42. Terungkap
Bara menjadi satu-satunya orang yang mengurus pemakaman Vino.
Ia beserta keluarga, termasuk Sofi, sangat syok dengan kematian Vino yang mendadak dan tragis.
***
"Besok kita akan kembali ke Jakarta, Valle. Pengacara kita sudah menyusun kalimat yang akan kamu bacakan saat melakukan konfrensi pers," tutur Ida. Kepalanya pening karena pemberitaan yang makin menjadi-jadi.
"Kalimat seperti apa?" tanya Vallena gusar.
"Bahwa Sofi yang merayu dan terus menerus mendekatimu," jawab Ida tak acuh.
Mata Vallena melotot, "Kau gila, mom! Lagi-lagi kau mengkambing hitamkan Sofi!"
"Apa pedulinya! Dia bukan siapa-siapa! Sedangkan kau, kau punya nama dan karier yang terbangun susah payah. Sofi akan segera dilupakan oleh orang. Lain halnya denganmu! Kurasa ia pasti tak mempermasalahkan kalau kau menyalahkannya. Bukankah, kau bilang ia mencintaimu? Anggap saja ini adalah salah satu pengorbanannya," kelakar Ida.
Vallena tidak tahan lagi. Kupingnya terasa panas, dadanya bergemuruh, tangannya mengepal kuat-kuat. Ibunya sama sekali tidak berperasaan.
"Aku bukan bonekamu, mom! Mulai sekarang aku akan melakukan apa yang aku anggap benar. Aku akan melakukan apa yang ingin kulakukan. Bukan ingin kau lakukan. Kau ingin pulang ke Jakarta? Silahkan, pulanglah. Kau ingin konfrensi pers? Silahkan. Tapi lakukan sendiri."
"Va-Valle ..." mata Ida membelalak. Jantungnya serasa berhenti berdetak akibat gertakan Vallena.
"Kau selalu mengatakan bahwa aku memiliki penyakit mental sebagai alasan untuk mengurungku. Mengendalikanku. Guess what, mom? This is my body! My mind! My control!"
Ida berusaha tenang dan menetralisir perasaannya yang mulai kacau. "Kau harus meminum obat penenangmu, Vall. Emosimu mulai tidak labil lagi."
"Berhenti mengatakan aku gila!" Vallena berteriak. Air wajahnya mengeras, berbeda dari biasa, "Kau mengendalikanku seperti robot!" Vallena melangkah mendekati Ida. Sorot matanya tajam, "Bertahun-tahun aku meragukan diriku sendiri. Ingatanku tak mungkin salah. Kali ini yakin dengan diriku. Aku tak memiliki kenangan masa kecil yang bahagia bersamamu. Aku hanya ingat tangisan, hukuman, dan teriakan. Jangan sekali-kali kau berkelit dan mengataiku berdelusi."
Ida mundur selangkah demi selangkah.
Membalikkan badan menuju lemari kaca penyimpanan minuman.
"Kau tampak tegang, Valle. Bagaimana kalau kita minum sedikit wine atau kau mau scotch?"
Vallena menatap Ida sambil tersenyum sinis.
"Dan aku juga ingat, kaulah yang mengajariku minum-minum. Kau selalu membuatku mabuk tiap kali aku mengamuk. Akhirnya itu menjadi kebiasaanku setiap hari. Semenjak bertemu Sofi, aku mulai bisa mengendalikan keinginanku untuk minum. Ia membantuku mencari jawaban atas segala keraguanku akan diri sendiri. Katakan padaku, mom, kenapa? KENAPA KAU MERUSAKKU?!"
Ida terhenyak. Semua tak berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan.
"Ada apa lagi ini?" Hesa memecah kesunyian. Lelaki itu baru saja pulang dari Rumah Sakit.
"Aku lelah dengan semuanya, om. Hari ini aku ingin mendengar jawaban dari mom atas segala pertanyaanku. Kalau aku tidak mendapatkan kejelasan darinya, maka kau harus menjelaskan semua ini padaku, om Hesa!" hardik Vallena.
Hesa menghembuskan napas panjang.
Situasi makin memanas. Vallena bukanlah hewan yang bisa dikendalikan sesuka hati lagi. Ia adalah manusia berakal yang memiliki kuasa atas diri dan tubuhnya.
Vallena kembali mendesak Ida. Ditariknya lengan sang ibu ketika wanita paruh baya itu tak kunjung memberikan jawaban.
