25. Jealousy
Sofi buru-buru melepaskan diri dari pelukan Vallena. Sementara, Vallena segera beringsut duduk dan merapikan selimut yang ia kenakan.
Atmosfer berubah dingin dan mencekam.
Ida masih melotot pada tempatnya. Terpaku tanpa kalimat. Justru makin membuat sosoknya lebih mengerikan dari sebelumnya.
"Mm-mom ..." kata Vallena terbata-bata.
"Kalian ..." ucap Ida. Ia tak mau bersikap gegabah. Makian dan melampiaskan semua emosi akan berdampak pada keraguan di hati Vallena tentang kebenaran akan jati dirinya. Ida mengatur nafas, membenarkan tatanan rambutnya dan berjalan menghampiri Sofi dan Vallena. Seulas garis melengkung ke atas terukir pada bibirnya, "Wah, kalian ternyata sangat akrab, ya!" ucapnya.
Sofi dan Vallena masih tercenung.
"Valle, bukankah sejak dulu kamu menginginkan punya sahabat wanita? Syukurlah sekarang keinginanmu itu terwujud, my dear. Sofi adalah sahabat yang sangat baik karena ia menyimpan semua rahasiamu," Ida melirik ke arah Sofi sambil melempar senyum, "benar begitu, Sof?"
Senyuman Ida malah membuat Sofi bergidik. Ia membalas Ida dengan memaksakan tertawa, namun wajah Sofi lebih mirip seperti korban penodongan senjata tajam.
"Sebagai seorang wanita, memang sepatutnya memiliki sahabat baik. Sahabat yang bisa menjadi tempat berbagi rahasia, berbagi keluh kesah, dan saling menguatkan satu sama lain. Mom bersyukur, Sofilah yang kau pilih menjadi sahabat wanitamu. Mom juga sangat percaya pada Sofi," Ida berjalan mendekati Sofi dan mengelus pundaknya, "terima kasih karena sudah menjadi sahabat Vallena dan menyimpan rahasianya."
Sofi tertunduk. Matanya tak sanggup bertatapan langsung dengan Ida.
"I-iya, sama-sama, bu," jawab Sofi.
"Kamu temannya Valle, kamu bisa memanggilku 'mom' juga kalau kamu mau, Sof," seloroh Ida.
Bulu kuduk Sofi lebih merinding dari sebelumnya, "Ehm. I-iya, bu Ida ..."
Vallena tertegun.
Ia tak menyangka akan respon yang Ida berikan setelah melihatnya dan Sofi berpelukan di ranjang. Lalu kemudian, Vallena mendadak tersadar.
"Bisakah kalian berdua keluar, aku mau mandi dan berganti baju." ucap Vallena dingin. Raut wajahnya berubah datar.
Sofi menyadari perubahan ekspresi Vallena. Namun, Ida buru-buru menggeret tangannya keluar, "Come on, Sof. Bagaimana kalau kamu membantuku menyiapkan sarapan! Kamu pasti belum sarapan juga 'kan?" ajak Ida.
Sofi dan Ida pun berlalu meninggalkan Vallena sendirian di dalam kamar.
Vallena terdiam bersama pikirannya.
Ida berulang kali menekankan kata 'wanita' dan 'sahabat'. Ia ingin mempertegas kepada Vallena bahwa dirinya adalah 'wanita' yang seharusnya 'hanya' bersahabat dengan sesama wanita, bukan malah berbalik menyukainya. Tubuh dan jiwa Vallena saja sudah rumit, ia tak ingin Vallena menambahkan kerumitan dengan menyukai sesama wanita.
Seorang 'wanita' seperti Vallena harusnya lebih tertarik dengan lelaki.
Menyukai Sofi adalah kesalahan.
Ida ingin Vallena sadar akan hal itu. Karena itulah ibunya tak mempermasalahkan pelukan antara dirinya dan Sofi.
Vallena berjalan dengan gontai memasuki bath-room. Ia melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuh. Menyalakan air hangat di shower dan mengguyur seluruh badan.
