44. Goodbye
Vallena memutuskan pergi ke Belanda mencari ayahnya, Cliff.
Ia juga berencana akan melakukan rekontruksi pembedahan payudara untuk mengeluarkan implan di dalam dadanya. Serta melakukan terapi untuk memperbaiki kestabilan hormon.
Vallena urung melakukan konfrensi pers untuk menyatakan identitas asli gendernya. Terlalu banyak yang akan dikorbankan. Gelar dokter Hesa akan dicabut. Ayahnya Cliff akan ikut terseret kasus hukum. Dan kehidupan Sofi akan kembali diusik.
Berita mengenai kehidupannya perlahan mereda. Ia tak ingin kembali menyulut api.
Sebelum pergi, ada satu hal sulit yang harus ia lakukan.
Berpamitan.
***
Vallena sudah berdiri di depan pintu rumah Sofi. Tanpa menunggu dibukakan, ia masuk begitu saja ke dalam halaman teras. Kemudian mengetuk pintu utama dengan mantap.
Tak menunggu lama, sosok Bara berdiri membuka pintu. Raut wajah lelaki paruh baya itu mendadak gusar.
"Mau apa kamu kemari?" bentaknya.
"Saya ingin bertemu dengan Sofi, juga ingin bertemu dengan bapak. Kalau perlu seluruh keluarga juga boleh. Ada yang ingin saya katakan," terang Vallena tenang.
Sofi mengintip dari balik ruang tengah, "Vallena?!" teriaknya terkejut dengan siapa yang datang.
Bara segera menoleh dan mencegah Sofi berdekatan dengan Vallena.
"Bu! Tolong Sofi ajak masuk di kamar!" perintahnya pada Magda yang juga berada tidak jauh dari mereka.
"Ta-tapi, yah!" tolak Sofi.
Vallena mengulas senyum ke arah Sofi, "Masuklah, Sof. Biarkan aku bicara dulu dengan ayahmu."
"Vall?" bisik Sofi lirih.
Magda segera menggandeng lengan Sofi, membimbingnya masuk ke dalam, "Ayo, Sof. Jangan lawan ayahmu," ucap Magda pelan.
Dengan terpaksa, Sofi melangkah meninggalkan Vallena dan ayahnya.
"Bicara di luar saja!" tegas Bara menutup pintu rumah. Menyilangkan lengan, tak sudi memandang wajah si lawan bicara.
Vallena menghela napas untuk menenangkan perasaan.
"Pak Bara, saya ke sini untuk berpamitan dengan Sofi. Sore ini, saya akan berangkat ke Belanda."
"Bagus! Jangan pernah muncul lagi!" sahut Bara ketus.
"Saya tidak bisa jamin. Saya pasti akan kembali setelah semua urusan saya di sana selesai," terang Vallena.
Bara mendelik, "Untuk apa? Kamu masih getol, ya! Ganggu-ganggu anak saya! Sekarang berpakaian kayak cowok lagi! Benar-benar tidak ada malu, mau jadi apa dunia ini! Jangan kamu pikir, dengan berpakaian seperti lelaki kamu akan mendapat restu saya, ya!"
Vallena tersenyum, "Saya tidak berpakaian 'seperti' lelaki karena saya memang lelaki."
Bara berdecak, "Maksud kamu apa, sih! Ngawur! Kelainan, ya!" hinanya.
"Pak Bara, ada yang harus bapak ketahui tentang jati diri saya."
Vallena kemudian menceritakan rahasianya kepada Bara.
Ayah Sofi terdiam dan mendengarkan dengan seksama. Kisah yang terdengar bak telenovela. Sungguh Bara sulit mempercayainya.
"Mak-maksudmu ... kamu? Bu Ida bukan ibu kandungmu? Dia?" Bara terbata-bata.
Vallena mengangguk.
"Selain ibuku, ada ayahku dan omku dokter Hesa, yang mengetahui rahasia ini. Dan ada satu lagi, Sofi."
Bara terhenyak.
"Kau dan Sofi apa sudah? Kalian?" cecar Bara. Menduga bahwa Vallena dan anaknya telah berhubungan intim.
Vallena menjawab dengan tenang, "Sofi mengetahui genderku ketika ia menolongku yang sedang sekarat karena berusaha bunuh diri. Aku menenggak berbutir-butir pil tidur, kemudian menenggelamkan diri di bathtub. Saat itulah, Sofi melihat tubuh telanjangku."
