46. +62

Ponsel Sofi berdering.

Sebuah panggilan video dari Vallena yang buru-buru diangkatnya. Sejak kemarin, ia sudah menunggu telepon itu. Nampaknya, Vallena begitu sibuk hingga mulai jarang menghubunginya.

"Hai Sof, aku sekarang lagi di Noordwijk, kamu bisa lihat pantainya bagus, 'kan?" sapa Vallena sembari menunjukkan view pantai dengan kamera ponselnya.

Sudah sejak setahun yang lalu, Sofi membuka usaha Wedding Organizer bersama Mahmud. Ia begitu sibuk promosi dan melayani customer. Jasa WO-nya tergolong baru, tidak jarang banyak customer bersikap semena-mena dan menyebalkan. Sofi begitu lelah dan stres, ia ingin membagi keluhnya pada Vallena. Berkali-kali ia mencoba menghubungi sang kekasih, namun tak diangkat. Mengirim pesan pun tak berbalas. Sofi berusaha maklum, mungkin banyak urusan yang harus Vallena selesaikan sebelum kembali ke Indonesia. Sofi sedikit gusar ketika mengetahui Vallena sedang asyik bersantai di pantai, tetapi, ia mencoba sabar, karena sebelumnya hidup Vallena amat terkekang menjalani masa muda.

"Ya, bagus banget. Tapi pantai di Indonesia juga enggak kalah bagus, 'kan?" sahut Sofi.

"Memang sih. Oh ya, aku jadi ingat, bukankah kita batal mengunjungi pantai Tiga Warna dulu?" kenang Vallena.

"Iya. Nanti kalau kamu pulang ke sini, kita ke sana, ya!" pancing Sofi. Ia mengisyaratkan bahwa dirinya menunggu kepulangan Vallena.

Vallena tak menjawab.

Hanya mengulas senyum. Sofi terkesiap, raut wajah Vallena mengialkan keraguannya akan kembali lagi ke Indonesia. Apakah ia sudah nyaman tinggal di sana? Dengan hidup dan jati diri yang baru?

Sofi buru-buru mengalihkan topik, berusaha menetralkan perasaan galaunya.

"Kirim foto kamu, dong! Gimana rasanya berhasil mewujudkan mimpimu?" pintanya.

"Luar biasa," Vallena tertawa ceria, "aku merasa begitu bebas. Tak ada sedikitpun rasa jijik dengan diri sendiri!"

Sofi menatap sosok Vallena yang ada di dalam layar. Kulit kekasihnya lebih gelap dibanding sebelumnya. Tubuhnya juga sangat berubah. Sangat maskulin dengan otot-otot yang lebih menonjol. Saat masih menjadi wanita, Vallena rutin berolahraga, terlebih sekarang, ia pasti lebih bebas melakukan beragam aktifitas ekstrim yang melibatkan kekuatan fisik.

Hampir dua tahun berlalu, Vallena berubah.

Satu hal yang tak berubah adalah kerinduan Sofi padanya. Ia begitu ingin bertemu dengan sang pemilik hati.

"Jadi kapan kau pulang, Vall?" tanya Sofi.

Raut wajah Vallena berubah gusar, "Aku belum bisa memastikan kapan aku ke Indonesia. Masih ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan dengan daddy. Oh iya, kamu tak perlu memanggilku 'Vallena' lagi, Sof. Bukannya aku sudah cerita kalau aku mengganti nama lahirku di Pengadilan. Vallena sudah tiada puluhan tahun yang lalu, sementara nama Marc juga asing untukku. Panggil-lah aku dengan nama baruku."

Mata Sofi berkabut.

Sebisa mungkin ia menyembunyikan keterkejutan. Sofi tidak mau merusak kebahagian yang sedang dirasakan Vallena.

"Oh ya. Maafkan aku," ucapnya.

Terdengar seruan panggilan yang sepertinya ditujukan untuk Vallena.

"Sof, sudah dulu, ya. Aku dan teman-temanku akan berselancar!" mata Vallena tidak fokus karena menoleh ke arah teman-temannya.

