat dia rasakan kini tak bersisa lagi. Gadis itu membuntuti Kenar tanpa suara. Pikirannya tengah kalut. Hari itu harusnya menjadi salah satu hari paling bahagia untuknya. Namun, semua hancur begitu saja. Kilasan kenangan beberapa tahun lalu saat kepergian sang ayah kembali memenuhi kepala Runi.
Gadis itu tak sanggup jika harus kehilangan lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top