3. Married Life

Edgar mengelus lembut kepala sang istri yang bersandar di pundaknya.

"Kau ingin anak lelaki atau perempuan?"

Edgar menyungging senyum, "Laki-laki atau perempuan sama saja. Asalkan kau dan bayinya sehat."

"Lalu bagaimana dengan namanya?"

"Apa kau lupa? Mengubah nama untuk tokoh novelku saja aku masih bingung dan sekarang kau meminta pendapatku soal nama?" kelakar Edgar. Ia menatap wajah istrinya, "Kuserahkan padamu. Apa kau sudah ada bayangan?"

"Entahlah. Hanya saja, aku ingin nama khas Jawa yang kental."

"Seperti apa?" tanya Edgar.

"Ehm, nama-nama semacam 'Ayu', 'Kirana', 'Bimo', atau 'Jaka'."

Edgar mengangguk, "Bagus juga."

"Kau setuju?" tanya Lieve.

"Kenapa tidak?" Edgar berbalik tanya.

"Memangnya matching, ya? Anak blasteran punya nama Ayu atau Jaka?"

Edgar tertawa, "Cocok saja, unik."

Mereka kemudian saling bertatapan dan tersenyum.

Keduanya kompak melirik alat uji kehamilan di genggaman tangan Lieve.

"Baiklah," Lieve menghela napas, "aku akan mengetesnya sekarang."

Edgar mengangguk.

"Apapun hasilnya, berjanjilah kau tak akan kecewa, Ed."

"Tidak akan, Lieverd," jawab Edgar.

Kemudian, istrinya masuk ke dalam bilik kamar mandi. Sementara, Edgar menanti di atas ranjang dengan berdebar. Tak dapat dipungkiri, seutas harapan akan memiliki buah hati bersemayam dalam dada.

Lieve keluar setelah lima menit.

Membawa alat uji kehamilan dalam genggaman.

"Kita tunggu beberapa menit baru hasilnya keluar," ucapnya.

Mereka duduk berdampingan di ranjang. Keduanya sama-sama menyimpan harap, tetapi dirahasiakan.

Perlahan, sebuah garis timbul.

Hanya satu garis.

"Kalau cuma satu garis berarti negatif," gumam Lieve.

Edgar berdeham.

Suasana berubah canggung dan tanpa kata.

"It's okay, Lieverd! Kita bisa terus mencoba!" Edgar menghibur istrinya.

"Aku juga tidak terlalu berharap, kok!" Lieve tertawa - terdengar dipaksakan.

Edgar mengecup pipi Lieve mesra.

"Tuhan ingin kita menghabiskan waktu berdua dulu. Bukankah asyik setiap hari merasakan kencan," ucapnya membisik.

"Kau benar, Ed."

Mereka saling bertatapan. Edgar mampu menangkap kesedihan di mata istrinya. Lara yang ia pendam.

"Kemarilah, Lieverd," Edgar menarik Lieve ke atas pangkuan.

Kemudian, lelaki itu mencium bibir plum istrinya. Kedua telapak tangan Edgar menangkup wajah mungil Lieve. Ciuman mereka semakin mesra.

"Ik hou van je, Lieverd¹," bisik Edgar.

Lieve membalas ungkapan cinta suaminya dengan pagutan yang makin dalam. Tubuh mungilnya kini sudah berada di atas Edgar.

Bibir Lieve mencecap setiap jengkal leher Edgar dengan penuh nafsu. Mata Edgar terpejam, sesekali mengerang karena ulah sang istri.

Tanpa membuka kemeja suaminya, Lieve langsung turun melucuti jeans yang dikenakan Edgar. Mengusap milik Edgar dari luar celana dalam.

Batang milik Edgar sudah mengeras saat Lieve melepas brief hitam yang dikenakan suaminya.

Wanita itu kemudian memasukkan kejantanan Edgar ke dalam liang kewanitaannya. Menguasai permainan dengan gaya woman on top.

"Ehhmmh," Edgar berdesis.

Pinggul ramping Lieve bergerak naik turun memompa kenikmata.

Lieve kemudian membungkukkan badan memeluk sang suami.

Ditengah kenikmatan memabukkan yang dirasakan oleh Edgar, bahunya terasa basah. Tubuh sang istri juga tiba-tiba terisak. Menangis.

Lieve menjatuhkan dirinya ke ranjang. Menutup wajah dengan telapak tangan.

"Ada apa? Apakah aku menyakitimu?" tanya Edgar memeriksa tubuh istrinya. Dengan sigap ia menutup badan itu dengan selimut sambil mengelus-elus punggung Lieve.

"Kamu tidak menyakitiku. Fisikku baik-baik saja. Tapi, hatiku tidak," ia terisak.

Edgar tidak berhenti mengusap istrinya, berusaha menenangkan.

