32. Freedom

Sofi menenteng dua kantong kresek di tangan kiri, sementara di kanannya membawa dua buah mangkok beserta sendok garpu.

"Vall, bukain dong, tanganku lagi sibuk nih!" teriaknya dari luar cottage.

Vallena segera membuka pintu, menemui Sofi dengan penampilan baru.

Mata Sofi membelalak diiringi dengan mulutnya yang menganga. Vallena yang biasanya selalu cantik, kini berbalut pakaian lelaki, tanpa riasan, dan menggulung rambut. Diluar dugaan, sosoknya luar biasa tampan.

"Kenapa? Aneh, ya?" tanya Vallena merespon ekspresi Sofi yang terbelalak.

Sofi melangkah masuk ke dalam kamar, menggelengkan kepala dengan cepat.

"Enggak. Kamu gant ... eh, ehm, anu, cocok!" ucap Sofi terbata.

Vallena membalas ucapan Sofi dengan tersenyum.

"Bawa makanan apa aja? Banyak banget, Sof," Vallena memandangi kantong kresek bening yang penuh dengan kotak stereofoam.

Sofi masih terpaku pada sosok Vallena. Ia tadi tak sebegitu gugup saat satu kamar dengan model itu. Namun, kini, setelah Vallena berganti penampilan menjadi lebih 'maskulin', Sofi terlanda kepanikan dan salah tingkah. Semakin tersadar bahwa ia memang sedang berada di bawah satu atap dengan seorang lelaki.

"An-anu ... ini ... anu ... ada bakso, nasi goreng, mie goreng, ayam goreng ... bakso, oh, bakso udah disebut, ya! Ehehehe," jawab Sofi cengengesan. Ia buru-buru mengeluarkan kotak demi kotak dan duduk bersila di lantai.

Vallena menahan tawa, "Abis segitu banyak?" tanyanya.

"Anu .. ehm, 'kan, untuk kita ... berdua," lagi-lagi Sofi terbata-bata.

"Anu-anu terus sih, Sof?" ledek Vallena, ikut duduk di depan Sofi. Terus mengamati gerak-gerik sang MUA yang bak cacing kepanasan.

"Ayo makan!" Sofi menyendokkan sesuap nasi goreng ke dalam mulut. Berusaha mengalihkan salah tingkah dengan makan.

"Gimana rasanya? Enak?" selidik Vallena.

Sofi berdehem, menegakkan punggung, "This food is called Fried Rice, it taste so good. Kalau orang Prancis bilangnya, c'était délicieux alias wenak tenan!"

Vallena terpingkal, "Kamu sedang menggodaku, ya!" Ia sadar kalau Sofi sedang meniru gaya bicaranya. Lagak Sofi persis menyerupai Vallena saat sedang syuting dengan Madam Suhari Kuncoro kemarin.

"Nah itu sadar," kelakar Sofi. Ia menuangkan bakso beserta kuah ke dalam mangkok dan menyodorkan kepada Vallena, "Buruan makan. Nanti dingin enggak enak. Sudah pernah makan bakso 'kan?"

Vallena menggeleng.

Sofi terperanjat bagai disambar petir di siang bolong.

"Astaga! Enggak pernah makan bakso?! Gila!!!" ia memekik, "bakso itu makanan yang amat sangat enak, tau! Bisa-bisanya enggak pernah makan! Buruan cobain!"

"Nasi dan mie goreng terlalu banyak minyak dan karbo, sementara bakso ini terlalu banyak lemak," sahut Vallena.

Sofi berdecak, "Vall, terus makananmu apa? Sayur mayur dan buah-buahan doang?!"

"Kind of ..." timpal Vallena. Kedua alisnya naik, diiringi bibir atas yang tertarik ke atas.

"Vall, kita ini manusia! Human! People! Bukan marmut atau domba! Kamu harus cobain sekarang, semua makanan ini. Ingatlah, hari ini, dan selanjutnya adalah hari kebebasan untuk kita berdua!" Sofi berbicara seolah sedang berdeklamasi.

Vallena tersenyum.

Sofi selalu membuatnya penuh tawa.

Dengan gamang, Vallena menyendokkan sepotong pentol bakso dengan kuah dan memasukkan ke mulut.

Sofi menunggu respon Vallena secara seksama. Mirip situasi penjurian pada ajang kompetisi masak memasak.

"Gimana?" tanya Sofi.

Vallena terus mengunyah rasa asing yang berpadu di dalam mulut. Ia lalu mengangguk setuju.

"Kau benar, ini enak!" katanya seraya kembali menyuapkan potongan selanjutnya.

