47. Call Me By My Name

Tidak ada waktu untuk meratapi putus cinta bagi Sofi.

Saat ini ia tengah disibukkan dengan usaha Wedding Organizer-nya.

Jasa WO dengan nama Griya Ayu yang tak hanya menyediakan rias manten, tapi juga dekorasi, MC, dan persewaan busana.

Mahmud dan Sofi menyewa ruko 2 tingkat untuk dijadikan kantor. Lantai bawah adalah lobby untuk menerima customer dan gudang, sedangkan di atas tempat menyimpan koleksi baju sewa.

Suasana di kantor hari ini begitu ramai, sudah ada empat pasangan calon manten yang sedang berkonsultasi dengan bu Rahayu. Rahayu adalah admin sekaligus customer service Griya Ayu yang Mahmud dan Sofi pekerjakan. Selain Rahayu, masih ada Dewi, pak Rudi, dan Andini sebagai asisten.

"Bu, Mahmud mana?" tanya Sofi.

Rahayu menghentikan pekerjaan sejenak untuk menjawab pertanyaan bosnya, "Mas Mahmud sama pak Rudi ngerias di Sidoarjo, mbak. Ada dua customer. Mungkin malam baru sampai kantor."

"Oh gitu, yasudah. Kalau gitu aku sama Dewi berangkat ngerias untuk acara di Bumimoro, ya." Sofi mengkode Dewi untuk mengikutinya.

Dewi segera bangkit dan membawa peralatan make up mereka.

"Hati-hati mbak Sof," ucap Rahayu.

Sofi mengangguk dan melempar senyum. Kemudian dengan ramah menyapa beberapa customer yang sedang bertanya-tanya kepada Andini.

Sudah dua minggu setelah dirinya putus.

Sofi masih suka menangis kala sendirian. Setiap malam ia tertidur dengan bantal yang basah karena air mata.

Kalau memang hubungan mereka tak nyata, tapi hatinya remuk luar biasa.

She's alive but losing all her drive.

Tidak jarang ia menyalahkan diri sendiri, harusnya mereka tidak berpisah. Namun, setelah dipikir kembali, ini merupakan keputusan terbaik. Meratap adalah hal yang sia-sia, Sofi hanya harus belajar memahami arti selamat tinggal. Mereka lebih baik seperti ini.

Ia masih terus mengenakan gelang pemberian sang kekasih. Berharap kolibri itu mampu membawa semua lukanya pergi menghilang.

***

Sesampainya di Gedung Graha Samudra Bumimoro di Manokrembangan, Sofi meminta Dewi mengecek dekorasi. Sementara ia segera menuju ruang make up untuk merias sang calon pengantin.

"Hallo," sapa Sofi tersenyum hangat kepada seorang wanita yang sedang duduk ditemani beberapa keluarganya. Beberapa wanita di dalam ruangan terlihat anteng dirias wajahnya oleh tiga orang perias lain. Tiga perias itu adalah teman-teman Mahmud dan Sofi yang biasa membantu mereka jika menangani event besar. Sofi meletakkan beauty case-nya dan memandangi wajah calon manten, "Gimana tidurnya semalam nyenyak?" tanyanya.

Wanita itu tertawa, "Aduh mbak Sofi, aku enggak bisa tidur. Deg-deg'an!" jawabnya.

"Hmm, wajar deg-deg'an, mbak. Asal jangan sampai stres. Banyak calon pengantin saking kepikiran terobsesi ingin semuanya sempurna, malah jadi sakit karena stres. Akibatnya, pada hari H badannya lemas dan kurang fresh. Sebagus apapun riasan dan busana, kalau fisik sakit, ya aura-nya jadi suram," terang Sofi sambil mengeluarkan beberapa peralatan.

"Iya. Mbak bener," jawab wanita itu.

"Mbak aku mulai, ya. Oh ya, sudah makan 'kan?" tanya Sofi.

Wanita itu mengangguk, "Sudah. Barusan aja."

"Okay. Calon manten tidak boleh kelaparan, abis ini berdiri lama bersalaman sama ratusan orang. Harus kuat," seloroh Sofi.

Setelah merapal doa sebelum memulai pekerjaan, Sofi mulai menyapukan jemari lihainya pada wajah si klien.