Ia adalah wanita.
Jiwa wanita yang terperangkap di tubuh yang salah. Kondisi ketidakpuasan karena jenis kelamin yang ia peroleh saat lahir berbeda dengan identitas gendernya. Mata Vallena memejam namun yang hadir bukanlah pemandangan sekumpulan lelaki-lelaki tampan, melainkan Sofi memandang padanya sambil melempar senyum.
Vallena menggosok tubuh telanjangnya yang basah. Mengelus gundukan payudara hasil implan yang dijalani beberapa tahun silam di Paris. Inikah yang ia inginkan?
Kemudian jemari Vallena menyentuh organ vitalnya. 'Sesuatu' yang ingin sekali ia hilangkan semenjak kecil. Benarkah? Benarkah ia ingin menghilangkannya? Memotong dan menggantinya dengan vulva, vagina, dan klitoris.
Jika ada sesuatu yang ingin ia potong, buang, dan lenyapkan, itu adalah implan yang melekat di balik kulit dadanya. Bertahun-tahun membelenggu kebebasan yang ia miliki.
Tak ada kata kembali atau mundur untuk Vallena. Ia ragu sanggup bertahan dengan sangsi sosial dari masyarakat jika identitasnya terbongkar. Vallena berada dalam dilema. Ia tak mengerti dirinya, ia sengsara karena tak paham dengan apa sebenarnya yang ia inginkan.
Air hangat terus membasahi sekujur tubuh Vallena yang berjongkok menangis akibat rasa frustasi akan pergolakan tubuh dan jiwanya. Rembahan tangisnya kabur bercampur dengan percikan shower. Sama seperti jati dirinya yang buram dan abu-abu.
***
Para kru dan talent sudah berkumpul di hotel The Westin. Staycation menjadi konsep untuk episode hari ini. Dimana seperti yang diketahui, lantai ground The Westin langsung terhubung dengan Supermal Pakuwon Indah. Membuat para tamu hotel tak akan pernah bosan mencari cara untuk menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di Mal.
Siluet arsitektur gedung yang melengkung, membingkai pemandangan kota Surabaya dengan spektakuler dari kamar suite. Landscape terbaik bisa dinikmati dari club lounge dan restoran, karena Sky Lounge the Westin merupakan lounge tertinggi di seluruh kota. Lounge ini berada di lantai 28. Agar dapat menangkap view 270 derajat kota saat penuh dengan kerlap-kerlip lampu, maka diputuskan bahwa syuting kali ini akan memakan waktu hingga malam hari.
Tak hanya untuk bersantai, fasilitas kebugaran yang buka 24 jam juga disediakan bagi para tamu yang ingin berolahraga. Sebagai bagian dari program Move Well, pengunjung juga dapat dibantu oleh Run Concierge lokal yang menawarkan jalur lari khusus untuk dinikmati bersama kelompok dengan pemandu, sepanjang 5 km di sekitar Pakuwon Mall, The Westin Surabaya, dan area Pakuwon Golf.
Vallena sudah merekam serangkaian kegiatannya selama berada di The Westin. Dimulai dari menikmati sarapan bersama Madam Suharti Kuncoro di area kolam renang, dilanjutkan dengan bermain golf di Pakuwon Golf & Family Club dan Bukit Darmo Golf, yang hanya berjarak 10 menit dari hotel.
Hari semakin siang dan panas, tepat pada pukul satu siang, kegiatan syuting berhenti selama dua jam untuk beristirahat. Mahmud membawakan segelas jus segar untuk Sofi yang sedang duduk menikmati rokok di area kolam renang.
"Minum, Sofiah," ucap Mahmud menyodorkan gelas minuman untuk Sofi.
"Makasi, ya, Mud," sahut Sofi tersenyum. Mereka berdua kemudian duduk berdua memandangi air kolam yang biru jernih beriak-iak karena tertiup hembusan angin.