"Apa kubilang!" Sofi tertawa puas.

Ini pertama kali di dalam hidup Vallena, ia merasakan kehangatan saat menyantap makanan. Tak perlu menghawatirkan hitungan kalori dan protein. Tak mencemaskan kebutuhan serat harian apakah sudah tercukupi atau belum. Ini juga pertama kali bagi Vallena, menjalani waktu tanpa beban dan kegetiran. Sofi hadir menerima jati dirinya apa adanya. Wanita sederhana itu menuntun Vallena dari lorong gelap menuju jalan penuh cahaya terang. Setiap menit yang ia jalani bersama Sofi adalah sebuah anugerah yang ia syukuri.

Selama hidup, alkohol adalah teman Vallena. Dengan alkohol, sejenak ia melupakan masalah dan rasa pedihnya. Namun, bersama dengan Sofi ia sama sekali tak membutuhkan pengalihan, karena ia terlampau bahagia, jauh dari rasa getir.

"Sof, aku boleh minta tolong satu hal lagi?" pinta Vallena.

"Apa?"

"Bisakah kamu potong habis rambutku?"

Mata Sofi membelalak, "Kamu serius, Vall?"

Vallena tersenyum, "Aku tak pernah seserius ini di dalam hidup. Aku juga tak pernah seyakin ini. Berpuluh-puluh tahun aku hidup penuh dengan tanda tanya dan keraguan. Namun, hanya dalam hitungan jam aku memakai pakaian ini, aku merasa amat nyaman dan tenang. Semua pertanyaanku terjawab, tak ada lagi teka-teki. Aku adalah lelaki, Sof. Dan aku bersungguh-sungguh," matanya berkaca-kaca.

Bulir demi bulir air mata jatuh membasahi pipi Vallena. Selama ini terkurung dalam sangkar dan akhirnya bebas. Bebas!

"Aku adalah lelaki. Mengapa selama ini aku penuh keraguan? Aku bukan transgender. Aku adalah lelaki," tangis Vallena makin kencang.

Hati Sofi terenyuh, tenggorokannya tercekat. Rasa haru memenuhi rongga dada.

"Vall ..." Sofi mendekat dan merengkuh Vallena ke dalam dekapan.

"Terima kasih, Sof. Terima kasih karena telah datang dalam hidupku," bisik Vallena.

Sofi menggelengkan kepala, "Pertemuan kita merupakan takdir yang sudah diatur Tuhan."

"Kamu telah memberiku kehidupan baru dan menyelamatkanku dari kematian. Terima kasih, Sof," Vallena terus terisak. Memori pertemuan dengan Sofi menari-nari pada benaknya. Ia juga teringat Sofi yang datang menolongnya saat berusaha melakukan upaya bunuh diri.

"Sudahlah, Vall. Jangan terus-terusan berterima kasih padaku. Bertemu denganmu juga merupakan anugerah untukku. Aku tak pernah merasakan cinta setulus ini. Dimana aku rela menerima apapun kamu dan aku sanggup berkorban apa saja. Kamu benar-benar mengajarkan aku tentang apa arti dari mencintai," terang Sofi.

Vallena menatap wajah Sofi lamat-lamat, "Sepulangnya dari pantai besok, aku akan menemui mom. Aku akan menceritakan semua padanya. Bahwa, aku adalah seorang lelaki. Aku tak peduli lagi pada karirku. Aku tak peduli lagi dengan cibiran dan hinaan dari masyarakat kepadaku kelak. Sudah waktunya untukku memikirkan kebahagiaan diriku sendiri. Kamu tetap akan menemaniku 'kan, Sof?"

"Tentu saja. Aku akan selalu ada di sampingmu. Kita pasti bisa melalui ini, Vall. Bersama sampai akhir," Sofi mengulas senyum.

Mereka saling bertatapan.

Wajah Sofi berubah merona.

Vallena membelai lembut pipi Sofi yang bersemu merah muda. Begitu cantik dan manis.

Wajah keduanya makin mendekat.

Tak terdengar suara lagi. Hening. Hanya detak jantung satu sama lain yang berdentum dengan keras.

Sofi memejamkan mata seraya mendongakkan kepala.

Tanpa ragu, Vallena mengecup bibir plum kekasihnya dengan lembut. Ciuman pertama keduanya. Terasa memabukkan.

Waktu terasa melambat, sekaligus cepat dengan perasaan keduanya yang sulit untuk diungkapkan. Ciuman yang menghapus segala resah, gundah, dan lara yang selama ini bersemayam.