Tema riasan adat Jawa, yaitu paes ageng. Ada dua jenis paes ageng, Solo dan Yogyakarta. Calon pengantin memilih riasan paes ageng Solo.

Suara ketokan dari pintu terdengar beberapa kali. Setelah dipersilahkan, tampak Dewi muncul menghampiri Sofi yang sedang bekerja.

"Gimana, Wi?" tanya Sofi. Mata dan tangannya tetap fokus.

"Aman, mbak Sof," sahut Dewi. Ia bergegas mengambil peralatan untuk membantu Sofi. Tugasnya menyanggul rambut.

Setelah dua jam merias, pengantin itu sudah menjelma menjadi wanita anggun paripurna bak putri raja Solo.

"Aduh manglingi!" komentar saudara-saudara yang berada di dalam ruangan.

Beberapa saat kemudian, dua orang lelaki dan perempuan mengenakan kemeja hitam seragam masuk ke dalam ruangan sambil membawa kamera profesional. Mereka adalah kru fotografi.

"Kita foto dulu, ya," ucap fotografer perempuan.

Calon pengantin wanita menuruti aba-aba kedua fotografer. Setelah berterima kasih kepada Sofi atas hasil riasan. Sofi pamit untuk keluar dari ruang make up.

Sofi masih belum bisa pulang, ia harus memastikan semua berjalan lancar, selain itu ia juga bertanggung jawab dengan dekorasi gedung.

"Dewi, kamu di sini dulu, ya. Aku mau keluar ngecek dekorasi," ucap Sofi kepada Dewi.

Asistennya itu membalas dengan tersenyum sembari mengacungkan jempol.

Sofi sudah ketiga kalinya mengunjungi Bumimoro terkait pekerjaan. Arsitektur gedung yang modern dengan ornamen ukiran kayu, sangat cocok untuk mempelai yang merencanakan pernikahan dengan konsep tradisional.

Gedung pernikahan ini berada di komplek Komando Pendidikan TNI Angkatan Laut Bumimoro. Dengan kapasitas gedung yang besar serta fasilitas yang sangat lengkap, biaya sewa tergolong cukup tinggi.

Sofi memeriksa setiap sudut ruang.

Gebyok sudah terpasang di pelaminan, dilengkapi dengan bunga-bunga segar nan wangi yang didominasi warna lilac dan putih. Dibawah panggung pelaminan, taman bunga juga sudah siap dan mempermanis suasana ruangan.

Nyaris sempurna.

Sofi bernapas lega karena tak ada kendala yang berarti. Di dalam hati ia sedikit nelangsa. Sibuk mempersiapkan pernikahan orang lain, sementara diri sendiri masih melajang.

Hati Sofi terasa membeku.

Tak lagi menerima kehadiran orang baru setelah Vallena. Keberadaan mantan kekasihnya telah memenuhi relung hati dan tak terganti.

Kebersamaan mereka begitu singkat.

Tapi sangat indah.

***

Acara berlangsung hingga sore.

Setelah mengantarkan Dewi kembali ke kantor, Sofi bergegas kembali ke rumah.

Dini hari esok, ia harus kembali merias, jadi ia memilih pulang cepat untuk beristirahat. Sofi harus menjaga kondisi sebaik mungkin. Pekerjaannya menuntut diri tampil prima. Ia tidak boleh mengecewakan customer dan harus selalu memberikan yang terbaik. Pesta pernikahan adalah momen penting sekali seumur hidup, khususnya bagi pengantin wanita. Busana dan riasan mereka kala itu akan abadi dikenang sepanjang masa.

"Assalamulaikum," salam Sofi ketika memasuki rumah.

"Waalaikumsalam! Capek ya, nduk?" sapa Magda menghampiri anaknya.

"Lumayan, bu," Sofi mengulas senyum.

"Makan dulu, Sof," Bara muncul dari balik kamar untuk menyambut kedatangan Sofi.

Sofi menggeleng seraya menepuk perut, "Kenyang, Yah. Tadi makan di tempat acara. Sofi mau tidur sebentar aja, nanti sebelum magrib, aku bangun," terangnya.

