9. Minggat
Edgar pulang kembali ke rumah saat langit sudah gelap gulita.
Perkataan sang istri tadi siang saat mereka terlibat percek-cok'an membuat hatinya terluka. Ia tak menyangka sang istri menganggapnya seorang pembohong patologis.
Gara-gara ucapan Lieve, ia sempat mempertanyakan diri sendiri. Apa benar tanpa ia sadari dirinya adalah seorang pathological liar?
Edgar melangkahkan kaki, kondisi rumah sangat sepi. Mungkin istrinya sudah tidur.
Setelah meminum segelas air dingin dari dispenser, ia segera menuju kamar dan masuk ke dalam. Edgar begitu terkejut ketika melihat ruangan itu kosong, ke mana istrinya?
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam. Selarut apapun pekerjaannya, sang istri tak pernah pulang diatas jam 12 malam. Edgar mulai panik dan gundah.
Ia berkeliling rumah mencari keberadaan wanita itu. Namun, nihil. Lieve memang tidak ada di rumah.
Dengan segera ia merogoh ponsel.
Edgar mendengkus. Merutuki kebodohannya. Ia mematikan ponsel seharian karena emosi. Jantung lelaki jangkung itu mulai berdegup kencang. Bagaimana jika terjadi sesuatu menimpa sang istri?
Ia menunggu ponselnya menyala. Penantian beberapa detik yang terasa bertahun-tahun.
Sebuah notifikasi pesan muncul ketika layar ponsel baru saja menyala. Pesan dari sang istri!
Lieve♡
Aku butuh waktu untuk merenung.
Maaf sudah mengatakan sesuatu yang mungkin melukai hatimu.
Ps. Jangan hubungi ayah & ibu, nanti mereka panik & khawatir. Aku ditempat yang aman. Kepergianku memberikan waktu untukmu utk menyelesaikan naskahmu tanpa gangguan.
Edgar mencebik setelah membaca pesan dari sang istri yang sarkastik. Sebenarnya di mana wanita itu sekarang?!
***
"Jangan kayak anak-anak. Namanya suami dan istri bertengkar itu wajar. Kalau tiap kali berantem, kamu minggat, mau jadi apa rumah tangga kalian?"
Lieve menghela napas. Sudah ia duga, saudarinya pasti akan memberikannya berjuta petuah karena keputusannya yang pergi dari rumah.
"Aku bisa, lho, nginap di hotel atau cari apartemen gitu, mbak. Tapi, aku masih baik, nih, kaburnya ke rumahmu. Eh, masih juga disalah-salahin ..." gerundel Lieve.
"Lho, mbak enggak salah-salahin kamu. Mbak ini kasih nasihat. Kalian harus saling sabar satu sama lain."
"Enggak hanya itu aja, mbak. Masalahnya, aku juga merasa bersalah sama Edgar. Karena itulah aku enggak punya muka untuk bertemu dengannya. Antara kesal, benci, bercampur sesal. Makanya, aku bingung!" aku Lieve.
"Merasa bersalah, ya njaluk sepuro¹, to ... kok malah minggat. Weslah, mbak nggak habis pikir."
"Yaudahlah, mbak. Jadi, mbak ngijinin aku tinggal di sini sementara waktu apa enggak? Kalau enggak, ya, aku tinggal cari tempat lain," dumal Lieve.
"Siapa yang enggak ngebolehin kamu tinggal di sini!? Yang mbak tekankan itu supaya kamu enggak dikit-dikit kabur tiap ada masalah. Itu aja."
"Iya-iya, aku paham, mbak. Sekali ini aja, aku butuh waktu menenangkan diri tanpa bertemu muka sama Edgar," terangnya cemberut.
"Tapi jangan kelamaan, ya. Enggak baik suami-istri diam-diaman lama-lama!"
"Ya!" sahut Lieve singkat.
Perasaannya benar-benar galau.
Merasa dibohongi oleh sang suami yang teramat ia percaya. Hal sepele seperti itu saja, kenapa harus berbohong? Apakah ada kebohongan lain, selain itu? Dilain sisi, ia juga marah dengan diri sendiri. Tatapan mata Edgar begitu sendu saat mendengar perkataannya yang menuduh sang suami adalah pembohong patologis. Lieve merasa bersalah.
Sungguh. Perasaan wanita itu sedang bercampur aduk.
***
Satu, dua hari berlalu.
Lieve mulai kesal dan senewen. Kok bisa, Edgar tidak menghubunginya sama sekali. Memangnya, lelaki itu tidak khawatir dan cemas, ya, akan keberadaan istrinya? Atau jangan-jangan, Edgar senang karena dirinya tidak ada di rumah. Menyebalkan!
