28. Mengubur Rasa
Sofi menggeret Vallena masuk ke dalam kamar.
"Ke Thailand?" tanya Sofi. Manik matanya membulat, "Ngapain? Ada kerjaan?" lanjutnya.
Vallena tak menjawab karena sibuk memandangi ruang kamar Sofi. Tidak begitu luas seperti kamar yang ia miliki. Desain kamar tidur yang simpel dengan perabot serba putih. Di dalam kamar pun tak ditemukan banyak perabotan. Selain ranjang, hanya terdapat lemari pakaian, rak dinding, dan meja kecil dengan beberapa rangkaian perawatan wajah yang bisa dihitung jari. Jendela kamar tertutup oleh tirai yang juga berwarna putih.
"Peralatan make-up-mu cuman sedikit, ya?" ucap Vallena. Ia menyadari Sofi memang tak pernah terlihat berdandan.
"Itu di dalam beauty case isinya make-up semua," sahut Sofi menunjuk koper kerjanya.
Vallena terkekeh, "Itu 'kan buat merias orang-orang."
"Aku 'kan juga orang, Vall. Lagian aku memang malas dandan," terang Sofi.
Vallena memandangi wajah Sofi dengan teduh. Tersenyum penuh arti, "Karena kamu memang sudah cantik, jadi tak perlu berdandan segala," pujinya.
Sofi mendudukkan bokongnya ke atas ranjang. Salah tingkah dengan perkataan Vallena, "Hmmh. Bisa aja," ia tersipu.
"Aku serius. Kamu memang cantik, Sof," Vallena duduk di samping Sofi. Pantulan tubuh mereka tertangkap di cermin besar yang terpasang di dinding kamar.
Mata Vallena melihat ke arah cermin. Sosok mereka berdua yang sejajar berdekatan. Tiba-tiba ekspresi Vallena berubah galau.
Dua sosok wanita.
Yang tak seharusnya bersama. Tak serasi.
Kata-kata Vino kembali berkelindan dan menari-nari di benak Vallena. Sofi pasti lebih bahagia bersama dengan seorang lelaki. Lelaki yang bisa memberinya masa depan. Bukan dengannya yang menyimpan enigma akan jati diri.
Hidup seperti apa yang bisa Vallena janjikan untuk Sofi. Masa depan seperti apa. Terlebih setelah bertemu dengan keluarga Sofi, Vallena makin tidak tega merusak keharmonisan keluarga ini jika nantinya mereka tahu bahwa ia dan Sofi menjalin cinta.
Bersama dengan Vallena, Sofi harus siap menjadi bayangan.
Seorang kekasih yang disembunyikan dari dunia. Wanita yang tak akan pernah dinikahi. Wanita yang tak akan pernah memiliki keturunan. Wanita yang tak akan pernah digandeng tangannya di depan umum.
Seegois itukah Vallena membiarkan hal itu menimpa Sofi?
Vallena tertunduk. Menahan pilu di hati. Cinta mereka bak bunga yang layu sebelum berkembang.
"Vall?" panggil Sofi, "kenapa kok diem? Nyesel sudah muji aku cantik, ya?"
Vallena tersenyum, "Nggaklah. Ehm, oh iya, soal keberangkatanku ke Thailand. Aku ke sana bukan karena ada proyek kerja. Melainkan untuk operasi."
Mata Sofi membelalak, "Op-operasi apa?" tanya Sofi.
"Aku akan melakukan operasi Orchiectomy¹, Penectomy², dan Vaginoplasty³. Singkatnya, operasi perubahan kelamin."
Sofi harusnya bisa menduga suatu hari hal ini pasti akan terjadi. Namun, tak ia sangka, ia tetap tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"B-bukankah, prosedurnya panjang. Kau harus melakukan konseling dulu dengan psikiater. Kenapa cepat sekali, bulan depan ...?" gumam Sofi. Suaranya bergetar.