"Yasudah. Sana istirahat. Jangan keterusan tidur sampai lupa salat magrib, lho," pesan Bara.

Sofi mengangguk, "Iya. Aku pasang alarm," ucapnya masuk ke kamar.

Setelah menutup pintu kamar.

Ia langsung menghepas tubuh ke atas ranjang. Melepas semua penat dan lelah dalam buangian kasur empuk.

Samar-samar, matanya terpejam.

Peri mimpi berhasil membawa jiwa Sofi untuk beristirahat.

***

Berulang kali alarm di ponsel berbunyi.

Namun berulang kali juga, tangan Sofi reflek mematikannya.

Pada akhirnya, wanita itu terbangun juga. Meraih ponsel untuk melihat jam, nyawanya belum utuh terkumpul.

"Astaga udah jam tujuh lebih! Enggak sholat magrib," dumalnya.

Badan Sofi lemas.

Bangun tidur bukannya segar malah terasa linglung. Benar apa yang dikata para orangtua, tidur waktu Magrib akan membuat badan sakit. Ajaran agamanya juga melarang tidur di waktu sore hari, ia masih ingat penuturan ayahnya dulu, tidur setelah Ashar dapat membuat pelakunya mengalami was-was atau kegelisahan dalam diri.

Boleh percaya atau tidak, hal itu nyata dirasakan Sofi. Perasaannya jadi galau dan malas melakukan apapun. Namun, ia harus tetap bangun untuk mandi dan membersihkan diri.

Ia membuka pintu kamar, suasana sangat sepi dan hening. Kemana semua orang? Tanya Sofi dalam hati.

Sofi menggaruk-garuk perut dan rambutnya yang berantakan. Berdiri mematung sambil melamun. Ia benar-benar linglung.

GROMPYANG!

Sofi tersentak karena suara berisik dari arah dapur belakang.

"Pasti si kucing!" dumalnya.

Ruang makan dan dapur Sofi berada di taman belakang rumah. Berada di tempat terbuka hingga seekor kucing liar di sekitaran rumah mereka gemar masuk ke dalam dapur dan mengacak-acak tempat sampah dan meja untuk mencari makanan.

"WOOOII HUSSSSS!" Sofi berlari sembari berteriak.

Langkahnya terhenti dan matanya melotot.

Seorang lelaki tinggi berambut pirang sedang membuka lemari pendingin. Sosok itu tak asing. Manik mata biru safir yang ia rindukan.

Sofi menampar pipinya.

Ini pasti mimpi!

"Hei, Sof, sudah bangun?" sapa lelaki itu, "kaget enggak lihat aku? Anything to say, may be?"

"Aku ini mimpi, ya?" Sofi berbisik.

Saking belum bisa move on dari Vallena, bisa-bisanya kebawa mimpi. Bak deja vu, mimpi yang mirip seperti yang pernah ia alami dulu saat awal mereka bertemu.

Sofi kemudian menatap sosok Vallena yang sudah berubah 180 derajat.

Lelaki tulen.

Begitu tampan. Mata biru safir yang membuatnya jatuh cinta dan terpesona. Tatapan Sofi sendu, meskipun ini adalah mimpi, ia bersyukur, paling tidak bisa bertemu dengan sang pujaan hati. Sofi berharap mimpi ini akan berlangsung lama.

"Maaf aku enggak bilang apapun soal kedatanganku. Aku tidak bisa merelakan hubungan kita berakhir begitu saja. Untuk itulah aku kemari. Sebenarnya, aku sedang mengurus paspor waktu terakhir kita bicara di telepon. Aku berniat menyusulmu ke sini, tapi kamu malah memutuskanku. Sejak kita putus, aku tidak bisa berhenti memikirkan hubungan kita. Aku yakin, berpisah bukan jalan keluar."

Sofi mendengarkan dengan seksama. Mimpinya begitu nyata.

"Aku sudah sampai dua jam yang lalu dan langsung ke rumahmu. Kau tidur begitu pulas, keluargamu merasa tidak tega membangunkanmu," terangnya lagi.

"Benar-benar realistis," Sofi terkekeh. Merasa lucu dengan mimpinya.

"Apa? Kau bicara apa? Apa kau masih mengigau, Sof?"