Tubuh Bara sedikit limbung. Sofi menyimpan rahasia teramat besar dan ia tetap bungkam meskipun dirinya teraniyaya.
"Kalau tidak ada Sofi, mungkin aku sudah tiada. Mungkin juga, aku tetap menjadi Vallena yang bimbang dengan jati diri. Mencintainya, menguatkan keyakinanku bahwa aku bukanlah seorang transgender."
"Semua ini bermula dari obsesi bu Ida yang kehilangan anak perempuannya?" selidik Bara.
"Iya."
Bara memegangi kepalanya yang pening, "Apa yang dilakukan bu Ida itu sangat keji dan melanggar HAM!"
"Mungkin, iya. Tapi, dia tetap seseorang yang kuanggap ibu di hatiku. Kurasa, semua yang terjadi merupakan takdir. Kalau aku tak ditemukan oleh Ida, aku mungkin sudah mati karena kedinginan dan kelaparan. Kalau Ida tak menjadikanku seorang wanita, aku tidak akan bertemu dengan Sofi. Jadi, semuanya merupakan rangkaian peristiwa yang tak perlu disesalkan. Melainkan untuk dipetik hikmah."
Bara hening dan membisu. Sibuk mencerna informasi mengejutkan yang tak ia duga.
Vallena kembali mengimbuhkan, "Aku tau ini terkesan sangat merugikan bagi Sofi. Orang-orang akan terus menganggapnya penyuka sesama jenis. Namun, aku tak bisa mengakui jati diriku, nasib om Hesa dan Cliff dipertaruhkan."
Bara mengangguk.
"Selain itu," Vallena tertunduk, "aku juga tak ingin menambah hukuman mom, aku masih berharap ia bisa mendapat remisi dan bebas kelak."
"Kau tidak dendam sama bu Ida?" tanya Bara.
"Awalnya aku marah. Tapi ia tetaplah ibuku. Ia merawatku selama tiga puluh tahun."
Bara menghela napas.
"Ini seperti dongeng buat saya ..." gumamnya.
"Wajar pak Bara tidak percaya. Saya sudah siap jika anda mau memeriksa tubuh saya," Vallena tersenyum. "Bukankah saat tes masuk, para calon Akmil juga diperiksa fisiknya?"
Bara tersenyum kecut.
Tak bisa membayangkan menelisik tubuh telanjang orang yang ia pikir wanita. Bulu kuduk Bara bergidik.
"Tidak perlu," jawabnya singkat.
"Tujuan saya ke Belanda juga untuk mengembalikan tubuh agar menjadi layaknya lelaki normal. Tujuan kami ke Thailand tempo hari sebenarnya untuk melakukan oprasi perubahan kelamin. Namun, berkat Sofi jugalah, hal itu gagal dilakukan."
Bara lagi-lagi terperanjat, ia mengelus dada sembari merapal doa memohon ampun.
Rasa bersalah terselip dalam hati Bara. Amarah dan amukan pada anak wanitanya. Sesal tak mendampingi Sofi ketika Vino baru saja melecehkannya, akibat terlalu murka berpikir bahwa anaknya adalah penyuka sesama jenis.
"Masuk," kata Bara lirih, ia membuka pintu rumah dan mempersilahkan Vallena duduk di sofa ruang tamu. "Tunggu di sini," titahnya.
Vallena mengulas senyum. Bernapas lega karena Bara bisa menerima dengan baik semua pernyataannya.
***
Bara dengan gamang masuk ke dalam kamar Sofi. Magda yang duduk tegang di depan televisi memandang suaminya penuh tanya.
"Yah, jangan dimarahi lagi si Sofi," ucap Magda khawatir.
Bara menggeleng.
"Sof," panggil Bara pelan.
Sofi menatap ayahnya dengan mimik sedih.
"Ayah sudah dengar semua dari Vallena," terang Bara.
Raut wajah Bara menyesal, ia meletakkan bokongnya di atas ranjang si anak.
"Ayah ingat pernah bilang bahwa ayah tidak bangga kepadamu. Semua itu ayah katakan karena terbawa emosi. Entah berpengaruh padamu atau tidak jika ayah mengatakannya sekarang, bahwa, ayah benar-benar bangga padamu. Kamu bertahan menjaga rahasia seseorang meskipun posisimu terpojok. Itu adalah mental seorang prajurit sejati," tutur Bara dengan suara bergetar.
