#11 Initiation

(Halo. Jangan lupa vote dan masukkan cerita ini ke library kalian ya. Lagu yang saya sematkan di bab ini adalah lagu SYML yang berjudul Better. Pas dengarin ini langsung klik, kurang lebih seperti itulah perasaan Gama saat bertemu Runi.)

Runi menunggu dengan gelisah. Entah kenapa hatinya terasa resah. Sikap Gama membuatnya bingung. Lelaki itu memang berjanji akan segera kembali ke kantor setelah makan siang, tapi ada sesuatu yang terasa berbeda. Larik pesan yang dikirimkan Gama terkesan begitu dingin dan to the point, tidak ramah seperti biasanya.

"Sorry, Run. Nunggu lama ya?" Lelaki jangkung itu telah berdiri di depan Runi.

Runi menggeleng pelan. "Enggak kok, Mas. Mas Gama sudah selesai makan?"

Lelaki itu mengangguk, tidak berbasa-basi menanyakan apakah Runi telah makan siang seperti biasanya. Kini, Runi yakin, Gama memang sengaja menjaga jarak darinya.

"Kita bicara di meeting room aja. Kebetulan memang ada yang mau aku omongin sama kamu," cetus Gama sambil melangkah menuju salah satu ruang kaca yang memang disediakan untuk bertemu klien. Runi mengikuti di belakangnya.

Sekuat tenaga Gama menahan diri untuk mempertahankan sikap dingin di hadapan Runi. Biarlah gadis itu marah dan membencinya. Hal itu akan membuatnya lebih mudah melepaskan Runi.

Setelah Gama menyalakan pendingin ruangan, mereka berdua menarik kursi lalu duduk berhadapan. Runi memerhatikan wajah Gama yang tak tersenyum sejak menyapanya tadi. Gadis itu sibuk memikirkan apa yang membuat sang editor marah padanya. Benarkah perubahan sikap Gama ada kaitannya dengan Kenar?

"Menurut Mas Gama outline buat season 3 yang kukirim kemarin gimana?" Runi memecah hening yang menyelimuti ruangan itu.

"Sudah kubalas di email kan. Sejauh ini sih menurutku sudah bagus," jawab Gama dengan nada datar.

"Enggak ada kritik atau saran?"

Gama menggeleng.

"Tapi aku masih bingung terkait desain karakter barunya. Konsep yang kemarin kukirim kayaknya masih terlalu biasa. Tambahin ciri khas apa ya, Mas, biar unik?"

"Nanti kamu bisa diskusikan dengan editor baru kamu."

Pernyataan Gama membuat Runi tergemap. Gadis itu menatap Gama dengan wajah bingung. "Editor baru? Maksud Mas Gama gimana?"

"Aku ditawarin pindah ke Korea. Orang-orang kantor pusat pingin memperbanyak jumlah komik Indonesia yang diterjemahin ke bahasa Korea ataupun bahasa asing lainnya. Mereka butuh perwakilan dari Indonesia untuk ngasih pendapat komik mana yang kira-kira diminati pembaca dari negara lain," jelas Gama. Beban di pundaknya terasa lebih berat ketika menyampaikan berita itu pada Runi.

"Kenapa baru ngasih tahu aku sekarang?"

Sorot mata Runi yang tajam seolah mencacah hati Gama. Rasa bersalah yang dirasakan lelaki itu semakin menjadi-jadi.

"Karena kemarin-kemarin masih belum fix. Aku berencana ngasih tahu kamu begitu perusahaan menunjuk editor baru buat kamu, tapi karena kamu sudah telanjur ke sini, jadi sekalian saja kukasih tahu sekarang," papar Gama sambil menghindar dari tatapan Runi.

"Enggak bisa ngabarin aku dulu? Sebegitu rahasianya kah sampai aku enggak boleh tahu lebih dulu?"

Gama tak menjawab. Dadanya terasa sesak ketika melihat raut kecewa Runi. Jelas sekali bahwa gadis itu kecewa padanya.