"Wah, kamu sudah punya banyak teman," Sofi mengulas senyum. Dalam hati ia benar-benar yakin, jika Vallena sudah terlanjur betah di negara asalnya.

Vallena menunjukkan kedua temannya yang tersenyum ke arah layar ponsel. Mereka berdua kompak melambaikan tangan pada Sofi.

"Itu Jacob dan Arnout," terang Vallena.

"Have fun. Aku juga harus tutup telponnya, ada pekerjaan!" kata Sofi mengakhiri percakapan.

"Tot stranks, lieverd," Vallena kemudian menutup panggilan video mereka.

Tak selang beberapa lama, ponsel Sofi kembali berdenting.

Vallena mengirimkan potret dirinya yang tadi Sofi minta.

Sofi segera membuka kiriman foto tersebut.

Tak lupa, Vallena membubuhi keterangan bertuliskan, 'no more bra, #freethenipple, LOL'.

Sofi terkikik membaca kata-kata tersebut. Ia kembali menatap wajah sang kekasih yang ia rindukan. Memperbesar foto dengan jemari.

Vallena yang duduk menghadap ke samping.

Tunggu dulu! Vallena? Sofi bertanya dalam hati.

Lelaki ini bukan Vallena. Vallena sudah tiada bertahun-tahun yang lalu. Lantas, ia jatuh cinta kepada siapa? Apakah dengan lelaki bernama Marc? Tidak. Bahkan Sofi sama sekali tak mengenal Marc.

Seperti Vallena yang tiba-tiba tidak nyata, Marc pun seperti hantu. Nama itu seakan telah mati dan tak akan pernah hidup kembali.

Sofi menengok ke arah buku tebal pemberian pujaan hatinya yang sudah selesai ia baca. Beberapa kisah misteri kelam dan kumpulan puisi karangan si Penyair. Sofi berhasil menangkap kesedihan yang dituangkan Penyair pada tiap untaian sajak.

Sofi bisa mengerti alasan sang kekasih mengganti nama.

Yang membuat hati Sofi nelangsa adalah sosok Vallena yang ia kenal menghilang begitu saja. Dia tidak nyata. Tiba-tiba saja berubah menjadi hantu yang seolah ingin dilupakan bahwa dulu ia pernah ada.

Benarkah cinta mereka nyata?

Kebersamaan mereka hanya terhitung bulan, kurang lebih 3 bulan. Namun perpisahan mereka hampir dua tahun lamanya.

Sofi mulai menangis.

Mempertanyakan perasaan mereka satu sama lain. Dengan siapa ia jatuh cinta? Vallena? Marc? Atau ...

Sofi tidak ingin menganggu kebahagiaan yang suda dirasakan kekasihnya. Pulang kembali ke Indonesia pasti hanya akan mengembalikan segala kenangan pahit. Apalagi jika sampai ada wartawan yang mengulik-ulik kembali kehidupan mereka.

Mungkin sebaiknya Sofi melepaskan kekasihnya. Bagaimanapun juga, ia dan Vallena adalah satu bagian dari masa lalu. Sofi harus mengikhlaskan cintanya memiliki hidup baru tanpa terbayang kenangan silam.

***

***

Kesibukan masing-masing, makin membuat hubungan keduanya renggang. Apalagi perbedaan waktu 5 jam antara Belanda - Indonesia.

Sofi enggan menghubungi kekasihnya duluan. Ia makin merasa hubungan mereka seolah dipaksakan.

Sementara itu, di Belanda, si kekasih tenggelam dengan rutinitas baru. Ia merapel semua aktifitas maskulin yang 30 tahun terlewat dalam dua tahun. Memperdalam olahraga Muang Thai, berlatih skate-board dan surfing, rajin membentuk otot di Gym, dan bahkan mencoba menulis jurnal.

Tak terasa, satu bulan berlalu tanpa saling berkabar.

"Nak, bagaimana kabar pacarmu di Surabaya?" tanya Cliff ketika mereka berdua sedang sarapan bersama.

"Ah, uhm, baik, kurasa." Ia memasukkan potongan besar roti panggang ke dalam mulut.

Kedua alis Cliff berkerut, "Kau bilang 'kurasa'?"

