45. Netherland

Vallena tiba di bandara Internasional Schiphol, Amsterdam, Belanda.

Ia harus menempuh perjalanan kurang lebih dua jam untuk sampai di Liempde. Rumah lama mereka dulu, ketika masih menjadi 'keluarga'.

Vallena tidak tahu pasti, apakah Cliff Valla masih tinggal di sana atau tidak. Bertahun-tahun berlalu tanpa saling mengirim kabar. Ia dan Ida bak hilang ditelan bumi.

Sepanjang perjalanan, Vallena melamun memandangi ke arah jalanan. Membayangkan bagaimana cara Ida dulu membopongnya dari Amsterdam menuju sebuah provinsi di Brabant Utara, Belanda.

Setelah beberapa jam berkendara.

Mobil mulai memasuki desa Liempde. Kawasan asri dengan rumah-rumah berjajar. Meskipun tergolong pedesaan, namun, tipe-tipe rumah hampir sama dengan arsitektur rumah di kota. Sangat berbeda dengan Indonesia.

Sopir sewaan menghentikan laju, ia menyampaikan pada Vallena bahwa mobilnya tak bisa masuk ke alamat yang Vallena tuju. Rumahnya masih berada di ujung pemukiman. Dekat dengan lahan perkebunan dan peternakan yang masih ada di depan.

"Kau tinggal berjalan sedikit berbelok di gang itu," terang sopir menunjuk ke arah gang kecil di hadapan mereka, "setelah itu kau tinggal mencari nomer rumah ini."

Vallena mengangguk, "Ja, dankuwel¹," sahut Vallena.

Ia membawa backpack di punggung, tak membawa banyak barang. Vallena hanya memiliki sedikit pakaian lelaki ketimbang barang-barang 'wanita' yang ia tinggalkan di Indonesia.

Manik matanya mengagumi pemandangan di sekitar. Padang rumput luas yang memisahkan jarak rumah-rumah. Ia mencoba mengingat-ingat kenangan masa kecilnya, namun ingatannya samar. Vallena terus melangkah melalui jalan setapak yang sedikit berkelok.

Ia sampai pada sebuah rumah berbatu-bata merah berdiri tidak jauh dari lokasi sungai. Langkahnya terhenti. Rumah itu adalah rumahnya. Pekarangan luas menghampar. Atap rumah terbuat dari sun panel untuk membangkitkan listrik dari tenaga matahari. Di samping bangunan tinggal, terdapat lahan peternakan dengan domba-domba yang sedang sibuk makan.

Vallena menelan ludah.

Jantungnya mulai berdebar-debar. Rasa gugup dan takut kalau Cliff tidak menerima kedatangannya.

Saat sedang melamun di depan peternakan, seorang lelaki tua berkemeja kotak-kotak keluar dari barn membawa ember berisi makanan ternak. Lelaki tua itu menangkap kehadiran Vallena yang sedang berdiri mematung.

"Hallo, kan ik helpen²?" tanya lelaki itu menghampiri.

Vallena mengatur perasaannya. Ia merogoh sebuah amplop di dalam backpack dan menyodorkannya pada lelaki tersebut.

Dengan segera, lelaki itu meletakkan ember yang ia bawa ke atas tanah, menerima pemberian Vallena dengan mimik wajah kebingungan.

Ekspresinya seketika berubah saat lensanya mengenali amplop berisi surat yang ia pernah kirim bertahun-tahun yang lalu.

Mereka berdua saling berpandangan dengan mata berkabut. Lelaki tua itu adalah Cliff Valla. Matanya menelisik sosok Vallena dengan seksama. Seulas senyum haru tersungging di bibir.

Cliff membuka pagar peternakan dan berjalan menghampiri Vallena.

Tanpa aba-aba lelaki tua itu memeluk Vallena erat.

***

Mereka berdua duduk di depan rumah sambil menikmati kopi panas.

Vallena menceritakan semua peristiwa yang terjadi pada hidupnya, sementara Cliff mendengarkan seksama. Cliff begitu terkejut dengan keadaan mantan istrinya. Meskipun sudah berpisah lama, Cliff masih menyimpan seutas kasih kepada Ida. Mereka pernah memiliki kehidupan yang bahagia dan sempurna.

