Prolog
Amsterdam, 29 tahun yang lalu.
Cuaca sedang dingin bersalju. Ida dan suaminya, Cliff menyusuri jalanan Oudezijds Achterburgwal, jantung De Wallen. Cliff tak henti menggerutu, selain karena udaranya yang cukup dingin menembus kulit, ia heran mengapa istrinya memilih menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di sekitaran red light distrik. Kawasan prostitusi dan destinasi 'birahi' di Amsterdam.
"Ik wil naar huis¹," ucap Cliff pada Ida.
"Tunggulah sebentar. Aku masih ingin menikmati keramaian ini!" sergah Ida.
Cliff hanya bisa pasrah menuruti kemauan istrinya. Mungkin ini salah satu cara Ida untuk menghilangkan duka.
Seorang wanita berambut pirang menghampiri mereka berdua. Pakaian yang wanita itu kenakan tergolong minim di tengah cuaca musim dingin, mempertegas bahwa ia adalah seorang wanita tunasusila.
"Mencari kesenangan, Mevrouw²? Saya bisa bermain bertiga dengan pasangan anda juga," ucapnya menyapa Ida sembari tersenyum menggoda.
Ida menggandeng tangan Cliff dan mengibaskan tangannya, "Tidak, terima kasih," katanya berjalan menghindari si wanita tunasusila.
"Kalau di dalam harganya lebih mahal," wanita itu terus mengikuti - ia bersikukuh.
"Kami hanya berjalan-jalan," tegas Ida.
"Ayolah, tak perlu malu-malu. Tarifku sangat murah. Aku juga bersih dan tak berpenyakit."
Cliff mendengkus, "Apa kubilang, andai saja dari tadi kita segera pulang," bisiknya kepada Ida.
Ida mengibaskan tangannya, "Ah. Biarkan saja pelacur itu, lama-lama ia juga akan pergi meninggalkan kita ..."
Belum sempat Ida menyelesaikan kalimatnya pada Cliff, si wanita tunasusila dengan cepat menyambar tas tangan yang dibawa oleh Ida. Wanita tunasusila itu kemudian berlari secepat kilat dengan heels merah menyalanya.
"Haaaalt³!" teriak Cliff.
Ida berlari sekuat tenaga mengejar si pelacur. Ia meninggalkan suaminya dan menyusuri jalanan konblok yang tak rata. Sesekali kaki Ida tersandung karena cahaya remang yang menyiksa mata. Namun, Ida tak menyerah, ia terus mengejar wanita pelacur pencuri tasnya. Sebenarnya tidak ada yang penting di dalam tas Ida. Hanya beberapa puluh gulden⁴ dan lipstik lama. Tapi Ida tak mau kehilangan lagi, tidak ada lagi yang bisa mencuri milikku!
Sesekali si wanita tunasusila menengok ke belakang. Matanya membelalak, tak percaya karena Ida hampir menyusul langkahnya. Wanita pencuri itu mulai terseok-seok, kelelahan.
Entah berapa lama mereka berdua saling berlari berkejar-kejaran bak aksi dua aktor laga khas film keluaran Amerika. Wanita itu memperlambat larinya dan tiba pada gang sempit yang di sisi kanannya terdapat setumpuk kardus-kardus bekas.
"Baiklah. Aku menyerah! Kukembalikan tasmu!" serunya sambil mengangkat tangan, nafasnya tersenggal-senggal.
Ida tersenyum menyeringai.
"Aku akan melaporkanmu ke polisi!" ancam Ida.
"Tolonglah, Mevrouw. Aku terdesak melakukannya. Aku butuh uang karena kelaparan dan anakku sekarat," terang wanita tunasusila memelas. Ia membungkuk membuka tumpukan kardus dan mengangkat sesosok tubuh kecil lemah terkulai yang tertutupi selimut kumal seadanya. "Lihatlah, anakku kelaparan dan kedinginan. Aku tak yakin ia bisa bertahan ..."
Ida berjalan mendekat perlahan. Tubuhnya mengigil, bukan karena kedinginan, tapi karena keterkejutannya saat melihat wajah anak si wanita tunasusila.
"Mamma ..." rintih si anak lemah.
"Anak merepotkan. Hidupku sendiri saja sudah susah, bertambah pelik karena harus mengurusmu!" maki wanita tunasusila itu kepada si anak.
Ida berdehem dan memantapkan suaranya. Suara yang sempat hilang karena kelelahan berlari dan terserang oleh dinginnya udara yang menusuk.
"Bagaimana jika aku membeli anakmu ...?" tanya Ida.
***
¹ Ik wil naar huis : aku mau pulang (bahasa belanda)
² mevrouw : nyonya (dalam bahasa belanda)
³ halt : berhenti (dalam bahasa belanda)
⁴ gulden : mata uang belanda, sebelum digantikan oleh euro pada tahun 2002.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top