"Ke-kenapa aku ngerasa Mas Gama seperti sengaja menghindari aku sih? Salahku apa, Mas? Kalau aku ada salah kasih tahu aja. Apa karena aku sering kirim draft mepet deadline atau karena aku sering ngerepotin Mas Gama?" Runi memilin ujung jilbabnya. Tiba-tiba saja dia takut kehilangan. Membayangkan Gama pergi sungguh menyesakkan baginya.

Selama ini, Runi menganggap kehadiran Gama adalah sebuah keniscayaan dalam hari-harinya. Baru dia sadari arti penting lelaki itu justru ketika mereka akan berpisah.

Bukankah mereka hanya seorang editor dan komikus? Bukankah mereka hanya dua orang yang berteman? Tapi kenapa rasanya terlalu berat saat membayangkan dirinya tak akan bebas bertemu Gama lagi?

"Kamu enggak salah apa-apa kok, Runi."

Aku yang salah karena telah jatuh cinta sama kamu. Gama membatin. Melihat ekspresi sedih Runi telah membuatnya meragukan keputusan yang telah diambil. Entah kenapa, harapan yang telah dia kubur dalam-dalam kini menerobos ke permukaan.

Berbagai kemungkinan bersliweran di kepala Gama. Mungkinkah masih ada harapan untuknya? Mungkinkah Runi juga merasakan hal yang sama dengannya?

"Kalau Mas Gama pergi, siapa yang akan nemenin aku diskusi lagi?"

"Kan ada editor baru kamu nanti. Atau kamu bisa diskusi sama Fey dan Bebi."

"Terus siapa yang akan beliin aku makanan dan minuman tiap kali aku ngerasa down." Kepala Runi menunduk makin dalam. Dia tak ingin Gama melihat bening kristal yang mulai membayang di pelupuk matanya. Segala perhatian dan kebaikan Gama bermunculan di ingatannya.

"Kamu bisa minta Kenar."

Kepala Runi terangkat. Diberanikannya diri menatap kedua mata Gama. Mata yang biasanya begitu terang laksana bintang itu kini tampak redup. Runi melihat kesedihan di wajah lelaki itu. Kalau Gama sedih, lalu kenapa memutuskan pergi?

"Kenapa Mas Gama selalu terlihat enggak suka dengan Mas Kenar?"

Gama memalingkan muka ke samping. Tak sanggup membalas tatapan Runi. "Kamu enggak bakal ngerti, Run."

"Kalau gitu jelasin biar aku ngerti."

"Sulit, Run."

"Apa Mas Gama mikir aku sebodoh itu? Coba aja dulu. Aku akan berusaha memahami. Kalau aku masih enggak ngerti, coba jelasin lagi. Sampai aku ngerti," pinta Runi pantang menyerah.

"Aku bukannya enggak suka dengan Kenar. Aku tahu dia itu cowok baik-baik." Gama membuang napas dengan kasar. "Tapi justru karena itulah aku ngerasa—"

"Cemburu?" potong Runi. Dia lelah terus menebak-nebak.

Seminggu terakhir, Runi memang memikirkan dengan serius alasan Gama menjauhinya. Hanya satu kesimpulan yang dia dapat. Gama cemburu pada Kenar, tak ada alasan yang lebih logis dari itu. Apalagi setelah mencari tahu pada sesama rekan komikus yang ditangani Gama, Runi mendapatkan jawbaan yang sama. Lelaki itu tak pernah bersikap manis kepada mereka. Runi akhirnya menyadari bahwa Gama memang memperlakukannya secara berbeda.

Gama mempertimbangkan banyak hal. Ingin sekali dia menyanggah tuduhan Runi, tapi kepalanya justru mengangguk lemah. "Maafin aku, Run. Aku sudah enggak tahu diri berani suka sama kamu. Bukannya aku enggak sadar posisiku. Semuanya terjadi begitu aja, Run. Kamu itu ... terlalu manis untuk enggak dicintai."

Runi menggigit bagian bawah bibirnya. "Kenapa Mas Gama enggak pernah bilang?"