Vallena terdiam sejenak.

Memberi waktu pada Cliff untuk mengolah perasaan. Terlihat jelas dari raut wajahnya, lelaki tua itu begitu terpukul mengetahui kabar Ida yang mendekam di balik jeruji besi.

"Aku juga sudah tau ..." lanjut Vallena ragu-ragu, "bahwa, aku bukan anak kandung kalian berdua. Aku tau bahwa Vallena yang sebenarnya telah meninggal karena tenggelam."

Cliff melotot. Memegangi dadanya karena terkejut.

"K-kau sudah tau?" kalimatnya terbata.

Vallena mengangguk.

"Tak ada lagi rahasia," sahut Vallena memaksakan senyum. "Aku berterima kasih, meskipun aku bukan anakmu, kau masih mau menerimaku."

Cliff segera memegang pundak Vallena.

"Jangan berkata begitu! Bagiku, kau adalah anak kami. Anak yang kusayangi. Justru, maafkan aku, aku tak punya keberanian untuk membelamu dulu," sesalnya.

"Ceritakan mengapa kalian bercerai, dad," pinta Vallena.

Cliff menghela napas sembari menerawang langit.

"Aku sama sekali tidak mengetahui kau adalah anak lelaki. Ida membawamu pulang seorang diri dari kawasan De Wallen. Memang kuakui, kau dan Vallena sangat mirip. Kalian seperti kembar. Singkat cerita, kami merawatmu sebagai anak sendiri. Bahkan, Ida memanggilmu dengan nama Vallena, nama yang sama seperti mendiang anak kami. Makin lama, ia makin menganggapmu seperti Vallena yang sudah tiada. Tadinya, kupikir itu tidak akan menjadi masalah. Setelah kehadiranmu di rumah, kehidupan kami juga kembali dipenuhi keceriaan dan kebahagiaan. Kau seperti malaikat yang dikirim Tuhan. Hal yang tidak kusadari adalah sikap Ida sangat protektif kepadamu. Ia bahkan melarangku terlalu dekat denganmu, seakan ada yang disembunyikan. Hingga suatu malam kau mengompol di tempat tidur dan meminta tolong padaku. Aku membawamu ke kamar mandi untuk membilas tubuh dan menggantikan bajumu yang basah. Dari situlah aku mengetahui bahwa kau sebenarnya adalah anak lelaki," kenang Cliff.

Napas Vallena seakan tersendat mendengarkan cerita Cliff.

Cliff kembali melanjutkan, "Aku bertengkar hebat dengan Ida. Bagiku ia sudah kehilangan akal karena memperlakukan anak lelaki selayaknya perempuan. Tapi ia berkelit bahwa itu kemauanmu, bahwa kau adalah transgender. Sulit bagiku untuk menerima itu, bukan karena aku penentang konsep transgender, tapi aku tidak yakin itu adalah kemauanmu secara pribadi. Aku menduga itu adalah obsesi Ida semata. Ia mencuci otak polos seorang anak berusia 4 tahun seperti teroris. Tiap kali memandangmu, aku merasa bersalah. Tapi aku tak melakukan apapun untuk menolongmu, aku bersalah."

Vallena menghapus air mata yang menetes di pipinya. Penuturan ayahnya begitu menguras emosi.

Cliff bangkit dari tempat duduk.

"Setelah kami bercerai, ada satu hal yang kulakukan selama bertahun-tahun untuk menebus rasa bersalah," katanya, "tunggu sebentar," Cliff masuk ke dalam rumah meninggalkan Vallena.

Vallena duduk di kursinya menunggu.

Beberapa menit kemudian, Cliff muncul membawa sebuah kertas dan menyerahkannya pada Vallena.

"Aku mencari ibu kandungmu. Kami dulu bertemu di kawasan De Wallen. Setiap hari aku ke sana mengunjungi semua tempat satu persatu. Berbekal ingatanku akan wajahnya karena namanya saja aku tidak tau," jelas Cliff.

Vallena tercenung, matanya membelalak menatap akta kelahiran yang Cliff berikan.

"Dan akhirnya kau menemukannya? Ini ...?" gumam Vallena bergetar.

Cliff mengangguk sembari tersenyum.

