6. Memories

"There are so many memorable moments on this trip," kenang Edgar. Ia menurunkan kaca jendela hingga ke bawah. Lelaki itu lantas menyandarkan lengan, membiarkan angin menerpa wajahnya.

"Benarkah?" tanya istrinya.

"Ya. We have so many great memories together!" jawab Edgar.

Lieve meraih telapak tangan kanan Edgar dan menggengamnya.

Mereka berdua akhirnya sampai di tempat tujuan. Setelah memarkir kendaraan di dekat lokasi, keduanya segera turun dari mobil.

Edgar bergegas turun mendahului untuk membukakan istrinya pintu.

"Silahkan tuan putri," selorohnya.

Istri Edgar mengulum senyum akibat tingkahnya.

Mereka kemudian bergandengan dan menyusuri jalan bersama.

"Kamu ingin kita melanjutkan ke tempat yang sampai hari ini belum sempat kita kunjungi itu?" tanya Edgar membuka percakapan.

"Enggak. Kita harus reservasi dulu, lagian ini hampir sore. Kita harus bermalam di sekitar sini, baru bisa ke sana besok pagi. Kurasa akan sangat melelahkan. Aku pengen santai-santai saja."

Edgar merangkul mesra istrinya, "Apa pun yang tuan putri inginkan," godanya lagi.

Lieve mencubit kecil pinggang Edgar. Lelaki itu hanya bisa meringis menahan geli bercampur sakit.

Angin bertiup semilir membuat daun-daun di pepohonan melambai-lambai bak sedang menari. Membawa aroma khas laut yang lembab dan panas.

Kedua manik mata pasangan itu dimanjakan oleh hamparan pasir putih yang bersih serta pemandangan perahu nelayan yang tertata rapi di sepanjang bibir pantai maupun yang berada di tengah lautan.

Lieve menarik nafas panjang.

"Ini dia, tempat Sofi dan Vallena saling membagi cinta."

Edgar mengangguk.

Istrinya kembali melanjutkan, "Kau menuliskan tempat ini di ceritamu?"

"Ya," sahut Edgar singkat. Lensanya masih terpaku dengan kilauan air laut yang menyilaukan.

"Kau sudah mengganti nama-namanya 'kan?" selidik sang istri.

"Eh, ehm, sudah," Edgar berbohong.

Lieve bernapas lega.

Pantai yang mereka kunjungi untuk kali ke-dua ini dikenal sebagai tempat pelelangan ikan dan sebagai tempat mendarat perahu nelayan. Oleh karena itu, pengunjung bisa membeli ikan-ikan segar hasil tangkapan langsung dari para nelayan sebagai oleh-oleh maupun disantap langsung di tempat.

Saat Lieve sedang melamun memandang hamparan pasir dan pantai, Edgar tiba-tiba mengecupnya.

"Hei," elak Lieve terkejut, "nanti dilihat orang," protesnya.

Edgar menyeringai menggoda, "Biar saja. Orang-orang akan memaklumi kelakuanku karena aku bule," candanya.

Bibir istrinya mencibir, "Bulok."

"Apa itu?" Dahi Edgar mengernyit.

"Bule lokal!" seru Lieve sembari terkikik.

Kedua pasangan itu duduk di tempat rindang yang dinaungi pepohonan. Mengenang masa lalu dan membicarakan apa saja yang terlintas di dalam pikiran.

"Kamu enggak bosen apa duduk terus?" tanya sang istri.

Edgar menggeleng.

"Selama aku bersamamu, aku tidak akan pernah bosan, Lieve," celotehnya.

Lieve berdecak, "Baby, kamu makin pinter gombal!"

"Gombal itu sebagian besar bualan, kalau aku seratus persen kejujuran. Sama kamu itu aku selalu bahagia bawaannya," terang Edgar mengulum senyum.

Lieve menggelengkan kepala, "My God, mulutmu sekarang benar-benar manis!" ia melirik suaminya dan tertawa, "aku lapaaar ..." rengeknya.

Mimik wajah Edgar berubah, mengialkan ia sedang berpikir keras.

"Siapa ya yang tadi bilang, aku tidak akan makan sampai besok pagi ..." bibirnya dimonyongkan, seolah sedang menirukan cara bicara sang istri.

"Ih kamu ...!" Lieve berkecimus.

Dengan cepat Edgar memeluk mesra istrinya, "Okay, terus kamu mau makan apa? Mau makan ikan? Apa perlu aku sewa perahu nelayan dan menangkapkan ikan segar untukmu, Lieverd?"

Lieve memukul paha Edgar dengan wajah cemberut, "Apa'an sih ..."

Edgar terbahak melihat istrinya yang manyun. Menurutnya, wajah wanita pujaannya itu lebih cantik ketika sedang merajuk. Membuat Edgar bergairah ingin melumat bibir plum milik sang istri.