Untuk beberapa saat, hanya terdengar embusan napas Gama yang terburu-buru. Gelombang rasa yang selama ini dia pendam kini membanjiri dadanya. Sudah kepalang tanggung untuk berbohong akan perasaannya. Bukankah tetap saja dia akan pergi meninggalkan Runi? Mau terus merahasiakan atau mengungkapkan semua hasilnya pasti akan sama saja, bukan?

"Karena kalau aku jujur, aku enggak bisa jadi editor kamu lagi. Itu artinya aku enggak punya alasan untuk sering ketemu kamu. Tapi ... yang lebih aku takutin, kamu enggak mau ketemu aku lagi. Aku tahu persis prinsip kamu. Enggak mau pacaran," lirih Gama.

"Enggak mau pacaran sebelum nikah. Aku maunya pacaran setelah nikah aja." Runi mengulang kalimat yang pernah diucapkannya pada Gama di awal perkenalan mereka.

"Kamu tahu masa laluku, Run. Membayangkan melamarmu aja aku enggak berani, Run."

"Jangan dibayangin. Langsung dipraktekin aja," cetus Runi dengan ekspresi yang sukar Gama terjemahkan.

Lelaki itu menatap Runi dengan penuh tanya. Untuk sejenak, dia sempat merasa pendengarannya bermasalah. Dimintanya Runi mengulang lagi kalimatnya barusan.

-AmelA-

Kamila memandangi putranya yang tengah serius menyetir. Siang itu, mereka hanya berdua. Tidak ada Runi bersama mereka seperti hari-hari sebelumnya. Gadis itu menolak ketika diajak mengantar Kamila ke bandara karena Anita tak bisa ikut menemani.

"Mama kenapa lihatin saya sebegitunya sih? Bulan depan insyaAllah saya mudik ke Solo. Jadi enggak perlu takut rindu. Rindu itu berat, biar Kenar saja yang ngerasain."

"Ge-er kamu. Siapa juga yang bakal kangen sama kamu. Mama tuh takut kangen sama Runi. Anak itu beneran lucu deh. Ngangenin. Ini aja mama dah kangen sama dia," seloroh Kamila. Dia sengaja memancing respons putranya.

"Kalau kangen ya telepon. Sudah tukeran nomor hape kan kemarin?"

"Mama maunya kamu ajak dia ke Solo. Biar kenalan sama keluarga besar sekalian."

"Mama! Sudah saya bilang saya enggak mau buru-buru. Biar aja semua berjalan alami. Kalau Runi memang jodoh saya, ya suatu saat nanti akan saya ajak dia ke Solo."

Kamila menghela napas sambil memandangi deretan pohon yang terlihat bergerak di sisi jalan. "Mama setuju sama kamu, tapi jangan lama-lama juga nunggunya. Memang benar jodoh itu sudah ditetapkan, bahkan sebelum kita lahir, tapi kita tetap perlu berusaha lho. Walau ending-nya tetap sama-sama gagal, tapi kalau kita pernah usaha, penyesalan kita akan terasa lebih ringan.

"Lebih baik mencoba dan gagal, daripada menyesal karena enggak pernah berani mencoba. Kalau gagal, kita sudah tahu pasti hasilnya. Tapi kalau kita enggak pernah coba, kita akan disibukkan andai-andai yang enggak jelas. Dan itu jauh lebih menyiksa, Kenar."

Nasihat itu pernah Kamila dengar dari salah seorang sahabat dekatnya. Sayang, Kamila terlalu takut. Sampai sekarang, dia masih sering membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi jika dulu dia berani untuk mencoba.

-AmelA-

"Jangan cuma dibayangin, coba dipraktekin aja sekalian," ulang Runi. "Memangnya Mas Gama enggak pernah penasaran jawabanku? Ayahku dulu pernah bilang, lebih baik mencoba dan gagal, daripada menyesal karena enggak pernah berani mencoba."

Gama masih terpaku. Mulutnya setengah terbuka, hendak mengucap tetapi masih ragu. Lelaki itu masih berusaha mencerna segala perkataan Runi.

"Memangnya kamu mau menerima kalau aku ngelamar kamu, Run?" Gama akhirnya memberanikan diri bertanya.

