38. Cuitan
Vallena tampil boyish.
Mengenakan kemeja putih dan celana chino berwarna hitam. Tonjolan dadanya tertutup oleh blazer coklat tanah yang dijadikan luaran.
Ia terlihat androgini. Menabrak batasan maskulin dan feminin. Tak dapat dipungkiri, tubuh dan wajah Vallena masih memancarkan kecantikan - efek hormon yang ia konsumsi selama bertahun-tahun. Tapi, aura maskulinnya tak kalah bersaing. Sophisticated.
Vallena siap menerima amukan dari keluarga Sofi. Ia mantap melangkahkan kaki mendekati pintu pagar rumah.
Belum sempat ia membunyikan bel, Erlin muncul dari balik pintu. Gadis itu sudah berpakaian rapi, sepertinya hendak keluar rumah. Mata Erlin membelalak. Siapa bule berambut pirang dengan tubuh tinggi yang sedang berdiri di depan rumahnya? Ia membatin.
"Erlin ..." sapa Vallena.
Alis Erlin berkerut. Ia berjalan mendekat menghampiri sosok Vallena. Pandangan gadis itu antara percaya dan tidak.
"In-ini ... m-mbak Vallena?" tanyanya terbata. Ditelisiknya penampilan baru Vallena. Rambut pendek dan berpakaian bak lelaki. Sungguh berbeda. Apakah ini adalah cara Vallena untuk mendeklarasikan diri sebagai Lesbian dan seorang Butchy?
Erlin membuka pintu pagar, ia kembali melanjutkan, "Mau apa mbak Vallena ke sini?"
"Aku mau ketemu Sofi, Lin. Ada siapa di rumah? Biarkan aku ngomong sama mereka semua, agar berhenti menyalahkan Sofi. Sekalian untuk minta maaf atas semuanya," terang Vallena.
"Ayah sama ibu lagi keluar. Ada acara keluarga. Mbak Sofi enggak bisa ketemu sama siapapun, apalagi mbak Vallena. Maaf, tapi itu pesan ayah."
"Erlin, aku minta tolong. Satu kali ini saja, aku ingin menemui Sofi. Tolong, Lin," Vallena membungkuk. Menyejajarkan tubuh tingginya dengan Erlin.
Erlin gamang.
Ia anak yang penurut dan takut kepada kedua orang tuanya. Mana berani dia melanggar perintah mereka. Namun, terselip rasa bersalah di dirinya, saat ia sempat bersekutu dengan Vino. Tak ia sangka, lelaki itu ternyata bajingan. Erlin mengumpat diri sendiri kenapa bisa terbujuk oleh omongan Vino agar mau bekerja sama dengannya. Mungkin, dengan mempertemukan Vallena dan Sofi satu kali ini saja, bisa sedikit menebus rasa bersalahnya pada sang kakak.
"Mbak Vallena, tolong janji sama Erlin, ya? Maaf sebelumnya, aku di sini mau menegaskan bahwa aku bukan seorang homofobia¹ tapi aku juga tak mendukung jika ada keluargaku, khususnya mbak Sofi, menjalin hubungan sesama jenis. Mau bagaimana pun, itu akan merugikan mbak Sofi. Jadi, aku harap, pertemuan kalian berdua kali ini, adalah untuk yang terakhir. Untuk saling melepaskan dan mengikhlaskan."
"Ya, aku mengerti, Lin," Vallena menunduk.
Erlin bernapas lega.
"Syukurlah kalau mbak Vallena sadar. Mbak Vallena, ada satu lagi yang belum mbak ketahui ..." ucapnya menggantung.
"Apa itu, Lin?" tanya Vallena gelisah.
"Mas Vino hari Jumat kemarin, datang ke rumah saat tidak ada siapa pun. Dia melecehkan mbak Sofi. Untung, ayah pulang dan menggagalkan aksi mas Vino. Mas Vino dipukuli sampai babak belur dan dari mas Vino juga, ayah tau hubungan mbak Sofi dan mbak Vallena. Saat ini, kondisi mbak Sofi sedang sangat rapuh."
Vallena terhenyak. Jantungnya seakan berhenti berdetak karena terkejut. Sofi dilecehkan?
Lebur, pedih, nelangsa. Kekasihnya telah melalui berbagai penderitaan. Demi Tuhan, Vino adalah seorang bajingan terkutuk! Vallena bersumpah, ia akan membuat perhitungan dengan pria itu!
"Kalian tidak melaporkan perbuatan Vino ke polisi?" tanya Vallena geram.
Erlin menggeleng, "Ayah malu, mbak. Katanya percuma melapor, karena mbak Sofi sudah tidak ...," kalimatnya tertahan. Ia menelan ludah sebelum meneruskan, "Tidak perawan lagi."
Mata Vallena membelalak.
Bagaimana bisa rasa 'malu' menghalangi orang tua Sofi untuk melaporkan perbuatan bejat Vino.
Vallena menarik napas, "Ijinkan aku bertemu dia sekarang," pintanya.
