#12 Intersection
Prinsip Runi masih sama. Tak ingin hatinya menjadi milik lelaki yang belum sah menjadi pendamping hidupnya. Namun, Runi pun manusia biasa. Hatinya bukan terbuat dari batu. Ketulusan yang diberikan Gama telah membuatnya luluh. Runi tak berdaya memangkas perasaan yang mulai tumbuh. Yang dia bisa hanya menjaga hati agar tak sampai berlebihan menyikapi.
Tak ada yang salah dari rasa suka. Yang penting ditempatkan dengan semestinya. Hal yang sangat sulit dilakukan jika Runi masih terus berkomunikasi dengan Gama. Perpisahan adalah jalan keluar terbaik untuk saat ini. Berat memang. Bagaimanapun Gama telah menjadi bagian dari kesehariannya. Namun, mereka berdua perlu menata hati, meyakinkan diri, bahwa keduanya memiliki tujuan yang sama. Jika memang Tuhan mengizinkan, kelak akan mereka habiskan sisa hidup bersama.
"Run," Anita mengetuk pintu dan berkata, "dicariin Kenar tuh di depan."
Runi menghela tubuh ke posisi duduk. Mendengar nama itu disebut membuat Runi teringat perkataan Gama tadi.
"Mungkin aja aku salah, Run. Tapi sebagai sesama cowok. Aku tahu dia juga suka kamu."
"Kami baru kenal, Mas. Enggak mungkin Mas Kenar menyukaiku lebih dari teman." Runi coba mengelak.
"Enggak perlu kenal lama untuk jatuh cinta sama kamu, Run." Masih dapat Runi ingat senyum Gama yang begitu tulus. "Aku langsung jatuh cinta sama kamu di pertemuan pertama. Aku sudah mencoba mengendalikan diri karena aku tahu posisiku, tapi maaf, Run, aku sama sekali nggak sanggup mencegah perasaan ini tumbuh."
Suara Anita menarik Runi keluar dari pusaran ingatan. "Runi! Kasihan tuh Kenar nungguin."
Gadis itu pun gegas membuka pintu. Anita terlihat sedikit jengkel.
"Kamu lagi tidur? Lama banget bukain pintunya," tanya Anita sambil mengangkat alis.
"Enggak kok, Bun," jawab Runi singkat, lalu segera berlari menuruni tangga menuju pintu depan.
Dilihatnya Kenar duduk di kursi teras. "Ada apa, Mas? Tante Kamila sudah terbang ke Solo?" tanya Runi berbasa-basi.
Senyum Kenar langsung terbit begitu melihat Runi akhirnya datang. Baru beberapa jam tak bertemu, dirinya sudah merasa rindu. Beberapa hari kemarin sering dihabiskannya waktu bersama gadis itu. Hari ini, dia belum mendapatkan dosis moodbooster hariannya.
"Sudah," jawah Kenar sambil tersenyum. Diambilnya buku tebal dari meja dan diserahkannya pada Runi. "Akhirnya ketemu. Buku yang waktu itu kamu cari. Ternyata beneran aku bawa ke sini."
Runi menatap buku setebal bantal itu. Kemarin dia memang sempat bercerita pada Kenar sedang mencari buku itu sebagai salah satu rujukan skripsi. Gadis itu sudah berusaha mencari di perpustakaan, tapi semua stok sedang dipinjam.
Kenar ingat dia memiliki buku itu, hanya saja tak tahu tersimpan di mana. Kardus-kardus yang dibawanya dari Solo belum semua dibongkar. Setelah mengantar ibunya ke bandara, Kenar menyempatkan diri membongkar kardus-kardus itu untuk mencari buku yang dimaksud Runi.
"Makasih, Mas." Hanya itu yang bisa Runi ucapkan.
Kata-kata Gama kembali terngiang di telinga Runi. Benarkah Kenar juga menyimpan perasaan khusus padanya?
Runi tahu dia dan Gama belum terikat hubungan apa pun, tapi mengapa dirinya merasa bersalah tatkala berbicara berdua dengan Kenar? Haruskah dia juga menjaga jarak dengan Kenar?
**AmelA**
Dua bulan berlalu dan Gama masih berjuang menahan rindu. Sebelum pindah, kesehariannya dipenuhi dengan tawa Runi. Kini, tidak ada sama sekali. Sesuai kesepakatan, mereka membatasi komunikasi. Gama hanya bisa memantau kabar Runi dari media sosial gadis itu. Terkadang juga dari cerita-cerita Keisha saat dia sedang chat dengan sahabatnya itu.
