41. Kepingan Ingatan
Wajah Sofi kuyu.
Kecantikannya pudar tertutup mata yang membengkak disertai lingkaran hitam. Rona pipinya tak tampak, berganti cekungan karena jarang makan. Ia sangat tertekan.
Pemberitaan di media melahap habis karakternya. Sophia Almira adalah wanita Lesbian jahat yang berhubungan dengan Vallena Valla secara sembunyi-sembunyi.
Meskipun Sofi adalah wanita cuek dan masa bodoh, pertahanannya runtuh karena kehilangan dukungan dari keluarga, khususnya sang ayah, Bara.
"Kamu benar-benar membuat malu, Sof. Aib keluarga kita terkorek-korek oleh para wartawan! Dosa apa yang pernah ayah lakukan hingga harus menanggung ujian seperti ini!" Bara menopang dahi dengan kedua tangan.
"Maafkan Sofi, yah," jawab Sofi lirih. Pandangannya kosong.
"Sudahlah, yah. Jangan menekan Sofi terus," sela Magda. Kali ini ia berusaha membela Sofi, meskipun ia juga terkena imbas.
Para orang tua murid mendesak pihak sekolah untuk mengeluarkan Magda. Ia dianggap gagal mendidik anak sendiri, tidak pantas menjadi seorang guru yang harusnya memberi panutan kepada siswa.
Magda tidak peduli. Rasa bersalahnya pada Sofi lebih besar ketimbang karier sebagai Pegawai Negeri Sipil. Magda mengenal Sofi dengan baik. Walaupun suka membangkang dan punya prinsip sendiri, Sofi tak pernah sekali pun berniat mengecewakan kedua orang tua. Terlebih setelah perbuatan Vino padanya, hati Sofi pasti lebur. Harga dirinya luluh lantak.
Sebagai orang tua, khususnya ibu, sudah menjadi kewajiban Magda untuk membesarkan hati Sofi. Apalagi, semua pemberitaan yang beredar sangat melenceng dari kenyataan.
"Ayah tak pernah menuntut apa-apa dari kamu. Tidak satu kali pun kamu membuat ayah bangga seumur hidupmu. Kali ini kamu malah membuat nama baik keluarga ini tercoreng!" bentak Bara.
"Ayah, sudah!" hardik Magda. Ia memeluk tubuh Sofi yang tertunduk.
Air mata Sofi menetes. Tanpa suara yang keluar, hanya isakan kepedihan akan ketidakbergunaannya sebagai seorang anak.
Ponsel Bara berdering.
Nomor yang tak ia kenali tempampang di layar. Bara mengacuhkannya. Sudah berkali-kali wartawan menghubungi nomornya. Entah dari mana mereka mendapatkan kontak Bara.
"Ponselmu bunyi, kenapa tidak diangkat?" tanya Magda.
Bara mendengkus, "Malas! Paling-paling wartawan!" sungutnya.
Setelah mati dengan sendirinya, nomor itu lagi-lagi menghubungi. Terus - berkali-kali.
"Angkat saja, yah! Siapa tau penting!" desak Magda. Telinganya risih mendengar suara dering yang tanpa henti.
Bara terpaksa mengikuti perkataan sang istri.
"Ya, hallo?"
"Selamat pagi, kami dari Rumah Sakit DR Soetomo. Apakah bapak adalah kerabat dari saudara Alvino Wiryawan?"
Bara berdecak, "Bukan!" bentaknya penuh emosi. Vino adalah biang keladi dari semua masalah yang menimpa keluarganya.
"Oh, ehm, begitu, ya? Namun, nomor bapak tersimpan dengan nama 'ayah' pada kontak saudara Alvino, pak," terang suara wanita dari seberang.
"Saya tidak ada urusan sama yang namanya Vino itu!" Bara meradang.
"Mohon maaf sebelumnya jika kami mengganggu, pak. Saudara Alvino Wiryawan dalam keadaan kritis semenjak kemarin sore karena kecelakaan. Kami sudah berusaha menghubungi beberapa kontak yang ada di ponsel beliau, tapi tidak ada respon."
