36. Harkat dan Martabat
"Siang, Ndan," sapa salah seorang Taruna.
"Siang," sahut Bara menganggukkan kepala.
Kesibukan Bara siang itu sama seperti hari-hari lain.
Pensiunan Laksamana Muda Pertama itu setiap hari mengajar para Taruna di Akademi Angkatan Laut. Bara mempercepat langkah menuju areal parkir.
Ia biasanya baru pulang ke rumah saat sore hari. Namun, Jumat siang ini, badannya kurang sehat. Ia memutuskan untuk absen mengajar dan salat Jumat di Mesjid komplek perumahan, kemudian beristirahat.
Bergegas ia melajukan kendaraannya meninggalkan akademi. Mengejar waktu agar jangan sampai telat mengikuti salat Jumat berjama'ah.
Setibanya di depan Mesjid, mobil Bara kesulitan mencari spot parkir. Mobil-mobil dan sepeda motor sudah berjajar penuh memenuhi sisi halaman Mesjid perumahan, tak biasanya ramai begini, ia membatin.
Bara melirik arloji di tangan.
Masih ada lima menit sebelum salat dimulai. Ia memutar kendaraan menuju arah rumahnya. Bara memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, memasukkan mobil di garasi, lalu berjalan kaki ke mesjid. Toh, jaraknya hanya kurang dari sekilo.
Dahi Bara berkernyit, mobil Fortuner milik Vino terparkir beberapa blok dari rumah. Seingatnya, hanya ada Sofi, ada urusan apa Vino datang di waktu para lelaki harusnya berada di Mesjid untuk menunaikan salat berjama'ah?
Ia keluar dari mobil, berjalan masuk ke pintu depan - pintu rumahnya masih terkunci. Perasaan Bara mulai gelisah. Tak sepatutnya Sofi berada dalam rumah berdua saja dengan Vino, apalagi mengunci rumah seperti ini. Dengan cepat, dibukanya pintu dengan kunci rumah yang ia bawa.
Langkahnya mendadak terhenti.
"Bagaimana? Enak? Menikmati 'kan kamu?! Dasar pelacur lesbian! Lesbian kotor! Begini permainanmu dan Vallena, hah?!"
Suara bentakan Vino yang berada di dalam kamar Sofi memekak hingga terdengar di telinga Bara, apa-apa'an?! Darah Bara mendidih. Ia menendang pintu kamar anaknya hingga terbuka secara paksa.
Betapa terkejutnya Bara, melihat Vino sedang menindih anak perempuannya yang telanjang. Terlihat Vino menahan kedua tangan Sofi dengan paksa. Wajah Sofi juga penuh dengan air mata dan mimiknya penuh ketakutan.
"A-ayah ..." Vino terperanjat. Buru-buru ia menutup resleting jeans-nya. Tak menyangka aksinya gagal karena kedatangan calon mertua.
Kemurkaan memenuhi ekspresi Bara.
Vino gelagapan meraih kaos di lantai dan memakainya. "Aku bisa jelasin, yah," kelitnya.
Tanpa aba-aba, Bara menyeret kerah kaos Vino keluar dari kamar. Meskipun sudah berumur enam puluhan, tenaganya masih kuat dan bugar untuk menyeret badan atletis Vino yang tinggi.
BUUUUUKKKK
Vino terjerembab ke depan teras, menerima bogem mentah dari Bara. Tubuh Vino jatuh mencium tanah yang tertutup rerumputan.
"Kurang ajar kamu, Vin! Berani-beraninya kamu melecehkan Sofi!" hardik Bara.
"Aku enggak ngelecehkan Sofi, yah! Justru Sofi yang menggodaku!" elak Vino memegangi bibirnya yang berdarah.
"Kamu pikir saya orang goblok! Jelas sekali kamu yang memaksa dia! Bangsat kamu, Vino! Saya laporkan kamu ke polisi!"
Vino mendengkus.
Hilang sudah kepercayaan si calon mertua padanya. Sudah tak ada jalan untuk Vino mengelak.
"Mau melaporkan apa?" tantang Vino, "Sofi itu sudah lama tidak perawan. Yang ada ayah malah malu nanti."
Tangan Bara mengepal, "Ba-bangsat ..." bisiknya.
"Sumpahi saja terus, yah. Waktu kita masih pacaran, sudah berapa ratus kali aku menggagahi Sofi. Dan dia nagih. Jadi, jangan pikir anakmu itu suci. Dia cuma sok suci!"