"Apa kau tau bahwa aku sangat mengharapkan hasilnya positif," lanjut Lieve. "Aku berpikir aku akan baik-baik saja, apapun hasilnya. Tapi aku salah! Aku tidak baik-baik saja! Aku sangat berharap kali ini aku memang hamil."

"Kita bisa mencoba lagi, Lieverd," ucap Edgar, "sekarang memang belum waktunya."

"Bagaimana kalau ternyata aku bermasalah? Aku tidak bisa hamil? Kau tau 'kan, seorang wanita itu seolah membawa jam di pundaknya. Jam yang terus mengingatkan masa subur mereka. Usiaku sebentar lagi 35, alarm di jamku akan berbunyi, Ed!"

"Jangan menyalahkan dirimu, Lieve ..." sanggah Edgar.

"Lalu siapa yang harus disalahkan atas semua ini? Kita sudah mencoba selama dua tahun," tangis Lieve.

Mimik wajah Edgar berubah muram, "Mungkin saja aku yang patut disalahkan. Kau tau 'kan hidup yang dulu kujalani? Dengan serangkaian obat yang pernah masuk ke tubuhku selama bertahun-tahun."

Lieve menghentikan tangis. Sungguh ia tak bermaksud membuat suaminya merasa bersalah. Ia segera beringsut menghadap ke arah Edgar.

"Jangan katakan itu, Ed. Jangan menyalahkan dirimu untuk segala yang pernah terjadi pada dirimu dulu!" Ia membelai rambut Edgar. Merengkuh tubuh suaminya dalam dekapan, "Maafkan aku."

Keduanya saling memeluk. Membagi kesedihan satu sama lain melalui sentuhan.

"Apa yang memang sudah ditakdirkan datang untuk kita, akan tiba juga pada saatnya. Tuhan tau yang terbaik," ucap Edgar, ia memandangi manik mata kecoklatan milik istrinya, "dan jika pun kita memang digariskan hanya berdua saja, maka memang itulah yang terbaik, Lieverd."

Wanita itu mengangguk dan menghapus air matanya. Kembali memeluk tubuh hangat milik Edgar. Betapa ia sangat menginginkan memiliki buah cinta yang mewarisi sifat baik sang suami. Dalam hati ia berdoa, semoga saja kelak hal itu bisa terwujud.

***

Edgar duduk tegang di depan laptop.

Ia sedang mengalami writer's block, upayanya mendalami jalan pikiran Sofi menemui jalan buntu.

Saat ia sedang merengut, istrinya masuk ke dalam ruang kerja dan meletakkan teh chamomile di sisi meja.

"Dank je², Lieve," Edgar tersenyum.

"Minumlah. Ini membantumu agar lebih tenang. Aku perhatikan tidurmu juga selalu gelisah akhir-akhir ini. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Aku mengalami kebuntuan. Boleh aku bertanya padamu?" tanya Edgar.

"Apa?" Lieve menopang kedua tangan, membelakangi meja dan menghadap ke arah suaminya.

"Mengapa kau bisa tertarik padaku dulu?"

Lieve membelalakkan mata dan tertawa, "Apa ini ada hubungannya dengan novelmu, huh?"

"Come on, Lieverd. Aku ingin mendengar jawabanmu," rayu Edgar.

Setelah berpikir sejenak, Lieve mengulas senyum.

"Sebenarnya, sebelum kita bertemu, uhm, sebelum kita berkenalan bahkan, kau datang ke dalam mimpiku."

Wajah Edgar berubah antusias, "Bagaimana bisa? Mimpi seperti apa? Sosokku yang seperti ini?" cecarnya bertubi.

Istrinya mengangguk.

"Aku juga tidak tau. Padahal kita tak saling mengenal. Mungkin mimpi itu memang dikirimkan Tuhan. Walaupun mimpinya sedikit ..." ia terhenti, wajahnya merona.

"Sedikit apa?" Edgar penasaran.

"Ah sudahlah," Lieve berusaha mengelak. Ia beringsut pergi.

Edgar buru-buru menarik lengan Lieve dan menahannya, "Ayolah, sedikit apa?"

Wajah istrinya tersipu.

"Ini memalukan," gumam Lieve.

"Aku suamimu, kau masih merasa malu padaku?" protes Edgar.

Lieve berdehem.

"Baiklah, akan kuceritakan," ia lalu menarik kerah Edgar yang sedang duduk. "Atau lebih tepatnya, kuperagakan seperti apa mimpinya," bisiknya.

Edgar paham betul maksud istrinya. Ia tersenyum nakal dan menuruti dengan pasrah. Malam yang panas dan bergairah akan segera dimulai.

----

¹ Ik hou van je : aku mencintaimu (bahasa Belanda)

² Dank je : makasih (bahasa Belanda)

----


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top