Ia terdiam.

Cliff menggelengkan kepala, "Kau tidak tau kabar pacarmu? Apa kalian jarang bertukar kabar?" pancingnya.

"Kesibukan dan jarak seakan memisahkan kami."

Cliff menghela napas. Menatap lamat-lamat anak lelakinya sebelum memberikan petuah.

"Jangan sampai terlena dengan waktu yang membuai. Ingatlah, apa arti dirinya bagimu."

Mata biru safir itu tertunduk.

Ayahnya benar, Sofi tak tergantikan. Ia terlalu asyik sendiri dengan dunia baru.

"Setelah ini aku akan mengurus pasporku, dad," ucapnya mantap.

"Kau akan ke Indonesia?" tanya Cliff.

"Iya. Aku akan menemuinya."

Cliff mengulas senyum sembari menepuk bahu anak lelakinya.

***

Mata biru safirnya bersinar ketika keluar dari kantor Imigrasi.

Ia buru-buru meraih ponsel dan menghubungi ponsel Sofi.

"Hallo," sapa Sofi dengan nada yang tak bersemangat.

"Kenapa suaranya lemas begitu?"

"Aku baru mau tidur, seharian penuh ada panggilan ngerias," terang Sofi.

"Astaga, aku lupa kalau di sana sudah jam 10 malam, ya! Sorry, Sof," katanya menepuk jidat.

Terdengar suara desah Sofi, "Kamu memang selalu lupa. Tidak usah dipaksakan menghubungiku hanya demi kewajiban. Aku juga tau kamu punya kehidupan di sana. Kita sama-sama punya kehidupan. Kehidupan yang berbeda."

"What are you talking about, huh?" dengan gundah ia berjalan menuju areal parkir untuk mencari mobilnya.

"Aku tak mau memaksamu atau menahanmu. Aku ingin kamu bahagia dengan hidup barumu, tanpa terbebani dengan hubungan kita, Vall."

"Sudah kubilang 'kan jangan panggil aku 'Vall' atau 'Vallena', panggil namaku yang sekarang!" sulutnya membuka pintu mobil. Menyalakan mesin dengan emosi.

"Aku tak bisa! Aku hanya mengenal Vallena! Aku jatuh cinta padanya! Tapi dia tidak nyata! Dia enggak ada. Dia tidak ada di mana pun," suara Sofi terdengar terisak.

Radio di mobil menyala memutar lagu.

"I don't want to hurt your feeling because I heard that you are happy with your life now. But, I miss Vallena so much ..." lanjut Sofi.

"Kau tau 'kan aku ingin mengubur semua kenangan berkaitan tentang Vallena!"

"Kalau begitu kau juga harus mengubur kenangan tentangku. Aku bertemu dengan Vallena, jatuh cinta padanya. Dialah kekasihku, 'but Vallena didn't exict," sahut Sofi.

"We are the same person, Sof!"

"You are?" tanya Sofi ragu. "Aku bahkan tak mengenal dirimu yang sekarang."

"Lalu maumu bagaimana?"

"Kita hanya bertemu dan bersama dalam hitungan hari. Kurasa lebih baik jika kita berpisah."

"Kau tidak serius mengatakannya, 'kan?"

Sofi terdiam beberapa saat.

"Kurasa aku serius."

Mereka hening.

Mencerna perasaan campur aduk yang bergejolak di dada.

"Okey. Kalau memang kau pikir itu yang terbaik."

Sofi terdengar menangis, "Okay ..." timpalnya.

Sambungan telepon itu berakhir.

Terkadang hanya cinta saja tak cukup kuat untuk bertahan bersama dalam sebuah hubungan. Keberadaan, sentuhan, komunikasi, dan kepercayaan mempengaruhi keberhasilan sebuah kisah happy ending.

Dengan wajah datar, ia melajukan mobil kembali pulang. Dari radio, sayup-sayup terdengar lagu cinta yang dialunkan oleh Stephen Sanchez.

I would never fall in love again until I found her. I said, "I would never fall unless it's you I fall into" ...
I was lost within the darkness, but then I found her, I found you ...


----

----



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top