Tak terima. Bara kembali memukuli Vino. Tidak hanya sekali- dua kali, namun, berkali-kali. Wajah Vino babak belur penuh darah.
"Ayaaaaah!!!!" teriak Sofi. Ia sudah berpakaian dan berlari melesat menahan tangan Bara. Tangisnya pecah - khawatir ayahnya hilang akal. "Yah, sudah, yah!!!"
Dengan sisa-sisa tenaga, Vino beringsut bangun. Darah memenuhi t-shirt putih polos yang ia kenakan.
"Bilang sama ayahmu, kalau kamu itu memang sudah enggak perawan! Supaya ayahmu tau anaknya itu bagaimana!" imbuh Vino.
"KELUAR KAMU DARI RUMAH SAYA!" usir Bara. Kalau Sofi tidak menahannya, mungkin Vino sudah mati ia pukuli.
Vino berhasil bangun dari tanah.
Ia meludah, membuang sisa darah yang bercampur saliva.
"Satu lagi, anakmu sekarang berpacaran dengan klien artisnya, Vallena. Sofi itu lesbi!"
"KELUAR!" Bara berteriak.
Vino berjalan tertarih keluar dari pekarangan rumah. Menyimpan rasa tidak terima dan amarah.
Beberapa saat setelah Vino pergi.
Bara memandangi wajah Sofi lamat-lamat. Mata lelaki tua itu penuh dengan amarah, kekecewaan, dan kegetiran. Bercampur menjadi satu.
"Betul dengan semua yang dikatakan Vino?"
Sofi menangis. Air matanya terjun membasahi kedua pipi. Bibirnya bergetar, tenggorokannya tercekat. Sulit bicara.
"Betul?!" bentak Bara mengulang pertanyaan.
Tidak ada satu kata pun terucap dari bibir Sofi, hanya tangisan yang berubah terisak.
Kedua lensa Bara mengialkan kekecewaan. Ia meninggalkan Sofi masuk ke dalam rumah. Tanpa kata.
Sisa-sisa darah Vino yang berceceran di rerumputan menjadi saksi bisu peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi.
Ketimbang perasaan Bara yang kecewa, hati Sofi lebih hancur.
Hari ini ia mengalami kejadian traumatis dalam hidup. Hampir diperkosa di rumahnya sendiri. Lebih tepatnya, di kamarnya sendiri. Bukan dukungan atau pun sandaran yang ia dapatkan dari sang ayah, melainkan pengabaian. Pengabaikan karena fakta tentang dirinya yang telah mengecewakan Bara.
Sungguh.
Hati Sofi begitu hancur dan nelangsa.
***
Sofi mengurung diri di kamar.
Wanita itu duduk berjongkok di bawah jendela, persis pada sudut ruang. Tiap kali matanya melihat ke ranjang, ia terus teringat pada kejadian nahas yang terjadi padanya.
Ibunya dan Erlin sudah lama tiba di rumah. Namun, tak ada satu pun dari mereka yang menyapanya. Bukan karena mereka tidak tahu peristiwa pelecehan yang dilakukan Vino. Mereka tahu. Hanya saja, mereka juga tahu fakta bahwa Sofi sudah tidak lagi perawan dan seorang lesbian. Kenyataan itu lebih pahit bagi mereka semua, ketimbang memerdulikan perasaan Sofi yang lebur karena dilecehkan.
Bisa saja Sofi membela diri.
Memberitahukan bahwa Vallena adalah seorang lelaki pada seluruh keluarganya. Tapi, buat apa? Ia sudah paham nilai dirinya di mata keluarganya. Keluarga sempurna yang menjunjung nilai moral di atas segala-galanya. Kini, ia tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Manusia penuh dosa yang harus segera bertaubat.
"Bawa saja dia untuk diruqyah! Setan apa yang nempel di badannya sampai dia suka sama sesama jenis?!" tangis Magda terdengar dari balik pintu kamar.
"Aku malu, bu! Mau ditaruh di mana mukaku ini!" sahut Bara geram.
"Anak itu dari kecil diajari agama, kok bisa sekarang terjerumus pergaulan bebas dan suka sama sesama perempuan!" pekik Magda.
"Tidak usah di kasih makan! Supaya dia sadar dengan semua perbuatannya! Jangan biarkan dia keluar rumah, apalagi berniat ketemu si Vallena itu! Ini ponselnya sudah aku simpan. Biar dia merenungi perbuatannya!"