Zat dopamine¹ menyebar ke seluruh tubuh. Berbarengan dengan debaran jantung yang berdetak kencang, melepaskan hormon norepinephrine². Sensasi bahagia dan nervous berdansa-dansa dalam simfoni.

Darah berdesir.

Sentuhan kecil pada ujung jari-jemari diantara keduanya sudah mampu memunculkan sensasi panas yang memabukkan. Bibir Vallena dan Sofi berpagutan makin dalam.

Tangan Sofi memegang rahang Vallena, lidah keduanya saling mengejar satu sama lain. Begitu intim. Begitu mesra.

Vallena melepaskan pagutannya, mengecup setiap sudut bibir Sofi kecil-kecil. Semua sisi bibir Sofi tak luput dari ciuman. Vallena kemudian berpindah mengecup hidung Sofi dan tersenyum.

"I love you," ucap Vallena.

Mata Sofi berkilat, wajahnya tersipu malu, "I love you, too," jawabnya menahan salah tingkah.

***

Suara gunting yang memotong helaian demi helaian rambut pirang Vallena memenuhi ruang kamar yang sunyi.

Dahi Sofi berkerut, mati-matian berusaha fokus agar jangan sampai hasil potongan rambut Vallena tidak simetris.

"Santai saja, Sof," goda Vallena terkikik. Memandangi wajah Sofi yang tegang dari pantulan cermin.

Sofi tak menjawab, khawatir hasil konsentrasinya kabur.

Rambut panjang nan feminin milik Vallena gugur di lantai. Makin banyak helaian yang jatuh, makin lapang perasaan Vallena. Belenggu dalam jiwanya perlahan terlepas.

Merasa cukup dengan hasil guntingannya, Sofi bernapas lega sambil menatap pantulan pada cermin.

"Segini bagaimana? Aku tak bisa memotong lebih pendek lagi karena kita hanya menggunakan gunting. Bukan hair clipper."

"Ini juga sudah sangat bagus dan rapi. Kamu memang berbakat," puji Vallena. "Bagaimana? Apakah aku sekarang terlihat tampan?"

Sofi memandangi wajah Vallena seraya tersenyum, "Kamu sangat tampan."

"Lalu, berapa yang harus aku bayar?" seloroh Vallena.

Sofi memutar bola mata, "Jasa potong rambutku tak cukup dibayar hanya dengan uang!" ia memasang ekspresi pongah.

"Lalu?" tanya Vallena. Ia menarik Sofi ke atas pangkuan.

Mereka saling bertatapan.

"Bayar dengan tubuhmu," goda Sofi.

Vallena memicingkan mata, "Ehm, mulai nakal rupanya," sahutnya.

Tanpa menunggu aba-aba, Sofi kembali mencium bibir sang kekasih.

Ciuman mereka berdua kali ini cukup bergairah dan liar. Keduanya membaringkan tubuh di atas kasur. Sofi melingkarkan lengannya di leher Vallena dengan erat. Tubuh mereka memanas.

Vallena menaikkan kaos longgar yang membalut tubuh Sofi. Menanggalkannya hingga menyisakan tubuh Sofi yang berbalut jeans dan bra berwarna peach.

Bibir Vallena mencucup leher dan belahan dada Sofi yang masih tertutupi oleh bra. Sofi mengelinjang, menikmati setiap sentuhan bibir sang kekasih. Rasa geli yang menciptakan candu.

Ciuman itu terus turun berganti dengan jilatan dan gigitan kecil pada perut Sofi yang bernapas naik-turun. Tangan Vallena sigap membuka kancing jeans Sofi dan menurunkan resletingnya. Ditariknya jeans itu dengan perlahan, kini Sofi terbaring hanya mengenakan pakaian dalam. Terbaring mabuk asmara di atas ranjang.

Vallena kembali menciumi bibir Sofi penuh gairah. Tangannya meremas kedua buah dada Sofi yang padat dan mulai sensitif. Dilepaskannya kaitan bra Sofi dan menampakkan payudara polos sang kekasih. Sofi menahan rintihan. Ia yakin, area kewanitaannya sudah basah.

Bibir Vallena mencumbu puting Sofi yang sudah mengeras. Menghisap dan menggigiti bagian tersebut dengan lembut. Sementara tangan satunya memainkan payudara sebelahnya. Desahan Sofi makin membuat Vallena bernafsu. Permainan pada buah dadanya berhasil membuat tubuhnya hampir klimaks.

Jari Vallena beralih mengusap celana dalam Sofi yang sudah lembab. Gerakan lambat yang Vallena suguhkan sungguh menyiksa Sofi, lebih tepatnya siksaan ternikmat.