Tanpa ia ketahui, saudarinya menemui Edgar tepat sehari setelah Lieve minggat.
"Dia ada di rumahku. Dia bilang merasa bersalah kepadamu, tapi masih mangkel² dan belum mau pulang."
Edgar menarik napas.
Pikirannya sebagai lelaki lebih rasional ketimbang wanita yang dominan terpengaruh oleh perasaan dan emosi. Kemarahan sang istri beralasan.
Ia seharusnya lebih terbuka mengenai apa pun, terlebih, penyebab pertengkaran mereka memang bukan perkara sepele. Wajar jika istrinya marah. Seharusnya, Edgar tidak boleh egois dan membiarkan sang istri terus-menerus berkorban untuknya. Lieve hanya meminta sedikit, ketimbang banyaknya yang sudah wanita itu telah berikan.
"Makasi ya, mbak. Sudah memberitahukan saya keberadaannya. Saya tenang dia ternyata bersama dengan mbak," ucap Edgar.
"Ya. Sama-sama. Yasudah, kalian cepat baikan, ya! Aku pamit dulu, deh. Enggak enak keluar kantor lama-lama, tadi ijinnya cuman keluar makan siang."
Edgar tiba-tiba terbesit sesuatu.
"Ehm, mbak, kalau boleh, aku mau minta tolong ..."
***
Lieve duduk di depan ruang televisi dengan wajah gusar. Saudarinya yang baru saja pulang dari kantor duduk menghampirinya.
"Enggak kerja?"
"Enggak ada jadwal, mbak," sahutnya singkat.
"Kenapa metutu?" tanya sang kakak.
"Edgar itu, lho ..." kalimatnya terhenti, "sama sekali enggak ngehubungi aku, mbak!"
Sang kakak mencibir, "Yang minggat kamu, yang ngamuk kamu, eh, sekarang minta orang nyari'in. Gimana, sih? Udahlah, jangan pada gengsi-gengsi! Udah tiga hari kamu di sini, sana, hubungi suamimu!"
"Enggak mau," Lieve berkecimus. "Aku jadi makin kesel sama dia!"
Sang kakak menghela napas.
"Yawes. Sekarep³!" sungutnya. Wanita berseragam dinas dengan warna hijau muda itu kemudian melanjutkan, "Ngomong-ngomong, hari Sabtu besok kamu ada jadwal nggak?"
"Sabtu-Minggu, biasanya aku padat-padatnya, mbak. Kenapa?"
"Suruh pegawaimu yang lain-lah. Mbak mau minta tolong. Itung-itung bales jasa soalnya sudah nampung kamu di sini!"
Mata Lieve membelalak, "Astaga, perhitungan banget sama adik sendiri! Emang ada apa, sih, mbak? Aku enggak bisa ninggal kerjaan. Klien 'kan carinya aku, bukan pegawaiku."
"Kalau malam bisa tapi 'kan?" selidik sang saudari.
Lieve terdiam sejenak, ekspresinya mengialkan bahwa ia sedang berpikir.
"Aku ada jadwal pagi sampai siang. Malam enggak ada. Ada apa sih, mbak? Minta tolong apa?" tanyanya.
"Anu, bos di kantor, Sabtu besok anaknya mau nikah, tapi kekurangan orang buat jadi panitia. Kamu bantu mbak, ya. Ikut jadi panitia juga. Oke?"
Lieve berdecak, "Aduh, mbak. Aku 'kan enggak pada kenal sama orang-orangnya ..."
"Halah, tinggal diam aja jagain buku tamu, doang!"
"Hmh, yasudah ..." jawab Lieve terpaksa. Mau tidak mau menuruti permintaan tolong saudarinya, karena merasa berhutang budi sudah menumpang begitu lama di rumah tersebut.
Seutas pertanyaan berkelindan di benak. Apakah dirinya sudah tidak berarti lagi bagi sang suami? Rasa gelisah menjalar hingga mengakibatkan perut mulas disertai telapak tangan yang berubah dingin.
Ia tak sanggup jika harus berpisah lagi dengan Edgar.
Dua sisi dalam batin seolah sedang berperang satu sama lain. Egonya menolak untuk kembali pulang, sementara rasa rindu pada suami meronta-ronta.
----
¹ njaluk sepuro : minta maaf (bahasa Jawa)
² mangkel : dongkol/marah (bahasa Jawa)
³ sakarep : terserah
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top