Kedua alis Bara bertautan, pandangan matanya melunak, "Ke-kecelakaan?"
"Betul, pak. Sekarang beliau sedang dirawat di RS DR Soetomo, Dharmawangsa. Jika bapak berkenan, kami mohon untuk datang demi persetujuan dokumen-dokumen perawatan selanjutnya."
Naluri kemanusiaan Bara tergerak. Hati nuraninya melawan segala kebencian dan sakit hati lelaki itu kepada sosok Vino.
***
Konon katanya,
Ketika ajal akan menjemput,
Setiap jiwa yang akan pergi akan teringat setiap perjalanan hidup yang sudah ia lalui.
Rangkaian wajah orang-orang yang penting dan berarti di dalam hidup mereka, berkelindan menyusun sebuah kenangan.
Alvino Wiryawan, dalam satu hari menjadi seorang yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal dalam insiden kecelakaan pesawat terbang. Kepergian mereka, hanya meninggalkan tabungan tak seberapa dan bisnis tour and travel yang masih merintis.
Ditengah duka, keluarga besar kedua orang tua Vino dari Padang datang mendampingi prosesi pemakaman yang digelar setelah dua jenazah akhirnya ditemukan.
Ditengah kesedihan dan pusara orang tuanya yang masih basah, keluarga besar kedua belah pihak sibuk meributkan peninggalan dan harta waris. Menghitung jumlah uang yang bisa didapat dari hasil penjualan rumah, kendaraan, dan barang-barang berharga lainnya.
Vino hanya bisa berpaku tangan ketika rumah, mobil, dan motor milik orangtuanya dijual. Satu hal yang kekeuh ia pertahankan adalah bangunan kecil tour and travel milik orang tuanya. Vino bersikeras tetap tinggal di Surabaya untuk melanjutkan usaha ayah dan ibunya. Ia menolak ikut ke Padang bersama keluarga besarnya yang mata duitan.
Pengalaman pahit dalam hidup merubah sosok Vino yang lembut menjadi licik penuh ambisi. Segala macam cara ia halalkan demi memperbesar bisnis tour and travel-nya. Dunia tempat tinggalnya adalah dunia yang penuh dengan manusia-manusia munafik. Cara untuk bertahan adalah menjadi kuat dan manipulatif. Dunia adalah rimba. Siapa yang kuat, dialah yang mampu bertahan.
Vino mengisi kekosongan dan rasa hampa melalui wanita. Meaningless sex dan alcohol adalah suplemen Vino untuk terus menjalani kehidupan.
Suatu ketika, ia bosan dengan rutinitas bercinta yang itu-itu saja. Ia menantang diri sendiri untuk merebut kekasih Randi, teman satu jurusannya. Gadis itu bernama Sophia Alfira, tidak ada yang istimewa dari Sofi, cara Vino untuk mendapatkannya-lah yang membuat gadis itu menjadi tidak biasa.
Sebulan setelah berpacaran, Vino mulai bosan. Ia ingin mengakhiri hubungan cinta dengan Sofi. Sampai pada suatu hari, Sofi mengundangnya untuk makan malam bersama di rumah.
"Ini pasti si Vino, ya!" Bara menyambut kedatangan Vino di depan teras rumah. Merangkul pundak lelaki itu dengan erat.
"Ehm, i-iya, om ..." sahut Vino terkejut.
Bara menatap wajah Vino lekat, "Mashaallah! Mimpi apa si Sofi, lelaki tampan dan segagah ini bisa kepincut sama dia!"
"Ayaaaah!" protes Sofi dari balik dapur. Terlihat mengintip dengan jidat berkerut.
"Sudah. Sana lanjut masak! Masak yang enak ya, Sof! Jangan sampai Vino kapok dan tidak mau lagi makan di sini!" kelakar Bara.
"Vino, kamu sama ayah dulu, ya. Aku lagi repot, nih!" teriak Sofi dari belakang rumah.
"I-iya, Sof," sahut Vino gamang. Duduk tak nyaman di ruang tamu bersama Bara.
Bara tersenyum penuh kasih.
Menawarkan beberapa camilan di dalam toples yang berjajar rapi di atas meja.