Menjalani hidup tanpa kehadiran Runi memang sungguh berat. Tawa gadis itu sudah seperti candu bagi Gama. Namun setidaknya masih ada harapan dan kesempatan baginya. Lelaki itu selalu menantikan pertemuan mereka selanjutnya, di saat dia dapat meminang Runi sebagaimana yang telah dijanjikan. Gama harap, selama mereka berjauhan, tak ada yang membuat Runi berubah pikiran.
"Aku memang berniat fokus ke skripsiku, Mas. Jadi Mas Gama nggak perlu khawatir. InsyaAllah, siapa pun yang melamar di saat aku belum wisuda, akan aku tolak."
"Termasuk Kenar?" Waktu itu, Gama merasa perlu memastikan lagi.
Runi justru tertawa mendengar pertanyaan yang diajukan Gama. "Mas Gama beneran cemburu ya sama Mas Kenar?"
"Gimana nggak cemburu, Run? Dia bisa ketemu setiap hari, sedangkan aku jauh dari kamu."
"Nggak perlu cemburu, Mas. Karena Mas Gama belum berhak cemburu," kata Runi dengan lembut. "Lagipula ... aku dan Mas Kenar nggak ada hubungan apa-apa. Mas nggak percaya sama aku?"
"Aku percaya sama kamu, tapi nggak sama dia."
Commuter line yang Gama tumpangi melambat. Gama tersadar dari lamunannya dan memeriksa barang bawaannya. Begitu pintu gerbong terbuka, dia beserta puluhan pekerja lain berbondong-bondong turun di Migeum Station. Gama meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Kantornya hanya berjarak satu kilometer dari stasun.
Korea telah memasuki musim gugur di bulan September. Siang harinya panas membakar, tetapi pagi hari seperti ini cuacanya cukup dingin. Daun-daun yang menguning berguguran tertiup angin. Gama mendongakkan kepala sambil merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Disempatkannya memotret suasana pagi hari di kota Seongnam untuk dia unggah ke Instagram. Runi memang tak pernah mengomentari foto-fotonya, ataupun merespon ceritanya. Akan tetapi, Gama tahu gadis itu selalu mengamati, seperti dirinya yang tak pernah melewatkan satu pun unggahan Runi.
"Suatu hari, aku akan menyusuri jalan ini sambil menggenggam tanganmu," ketik Gama pada kolom caption. Dibacanya kembali kalimat itu. Dia takut Runi merasa tidak nyaman jika membaca tulisan itu. Beberapa detik kemudian, telunjuknya menekan tombol backspace dan menghapus rangkaian huruf yang telah diketiknya.
"Hampir dua bulan dan alhamdulillah masih bertahan." Gama mengetikkan kalimat baru. Netral, hanya sekadar memberi kabar, supaya Runi tahu dirinya baik-baik saja.
Gama tak bisa berhenti tersenyum saat membayangkan dirinya menyusuri jalanan itu bersama Runi. Bayangan sang gadis pujaan berhasil memompakan semangat baru ke dadanya. Dulu, Gama pikir dia ke Korea untuk mencari suaka dari serangan patah hati. Namun ternyata, perbincangan terakhirnya dengan Runi telah merubah semua. Gadis itu menyalakan lampu hijau untuknya. Ketakutan Gama tak berbukti. Runi sama sekali tak mempermasalahkan masa lalunya.
Gama paham, waktu itu Runi tak menjanjikan apa-apa. Hanya menyuruhnya kembali selepas gadis itu wisuda untuk menanyakan hal yang sama. Akan tetapi, Gama tak ingin memikirkan kemungkinan terburuk. Dia merasa keputusan Runi waktu itu adalah sebuah petunjuk, kesempatan baginya untuk memperjuangkan cinta.
"Annyeong haseyo, Gama-ssi." Sebuah suara yang sedikit cempreng menyapanya. "Kenapa kamu tersenyum-senyum sendiri begitu?"
Gama memperlambat langkahnya agar Angela dapat menjajari langkahnya. Gadis itu adalah publisis junior di kantornya. Bisa dibilang Angela berdarah seperempat Indonesia. Kakek dari pihak ayahnya adalah orang Jawa. Makanya, ketika Gama bergabung ke kantornya, dia dengan antusias menyambut.
"Pagi ini cerah. Membuatku jadi lebih bersemangat," jawab Gama sembari menyelipkan kedua telapaknya ke saku celana.
"Baguslah kalau begitu. Artinya kamu sudah siap buat ikut rapat pleno seleksi kontes komik yang akan diadakan perusahaan kita tahun ini."
"Wait. Rapatnya bukannya masih besok?"