Kedua ayah dan anak itu saling bertatapan penuh haru.
"Ayah enggak marah? Meskipun sekarang orang-orang memandang Sofi penuh cibiran? Ayah juga terkena imbasnya 'kan?" tanya Sofi.
"Ayah sudah tidak peduli. Anjing mengonggong, kafilah berlalu."
Sofi membalas ayahnya dengan tersenyum.
Bara berdeham, "Maafin ayah, ya, Sof," katanya.
Sofi memeluk ayahnya erat, "Ayah tidak perlu minta maaf. Sofi sayang sekali sama ayah."
Segala amarah, kecewa, dan getir yang bercokol dalam dada telah hilang tersapu oleh dekapan hangat. Sofi tidak peduli dengan dunia yang menghina asalkan keluarganya tetap mendukung dan memberikan cinta kasih.
"Sekarang temui si Vallena, dia nunggu di ruang tamu," Bara menyunggingkan senyum.
Jantung Sofi berdegup kencang.
Ini kali pertama mereka bertemu setelah segala prahara yang terjadi. Kakinya melangkah cepat menghampiri sosok sang kekasih.
Mata mereka bertemu.
Pandangan Sofi berkabut karena menahan bulir air mata yang memaksa keluar.
"Lama enggak ketemu, kamu sehat?" tanya Sofi.
"Aku sehat. Kamu?"
"Sehat," air mata Sofi turun membasahi.
Vallena mengusap lembut pipi kekasihnya yang basah.
"Kenapa menangis?"
"Karena senang bertemu denganmu," jawab Sofi.
"Harusnya kamu tersenyum, bukan malah menangis. Mulai hari ini jangan menangis lagi. Mulai hari ini, hanya akan ada kebahagiaan."
Sofi tersenyum sambil terisak.
Vallena meraih kedua tangan Sofi, menggenggamnya erat. Dipandangi wajah wanita pujaannya lekat-lekat.
"Kau tau 'kan aku mencintaimu?" ucap Vallena.
Sofi mengangguk.
Ia sudah tahu tentang rencana keberangkatan Vallena ke Belanda melalui pesan singkat yang dikirimkan ke ponselnya.
"Berapa lama kau pergi?" tanya Sofi.
"Kau mau ikut?" sahut Vallena.
Sofi menggeleng. "Aku punya kehidupan di sini. Keluargaku dan pekerjaanku. Aku tidak akan menyerah dengan mimpiku. Sama halnya denganmu, jangan menyerah dengan mimpimu, Vall."
"Aku senang melihatmu begitu optimis. Ini adalah Sofi yang kukenal," puji Vallena.
"Kau tak menjawab pertanyaanku. Berapa lama kau pergi? Sepertinya lama, ya?" selidik Sofi.
Vallena menggeleng.
"Aku tak bisa memastikan. Tapi, kita masih bisa saling berhubungan melalui video call atau chat, bukan?"
"Ya kalau kamu enggak kepincut sama cewek-cewek Belanda yang aduhai," Sofi berkecimus.
Vallena terbahak, "Berarti aku juga harus mencemaskan kau di sini, dong!"
"Enggaklah, mana ada cowok berani deketin aku. Mereka semua sudah menganggapku lesbian. Mungkin aku malah dikejar-kejar wanita-wanita cantik," kelakar Sofi.
Raut wajah Vallena berubah muram, "Maafkan aku, ya. Aku tidak bisa membersihkan namamu," ucapnya.
"Hei, enggak masalah! Aku cuman bercanda, kok. Aku tidak peduli dengan omongan orang. Lagian, aku enggak berminat jadi anggota DPR, jadi tidak perlu jaga nama baik segala!"
Vallena mengulas senyum.
Ia menciumi buku-buku tangan Sofi dengan bibirnya.
Sofi mendelik panik, "Nanti dilihat orang rumah!" serunya.
"Biar saja. Supaya semua orang tau kau adalah milikku."
Sofi tersipu dengan pipi merona.
Mereka saling berpandangan cukup lama. Menikmati tiap detik yang tersisa sebelum mengucap perpisahan.
"Aku punya sesuatu untukmu," Vallena menyodorkan paper bag kepada Sofi.
Sofi menerima pemberian Vallena dan merogoh buku tebal yang ada di dalam bag. Buku berjudul The Complete Tales & Poems of Edgar Allan Poe.