"Kenapa kau diam saja, mom? Katakan semuanya! Benarkah daddy meninggalkan kita karena membenciku? Mengapa kau begitu terobsesi menjadikanku wanita seutuhnya? Siapa nama lahirku? Jawab, mom!" Vallena memekik.
"Vall, sudah, Vall," Hesa mencoba melerai Ida dan Vallena.
Vallena menangkis tangan Hesa, "Tidak! Aku tidak akan berhenti sebelum menemukan jawaban!"
Ida tetap teguh tidak bergeming. Ia diam tak menjawab.
"Mom! Jawab! Aku adalah lelaki! Aku bukan seorang transgender! Kau merusakku, mom! Tapi kenapa?!" tangis Vallena pecah.
"Karena kau bukan Vallena!" jerit Ida.
Keheningan mendadak melanda. Vallena berusaha mencerna jawaban sang ibu. Hesa tercenung di tempatnya berdiri. Sebuah rahasia akan terbongkar.
"Apa maksudmu, mom?" gumam Vallena.
Ida tertawa. Makin lama tawanya makin keras dan nyaring.
"Sial. Kupikir kau adalah anakku Vallena. Ternyata kau tidak lebih dari anak pelacur yang kupungut dari jalanan," terangnya terpingkal.
"Kak!" bentak Hesa kepada Ida, "pikir sebelum bicara!"
"Biarkan dia bicara," sela Vallena dengan tatapan berkabut.
"Kau bukan anakku, idiot! Sekuat tenaga aku merawatmu! Mendidikmu dengan baik! Tapi, kau memang tak tau diuntung! Air susu kau balas air tuba! Anakku Vallena pasti menangis karena kebodohanku," Ida terkikik tertawa sendiri, ekspresinya mendadak berubah sedih, "kau di mana, my dear, Valle-ku sayang? Maafkan mommy karena salah mengenalimu. Kau tidak berada di dia, sayangku."
"Kak! Kak Ida sadar!" Hesa mengguncang tubuh saudarinya.
"Apa maksudnya? Memungutku dari jalanan?" rintih Vallena.
Ia selalu memiliki kenangan, Ida menggendongnya di tengah-tengah salju dan malam yang gelap. Ternyata, bayangan itu bukan sekedar delusi. Itu nyata. Ida Surya bukan ibu kandungnya.
Pandangan Vallena penuh tanda tanya. "Siapa aku sebenarnya?"
"Kau bukan siapa-siapa! Hanya seorang anak yang selamat dari kematian berkatku!"
"Kak!" bentak Hesa.
Lutut Vallena melemas. Ia memegangi meja kayu yang ada di sampingnya.
Sesaat kemudian, bel rumah berbunyi.
Hesa mendengkus.
Kedatangan tamu saat situasi rumah sedang runyam bukan sesuatu yang ia harapkan.
Ia berjalan menuju pintu utama, membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Sekitar lima orang berpakaian polisi telah berdiri di hadapannya - dua diantaranya adalah wanita.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Hesa penuh tanda tanya.
"Apa benar ini rumah dari ibu Ida Surya?" tanya salah seorang polisi.
"Betul. Ada apa, ya?"
"Bisa kami bertemu dengan ibu Idanya langsung, pak?"
Hesa mulai panik. Entah apa yang telah dilakukan sang kakak, sehingga polisi datang mencarinya.
"Ta-tapi ..." Hesa mulai terbata.
Kelima orang polisi yang tadi berada di luar, menerobos masuk ke dalam rumah. Mencari sosok Ida yang berada di ruang tengah.
"Wah, ada apa ini ramai-ramai?" mata Ida membelalak terkejut.
"Ida Surya, anda kami minta untuk ikut dengan kami ke Polrestabes guna penyelidikan kasus pembunuhan berencana saudara Alvino Wiryawan."
"Apa?!" Vallena terkejut bukan kepalang.
"Jangan macam-macam ya, anda semua! Saya tidak kenal itu yang namanya Alvino!" elak Ida.
Salah seorang polisi wanita menuntun lengan Ida, "Mari ikut dengan kami, bu. Anda bisa memberikan keterangan di kantor," ucapnya.
"Lepas!" berontak Ida.
Ida semakin mengamuk. Segala makian dan sumpah serapah ia lontarkan.
Dalam sekian jam, banyak peristiwa bisa terjadi.
Terungkapnya rahasia besar yang telah disimpan selama bertahun-tahun.
Hari pertanggungjawaban atas segala dosa dan perbuatan.
Kehidupan manusia begitu rapuh. Segala hal dapat berubah 180 derajat dalam hitungan detik.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top