Semua percakapan ayah dan ibunya terdengar jelas. Sofi tersenyum getir, tak ada satu pun dari mereka membahas soal pelecehan yang menimpanya.
Konon katanya, dalam setiap keluarga, pasti terdapat satu 'produk gagal'. Satu orang yang selalu membangkang, satu orang pembuat masalah, satu orang yang mengecewakan. Kini, Sofi sadar, ialah 'produk gagal' itu.
***
Alfita buru-buru masuk ke dalam rumah. Saking tergesanya, ia lupa mengucap salam. Jumat itu ia pulang larut karena sidang tipikor yang memakan waktu cukup lama. Tak sedetik pun pikirannya bisa tenang setelah mendengar kabar di grup chat keluarga mengenai kejadian yang baru saja menimpa adiknya.
"Mana Sofi?!" serbu Alfita pada ayah dan ibunya.
"Di kamar," jawab Magda singkat.
"Gimana keadaannya? Masih terpukul? Mau makan?" cecar Alfita.
"Harusnya Sofi itu malu dan merenungi perbuatannya, Fit. Dia memang tidak kami beri makan, supaya mikir, kalau berada di jalan yang salah," terang Bara.
Mata Alfita membelalak.
Jantung berdetak kencang karena emosi yang memuncak.
"Demi Tuhan! Ayah dan ibu ini orang tua macam apa? Sofi itu habis diperkosa sama Vino! Kejiwaan dia itu bisa jadi terguncang! Tapi apa? Bukan dukungan yang dia dapat, malah hukuman! Hukuman karena diperkosa!"
"Fita! Adikmu itu sudah terjerumus pergaulan bebas dan penyuka sesama jenis! Mana ada laki-laki yang mau sama dia sekarang!" hardik Magda.
"Astagfirulloh, bu! Bisa-bisanya ibu mikir itu sekarang? Sofi itu butuh didampingi! Dia itu habis diperkosa! Diperkosa!!! Kalian mikirin ego kalian saja, perasaan anak kalian itu gimana?! Keterlaluan banget!" Alfita meninggalkan kedua orang tuanya yang duduk di ruang tamu. Ia melangkah menuju kamar Sofi.
Erlin terlihat sembab berdiri di depan kamar Sofi. Memegang sepiring makanan di tangannya.
"Kak, aku mau kasih mbak Sofi makan tapi dilarang ibu sama ayah. Aku takut ngelawan tapi kasihan sama mbak Sofi," bisiknya menahan tangis.
"Sudah, mana sini! Biar aku yang bawa ini ke kamar Sofi. Kamu juga belum ngajak omong Sofi sama sekali, Lin?" tanya Alfita.
Erlin menggeleng.
"Keterlaluan kalian semua!" decak Alfita.
"Aku takut sama ayah, kak. Ayah ngamuk," terang Erlin.
"Hash. Ya sudah!" Alfita melengos. Membawa piring yang disodorkan Erlin, lalu mengetok pintu kamar Sofi yang dikunci dari luar. Setelah tiga kali ketokan, ia membuka kunci pintu kamar dan melangkah masuk.
Hati Alfita miris.
Tega sekali ibu dan ayahnya menyekap Sofi seperti penjahat, padahal adiknya itu baru saja mengalami peristiwa pahit.
"Sof," sapa Alfita mengulas senyum. "Makan dulu, yuk," ajaknya pelan.
Didekatinya sosok Sofi yang meringkuk di sudut lantai kamar. Hati Alfita bak diiris-iris. Sekuat tenaga ia menahan agar tak menangis.
"Sof, makan, yuk," ia membisik.
Sofi menatap sejenak sang kakak dan memaksakan senyum. Ia kemudian menggeleng.
"Nanti kamu sakit, lho. Dikit aja. Buat ganjel perut," bujuk Alfita tak berputus asa.
Sofi kembali menggeleng, "Tyo mana, mbak?" tanya Sofi.
Hati Alfita terenyuh.
Sofi masih sempat menanyakan perihal keponakannya di saat kondisi fisik dan mentalnya terguncang.
"Tyo ada di rumah, dong. Dijaga sama papanya. Aku tadi dari kantor langsung ke sini. Mau vidcall Tyo?" tawar Alfita. Mungkin anaknya bisa meluluhkan hati Sofi agar mau makan.
Sofi mengangguk.
Alfita sigap menghubungi nomor ponsel sang suami. Dalam hati ia sibuk merapal doa, semoga Tyo belum tidur.
"Assalamualaikum, apa mam?" jawab suami Alfita menerima panggilan video.