"Abis ini cari bakso yuk, nek," ajak Mahmud.
"Boleh. Tapi harus bakso, ya?" tanya Sofi.
Mahmud mengangguk. Membayangkan semangkok bakso yang dituangi banyak sambal sudah menerbitkan salivanya.
"Lagi ngidam, Mud? Udah berapa bulan?" ledek Sofi mengelus-elus perut Mahmud yang buncit. Kaos ketat berwarna hitam yang ia kenakan makin memperjelas lekuk perut lelaki kemayu itu.
"Udah 24 bulan hamidah¹ enggak brojol-brojol. Maklum, bapaknya 'kan siluman gajah!" jawab Mahmud. Diketahui masa kehamilan gajah adalah 23 bulan, oleh sebab itu Mahmud reflek menyebut hewan tersebut sebagai bapak dari anak dalam 'kandungan'nya.
Sofi terkikik.
Ia menyesap batang rokok mentolnya dalam-dalam.
"Ada cerita apa, Sofiah? Diem-diem bae, enggak pernah ajak gibah sekarang!" protes Mahmud. Ia sebenarnya khawatir dengan Sofi, ia hafal, sahabatnya hanya akan merokok jika sedang stres berat atau tertekan. Pasti ada masalah yang sedang menimpa Sofi.
Sofi menghela nafas.
"Pusing aku, Mud," keluhnya, "si Vino kemarin ke rumah lagi. Drama banget dia, pakai acara nyembah-nyembah di kakiku segala. Minta maaf sambil nangis-nangis, katanya nyesel."
Mata Mahmud membelalak dan bibirnya menganga. Tangan lelaki itu mengepal gemas.
"Duh! Emang gilingan itu si Kadal! Terus gimana?" tanyanya penasaran.
"Aku usir. Aku enggak percaya dengan semua kata dari mulutnya, setelah apa yang dulu dia perbuat ke aku," terang Sofi. Ia menelan ludah dan melanjutkan, "Ya okelah, kalau memang beneran dia sudah berubah, aku cuman minta ke dia jangan muncul lagi dalam kehidupanku. Tapi, dia maksa banget enggak mau pergi. Minta kesempatan segala macem. Ngotot pula! Itu yang bikin aku tau kalau Vino enggak benar-benar sudah berubah. Kalau dia memang menyesal, maka dia akan melepasku dan membiarkan aku hidup tenang tanpa bayang-bayangnya lagi."
Mahmud mantuk-mantuk.
Tiba-tiba salah seorang kru film datang membawa dua kotak makanan.
"Nih buat makan siang," ucapnya.
"Ih kita dapat makan siang segala? Cucok banget ih team Model and The Madam," puji Mahmud. Matanya berbinar melirik kotak bertutup merah bertuliskan 'Nasi Kotak Bu Rudy'. Ia menyolek lengan Sofi, "Nasi kotak bu Rudy, nek! Rejeki banget, ini 'kan kesukaan kita!"
Sofi mengangguk.
Bu Rudy adalah merk legenda yang terkenal dari Surabaya. Selain menjual olahan sambal yang menjadi ikon oleh-oleh khas Surabaya, bu Rudy juga membuka beberapa cabang restoran yang ia sebut sebagai Depot Bu Rudy. Menu andalan nasi kotaknya adalah nasi udang, di mana, dalam kotak nasi ada udang goreng, serundeng, daging, timun dan tentu saja sambal andalannya yang pedas dan enak.
Makanan Depot Bu Rudy adalah salah satu menu favorit Sofi. Perutnya mendadak berbunyi hanya dengan memegangi kotak makanan tersebut.
"Bukan dari kru produksi ini," sahut si kru.
"Eh? Bukan? Terus siapa ini yang bermurah hati bagi-bagi makanan? Pasti Madam ya?" cecar Mahmud.