"Vino sudah tau dari Sofi, kalau semua saudara Sofi itu perempuan. Tidak ada yang laki-laki. Jadi, saya senang sekali begitu tau Vino mau main kemari," terang Bara.
Vino mengulas senyum. "Masa' sih, om? Dulu bukannya sebelum sama saya, Sofi pernah pacaran sama si Randi?"
Bara terkekeh, "Om tau kalau Randi bukan jodoh Sofi. Tapi, kalau sama Vino ini beda. Anaknya ganteng, tegap, dan mandiri pula. Kata Sofi, kamu kerja sambil mengurus bisnis, ya?"
Vino mengangguk.
Bara memegangi pundak Vino. Menyalurkan rasa bangga melalui sentuhannya, "Hebat sekali kamu, Vin. Usia masih belia, sudah hidup sendiri sambil meneruskan usaha peninggalan orang tua. Om sangat bangga kepadamu," ucapnya.
Vino memandangi manik mata Bara yang lembut dan tulus. Rasa kasih sayang lelaki itu sampai menyentak nadinya. Meluluhkan es yang membeku sekian tahun karena kehilangan cinta dari keluarga.
"Saya tidak ada apa-apanya kok, om. Om belum kenal betul dengan saya," Vino tertunduk.
"Kata siapa kamu tidak ada apa-apanya? Kamu adalah anak muda yang kuat dan tangguh. Mulai sekarang, keluarga Sofi adalah keluargamu juga. Kalau ada kesulitan dan masalah, ceritalah sama saya."
Lagi-lagi Vino memandangi Bara penuh haru. Hatinya terenyuh.
"Ma-makasi, om," jawabnya.
"Bekerja dengan giat itu memang penting, tapi, kamu harus ingat menjaga kesehatan fisik dan mental. Jangan sampai kewalahan, apalagi stres," tutur Bara.
"Iya, om," Vino mengangguk.
"Kalau lagi libur, main saja ke sini. Nanti ibunya Sofi masakkan kamu makanan enak-enak. Ibunya Sofi itu pandai masak. Kamu sukanya makan apa?"
"Apa saja saya suka, om. Sudah lama saya enggak makan masakan rumahan," terang Vino.
Bara berkerut menahan iba, "Kasian. Terus biasanya kalau mau makan bagaimana? Beli, ya?"
Vino mengangguk, "Iya beli. Tapi lebih sering masak mie instan di kos, supaya lebih hemat."
Bara menepuk pundak Vino sambil berdecak, "Sudah. Mulai besok biar Sofi ayah suruh ngirimin kamu makanan. Jangan keseringan beli atau makan mie instan, tidak sehat dan kurang higienis!"
"Tidak perlu, om. Saya enggak mau ngerepotin!"
"Tidak repot! Wong Sofi itu jadwal sekolahnya tidak mengikat. Banyakan nganggur di rumah itu anak," ujar Bara mendengkus.
"Makasi banyak ya, om," ucap Vino menahan haru.
Bara tersenyum menggoda, "Eh Vin, kamu apa enggak berniat masuk Akmil? Om pingin lho, ada keluarga yang meneruskan jadi angkatan seperti om begini."
"Keluarga?" tanya Vino tertegun.
Bara mengangguk, "Iya. Kamu mulai sekarang sudah saya anggap keluarga. Dari cerita-cerita Sofi tentang kamu saja, saya sudah jatuh hati. Sekarang ketemu langsung, saya tambah kagum!"
Mata Vino berkaca-kaca. Teringat almarhum papanya yang telah tiada. Betapa sikap Bara lebih hangat ketimbang keluarga besar kedua orang tuanya dari Padang.
Kepala Vino tertunduk, berusaha menetralisir kesedihan.
"Kalau kamu mau, kamu bisa panggil saya 'ayah' jangan panggil 'om' lagi. Supaya akrab!" imbuh Bara.
"Bo-boleh?" tanya Vino tak habis pikir.