"Iya. Setelah sekitar 4 tahun mencari, aku menemukan ibumu. Tujuanku mencarinya adalah untuk meminta akta kelahiranmu. Akta kelahiranmu yang asli. Aku berpikir, suatu hari kau layak mengetahui kebenaran akan dirimu yang sebenarnya," jawab Cliff.

"Ibuku tak menanyakanku?" pancing Vallena.

Cliff mengelus punggung Vallena lembut, "Maafkan aku, nak."

"Jadi ia sendiri memang tidak menginginkanku?" hati Vallena nelangsa.

"Ibumu adalah seorang pemadat. Ia tak bisa menggunakan pikirannya secara rasional."

Vallena menarik napas panjang.

Ia lalu menatap Cliff sambil mengulas senyum.

"Terima kasih sudah melakukan ini untukku."

Cliff membalas Vallane dengan anggukan - matanya kembali berkaca-kaca.

Marc Aanholt adalah nama yang tertera di akta kelahiran asli Vallena.

Nama yang asing bagi Vallena. Nama seseorang yang sudah lama hilang. Sebuah nama yang harusnya menjadi miliknya.

"Aku ingin mengubah nama ini, bisakah?" tanya Vallena kepada Cliff.

"Tentu bisa! Kita bisa mengurusnya di sini."

"Aku bukan Vallena, juga bukan Marc. Selama bertahun-tahu aku adalah manusia karangan seseorang yang memerankan tokoh Vallena yang sudag lama meninggal," ujar Vallena.

Cliff menatap iba ke arah anaknya. Ia sadar, tak mudah bagi Vallena karena memiliki masa lalu dan kehidupan yang begitu kelam.

Satu hal yang tetap membuat Vallena optimis dan tegar, Sofi.

***

Vallena sedang beristirahat di kamar.

Ia meraih ponsel untuk menghubungi Sofi.

"Hallo!" suara Sofi terdengar bersemangat.

Vallena mengulas senyum. Mendengar suara sang kekasih otomatis membangkitkan semangatnya.

"Maaf aku baru hubungi kamu, Lieverd. Aku sudah sampai dan sudah bertemu ayahku, Cliff."

"Oh ya? Terus? Terus?" cecar Sofi antusias.

Vallena melirik jam dinding, "Hei, pukul berapa sekarang di sana? Di sini jam 6 sore, berarti di sana sekitat jam sebelas! Kau belum tidur?"

"Belum! Aku belum ngantuk! Ayo lanjutkan ceritamu," pinta Sofi tak sabar.

Vallena menyunggingkan senyum, rindu ingin memeluk sang kekasih.

"Ya, kami mengobrol biasa layaknya reuni ayah dan anak. Kemudian ..." Vallena terhenti.

"Kemudian? Kemudian apa?!" desak Sofi.

Vallena menarik napas panjang.

"Kau tau 'kan, jati diri yang sekarang kupakai adalah milik mendiang Vallena. Paspor, akta lahir, dokumen-dokumen, dan lain-lain. Itu karena Ida dan Cliff tidak mengurus akta kematian Vallena asli. Jadi, aku ini seakan melanjutkan kehidupan Vallena yang telah lama meninggal," terangnya.

"Ya aku tau," timpal Sofi.

"Lalu tadi Cliff memberikanku akta lahirku. Akta lahirku yang sebenarnya. Setelah bercerai dengan Ida, dia berusaha melacak keberadaan ibu kandungku untuk meminta akta lahirku," ungkap Vallena.

"Astaga ... terus?"

"Aku sudah tau nama asliku. Namaku Marc Aanholt, itu yang tertulis di akta lahirku," kata Vallena.

"M-marc .. Aanholt?" ulang Sofi.

"Ya. Marc Aanholt adalah namaku yang sesungguhnya. Mulai sekarang aku akan menggunakan identitasku itu. Sebagai Aanholt. Bukan Vallena Valla lagi," jelas Vallena.

"Jadi, aku harus memanggilmu Marc mulai sekarang?" suara Sofi terdengar pelan.

"Aku tadi berbincang dengan Cliff, aku berencana mengubah namaku. Aku tidak ingin dipanggil Marc. Aku juga tidak ingin dipanggil Vallena. Baik Vallena maupun Marc, memberikanku ingatan buruk. Aku akan mengganti nama Marc dipengadilan."