"Buku?" Sofi menaikkan kedua alis. Ia bukan wanita yang gemar membaca. Dibukanya lembar pertama, "Bahasa Inggris?"
Vallena tertawa. Ia mengetahui bahwa Sofi pasti akan kebingungan dengan buku pemberiannya.
"Itu buku yang kuambil dari perpustakaan om Hesa. Isinya sangat menarik. Terdapat kumpulan karya puisi yang mewakilkan perasaan sedih yang selalu kurasakan dulu," terang Vallena.
Sofi mengangguk, "Hmm, gitu," gumamnya terpaksa. Pasti butuh waktu berbulan-bulan bagi Sofi untuk memahami isi dari buku tersebut. Ia bersiap meminjam kamus milik Erlin, atau sekalian saja meminta tolong adiknya itu untuk menerjemahkan kata per kata.
Vallena paham betul akan kebingungan yang melanda sang kekasih.
"Buku ini ibaratnya diriku," ungkapnya. Ia lalu membuka halaman tengah pada buku, sebuah gelang berbahan emas putih tampak mengkilat terselip diantara lembaran buku. Vallena mengambil gelang itu, "Lalu gelang ini adalah dirimu," ia mengulas senyum.
Manik mata Sofi membulat, bibir plumnya menganga.
Simbol hummingbird yang mengepakkan sayap diatas bunga dan menghubungkan rantai gelang. Badan hummingbird itu terbuat dari batu safir berwarna biru. Sangat cantik.
"Burung kolibri adalah lambang dari kecantikan, keberanian, dan kekuatan hidup. Ia juga simbol dari keberanian untuk bangkit dan berjuang. Persis seperti dirimu. Seperti cinta kita," terang Vallena. Ia lalu memasangkan gelang cantik itu ke tangan Sofi.
"I-ini can-cantik sekali ..." Sofi terpukau, "astaga, aku bahkan tidak menyiapkan apa pun untukmu."
"Kau sudah menyiapkan sesuatu," sahut Vallena.
"Ap-apa?"
Vallena dengan cepat mencium bibir Sofi.
"Sudah kuambil," katanya.
Mata Sofi lagi-lagi melotot panik, "Astaga! Nanti dilihat ayah sama ibu!" sungutnya. Pipinya masih memerah karena salah tingkah akibat perbuatan Vallena.
Sofi memandangi gelang pemberian Vallena.
"Terima kasih, Vall. Kamu menyiapkan segala sesuatunya. Buku dan gelang ini, sangat romantis."
"Sama-sama. Semua tak sebanding dengan apa yang sudah kuterima darimu."
Vallena melirik jam tangan. Sudah waktunya ia pergi.
"Kau harus pergi?" tanya Sofi.
Vallena mengangguk.
"Kau mau aku antar?" tanya Sofi lagi.
Vallena menggeleng.
"Kalau kau mengantarku, aku akan berpisah denganmu dua kali. Di rumah dan di bandara nanti. Itu malah makin sulit bagiku untuk pergi," jawab Vallena.
Keduanya kembali saling bertatapan. Mengikhlaskan waktu berlalu, membawa segala rindu dan cinta. Bersiap terpisah jarak dan waktu.
Vallena membelai lembut pipi Sofi.
"Kapanpun kamu merasa kita jauh, ingatlah bahwa kita memandang langit yang sama."
"Aku akan membaca buku ini selama kau tidak di sisiku. Agar waktu tak terlalu terasa lama," ujar Sofi. Lensanya menyimpan sosok Vallena dalam ingatan. Mengingat-ingat aroma tubuh sang kekasih dalam membran otak.
Setelah berpamitan dengan Bara dan Magda. Vallena berjalan keluar rumah. Sofi menemani sang kekasih sampai di depan gerbang.
"Sampai ketemu lagi, Sof," pamit Vallena.
"Kabari aku begitu kau sudah sampai. Aku akan menunggu."
Vallena mengangguk, "Pasti akan kukabari. Baiklah, aku pergi."
Sofi melepas tangan Vallena.
Vallena membuka pintu mobil dan hendak masuk.
"Vall!" teriak Sofi.
Sofi menghambur memeluk erat Vallena dengan tiba-tiba. Air matanya kembali tumpah.
Vallena membalas dekapan Sofi. Ia mengusap rambut kekasihnya lembut.
"You know that the hardest decision I've made is leaving you, baby ..." bisik Vallena.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top