4. The Date
Matahari sudah meninggi.
Edgar sibuk di dapur, menyiapkan sarapan kesukaan istrinya. Ia memang suka memasak sendiri ketimbang membeli makanan.
Roti gandum dioles cream cheese dan grill salmon with salad, untuk dirinya. Sedangkan nasi goreng lengkap dengan kacang polong, irisan smoke beef, dan irisan jagung, serta telur ceplok untuk Lieve.
Edgar paham betul bahwa istrinya lebih suka makan makanan asia, setiap kali Lieve mengonsumsi roti untuk makan, wanita itu selalu mengeluh kembung.
"Goedemorgen, handsome," sapa Lieve muncul dari balik kamar. "Baunya wangi banget, kamu bikin apa?"
"Kesukaanmu," Edgar meletakkan piring nasi goreng di atas meja makan yang sudah tertata rapi dan cantik. Lengkap dengan vas berisi bunga mawar merah di dalamnya.
Mata Lieve berkilat.
Ia merasa selalu dimanjakan oleh sang suami.
"My God, kapan kamu menyiapkan semua ini?" tanyanya. Lieve mendudukkan bokong di atas kursi. "Aku jadi merasa tidak enak, selama ini kebanyakan kamu yang masak."
Edgar menghampiri istrinya dengan kedua tangan yang membawa gelas berisi perasan jeruk sunkist. Ia lalu membungkuk mengecup pipi Lieve, "Aku melakukannya dengan senang hati."
Mereka kemudian duduk berdua saling berhadapan. Sesekali Lieve mencomot salmon di piring Edgar. Dengan penuh kasih sayang, Edgar membagi makanan di piringnya untuk Lieve.
"Hari ini kau tidak ke kantor?" tanya Edgar.
"Tidak. Dua hari ini jadwalku kosong, kuserahkan pada para pegawai saja."
Edgar nampak berpikir.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan?"
"Ke mana?" tanya istrinya.
"Kau maunya ke mana?" Edgar berbalik tanya.
Lieve menaikkan kedua pundak, "Entahlah? Naskahmu memangnya sudah selesai?"
Edgar menggelengkan kepala, "Belum. Tapi, menghirup udara segar sepertinya baik untuk kita berdua. Sekaligus, bisa untuk bernostalgia."
"Marteen enggak nyariin?"
"Tenang saja," Edgar mengedipkan mata.
Lieve mengulas senyum, "Kalau begitu ayo kita jalan-jalan."
***
Lieve memakai kaca mata hitam gaya vintage di wajahnya. Round frame itu membingkai wajah cantiknya dengan sempurna. Ia membiarkan rambut brunette-nya terurai.
Lieve mengenakan celana pendek, t-shirt longgar, dan sepatu sneakers yang nyaman.
Setelah mengunci pintu-pintu, Edgar menghampiri istrinya yang sudah menunggu di dalam mobil.
"Memulai petualangan ala Thelma and Louise?" godanya.
Lieve tersenyum. Matanya seakan mengenang, "Tidak. Aku ingin petualangan sepasang suami istri yang bahagia."
Edgar menatap lamat-lamat mata istrinya. Beberapa memori berkelindan di benak.
Sepanjang perjalanan, mereka sibuk bernyanyi mengikuti lagu di radio. Kondisi jalan lenggang, mungkin karena hari bukan weekend. Mobil keduanya bebas melenggang.
"Seingatku dulu waktu kita ke sana, jalanan sepi juga seperti ini, 'kan?" tanya Lieve.
"Saat itu kau yang bawa mobil, aku tidak terlalu memperhatikan situasi jalan. Aku agak lupa," kenang Edgar.
"Kau mau aku lagi yang menyetir, Ed?"
Edgar menggeleng, "Biar aku saja kali ini," ucapnya.
Radio kemudian memutar lagu Memories yang dibawakan oleh Maron Five, tembang yang pas dengan apa yang mereka rasakan.
'Cause the drinks bring back all the memories (ayy)
And the memories bring back, memories bring back you
Lieve ikut bernyanyi, "Doo doo, doo doo doo doo," senandungnya, meskipun agak sumbang.
Edgar mengulas senyum dengan tingkah istrinya.
"Doo doo doo doo, doo doo doo
Memories bring back, memories bring back you ..." Lieve menunjuk Edgar.
Mereka kemudian kompak tertawa.
"Aku masih ingat dulu kita juga pernah bernyanyi bersama begini," ucap Edgar.
"Aku melakukan itu untuk mencairkan suasana. Kau ingat enggak, sih? Dulu kau begitu jutek!"
