26. Tunggu Apa Lagi?
"Hmh! Rasain!!! Mampus dah si Kadal!!" Mahmud bersorak-sorak puas melihat tubuh Vino yang tercebur dalam kolam.
Beberapa staff dan kru melongo kebingungan dengan kejadian yang baru saja terjadi. Vallena memukul seorang pria?!
Ida berlari panik sambil meminta bantuan kru produksi, "Heii! Bantu lelaki itu! Cepat bantu!" wanita itu kemudian menarik lengan Vallena kuat-kuat dan melotot, "what are you doing?! Are you losing your mind?!" hardiknya.
"Dia pantas mendapatkannya, mom. Such a jerk!" umpat Vallena.
"Kau merusak citra baikmu! Apa-apa'an itu tadi? Sangat gegabah! Aku jadi harus membereskan ulahmu!" Ida melotot sambil mencengkram tangan Vallena.
Sofi masih tercenung dengan tindakan yang dilakukan oleh Vallena. Ia tak mengira Vallena akan membela dirinya, bahkan memukul Vino. Sesuatu yang bahkan tak ia dapatkan dari keluarganya sendiri.
"Oh my God? Are you okay?" Ida berbicara pada Vino yang masih kepayahan terduduk di pinggir kolam renang. Sekujur tubuhnya basah, seperti kucing anggora yang sedang di-grooming. Dua orang kru lighting baru saja membantu menarik tubuhnya dari dalam kolam. Terlihat housekeeping tergesa-gesa membawakan lelaki itu handuk.
Vino mengelap wajah dengan handuk kering yang diberikan oleh housekeeping, matanya melirik ke arah Vallena.
Tak ada tamu hotel lain yang berada di area swimming pool, hanya para kru. Mereka semua berbisik-bisik membicarakan kejadian tak terduga yang baru saja terjadi.
"Apa kamu membawa baju ganti, nak? Mari berganti pakaian di kamar kami," ajak Ida. Ia tak ingin Vino memperpanjang urusan, karena pemukulan yang dilakukan oleh anaknya, Vallena. Sebisa mungkin ia harus mengurus si lelaki agar bungkam.
Vino menatap Ida sambil tersenyum.
"Terima kasih perhatiannya, aku bawa baju ganti di mobil," sahutnya.
"Syukurlah, kalau begitu mari berganti pakaian di kamar kami. Oh ya, aku Ida, Vallena's mom."
Vino tersenyum menyeringai setelah mengetahui wanita paruh baya yang berbicara dengannya adalah ibu dari wanita yang baru saja meninjunya. Ia paham betul, wanita itu pasti berusaha agar ia tak memperpanjang masalah akibat ulah Vallena.
"Boleh, tapi apa tidak merepotkan?" tanya Vino.
"Tentu saja tidak," Ida tersenyum. Kemudian ia menoleh kepada Vallena seraya melotot, memberi kode dengan mata agar model itu ikut pergi ke kamar.
Ida lalu membantu Vino berdiri, menuntun tubuh tegap si lelaki untuk berjalan seiringan.
"Tidak ada yang terjadi di sini, aku hanya terpeleset," seloroh Vino kepada semua mata yang masih memandangi mereka.
Sofi masih terpaku.
Ia tahu betul siapa Vino, lelaki itu pasti akan memanfaatkan peristiwa tadi demi kepentingan pribadi. Vallena jelas dalam bahaya karena berurusan dengan Vino.
"Valle," panggil Sofi. Ia menatap Vallena dengan wajah cemas penuh kekhawatiran.
Vallena menepuk punggung tangan Sofi sambil mengulas garis melengkung ke atas, "It's okay," gumamnya memenangkan Sofi.
Sejurus kemudian, mereka bertiga berlalu dari pandangan. Meninggalkan area kolam beserta kru dan staff yang masih berbisik-bisik penuh tanya.
Perasaan Sofi bercampur aduk.
Ia tak menyangka akan menyeret Vallena ke dalam permasalahan. Vino adalah parasit. Ketika lelaki itu sudah menempel dalam kehidupan seseorang, ia akan selalu membayangi, lengket, dan susah lepas. Perlahan menggerogoti seluruh kehidupan inangnya.