"Aku sudah melakukan konseling dengan psikiater saat di Paris. Untuk itulah mereka akhirnya memberikanku resep hormon dan surat rekomendasi. Sebagai seorang lelaki yang mengalami gender identity disorder⁴, ada beberapa tahapan hingga kami bisa melakukan prosedur operasi pergantian kelamin. Psikiater akan memberi terapi hormon terlebih dahulu, hormon tersebut bisa membantu merubah tampilan maskulin yang wajarnya ada padaku. Merubah suara, dan bahkan menyebabkan dada sedikit membesar. Syarat lain sebelum melakukan operasi adalah sudah berpenampilan seperti wanita selama setahun lebih. Sementara aku sudah menjadi seorang wanita semenjak usiaku belum genap lima tahun. Ada beberapa transgender yang sudah puas dengan dirinya tanpa perlu melakukan pergantian kelamin. Namun, tidak bagiku. Aku ingin menjalani transformasi untuk menyempurnakan diriku," terang Vallena.
"Jadi kau sekarang sudah yakin akan jati dirimu?" tanya Sofi.
Vallena mengangguk, "Ya. Aku adalah wanita, Sof," jawabnya. Ucapan dan hati Vallena tak sejalan. Sejujurnya ia masih ragu, namun, ia tak ingin menyeret Sofi ke dalam hubungan yang rumit jika bersama dengannya.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba yakin?" cecar Sofi.
"Setelah melihat kedatangan Vino di tempat syuting kemarin, ia begitu frustasi ingin mendapatkanmu kembali. Aku juga ingin merasakan hal seperti itu dalam hidup. Bertemu dengan lelaki yang mengejar-ngejar cintaku," jawab Vallena. Kebohongannya sendiri lebih menyakitkan hatinya lebih dari yang ia duga.
"Le-lelaki?" manik mata Sofi berkaca-kaca. Rasa sembilu menghantam sanubarinya.
Mereka berdua terdiam sejenak. Berusaha mengatur perasaan yang berkecamuk satu sama lain.
Sofi menatap Vallena dengan pandangan yang kabur. Matanya sudah penuh dengan air mata yang siap tumpah, "Jadi kamu tidak akan menyukaiku lagi?"
"Tentu aku masih akan menyukaimu, Sof. Sebagai sahabat," jawab Vallena. Sebisa mungkin ia menahan air wajahnya agar tetap tenang.
"Oh ... begitu," Sofi tertunduk dan memalingkan wajah. Bulir air mata terjun membasahi pipinya.
"Sof," Vallena menggenggam jemari Sofi. "Tak ada masa depan jika bersama denganku. Perasaanmu yang kau rasakan padaku sekarang hanyalah ilusi. Mungkin kau sedang mengalami patah hati dan kekecewaan mendalam terhadap lelaki, makanya alam bawah sadarmu membentuk perlindungan diri dengan membuatmu menyukai wanita. Dan kebetulan akulah wanita baru yang kau temui dalam hidupmu setelah kau patah hati. Aku yakin perasaanmu padaku hanya sementara."
Sofi tak menjawab.
Ia mengusap air mata di pipinya. Rasa sakit yang meremas dadanya. Jika sesakit ini rasanya, apakah benar hanya ilusi semata?
"Ya. Kamu benar," sahut Sofi lirih.
Mereka berdua saling bertatapan.
Sofi memaksakan senyum di bibir, "I'm happy for you, Vall. Sebentar lagi kamu akhirnya menjadi wanita seutuhnya."
"Thanks," jawab Vallena. Getir.
***
Cinta.
Cinta itu tak pernah bisa tertebak. Kapan ia muncul, di mana, dan kepada siapa.
Tiba-tiba merasa jatuh cinta kepada suara yang sehari-hari kita dengar di radio, tanpa tahu wajah atau sifat aslinya bagaimana. Tiba-tiba merasa jatuh cinta dengan seseorang yang sudah menjadi milik orang lain. Tiba-tiba merasa jatuh cinta kepada seseorang melalui kata-kata yang ia tuliskan pada buku novel atau bait- bait puisi. Love is unpredictable.
Yang membuat cinta berbeda adalah akhirnya, some stories have a sweet ending, the other gone sour.
***
Sofi mengantar Vallena ke depan teras.
"Kau sudah punya surat rekomendasi dari psikiater?" tanya Sofi sebelum Vallena membuka pintu mobil.
"Kau pikir kenapa aku dulu pernah tinggal setahun di Thailand dan memilih negara itu sebagai tempat pilihanku untuk operasi?"
"Memang kenapa?"