"Kamu belum baca pengumuman di grup? Rapatnya dimajukan karena Manajer Kim akan cuti mulai besok."
Dengan tergesa, Gama meninggalkan Angela. Tak memedulikan teriakan gadis itu yang menanyakan kenapa Gama terburu-buru. Tak ada waktu untuk menjelaskan. Gama harus segera sampai ke kantor dan memperbaiki beberapa slide presentasi sebelum rapat dimulai. Untuk sejenak, bayang-bayang Runi dia sisihkan dari pikirannya.
-AmelA-
Seharian ini, Solo terus diguyur hujan. Kenar sudah melapis kaosnya dengan sweater tebal, tetapi lelaki kurus itu tetap merasa kedinginan. Sejak pagi, dia terus-menerus bersin. Tampaknya Kenar masuk angin setelah kehujanan kemarin. Mau tak mau, seharian itu dia hanya bisa menghabiskan waktu dengan menonton film di aplikasi streaming. Janji temu dengan kawan-kawan kuliah terpaksa dia batalkan. Kamila memaksanya untuk istirahat total di rumah.
"Makanya. Sudah dibilang, Mama jemput aja. Kamu masih ngeyel sih maksa naik ojek dari stasiun," omel Kamila sembari menyodorkan segelas jahe hangat pada putranya.
Kenar tak membantah. Memang salahnya sendiri yang memaksakan diri hujan-hujanan, padahal kondisi kesehatannya memang tak terlalu baik. Kemarin, rasanya tanggung untuk meminta tukang ojek menepi saat turun hujan di tengah perjalanan ke rumahnya.
Kamila duduk di sebelah "Perpanjang aja cutimu, Nar. Istirahat dulu di rumah. Masih ada toh jatah cutimu? Kalau sampai sakit di Jakarta, nggak ada yang ngurusin."
"Mama kok malah doain saya sakit sih?" goda Kenar sambil terkekeh.
"Ya bukan gitu maksud mama." Kamila menepuk pelan lengan sang putra, "kamu ini kalau dibilangin mesti jawab."
"Lusa saya ada jadwal ngajar, Ma. Bulan depan sudah ujian semester. Kalau kuliahnya diundur, nanti malah numpuk utang pertemuan. Padahal kalau menjelang ujian, susah dapat jadwal. Matkul lain juga banyak yang kejar setoran."
Wanita paruh baya itu menghela napas dengan kasar. "Kalau kamu masih greges begini, Mama cemas kamu balik ke Jakarta sendirian. Sampai sana nggak ada yang ngurusin." Kamila menegaskan kembali kekhawatirannya.
"Ini sudah minum ramuan jahe andalan dari Mama. InsyaAllah besok sembuh." Kenar menyimpul senyum. "Lagian ... minggu depan Runi sidang skripsi. Saya pingin ada di sana buat kasih support."
Wajah Kamila yang semula cemberut, kini terlihat lebih lembut. Hatinya menghangat kala melihat Kenar berbinar mengucapkan nama gadis itu. "Kapan sih jadwal wisudanya? Moga-moga Mama pas nggak ada agenda lain, biar bisa ikut datang. Siapa tahu ..."
"Siapa tahu apa, Ma?"
"Siapa tahu habis itu kamu mau minta Mama sekalian ngelamarin dia," cetus Kamila dengan nada bercanda, padahal dia sangat serius mengucapkannya.
Kenar terdiam. Beberapa bulan terakhir, dia telah banyak mempertimbangkan. Meyakinkan diri bahwa perasaannya pada Runi bukan kekaguman semata. Keraguan yang sempat menggelayuti hatinya perlahan memudar, terutama ketika tahu Gama telah pindah ke Korea. Melihat Runi bersikap seperti biasa meski tanpa kehadiran Gama telah membuat Kenar semakin yakin dengan keputusannya.
"InsyaAllah, Ma. Rencananya habis Runi sidang nanti, saya ingin menanyakan apakah Runi bersedia menjadi istri saya. Kalau semua berjalan sesuai rencana, saya butuh Mama dan Papa ke Jakarta untuk melamar secara resmi," kata Kenar pada akhirnya. Lelaki itu telah mantap dengan keputusannya.
-AmelA-
(Halo. Maafkan saya lama tidak muncul, karena lagi kejar tayang di proyek-proyek lainnya. Sebagai hiburan saya sampaikan kabar, akhirnya ketemu juga visualisasi Mas Kenar yaitu Koko Luo Yunxi. Itu visualisasi menurut saya aja sih. Pembaca mah bebas mau bayangin jadi siapa)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top