Bara mengangguk, "Boleh sekali. Kamu ini seperti anak lelaki yang tak pernah saya miliki. Senang sekali Sofi menjalin hubungan dengan kamu, Vin," katanya. Bara lalu menepuk pundak Vino, "Saya percaya sama kamu. Semoga kamu selalu sabar mendampingi Sofi, ya. Sifatnya memang keras kepala, tapi, anak itu sangat baik hati dan setia."
Vino membalas dengan senyum. Perhatian dan kepedulian Bara mengingatkannya akan rasa bahagia saat masih memiliki kedua orang tua.
"Ayah, ngomong apa saja ini, hayoo?" seorang wanita dengan rambut tergelung dan baju terusan menghampiri keduanya sambil membawa dua cangkir minum.
"Nah ini ibunya si Sofi," terang Bara mengenalkan Magda kepada Vino.
"Ta-tante, saya Vino," Vino menyalami tangan Magda.
"Lho, kok panggil 'tante', saya tadi sudah suruh panggil 'ayah' jadi ya ini bukan 'tante', dong, tapi 'ibu'," koreksi Bara.
"Iya. Panggil ibu aja, Vin," Magda mengulas senyum sambil menepuk punggung tangan Vino lembut.
"Yah, bolanya udah mulai," seorang gadis remaja muncul dari balik ruangan.
"Erlin, sini salim dulu sama mas Vino," titah Magda. "Vin, ini adiknya Sofi, masih SMP, namanya Erlin," Magda menoleh ke arah Vino.
Erlin membungkuk, sopan menyalimi tangan Vino.
"Eh, hallo, Lin," sapa Vino.
"Ya, mas," Erlin membalas dengan tersenyum.
"Nah. Kurang satu, si Alfita. Tapi dia lagi pergi belajar kelompok. Nanti habis magrib, biasanya anak itu pulang," seloroh Bara. Ia bangkit lalu mengajak Vino mengikuti langkahnya, "Duduk di ruang tengah yuk, Vin. Nonton bola. Suka bola apa enggak, nih?"
Vino mengangguk, "Suka, om, eh, ayah, yah ..." jawabnya kikuk.
Bara dan Magda tertawa karena kegugupan Vino. Merangkul pemuda itu berjalan bersama menuju ruang tengah.
Keluarga itu berkumpul bersama di ruang tengah. Berisik berteriak-teriak menyaksikan pertandingan bola antara Indonesia lawan Malaysia.
Ada kehangatan di relung hati Vino.
Rasa bahagia yang memenuhi rongga dadanya. Merasa diterima. Dicintai. Tak sendiri.
Sophia Alfira memang hanya seorang gadis biasa. Namun, keluarga yang ia miliki begitu luar biasa. Kehampaan dan penderitaan yang Vino simpan karena kehilangan kedua orang tuanya perlahan sembuh akibat kasih sayang tulus dari Sofi dan keluarganya.
Bara dan Magda adalah ayah dan ibu barunya.
Vino merasa aman dan damai.
Sophia Alfira adalah rumahnya.
***
Keserakahan membutakan Vino.
Ia berkenalan dengan wanita yang merupakan anak dari pengusaha pemilik perusahaan kontruksi paling terkenal di Jakarta. Vino meninggalkan Sofi demi ambisi.
Vino pikir ia akan bahagia.
Bergelimang harta, istri yang cantik, dan mertua yang terpandang akan memuaskannya. Ternyata ia salah.
Kehampaan lagi-lagi mengusik relung.
Perlakuan kedua mertuanya berbeda, tak sehangat kasih sayang yang ia dapatkan dari Bara dan Magda.
"Kita menang tender atas PT. Kencana Buana, Pa," terang Vino kepada sang mertua.
Kedua mata mertua Vino tak bergeming dari layar laptop di hadapannya, "Ya. Memang sudah seharusnya begitu, Vin. Lain kali kamu harus pasang strategi perencanaan lebih lihai lagi, supaya proses pemilihan tidak terlalu lama."
"Baik, pa," Vino menelan kekecewaan. Tak ada apresiasi atas usaha mati-matiannya.
Vino merindukan ketulusan keluarga Sofi. Ia rela membayar dengan apa pun agar bisa berkumpul kembali dengan mereka semua di Surabaya.