"Waalaikumsalam, pa. Tyo mana? Mau ngomong sebentar, dong!"
Beberapa detik kemudian. Wajah tembam Tyo sudah terpampang memenuhi layar ponsel.
"Hallo, Tyo. Ini tante Sofi mau ngomong ama Tyo!" ucap Alfita memiringkan layar ke arah muka Sofi.
"Allo, ude Opi ..." kata Tyo ceria.
"Hallo, Tyo! Kok belum bubuk?" sambut Sofi. Tersenyum merekah. Namun, matanya masih menyembunyikan kesenduan.
"Macih main!" jawab Tyo.
"Main apa? Kok enggak pernah main sini? Aunty Sofi kangen," balas Sofi.
"Ehm, ya. Nanti, Tiyo kesyana sama mamah sama papah! Ude tunggu, ya!"
"Eh, Tyo," sela Alfita. "Tyo, ude Sofi enggak mau makan ini, lho! Coba Tyo yang kasih tau supaya ude mau makan!"
Mata Sofi berkaca-kaca melirik sang kakak.
"Ude makan, dong. Kalo gak makan nanti ude akit. Kalo makan ude kuat. Kuat kayak Kingkong, ude!" racau Tyo ceriwis.
"Iya, nanti aunty makan," sahut Sofi.
"Tyo, awasin ude Sofi, ya! Ini mama suapin ude, Tyo yang lihat. Kalau ude enggak mau makan, nanti Tyo marahin. Okay?"
"Ya ...!" teriak Tyo.
Alfita serta merta menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke mulut Sofi. Dengan terpaksa, Sofi menerima suapan si kakak karena mata Tyo mengawasi dari balik panggilan.
"Good job, ude Opi!" tawa Tyo menirukan gaya bicara para gurunya di playgroup.
Beruntung. Akibat campur tangan Tyo, Alfita berhasil memaksa Sofi makan. Panggilan video pun diakhiri karena malam sudah larut. Waktunya bocah lucu itu untuk pergi tidur.
"Mbak, makasi, ya," gumam Sofi.
Alfita berdecak, "Makasi opo to, Sof?"
"Ya makasih aja. Mbak masih peduli sama Sofi, meskipun Sofi ini hina, kotor, dan pendosa. Maafin Sofi ya, mbak, sudah membuat malu keluarga."
Alfita tidak mampu lagi menahan kesedihannya. Ia menarik Sofi dalam pelukan.
"Sof! Kamu itu korban. Jangan minta maaf! Justru maafkan ibu sama ayah atas sikap mereka. Mereka itu terlalu kaku. Maafin mbak juga, tidak bisa mendampingi kamu lebih cepat!"
Tangis Sofi ikut pecah.
Didekapnya tubuh sang kakak erat. Hatinya meleleh menemukan seseorang yang bersedia menjadi pegangannya saat ia hampir oleng.
Dari balik pintu kamar, Magda menutup bibirnya. Ia ikut menangis. Seutas rasa bersalah mulai memenuhi rongga dadanya. Setelah dipikir lagi, ia memang keterlaluan. Mengabaikan perasaan Sofi yang lebur hanya karena memikirkan moral.
Dilain sisi, Bara mengambil ancang-ancang. Beberapa menit yang lalu, ia tak sengaja membaca pesan yang timbul di notifikasi ponsel Sofi.
Dr. Hesa Surya
Maaf baru balas, Sof.
Sedang banyak pasien.
Keadaan Vallena baik² saja.
Ia memang tak bisa balas pesan,
Ponselnya disita kak Ida.
Valle, masih di rumah saya.
Sebaiknya, kamu tak usah mengunjungi dia dulu.
Bara mencari tahu mengenai Dokter Hesa Surya. Di jaman sekarang, tak susah untuk mendapat informasi mengenai siapa pun. Terlebih seorang 'dokter' seperti Hesa. Informasinya pasti ada dalam situs pencarian.
Tak menunggu lama, Bara sudah mendapat apa yang ia mau. Hesa Surya adalah salah satu dokter umum yang cukup terkenal di Surabaya. Alamat prakteknya tercantum jelas di situs internet.
Malam ini, Bara harus bertemu dengan Vallena. Wanita itulah biang kerok yang telah menyebabkan kekacauan di keluarganya. Bara yakin, pasti Vallena-lah yang mengganggu Sofi hingga ia bisa 'berbelok' hati.
Tanpa menunggu lama, Bara segera melajukan kendaraan menuju alamat yang tertera.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top