Edgar terkekeh, "Dunia adalah tempat yang suram bagiku, dulu. Tapi, semenjak bertemu denganmu, semua berubah indah."
Bibir Lieve mencibir, "Gombal!"
Wanita itu kemudian kembali mengikuti Adam Levine yang sedang bernyanyi hingga lagu selesai.
***
Setelah berkendara cukup lama, pasangan itu kemudian sampai di kota Malang. Mereka berhenti di salah satu tempat makan yang khusus menjual bakso.
Kedai bakso yang berada di pinggir rel kereta api. Terdapat papan nama bertuliskan 'Bakso President' dengan latar belakang merah. Tempat ini cukup terkenal, sejarah nama yang unik karena lokasinya dulu berada di belakang Bioskop President - yang saat ini sudah tutup. Bioskop tersebut kini berganti menjadi Hotel Savana Malang.
Edgar hafal jika istrinya adalah pecinta bakso. Untuk itulah, ia memutar untuk menyempatkan Lieve mencicipi makanan kesukaannya sebelum melanjutkan perjalanan.
Mata istrinya berbinar, bingung hendak memilih menu bakso yang mana. Semuanya menggoda seleranya. Wanita itu menelan saliva hanya dengan membaca aneka variasi menu.
Edgar mengulum senyum memandangi sang istri.
"Apa, ya? Bakso urat, tulang muda, bakso telur, aduh ... bingung," Lieve menelan ludah.
"Pesan saja semua," sahut Edgar.
"Kalau enggak habis gimana? 'Kan mubazir."
"Nanti aku bantu habiskan," kata Edgar.
Mata Lieve membulat, "Ta-tapi 'kan kamu paling anti makanan seperti ini. Kamu yakin bantu aku ngabisin?"
"Enggak masalah kalau sesekali. Aku juga suka bakso, kok."
"Siapa dulu, aku 'kan yang mengenalkan bakso ke kamu!" seloroh Lieve pongah.
Edgar mengusap punggung tangan sang istri, "Kamu mengenalkan dunia padaku, Lieverd."
Pipi istrinya bersemu merah.
Tersipu-sipu mendengar pujian dari sang suami.
Kemesraan diantara mereka selalu hangat. Mungkin, karena keduanya pernah ditempa cobaan hidup hingga terperosok pada titik terendah. Sehingga kini, yang mereka inginkan hanyalah hidup berdua dengan damai.
***
Lieve menghabiskan dua porsi bakso bakar seorang diri. Perutnya masih sanggup diisi lebih banyak. Ia beralih menikmati bakso urat yang dibubuhi tiga sendok sambal. Makan bakso tanpa sambal memang kurang afdol.
"Nanti perutmu sakit," ucap Edgar.
"Iya, sekali ini aja, kok. Enggak bakalan sakit," ia memasukkan potongan pentol bakso ke dalam mulut. Sangat lahap.
Edgar bernapas lega.
Beberapa hari yang lalu, istrinya terlihat muram karena hasil test-pack-nya negatif. Meskipun Lieve selalu memasang senyum dan bersikap biasa, namun Edgar memahami bahwa istrinya sedang menyimpan kesedihan.
Kini keceriaan kembali bersemi di wajah Lieve.
"Aku kenyang," ia menepuk perut, "kita harus segera lanjut, keburu sore."
"Aku bayar dulu, ya," Edgar bangkit dari kursi, "kau mau bungkus?"
Lieve menggeleng, "Aku kenyang. Rasanya aku tidak akan makan sampai besok pagi."
Edgar terkekeh. Ia lalu berjalan menuju kasir dan membayar makanan yang sudah mereka pesan.
"Hello, mister, how are you?" sapa pegawai kasir ramah. Logatnya medhok.
Edgar mengangguk tersenyum.
"Can you speak Indonesia?" tanya pegawai kasir lagi.
"Aku sudah lama di sini, pak," sahut Edgar.
Ekspresi pegawai kasir sedikit terkejut karena melihat orang 'bule' lancar berbicara bahasa Indonesia. Ia lalu mengelus dadanya sembari menghela napas lega.
"Alhamdulilah, mister! Kirain enggak bisa. Saya udah deg-deg'kan dari tadi. Bingung ngomongnya 'ntar gimana," terangnya.
Edgar membalas dengan garis melengkung ke atas pada bibir.
Sekarang orang-orang mengenalkan karena ia lelaki 'bule'. Berbeda dengan dulu, orang-orang mengenal dirinya karena hal lain.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top