***
Vino keluar dari bath-room, ia telah berganti pakaian dengan kaos polos hitam dan celana jeans biru muda. Rambutnya masih setengah basah dan acak-acakan, namun messy look justru makin memancarkan ketampanan Vino. Senyum selalu terulas di wajahnya - tak ada yang menyangka - lelaki karismatik itu memiliki hati bengis bak iblis.
Vallena dan Ida menempati kamar Westin Grand Suite. Terdapat 3 area utama yaitu living room, bedroom, dan bath-room. Setiap dari 3 area tersebut dipisahkan oleh sebuah pintu yang bisa dikunci dari dalam. Vallena sedang duduk di living room, tak acuh memainkan ponsel, sementara Ida sibuk membuat kopi dengan coffee maker.
Vino berdehem untuk memberitahukan kehadiran, tak seperti Ida yang langsung sigap menyambutnya penuh dengan senyum, Vallena tetap dingin tak peduli.
"Mari minum kopi dulu, nak," ajak Ida.
"Tidak perlu repot-repot, bu," sahut Vino.
"Tidak repot. Ayo mari," tuntun Ida. Ia meletakkan secangkir kopi yang aromanya begitu sedap memenuhi seisi ruangan.
Vino duduk di samping Vallena.
Meja makan berbentuk bundar dengan empat kursi yang mengelilingi. Vino tak bisa melepaskan pandangannya dari Vallena. Diamati tubuh dan wajah si model yang cantik jelita. Ia merasa berkuasa, bagaimana tidak, jika ia mau, ia bisa melaporkan Vallena ke pihak berwajib atas tindakan kekerasan. Sebagai seorang publik figur, berurusan dengan hukum bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan. Apalagi ia sadar betul, Vallena Valla adalah model yang selama ini bersih dari gosip miring.
"Sepertinya ada kesalahpahaman antaraku dan Vallena," ucap Vino setelah menyesap seteguk kopi, "mungkin Vallena pikir aku tadi memaki dirinya, padahal itu tak kutujukan untuk Vallena, melainkan untuk mantanku, Sofi."
Vallena tahu untuk siapa makian itu Vino tujukan. Justru karena panggilan kasar itu dimaksudkan untuk Sofilah yang membuat emosinya meledak. Tapi, ia enggan mengkoreksi ucapan Vino. Bagi Vallena, tak penting meluruskan kesalahpahaman dengan bajingan tengik yang duduk di sebelahnya.
"Oh begitu rupanya, jadi memang ada kesalahpahaman, ya!" sahut Ida. Ia mengusap punggung tangan Vino dengan hati-hati, "kamu tidak berniat memperpanjang urusan ini ke pihak yang berwajib, 'kan?" tanyanya.
Vino tersenyum dalam hati. Dugaannya benar, posisinya kini di atas angin. Ida dan Vallena berhutang kepadanya.
"Ah tentu saja tidak, bu. Urusan di kantor polisi itu panjang dan ribet. Karena Vallena adalah artis, pasti banyak wartawan ikut campur. Saya tidak nyaman tersorot media dan tak ingin membuang waktu untuk mengurus berkas-berkas hukum," jawab Vino.
Vallena melirik Vino sinis, "Baguslah," ucapnya singkat.
Ida memegangi dadanya sambil bernapas lega, "Syukurlah. Kamu adalah lelaki yang baik hati. Oh ya, kami tetap merasa tak enak, bagaimana kalau kami mengganti biaya berobatmu?" tawar Ida. Dipandanginya pipi Vino yang sedikit memar kebiruan.
"Kami? Aku sama sekali tak merasa menyesal dengan perbuatanku," gumam Vallena.
"Valle!" bentak Ida. Wanita itu kemudian berpaling ke arah Vino, "Maafkan dia, ya. Dia sedang bad-mood karena kelelahan syuting."
Vino tertawa.
"Tidak apa-apa, kok." Ia mengibaskan tangan, "Memang aku yang salah. Sebagai lelaki tak seharusnya aku mengucap kata kasar kepada seorang wanita. Aku minta maaf ya, Vallena," ujar Vino melempar senyum diiringi pandangan genit.
"Minta maaflah kepada Sofi!" tegas Vallena.
Ida lagi-lagi melototi anaknya, tak ia sangka, kehadiran Sofi ternyata berdampak buruk dengan kestabilan hidupnya. Ida sadar, Vallena memendam rasa kepada MUA pribadinya itu. Pasti hal itu juga yang memicu emosi Vallena dan berujung pemukulan terhadap Vino. Namun, sebisa mungkin Ida tetap berpura-pura bodoh.