"Sebentar saja ya, mbak," tawar Erlin, "takut ayah dan ibu mendadak pulang," terangnya.
Vallena mengangguk.
Mereka berdua kemudian berjalan seiringan. Erlin menunjukkan kamar Sofi yang tertutup rapat. Diketuknya kamar itu beberapa kali.
"Masuk," terdengar suara Sofi dari dalam.
Erlin membuka pintu kamar, mempersilahkan Vallena masuk.
"Sebentar saja, ya," ulangnya. Cemas jika ketahuan ayah dan ibunya.
Vallena lagi-lagi mengangguk, lalu melangkah ke dalam.
Tampak sosok Sofi yang tidur menghadap tembok. Meskipun hanya melihat punggungnya saja, Vallena bisa menangkap kesedihan yang memancar.
Erlin meninggalkan kedua orang itu agar dapat saling leluasa berbicara. Ia menunggu di depan teras, mengawasi kalau-kalau kedua orang tuanya pulang.
Di dalam kamar, Vallena duduk perlahan di atas kasur. Sofi masih tak menyadari kedatangan sang kekasih.
"Hei, sleepyhead," sapa Vallena menyentuh bahu Sofi lembut.
Badan Sofi terhenyak. Berbalik secepat kilat mendengar suara yang teramat sangat ia rindukan.
"VALLENA!" ia memekik.
Melompat ke dalam pelukan sang kekasih. Merengkuhnya erat-erat. Memeriksa apakah pandangannya adalah realitas atau hanya imaji dari angan semu.
"Kau di sini! Kau di sini?" racau Sofi berkali-kali, "bagaimana kau bisa di sini!?"
"Iya aku sekarang di sini. Bagaimana keadaanmu?" Vallena mengusap rambut Sofi yang kusut.
Hati mereka berdua menyimpan pilu karena rindu.
"Aku baik-baik saja. Kamu?" jawab Sofi. Ia melepas pelukan, memandangi Vallena lamat-lamat. "Wah, kau tampan sekali, Vall."
Vallena mengulas senyum. "Aku juga baik-baik saja."
Vallena menggenggam kedua telapak tangan Sofi. Menciuminya dengan kasih sayang. Berharap mampu menghapus segala duka yang bersemayam di hati Sofi.
"Sof," panggil Vallena lirih, "mengapa kau tak katakan yang sebenarnya pada keluargamu? Bahwa aku adalah seorang lelaki. Mengapa kau menjaga rahasiaku mati-matian? Padahal kau sendiri teraniyaya?"
Bibir Sofi bergetar. Matanya mulai panas dan berkaca-kaca.
"Bukan hakku mengumbar rahasiamu. Rahasia yang kau jaga bertahun-tahun. Adalah keputusanmu untuk memberitahukan atau tidak memberitahukan perihal itu kepada orang-orang," jawabnya.
Mendengar perkataan Sofi mengakibatkan hati Vallena terenyuh.
Ia mencium kening Sofi, "Kau begitu banyak berkorban untukku."
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Sofi. Air mata mulai berlinang membasahi pipinya.
"Aku tak akan bersembunyi lagi, Sof. Aku akan mengungkap jati diriku pada publik. Aku tak peduli dengan kemarahan mom nantinya. Kalau memang ia tak mau menganggapku anak, aku ikhlas. Semakin ke sini, aku makin merasa ada yang tidak beres dengan mom, ia mulai menjadi-jadi. Dia memperlakukanku seperti boneka dan sekarang ia terlihat sangat berusaha memisahkan kita. Aku dipaksa kembali ke Jakarta dalam waktu dekat."
"Tapi dia ibumu, Vall. Yang melahirkanmu dan membesarkanmu sampai sekarang. Kau harus minta persetujuannya sebelum bertindak. Ketakutan bu Ida beralasan. Kau tau seperti apa kejamnya sosial media jaman sekarang. Karirmu akan hancur dan kau akan hidup dalam cacian."
"Lalu kau ingin aku bagaimana? Tetap menjadi wanita?" Vallena menggeleng, "seumur hidupku, aku selalu bertanya-tanya apa sebenarnya aku ini? Manusia seperti apa? Transgender? Terperangkap dalam tubuh yang salah? Namun semua pertanyaanku tak pernah menemukan jawaban. Baru kali ini, setelah bertemu denganmu, aku menemukan apa arti dari diriku, apa jati diriku, dan apa yang kuinginkan," terangnya.
"Memang, apa yang kau inginkan, Vall?" tanya Sofi. Matanya menatap wajah Vallena dengan serius. Menunggu jawabannya.
Vallena menerawang jauh. Mata biru safir itu berkilat dengan sedikit percikan semangat - memikirkan keinginan terpendamnya. Mimpinya.