Bertahun menjalani kehidupan pernikahan di Jakarta, pada akhirnya Vino bercerai dan kembali pulang ke Surabaya.
Seutas asa untuk kembali menjalin kasih dengan Sofi. Kerinduan teramat sangat pada Bara dan Magda. Vino tak sabar menemui mereka.
Aku kangen, yah, bu. Semoga kalian selalu sehat di Surabaya. Sampai bertemu lagi, Vino membatin, ketika ia menanda-tangani surat cerainya.
***
Kegagalan Vino untuk menyetubuhi Sofi tidak begitu penting baginya.
Kemarahan Bara terpancar jelas pada kedua bola mata pensiunan Laksamana Muda Pertama itu. Amarah yang bercampur dengan kekecewaan, menyiksa batin Vino begitu dalam.
Vino sadar, ia sudah kehilangan cinta Bara. Cara Bara melihatnya sudah berubah, penuh kebencian. Sosok yang teramat ia sayangi, pengganti orang tuanya yang telah tiada, kini begitu kecewa dengannya.
Vino marah!
Ia hanya ingin merasakan kembali kehangatan keluarga yang terenggut dari hidupnya. Sekuat tenaga Vino berusaha mendapatkan Sofi kembali.
Vino begitu menyayangi Bara dan Magda bagai orang tua kandung. Setelah apa yang Bara saksikan, ia sangsi, Bara akan memaafkannya.
Kepedihan dan rasa getir berdansa-dansa dalam rongga dada. Mencabik-cabik sukma.
Pukulan demi pukulan yang Bara hantamkan tidak Vino rasakan. Hatinya lebih sakit ketimbang tubuhnya yang berdarah-darah dan penuh memar. Ia telah kehilangan 'keluarga' yang diidam-idamkan.
Hilang sudah kepercayaan 'ayah'.
Hilang sudah rasa kasih sayang itu.
Hilang sudah rumahnya.
***
Ruang ICU di dalam Rumah Sakit Dr. Soetomo begitu dingin dan hening. Hanya terdengar suara tit ... tiit ... tiiit ... dari Patient Monitor. Tubuh Vino berbaring kritis di atas ranjang. Berbalut perban. Sangat mengenaskan.
Kata dokter, lelaki itu tak sadarkan diri.
Bara berjalan pelan menghampiri tubuh Vino yang memprihatinkan.
Semua benci yang bersemayam di dada terkalahkan oleh rasa iba.
"Astagfiruloh, Vin ..." bisik Bara, "bagaimana bisa kamu jadi begini, nak?"
Vino mungkin koma, namun ajaibnya, telinga Vino mendengar suara yang ia rindukan. Semua usaha licik untuk mendapatkan Sofi hanya demi obsesi memiliki kasih sayang yang utuh dari ayah dan ibu sang mantan kekasih. Meskipun, caranya salah.
Tak ada jalan untuk kembali.
Tak ada suara yang mampu terucap.
Setetes air mata menitik, turun membasahi pipi Vino.
Dan bayangan itu berkelindan,
Memori-memori Vino dengan mendiang orang tuanya.
Kepingan-kepingan kebersamaan Vino dengan Bara, Magda, dan Sofi. Terputar bak trailer sebuah film.
Vino pun menghembuskan napas terakhirnya.
***
Alex babak belur dihakimi massa.
Kericuhan akhirnya reda ketika pihak berwajib datang, mengamankan Alex yang tak berdaya.
Sebuah rahasia sebentar lagi akan terbongkar.
----
Holla, Folks!
Katanya, penjahat adalah orang baik yang tersakiti.
Menurut aku itu kurang benar.
Batman juga tersakiti, Ironman, Thor, dkk juga punya masa lalu kelam. Tapi alih² memilih menjadi penjahat seperti Joker atau Green Goblin, mereka memilih menjadi orang baik.
Jadi, jangan pernah menjadi orang jahat meskipun dunia menyakitimu. Walaupun, manusia-manusia mengecewakanmu.
Pilihan ada di tanganmu.
Salam sayang ♡♡♡
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top