"Tentu saja. Aku bahkan sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Sofi. Ada kemungkinan kami kembali bersama, saat ini Sofi hanya sedang merajuk," jelas Vino. Ia berusaha membuat Vallena cemburu. Vino percaya diri, ia yakin, Vallena tertarik padanya. Siapa sih yang tidak tertarik dengan paras rupawan yang ia miliki?
"Oh begitu ya? Sebelumnya sudah berapa lama berpacaran dengan Sofi?" pancing Ida. Ia berusaha menggali informasi tentang hubungan Vino dan Sofi. Tujuannya, agar Vallena segera sadar dan mengubur perasaannya pada si MUA.
"Ehm, cukup lama. Kami sempat pacaran lima tahun. Aku sudah akrab dengan keluarganya. Mereka mendukung kami untuk kembali bersatu."
"Lima tahun bukan waktu yang singkat, tentu saja perasaan cinta masih tersisa di hati. Berjuanglah untuk mendapatkan kembali si Sofi, ya," timpal Ida.
"Iya. Sofi itu memang keras kepala. Kalau ia sedang ngambek, ya begini ini. Aku sudah hafal betul wataknya. Ia hanya butuh diperhatikan lebih kalau sedang merajuk. Lama-lama, kalau marahnya sudah mereda, ia akan manja seperti anak kecil," seloroh Vino.
Ida tertawa, "Beruntung sekali Sofi dicintai oleh lelaki romantis seperti kamu."
"Ah. Bisa aja," jawab Vino tersipu.
Vallena memutar kedua bola mata ke atas, muak sekali mendengar percakapan antara Ida dan Vino.
Tidak.
Sebenarnya hatinya sedang terbakar cemburu. Ia tak suka dengan cara Vino membicarakan Sofi. Lelaki itu jelas sempat memiliki hubungan yang dalam dengan Sofi. Benarkah Sofi berniat kembali menjalin hubungan dengan si mantan? Hati Vallena teramat geram.
Tidak.
Lebih tepatnya ia iri. Lelaki ini lebih memahami Sofi ketimbang dirinya. Vino memiliki kesempatan selama lima tahun untuk menjalin kasih dengan wanita pujaannya. Tak sebanding dengan dirinya yang baru beberapa minggu mengenal Sofi. Vallena juga iri, Vino bisa dengan gamblang menunjukkan perhatian kepada Sofi, tak seperti dirinya yang harus mati-matian menjaga jarak di depan umum.
Vino bangkit dari kursi seraya melirik jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangannya.
"Aku pamit dulu. Ada pekerjaan yang menanti, meskipun sebenarnya masih ingin mengobrol dengan bu Ida dan Vallena," katanya.
"Oh begitu," Ida ikut bangun dari kursi, "benarkah tak ada sesuatu yang bisa kami lakukan untuk menebus kesalahpahaman tadi? Aku masih tidak enak hati setiap kali melihat wajah tampanmu yang sedikit kebiruan."
Tidak.
Ida sama sekali tidak peduli dengan wajah Vino atau semua ucapan yang meluncur dari bibir lelaki parlente itu. Ia hanya khawatir, Vino kelak berubah pikiran dan memperkarakan tindakan Vallena. Baginya, pencitraan adalah segalanya.
"Sungguh. Tidak apa-apa kok, bu," jawab Vino.
"Bagaimana jika kita makan malam bersama?" tawar Ida.
Mata Vallena membelalak, sementara seulas senyum licik terukir di wajah Vino. Memang ini yang ia harapkan. Bertemu kembali dengan si Model dalam suasana berbeda dan romantis.
"I'd love to," jawab Vino.
"Kalau begitu setuju, ya!" Ida semringah.
Vino mengeluarkan kartu nama dari dompet. Menyodorkan satu lembar untuk Ida.
"Ini kartu namaku. Silahkan hubungi kapan saja."
Ida menerima pemberian Vino sambil tersenyum, "Baik. Terima kasih ya, nak Vino."
Hari ini kedua orang manusia dengan hati iblis dipertemukan. Vino sang raja dari segala raja para siluman, dan Ida, ratu penyihir dari segala penyihir.