Sofi masih berdiri mematung, tiba-tiba bahunya ditepuk dari belakang.

"Mbak, sudah bangun, to?" Erlin adik Sofi menyapa.

"Lho, Lin??? Ini aku enggak lagi mimpi?" tanya Sofi mengerutkan dahi.

Erlin terkikik, "Ngomong apa sih, mbak? Cuci muka sana, lho. Dari tadi kita tungguin enggak bangun-bangun. Eh, sekalinya sudah bangun malah ngelindur!"

Sofi tercenung. Memandang kedua manusia di depannya secara bergantian.

Ia serta merta mencubit pipinya keras-keras. Sakit!

Kemudian ia berlari menuju sink yang berada di dekat rak piring dan mencuci mukanya secara impulsif.

"INI NYATA? INI NYATA!" Sofi berteriak.

Erlin garuk-garuk kepala melihat kelakuan Sofi. Sementara Vallena terkikik karena tingkah lucu mantan kekasihnya yang tidak bisa membedakan mana mimpi dan realita.

"Erlin!!! Lihat, Lin!!! Vallena datang ke sini! Vallena beneran ke sini!!!" Sofi menarik-narik tangan Erlin girang.

Erlin mencebik, "Hush! Kok Vallena sih, mbak! Edgar! Panggilnya sekarang mas Edgar!" koreksinya.

"Enggak apa-apa, Lin. Biarkan dia memanggilku dengan apa pun yang membuatnya nyaman. Aku ikhlas sekarang. Nama tidak penting, yang perlu ditekankan adalah perasaanku yang masih sama."

Mata Sofi kemudian berkaca-kaca.

Perasaannya campur aduk. Efek dari tidur Magrib juga masih membuatnya pikun.

"Aku benar-benar enggak percaya kamu menyusulku ke sini," tangisnya.

"Kau bilang aku harus melakukan apapun yang membuatku bahagia, 'kan? Nah, bersama dengan kamu itu yang membuat aku bahagia, Sof ..." diusapnya puncak kepala Sofi dengan lembut.

Erlin ikutan terharu. Ia berulang kali menyedot cairan yang meleleh dari hidung karena menangis.

"Assalamulaikum, kok pada kumpul semua di ruang makan? Lapar, ya?" Magda muncul membawa beberapa kantung plastik.

"Aduh maaf, ya, lama! Ini pizzanya lama sekali mateng!" omel Bara sesampainya dari rumah.

"Idih, ayah beli pizza? Tumben!?" Erlin mengusap air mata dan ingus.

Bara berdecak, "Menyesuaikan, Lin! Tamune wong Londo masa dikasih rujak cingur! Ya mules!"

Mereka tertawa bersamaan karena perkataan Bara.

Erlin bergegas merapikan meja makan. Mengambil piring-piring dan mengaturnya rapi.

"Eh, mbak Alfita coba ditelpon, suruh sini. Ikut makan sama-sama!" titah Magda.

"Uwes aku chat, barusan aja. Katanya otewe," sahut Erlin membuka kotak pizza yang beraroma gurih.

"Tyo diajak?" tanya Magda lagi.

"Iya. Mas Robi ya ikut kok, bu," jawab Erlin.

"Alhamdulilah, ngumpul semua!" timpal Bara membuka kotak stereofoam berisi nasi goreng.

Sofi masih memandang lelaki berbola mata biru safir yang berdiri disampingnya. Mereka saling berpandangan penuh cinta. Seulas senyum tergaris di bibir keduanya.

Suasana begitu hangat. Bahagia.

"Sofi, kok bengong aja, ambilkan piring buat tamunya, dong!" ledek Bara.

"Eh, ehm, iya!" Sofi buru-buru meraih piring yang ada di sisi meja.

"Biar aku sendiri saja, Sof."

Sofi menepis tangan lelakinya, bersikukuh untuk tetap melayani.

"Enggak. Biar aku yang ambilin! Kamu mau apa, Edgar? Nasi goreng?" tanya Sofi.

"K-kamu memanggilku apa?"

Sofi mengulum senyum. Menyendokkan nasi goreng ke atas piring dan menyodorkannya, "Edgar," sebutnya.


----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top