7. Husband & Wife

"Aku saja yang nyetir," Edgar buru-buru membuka pintu mobil dan merebut kursi kemudi.

Istrinya mengangguk dan duduk di sebelah.

Langit sudah mulai gelap, mereka memutuskan untuk kembali ke Malang kota.

Edgar menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan kendaraan meninggalkan pantai. Sesekali ia melirik sang istri yang berada di sisinya.

"Kau ingin menginap di Malang atau Batu, Lieverd?" tanyanya.

"Malang saja. Aku ingin merebahkan badan dan mandi air hangat."

"Okay," sahut Edgar. Ia kemudian kembali melirik sang istri, "Soal mandi air hangat itu, maksudnya, berdua dengan suamimu, 'kan?" godanya.

Lieve mengulum senyum.

"Entah, ya. Kita lihat saja nanti," ucapnya.

Edgar hanya bisa meringis.

Ia kembali melanjutkan, "Tidurlah. Masih sejam-dua jam lagi baru kita sampai."

Lieve tak menjawab, hanya mengangguk kecil. Ia memang agak lelah, namun belum cukup mengantuk untuk tertidur.

"Kita mau nginap di mana?" tanya wanita itu penasaran.

"Hotel Tugu. Bagaimana?" tawar Edgar.

Lieve menyampaikan kesetujuannya dengan anggukan kepala.

Ia sedang seru membayangkan saat Edgar akhirnya menjadi Warga Negara Indonesia. Semua akan terasa lebih lengkap andai saja mereka memiliki seorang anak.

Sebelum menikah, keduanya sudah melakukan cek pra nikah. Serangkaian tes dilakukan karena ketakutan Edgar akibat gaya hidupnya sebelum menikah. Hasilnya baik. Mereka adalah dua manusia yang seharusnya 'mampu' menghasilkan keturunan yang sehat.

Hanya saja, mungkin Tuhan belum memberikan rejeki.

Entah berapa lama Lieve ketiduran. Melamun sambil memandangi jalanan dari dalam jendela mobil tau-tau saja membuatnya hilang kesadaran.

"Sudah sampai, Lieve. Tadinya kau mau aku gendong, eh, keduluan bangun," goda Edgar.

Lieve merenggangkan tubuhnya yang kaku. Sementara Edgar membuka bagasi mengambil duffle bag mereka. Edgar terlihat gelisah. Kakinya merapat menahan keinginan untuk buang air kecil.

"Kamu kebelet pipis, ya?" goda Lieve. Ia hafal betul dengan tabiat suaminya.

"Ya. Ayo kita cepat masuk dan check-in," Edgar jalan buru-buru.

"Kenapa tadi enggak mampir pom bensin?" tanya Lieve sembari mengikuti langkah Edgar yang berjalan menuju lobby hotel.

"Aku takut meninggalkan kamu sendiri di mobil dan tidak tega membangunkanmu yang tidur sangat nyenyak," terangnya.

"Owh, so sweet, my baby bunny," timpal sang istri sambil menggelitik perut Edgar yang setengah mati menahan hasrat ingin ke toilet.

"Lieverd!" mata Edgar melotot akibat kejahilan sang istri. Air seninya hampir saja keluar.

Lieve terbahak melihat ekspresi sang suami.

"Pergilah ke toilet dulu, aku yang mengurus check in kita."

"Oke," Edgar langsung berlari kecil mencari toilet.

Lieve berjalan menghampiri meja resepsionis hotel, kedatangannya disambut senyum ramah dua orang pegawai.

"Selamat malam, ada yang bisa kami bantu?"

"Saya butuh satu kamar suite," terang istri Edgar.

"Maaf, sudah reservasi sebelumnya?"

Lieve menggeleng, "Belum," jawabnya.

"Untuk berapa malam?"

"Satu malam saja," jawab Lieve lagi.

Si resepsionis memberikan formulir yang harus diisi oleh Lieve. Setelah mengisi lembaran tersebut, Lieve menyodorkannya pada resepsionis.

"Baik Mrs. Aanholt, mohon tunggu sebentar, Bellboy akan membawakan barang dan mengantar sampai kamar."

Lieve melempar senyum.

Seorang Bellboy dengan sigap membawa barang bawaannya. Beberapa saat kemudian, Edgar muncul sembari melempar senyum.

Hotel tempat mereka menginap adalah hotel yang populer bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota Malang. Hotel ini memiliki banyak koleksi barang antik, salah satu yang menarik dan menciptakan aura misteri adalah sebuah lukisan wanita berambut panjang yang terpajang di pojok ruangan hotel.