***
"Tunggu apa lagi?!" bentak Ida kepada Sofi, tepat setelah beberapa menit Vino meninggalkan kamar.
"Mom, tolong jangan bahas ini dulu," jawab Sofi mengelak.
"Kamu harus segera melakukan operasi kelamin di Thailand, Valle! Syuting tinggal satu bulan kurang, setelah itu adalah waktu yang pas untuk kita segera berangkat!" tegas Ida. Ia memegangi dahinya yang terasa pening, "Sofi tau jati dirimu dan sekarang kau membuat masalah dengan lelaki bernama Vino ini! Dengan melakukan transformasi pada tubuhmu, maka kau akan merasa lebih tenang dan bebas, my dear! Menjadi wanita seutuhnya! Bukankah itu yang kau inginkan?" Ida berjalan menghampiri Vallena, matanya berbinar, "bahkan, kalau kau mau, kau bisa berpacaran dengan si Vino ini, dia lumayan tampan, lho!"
"Mom!" bantah Vallena. Sama sekali tak ia bayangkan akan menjalin kasih dengan cecunguk seperti Vino.
"Valle, kamu harus memulai hubungan romantis dengan seorang pria. Orang-orang mulai bertanya-tanya mengapa kamu yang cantik dan sempurna, tak kunjung memiliki kekasih."
Vallena melengos, menghindari tatapan mata Ida.
"Mom, kau menuntut terlalu banyak dariku," sanggahnya.
"Mana ada ibu seperti aku, Valle? Aku mendukungmu yang memilih menjadi seorang transgender. Aku bahkan menjaga rahasiamu. Membantumu melakukan operasi implan payudara, dan sekarang aku bahkan men-support-mu untuk segera melakukan operasi pergantian kelamin! Tak ada ibu sebaik diriku, Valle! Menerima segala kekuranganmu dengan berbesar hati. Hal yang bahkan tak dilakukan oleh Daddy-mu!" bentak Ida.
Vallena menarik nafas.
Ida benar. Di dunia ini hanya Ida seorang yang tulus menyayanginya tanpa bersyarat. Harusnya ia senang menjalani transformasi menuju 'kebebasan' gendernya. Ia tak perlu lagi menolak tawaran photoshoot yang mengharuskan mengenakan bikini. Ia bisa bebas bertelanjang di pantai kalau perlu.
Tapi, entah mengapa, selalu ada yang mengganjal di hati Vallena. Membuat ia selalu ragu.
"Kamu setuju, 'kan? Kita akan berangkat ke Thailand setelah syuting sepenuhnya berakhir. Kapan lagi, Valle? Okay?" bujuk Ida.
Vallena menarik napas panjang.
Mungkin setelah melakukan operasi, hatinya tak akan bimbang lagi. Ia akan bahagia. Ia membatin.
"Baiklah. Kita akan berangkat setelah produksi syuting selesai. Tapi, aku punya permintaan," sahut Vallena.
"Apa? Katakanlah, my dear!"
Vallena menatap Ida lamat-lamat.
"Aku ingin Sofi ikut juga ke Thailand bersama kita," jawabnya.
----
Holla, Folks!
To make it clear, jadi Vino mikir Vallena suka sama dia. Padahal Vallena sukanya sama Sofi. GR banget emang ya itu Kadal.
Vino mikir, bikin Vallena jeles dengan cerita keromantisan antara dia dan Sofi. Padahal emang Vallena jeles, tapi bukan sama Sofi. Tapi Jeles sama Vinoo!
Vallena sama Sofi mikir, Ida enggak 'ngeh' dg asmaraloka mereka berdua, padahal Ida ngeeehhh banget! Cuman gak mau menunjukkan, dia mau membuat kesan kuat pada Vallena dan Sofi, bahwa mereka berdua adalah sesama 'wanita' dan ga seharusnya jatuh cinta.
Hahaha, penuh intrik ya!
Permainan pikiran si Ida dan Vino yang manipulatif. Sehingga tanpa sadar korban²nya gatau kalau lagi di setir.
Folks, ati² ya, kalau ketemu orang-orang kek gini.
Yang penampilannya oke dan cara ngomongnya juga janji sorga banget! Hahaha
Yauda segini dulu, vote n komen jgn lupa.
Salam sayang ♡♡♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top