Diturunkannya french-cut panties yang Sofi kenakan. Kini tubuh Sofi telanjang bulat, tak terbalut sehelai benang pun. Jari Vallena menelusup ke dalam liang senggama kekasihnya yang sudah basah, menggerakkan ujung telunjuk dan jemari tengah untuk mengusapnya. Bergerak melingkar sambil sesekali menekan-nekannya.

Secara perlahan, Vallena memasukkan jemarinya - memberikan gerakan seolah menggelitik - serta maju dan mundur.

Desahan Sofi makin kencang, seiring dengan ritme jemari Vallena yang makin cepat. Tak perlu menunggu lama, Sofi mencapai klimaksnya.

Sofi beringsut, mendorong tubuh Vallena hingga jatuh ke atas ranjang. Mendominasi permainan menuju babak selanjutnya. Dengan tak sabar, ia menarik jogger pants yang Vallena kenakan. Menampakkan milik sang kekasih yang sudah tegak teracung. Seolah bagian tubuh itu sedang menyapa Sofi dengan ucapan 'terima kasih' karena berhasil lolos dari pemotongan dan pembantaian.

Sofi mengulum milik Vallena penuh nafsu. Napas Vallena memburu, ia sudah sangat terangsang.

"Sof," panggil Vallena.

Sofi tak mengubris ketika namanya disebut. Ia terlalu sibuk memanjakan 'tubuh' sang kekasih.

"Sof," ulang Vallena seraya menarik tangan Sofi.

Mereka kemudian saling memandang.

"Sof, bisakah kita tidak melakukannya dulu?" Vallena bertanya dengan hati-hati.

"Ke-kenapa?" tanya Sofi. Ia khawatir telah melakukan kesalahan, "Apa aku melakukan suatu kesalahan?"

Vallena menggeleng dan mengulas senyum.

"Tak ada yang salah darimu, sayangku. Asal kamu tau sebelumnya, aku sangat, sangat, sangat menginginkanmu. Namun, kau lihat diriku yang sekarang ini 'kan? Tubuhku masih abstrak. Aku ingin jika kita melakukannya, kita melakukannya dengan sempurna."

"Tapi kau sempurna, Vall," sanggah Sofi.

"Kamu yang sempurna, sayangku. Sementara aku tidak. Aku juga ingin memberikan diriku yang terbaik untukmu. Dan itu bukanlah saat ini," terang Vallena.

Sofi menatap mata Vallena yang indah. Mata biru safir.

Vallena memegang dagu Sofi dan menaikkannya, "Apakah kau bisa mengerti? Apakah kau marah? Atau apakah kau meragukan ucapanku?"

Sofi menggeleng dan mengulas senyum.

"Tidak. Aku paham. Aku akan menunggu kau siap. Menunggu saat semuanya sempurna."

Vallena bernapas lega.

Dikecupnya dahi sang kekasih penuh cinta.

"Terima kasih, sayangku. Aku sangat mencintaimu."

***

Angin sepoi-sepoi bertiup.

Membingkai suasana sore dengan langit jingga yang cerah. Sofi dan Vallena berjalan bergandengan menyusuri jalan. Dengan berjalan kaki, mereka akan tiba di pantai Sendang Biru yang hanya berjarak kira-kira 500 meter dari penginapan.

Sofi mengaitkan lengan dengan mesra.

Tak akan ada yang menduga lelaki blasteran yang ia gelayuti dengan mesra adalah sang Model Vallena Valla. Tampilannya sudah berubah. Kalaupun ada yang mengenali, kedua insan itu sudah tak peduli.

"Aku sangat bahagia," ujar Vallena.

"Aku juga," timpal Sofi.

Mereka kemudian saling berpelukan, Vallena mengecup dahi Sofi. Dunia serasa milik berdua.

Tak sadar ada seseorang dengan ponselnya yang sedang mengabadikan kebersamaan mereka dari jarak yang cukup dekat. Aldi tersenyum menyeringai. Puas mendapatkan sekumpulan foto-foto 'bagus' yang akan ia kirimkan pada si bos.


----

¹ Dopamine : zat kimia di dalam otak yang bisa meningkat kadarnya saat seseorang mengalami sensasi yang menyenangkan

² Norepinephrine : hormon stres,
meningkatkan detak jantung .

----

Holla, Folks!

Aih pembacanya kurang, aku jadi kurang semangaat nihh ... :(

Buat yang udah mampir, jangan lupa vote dan komen, ya!

Salam sayang ♡♡♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top