"Kalau begitu mari kita makan ikan bakar di sana," Edgar menaikkan dagu untuk menunjuk salah satu tempat makan seafood di depan mereka.

"Okay," sahut Lieve.

"Cium dulu," rajuk Edgar manja.

Lieve lagi-lagi mencubit kecil pinggang suaminya.

***

"Pak, ikan bakarnya dua, ya!" Edgar memesan makanan.

"Okay, Mister!" sahut sang penjual.

Lieve menyungging senyum. Ke manapun suaminya pergi, ia selalu dipanggil 'mister', sama halnya dengan dirinya yang kini lebih dikenal sebagai 'Lieve'.

Pasangan suami istri itu kemudian duduk bersama. Edgar memandangi wajah sang istri dengan pandangan penuh cinta.

"Apa sih, kamu?" Lieve menunduk salah tingkah, pipinya bersemu merah muda.

"Masa' enggak boleh suami melihat istrinya? Apalagi kalau punya istri secantik ini," jawab Edgar.

"Ya boleh, tapi aku 'kan jadi malu, Ed."

"Aku suka kamu malu begitu," ucap Edgar. Ia lalu menyondongkan badan untuk membisik di telinga Lieve, "membuatku bergairah, ingin melahapmu di ranjang."

Lieve melirik Edgar sambil memicingkan matanya, "Baby ..." gumamnya.

Sambil menunggu pesanan mereka diantarkan, keduanya kembali berbicara dan saling mengobrol.

"By the way, sebentar lagi aku harus memperpanjang ITAS¹," terang Edgar.

Lieve mendengarkan dengan seksama.

Edgar kembali melanjutkan, "Kurasa aku hanya akan memperpanjangnya selama 2 kali," tuturnya.

"Ketentuan ITAS 'kan keseluruhan Izin Tinggal di Wilayah Indonesia tidak lebih dari enam tahun. Apa masudmu kau hanya akan memperpanjang dua kali? Maksudmu, setelah empat tahun, kamu akan menetap di negaramu? Dan tidak kembali ke mari?" istri Edgar memandang suaminya dengan berang.

"Tidak. Maksudku adalah setelah lima tahun aku akan berubah kewarnegaraan menjadi WNI."

Mata Lieve membelalak.

Wanita itu tercenung, "Ap-apa?" tanyanya.

Edgar menyunggingkan senyum.

"Yup," jawabnya singkat.

Bibir Lieve menganga tidak percaya.

"Kamu serius?" tanyanya lagi.

"Apapun yang berhubungan denganmu selalu serius, Lieverd. Bagi seorang WNA sepertiku, minimal 5 tahun tinggal disini barulah aku bisa mengganti kewarnegaraan. Sebenarnya, aku sudah di sini lebih dari 5 tahun. Kau tau 'kan ..." Edgar menaikkan alis, "tapi waktu itu keberadaanku ilegal karena menggunakan identitas orang lain," ia membisik sembari menyeringai.

"Maksudku, pekerjaanmu di sana bagaimana? Kau yakin, Ed?" Lieve masih tak percaya.

"For a God sake, Lieverd. Aku serius. Aku yakin. Kalau yang kau maksud pekerjaanku sebagai penulis? Aku bisa mengerjakannya dari sini. Dan lagi, kau lupa kalau aku punya banyak tabungan, huh? Belum lagi bisnis ibuku dulu. Tidak bekerja pun, suamimu ini kaya raya," Edgar memasang wajah pongah.

Lieve tak bergeming dengan gurauan sang suami. Ia masih tak menyangka, suaminya akan mengganti kewarnegaraan demi dirinya.

Mata Lieve mulai berkabut. Hatinya terharu.

"Aku enggak tau harus bilang apa," suaranya mulai bergetar.

"Hei-hei, kenapa malah sedih? Harusnya kau tertawa karena senang, dong!" protes Edgar.

"Aku tidak sedih, justru ini aku sedang bahagia," kelit Lieve. Setitik air mata hampir tumpah membasahi pipinya.

"But why you're crying, Lieve?" Edgar bergegas mengelap pipi istrinya dengan tisu.

"Ini namanya air mata keharuan, Ed!"

Tak lama setelahnya, seseorang menghampiri untuk mengantar pesanan mereka. Membuyarkan segala pembicaraan yang penuh dengan romantisme sukacita.

----

¹ ITAS : Izin Tinggal Terbatas. Izin Tinggal terbatas diberikan untuk waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. Setiap kali perpanjangan diberikan paling lama 2 (dua) tahun dengan ketentuan keseluruhan Izin Tinggal di Wilayah Indonesia tidak lebih dari 6 (enam) tahun.

----




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top