"Thailand adalah negara dengan akses yang sangat mudah untuk mendapatkan pil hormon tanpa melalui konsultasi dengan psikiater. Bahkan, banyak rumah sakit bagus yang menerima pasien pergantian kelamin tanpa surat rekomendasi," jawab Vallena.
Sofi tersenyum kecut, "Oh begitu, ya. Syukurlah kalau begitu."
"Jadi, kau bisa ikut denganku, 'kan? Tampaknya ayah dan ibumu memberimu ijin. Kau juga sudah punya paspor," ucap Vallena.
"Kau benar-benar ingin aku ikut, ya?" selidik Sofi. Sebenarnya berat bagi dirinya melihat langsung proses metamorfosis orang yang ia cintai. Apalagi, operasi itu jelas memangkas habis sisi lain dari Vallena yang Sofi harap bisa kembali dalam diri si Model.
"Aku ingin kau menemaniku. Aku membutuhkanmu, saat ini hanya kaulah orang yang bisa kuajak bicara. Kau tau bagaimana hubunganku dengan ibuku, tidak begitu akur. Tapi, kalau memang kau keberatan, aku tak mau memaksa," ujar Vallena.
Sofi mengulas senyum pada bibir plumnya, "Baiklah. Aku akan ikut. Selama kau terbius aku akan jalan-jalan di Patpong⁵ sampai puas," selorohnya.
Mereka berdua saling tertawa. Tawa keterpaksaan yang satir.
"Baiklah. Aku pulang. Selamat malam, Sof," pamit Vallena.
"Malam, Vall," jawab Sofi.
Kedua manik mata mereka saling berkaca-kaca. Melempar tatapan berisi asa yang pupus sebelum merekah.
Ada satu lagi jenis cinta yang paling pahit. Saling mencintai, namun tak mampu mengungkap. Memiliki rindu yang sama dan ingin yang serupa. Tapi harus memendam segala rasa untuk melindungi satu sama lain. Tanpa saling mengetahui.
"Vallena," panggil Sofi sebelum Vallena membuka pintu mobilnya.
"Ya?" sahut Vallena sigap.
"Bolehkah aku memelukmu?" manik mata Sofi berkilat karena menahan tangis.
"Kemarilah," Vallena melebarkan kedua tangannya. Siap menerima Sofi ke dalam dekapan.
Sofi memeluk tubuh Vallena erat-erat.
Vallena memeluk tubuh Sofi erat-erat.
Mereka tak berucap satu patah katapun. Sebab tak perlu kata untuk menyampaikan rahsa⁶ yang menciptakan elegi.
***
Dari kejauhan sebuah mobil Fortuner menghentikan laju bannya. Urung melangkah lebih jauh ke depan.
Sang pengemudi mengoreksi pandangan matanya. Memperhatikan kedua wanita incarannya saling berpelukan tak biasa.
"Vallena dan Sofi? Ada apa sebenarnya?" gumam Vino berbicara sendiri. Kemudian air mukanya yang semula mengialkan kebingungan berubah. Sebuah senyum menyeringai tampak pada bibir Vino, "Hmm, interesting," ia membisik.
Tadinya, Vino hendak mampir ke rumah Sofi untuk membawakan makanan kepada Bara dan Magda. Namun, ia membatalkan niat itu karena pemandangan yang baru saja ditangkap lensa matanya. Ia memundurkan kendaraannya dan membelok meninggalkan jalanan yang temaran.
Rasa penasaran yang tinggi akan menuntunnya untuk mencari lebih banyak informasi baru mengenai sesuatu.
----
¹ Orchiectomy : operasi pembuangan testikel
² Penectomy : operasi pengangkatan penis
³ Vaginoplasty : prosedur bedah untuk membuat, mengkonstruksi, atau merekonstruksi vagina
⁴ Gender Identity Disorder : Gangguan identitas gender. Suatu kondisi yang menyebabkan seseorang mengalami ketidaknyamanan atau rasa tertekan karena ada ketidakcocokan antara jenis kelamin biologis dengan identitas gender mereka (gender dysphoria)
⁵ Patpong : Salah satu kawasan di Thailand yang menyediakan wisata seks yang legal.
⁶ Rahsa : rasa terdalam
----
Jangan lupa tinggalkan Vote dan Comment, sebelum meninggalkan bab.
Salam sayang ♡♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top