"Aku ingin berjalan di pantai. Seperti laki-laki pada umumnya. Memakai celana pantai. Shirtless. Membiarkan angin menerpa dadaku yang bidang. Tanpa buah dada menyembul yang perlu kututupi. Menikmati semilir hembusan laut meniup kulit kepala dan rambutku yang pendek. Membayangkan itu saja, aku sudah sangat bahagia, Sof. Apakah keinginanku terlalu banyak?"
Sofi menggeleng. Hatinya terenyuh setelah mendengar perkataan Vallena. Impian sang kekasih sangat sederhana, tidak muluk-muluk, dan bagi sebagian orang terdengar biasa saja. Tapi, bagi Vallena itu merupakan hal yang amat susah untuk ia lakukan.
"Kau memang seorang lelaki, Vall. Kau adalah lelaki," suara Sofi bergetar, tangisannya tak terbendung. Ia mengusap pipi Vallena dengan lembut dengan jemarinya. "Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Aku akan mendukungmu dari sini. Mendoakan yang terbaik untukmu."
Vallena mendekap erat tubuh Sofi, "Terima kasih, Sof."
Jemari Vallena membelai rambut Sofi, ia begitu menyayangi wanita yang ada di pelukannya sekarang.
"Sebelum bertemu denganmu, aku tak percaya takdir. Menurutku, manusialah yang menciptakan kesempatan dalam hidupnya. Buktinya, Tuhan menempatkan jiwaku di tubuh yang salah. Namun, sekarang aku percaya takdir itu ada. Bertemu denganmu adalah takdirku. Melalui kau, aku berterima kasih pada Tuhan karena lahir menjadi seorang lelaki. Bahkan, aku mulai berpikir, tujuanku dilahirkan ke dunia adalah untuk mencintai kamu. Je t'aime," ucap Vallena.
Sofi makin tersedu karena terharu.
"Aku juga mencintaimu," bisiknya sembari mengecup bibir Vallena.
"Kau menerima aku apa adanya. Sebagai wanita maupun lelaki. Bahkan, kau tak mempermasalahkan apa pun diriku. Aku masih tidak menyangka bisa menerima cinta begini besarnya dari seseorang," ujar Vallena.
"Aku harap kita bisa bersama-sama," bisik Sofi. Dadanya tercekat - sadar akan rintangan yang akan mereka hadapi. "Dan kalaupun tidak, aku akan selalu mengenang kamu di dalam hatiku selamanya. Ingatlah satu hal, kamu harus menggapai bahagiamu."
Vallena mengulas senyum yang bercampur dengan kepedihan akan ketidakpastian akhir dari kisah mereka.
"Kuharap kaupun demikian, Sof. Hiduplah dengan baik. Kau berharga dan percaya dirilah dengan kemampuanmu."
Beberapa saat kemudian, Erlin menengok ke dalam kamar, wajahnya gelisah.
"Mbak, aku barusan dikirimi pesan sama mbak Alfita, katanya lagi otewe ke sini."
Vallena dan Sofi saling berpandangan. Kedatangan Erlin adalah isyarat bagi mereka berdua untuk berpisah.
"Pergilah, aku tak ingin membuat masalah lagi. Selesaikan urusanmu," ucap Sofi.
Vallena menatap Sofi dengan gundah. Sebenarnya ia tak rela harus pergi secepat ini.
"Kamu akan baik-baik saja, 'kan?" tanya Vallena.
Sofi mengangguk sembari mengulas senyum.
Vallena bangkit dari duduk. Menghampiri Erlin yang gelisah menunggu di depan pintu kamar. Manik mata kedua kekasih itu masih saling berpandangan. Saling menguatkan, meskipun dalam hati masing-masing hancur. Lebur.
***
Jari-jari Vino sibuk mengetik di jejaring sosial berlambang burung berlatar biru.
Masih jelas teringat perlakuan Bara. Ia sangat sakit hati karena dipukuli bak binatang. Vino begitu terluka. Tercipta dendam akibat asanya yang tak sampai. Niat mempermalukan Sofi beserta keluarganya tak dapat terbendung lagi.
Lelaki populer dengan ribuan pengikut di Twitter itu menulis sebuah thread yang akan menggoncang dunia maya seketika.
'Model Vallena Valla ternyata seorang lesbian. Ia menjalin kasih dengan mantan kekasihku, Sophia Alfira yang berprofesi sebagai MUA pribadinya.'
Vino tanpa ragu memposting cuitan yang disertai foto Sofi dan Vallena yang sedang berciuman di bibir pantai Sendang Biru. Lelaki itu tak peduli dengan kesepakatan yang telah ia jalin bersama Ida. Bagi Vino saat ini, menebus rasa sakit hati dan kekecewaan dirinya-lah yang utama.
----
¹ Homofobia : Homofobia merupakan sebuah rasa takut terhadap LGBT+, diambil dari kata homo dan fobia. Homofobia dapat diekspresikan dalam bentuk sikap antipati, penghinaan, prasangka, sikap jijik, atau kebencian, berdasarkan rasa takut yang irasional, dan sering kali terkait dengan keyakinan dan kepercayaan agama.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top