"Kamu enggak takut kalau nanti malam tiba-tiba dikunjungi hantu wanita yang ada di lukisan itu?" bisik Lieve.

Edgar tersenyum tenang, "Tak ada yang mampu membuatku takut, selain kehilanganmu," jawabnya.

Kamar mereka malam itu memiliki satu kasur queen size dan luas ruangan 37 m². Begitu masuk, keduanya disambut oleh dinding berwarna merah bata dan selembar welcome letter yang menjadi ciri khas dari Hotel Tugu. Kamar yang cukup mewah, namun kurang mewah untuk Edgar.

Lelaki itu terbiasa menginap di hotel bintang lima dengan kamar yang paling mahal semasa hidupnya.

"Kenapa kau tidak ambil tipe suite Raden Saleh, Lieve?" tanyanya.

"Tiga juta hanya untuk satu malam. Ini juga sudah bagus, Ed."

Edgar mendengkus, "Aku hanya ingin kau nyaman. Kamar ini tidak terlalu luas."

"Aku atau kamu?" ledek sang istri, "aku nyaman di kamar ini. Kamar mandinya bahkan sudah difasilitasi bathtub. Ayolah kita istirahat."

"Hmh, baiklah," sahut Edgar sedikit terpaksa. Semenjak menikah, ia memang harus mengurangi kebiasaannya menghamburkan uang. Untung saja si istri selalu sanggup mengontrol tabiatnya itu. Mereka sangat berbanding terbalik, Edgar terbiasa membeli barang-barang branded dan hidup serba mewah, sementara istrinya begitu bersahaja, meskipun memiliki usaha sendiri yang terbilang sukses.

"Aku mandi dulu, Ed," ucap Lieve.

"Okay. Aku akan mengecek email dari Marteen dulu," sahut Edgar mengeluarkan laptop.

Istrinya kemudian masuk ke dalam kamar mandi.

Edgar duduk dan fokus membuka naskah cerita. Perjalanan mereka tadi membangkitkan kenangan dan memunculkan ide segar di otaknya. Jemari Edgar gesit mengetikkan rangkaian kata untuk melengkapi plot. Lelaki itu mengulum senyum.

Hampir 40 menit ia berkutat di depan laptop, sampai terdengar suara sang istri membuyar konsentrasinya.

"Kupikir kamu mau nyusul ..."

Edgar buru-buru bangkit dari duduk. Masuk ke dalam bath-room untuk menghampiri wanita pujaan hatinya.

Lieve berendam di dalam bathtub kamar mandi yang berbentuk bundar. Tubuhnya tertutup busa. Rambut wanita itu digulung ke atas. Collarbone-nya mengkilat karena licinnya air sabun.

Edgar menelan ludah.

Tak pernah ada rasa bosan sedikit pun pada sang istri. Wanita itu setiap hari selalu menarik, selalu menantang, dan selalu memiliki sisi baru.

Edgar melepas pakaian yang melekat di tubuhnya. Kemudian berjalan telanjang menyusul sang istri ke dalam tempat berendam.

Istrinya duduk membelakangi. Dari belakang Edgar mengecup tengkuk sang istri dengan mesra. Kedua tangannya memeluk tubuh berlekuk bak gitar spanyol itu.

Telapak tangan Edgar akhirnya berlabuh di kedua puncak dada Lieve. Meremas gundukan sensual milik sang istri dengan penuh gairah.

"Kupikir kita hanya akan mandi bersama," ucap istrinya.

"Mana mungkin aku bisa tahan tak menyentuhmu dengan situasi seperti ini ..." bisik Edgar pada telinga Lieve.

"Apa yang tawarkan?" goda Lieve.

Edgar terdiam, sesaat kemudian ia tersenyum penuh arti, "Aku akan membuatmu klimaks lebih dari 2 kali," sahutnya.

"Bagaimana kalau kau gagal?" tantang Lieve.

"Kalau aku gagal, seharian besok, aku tidak akan berpakaian selama di rumah."

Lieve mendecak, "Tidak adil. Besok aku ada pekerjaan."

"Deal or not?"

Sang istri mendengkus, "Baiklah, paling tidak aku bisa menikmati pemandangan indah ketika kau menyiapkan sarapan."

Setelah sama-sama sepakat, Edgar bergegas melanjutkan permainannya.

"I'll eat you alive ..."

----












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top