Gadis itu tersenyum canggung. "Belum tahu. Aku enggak bisa buru-buru memutuskan. Harus istikharah dulu. Tapi yang jelas, kalaupun aku menolak, alasannya bukan masa lalu Mas Gama. Buatku, yang terpenting adalah bagaimana Mas Gama sekarang, bukan di masa lalu."

"Tapi dosaku banyak banget, Run. Yang kuceritain ke kamu itu baru sebagian aja."

"Mas Gama sudah tobat dan janji enggak akan ngulangin lagi, kan?" Melihat anggukan kepala Gama, Runi melanjutkan bicara. "Menurutku itu sudah cukup untuk menghapuskan kesalahan Mas di masa lalu. Dosa itu seperti noda hitam di hati kita, tapi kalau kita meninggalkannya dan sungguh-sungguh bertaubat, maka hati kita akan kembali bersih, seperti orang yang enggak pernah berbuat dosa sebelumnya."

Jawaban yang diberikan Runi sungguh tidak Gama prediksi sebelumnya. Ternyata selama ini dia hanya sibuk dengan asumsinya sendiri. Mendengar kata-kata yang diucapkan Runi, harapan itu perlahan tumbuh di hati Gama. Pantaskah dia berharap Runi menerima lamarannya?

"Setelah mendengar jawaban Mas Gama, aku setuju dengan keputusan Mas. Mungkin untuk saat ini memang sebaiknya kita menjaga jarak, karena aku takut enggak bisa bersikap biasa lagi di hadapan Mas Gama."

Harapan yang baru tumbuh itu langsung layu sebelum sempat mekar. Meski Gama telah bersiap patah hati, tetap saja rasanya menyakitkan. "Iya, Run. Aku paham," ucap Gama dengan kepala tertunduk.

"Aku akan fokus ngerjain skripsi dulu. Semoga Oktober ini aku bisa wisuda. Kalau Mas Gama masih belum berubah pikiran dalam tiga bulan ini, coba kita bicarakan lagi. Semoga di saat itu, aku sudah bisa memberikan jawaban pasti."

Siang itu, Gama merasa seperti sedang naik roller coaster. Harapannya naik turun tak terkendali. Setelah sempat putus asa beberapa menit lalu, kini dirinya kembali melambung tinggi. Benarkah masih ada kesempatan untuknya?

"Lalu perasaan kamu ke Kenar bagaimana, Run?"

"Aku sudah bilang kan, Mas, cuma pingin jatuh cinta sama suamiku kelak. Jadi perasaanku ke Mas Kenar sama dengan perasaanku ke Mas Gama sekarang. Biasa aja. Kagum iya, tapi ya sudah gitu doang. Aku enggak berani membayangkan yang lebih dari itu, karena belum tentu Mas Kenar ataupun Mas Gama benar-benar jodohku."

Gama tersenyum lebar. Matanya kembali bersinar secermelang bintang. "Berarti aku masih ada kesempatan, Run?"

Runi tak lekas menjawab. Gadis itu teringat pesan sang bunda beberapa waktu lalu. "Aku enggak berani janji apa-apa, Mas. Aku cuma bisa bilang untuk saat ini aku masih fokus sama skripsi. Kalau Mas Gama ngelamar sekarang, aku akan menolaknya dengan alasan itu. Tapi kalau Mas Gama mau menunggu sampai aku wisuda. InsyaAllah saat itu aku sudah siap memikirkan pernikahan."

Senyum Gama semakin lebar. Benar kata Runi, andaikan dia memutuskan tetap diam, tak berani mencoba mengungkapkan perasaan, dirinya pasti tak akan berhenti menyesal. Ternyata, respons Runi sungguh berkebalikan dengan yang dia bayangkan.

Gama menatap Runi dengan raut serius. "Aku paham, Run. Tapi aku perlu memastikan sekali lagi. Artinya selama kamu belum wisuda, kalau Kenar atau cowok lain ngelamar kamu, jawaban kamu tetap sama kan? Kamu akan menolak karena mau fokus nyelesaian skripsi dulu?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top