"Oh ya? Kau akan menggantinya? Kau akan berganti nama menjadi siapa?" tanya Sofi.

***

"Hai Sof, aku sekarang lagi di Noordwijk, kamu bisa lihat pantainya bagus, 'kan?" Vallena menunjukkan view Hondenstrand Noordwijk dengan kamera ponselnya.

Vallena dan Sofi sedang berbincang melalui panggilan video.

Sudah dua puluh satu bulan lebih berlalu semenjak mereka terpisah jarak dan waktu.

"Ya, bagus banget. Tapi pantai di Indonesia juga enggak kalah bagus, 'kan?" sahut Sofi.

Vallena mengangguk setuju.

"Memang sih. Oh ya, aku jadi ingat, bukankah kita batal mengunjungi pantai Tiga Warna dulu?"

"Iya. Nanti kalau kamu pulang ke sini, kita ke sana, ya!" suara Sofi antusias.

Vallena membalas dengan senyuman.

"Kirim foto kamu, dong! Gimana rasanya berhasil mewujudkan mimpimu?"

"Luar biasa," Vallena tertawa, "aku merasa begitu bebas. Tak ada sedikitpun rasa jijik dengan diri sendiri!"

Dari layar, wajah Sofi ikut tersenyum haru mendengar perkataan sang kekasih. Vallena pernah berkata, ia ingin berjalan di pantai shirtless seperti lelaki pada umumnya. Membiarkan angin laut menerpa kulit kepalanya dengan bebas. Dan kini, ia telah mewujudkannya.

"Jadi kapan kau pulang, Vall?" tanya Sofi.

Vallena berpikir sejenak, "Aku belum bisa memastikan kapan aku ke Indonesia. Masih ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan dengan daddy. Oh iya, kamu tak perlu memanggilku 'Vallena' lagi, Sof. Bukankah aku sudah bercerita padamu kalau aku mengganti nama lahirku. Vallena sudah tiada puluhan tahun yang lalu, sementara Marc juga bukan diriku lagi."

"Oh ya. Maafkan aku," sahut Sofi.

Terdengar suara memanggil-manggil.

"Sof, sudah dulu, ya. Aku dan teman-temanku akan berselancar!"

"Wah, kamu sudah punya banyak teman," ucap Sofi sembari tersenyum ke arah layar. Vallena menyorot ke arah dua teman lelakinya yang melambaikan tangan menyapa dari balik kamera.

"Itu Jacob dan Arnout," terang Vallena.

Sofi mengangguk.

"Have fun. Aku juga harus tutup telponnya, ada pekerjaan!"

"Tot stranks, lieverd³," tutup Vallena.

Angin pantai bertiup cukup kencang.

Gemuruh ombak bersahut-sahutan memecah sunyi. Bahkan, air laut berkerlap-kerlip menangkap pantulan matahari. Langit biru terang dihiasi awan.

Dari kejauhan, tawa Arnout terdengar keras menertawakan Jacob yang jatuh karena terhantam gulungan ombak. Lelaki itu mengambil papan surfing, lalu berenang menyusul dua temannya.

Hatinya tak pernah sedamai ini.

Seakan dunia adalah tempat yang indah dan penuh kebahagiaan. Rasa nyaman yang pelan-pelan menyamarkan keinginannya untuk kembali ke Indonesia.


----

¹ Ja, dankuwel : Iya, terima kasih (bahasa Belanda)

² kan ik helpen : ada yang bisa kubantu (bahasa Belanda)

³ Tot stranks, lieverd : sampai nanti, sayangku (bahasa Belanda)

----

Hai, Folks

Kira-kira Vallena a.k.a Marc mengganti nama menjadi siapa ya? Ada yang sudah nebak?

Jadi Vallena tidak akan menggunakan identitas Vallena Valla lagi, karena ia sudah mendapatkan identitas aslinya yaitu Marc Aanholt. Ia juga tidak akan memakai nama keluarga 'Valla' untuk menutup jejak Vallena Valla.

Vallena Valla resmi hilang dari peredaran, Genks ... hehe

Yauda, segini dulu, Salam sayang ♡♡♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top