Lagi-lagi si kru menggelengkan kepala, "Bukan. Yang pasti bukan dari Madam. Gue enggak tau pastinya, pokoknya barusan ada yang bawain makanan ini buat semua kru, termasuk talent. Gue cuman bagi-bagiin aja," terangnya. Si kru kemudian melanjutkan langkah, "Yaudah. Selamat makan ya, sampahnya jangan dibuang sembarangan."
Sofi dan Mahmud mengangguk bersamaan.
Setelah itu, mereka berdua dengan kompak membuka kotak makanan dan menyendokkan nasi dengan lauk udang dan sambal ke dalam mulut. Sensasi gurih dan pedas memanjakan indera pengecap Sofi dan Mahmud.
"Eh, lanjut lagi dong, Sofiah! Terus, gimana si Kadal?"
Sambil mengunyah makanan, Sofi melanjutkan, "Ya kesel gitu lihat lagaknya. Mana ibu, ayah pada percaya dan bela dia. Ayah ..." ia tak melanjutkan kalimat. Peristiwa penamparan sang ayah berkelindan pada benaknya. Pelupuk mata Sofi mulai berkaca-kaca, "Aduh gila! Pedes banget! Sampai keluar air mata!" elaknya. Berpura-pura kepedasan, padahal sebenarnya ingin menangis.
Mahmud menyodorkan segelas air mineral pada Sofi, "Ini minum dulu, nek."
Sofi menerima pemberian Mahmud dan menenggak beberapa teguk air. Ia berhasil memasukkan kembali air mata yang hampir tumpah tadi agar tak jadi turun membasahi.
"Siapa sih yang enggak kesengsem sama Vino, Sof. Ganteng, loyal, ngomongnya manis. Ya termasuk ibu dan ayah juga pasti lebih belain Vino. Mereka berpikir dia cowok yang tepat untuk menjadi suamimu. Pada dasarnya, ibu dan ayah cuman pengen yang terbaik aja untuk kamu. Coba deh, Sof, kamu lebih terbuka sama ibu dan ayah. Ngomong baik-baik, pelan-pelan. Jangan melulu terbawa emosi," tutur Mahmud.
Sofi terdiam. Apa yang dikata oleh Mahmud ada benarnya. Selama ini Sofi memang dikenal bersifat keras kepala dan emosian. Tentu saja, orang akan lebih percaya dan bersimpati dengan sosok baik bagai Malaikat seperti Vino, ketimbang Sofi yang berapi-api bak Kerbau Afrika yang agresif. Saking berbahayanya, hewan ini mendapat julukan 'the Black Death' karena selalu mengakibatkan serangan fatal.
"Ya mungkin kamu bener," guman Sofi.
Perut Mahmud dan Sofi kenyang setelah menghabiskan makanan. Niat mereka untuk mencari bakso di sekitaran Mal Pakuwon mendadak sirna.
Terlihat Vallena dan sutradara diikuti oleh beberapa kru berjalan bersama di sekitaran swimming pool. Mereka semua sedang briefing membahas hal-hal yang berkaitan dengan syuting sambil merokok bersama. Sesekali Vallena melirik ke arah Sofi, begitu pun sebaliknya. Mahmud hanya cengar-cengir memandangi tingkah laku keduanya yang sedang berada di fase jatuh cinta.
"Kamu sudah habiskan makananmu 'kan, Sugar?" suara bariton tiba-tiba terdengar menyapa Sofi. Vino berjalan mendekat sambil tersenyum. Mengenakan kemeja hitam dengan celana khaki membuat tampilan lelaki itu makin memesona.
Sofi dan Mahmud sontak bangun dari duduk. Mata mereka berdua melotot ke arah Vino.
"Kamu mau apa di sini?!" bentak Sofi.
"Eh Kadal! Situ psikopat apa gimana? Bisa-bisanya buntutin Sofiah ke mana-mana! Sekarang tiba-tiba muncul di tempat kerja lagi!" Mahmud tak kalah keki.
Vino mengumbar senyum manis, "Hotel ini salah satu mitra travelku. Aku tadi pagi lagi antar beberapa tamu dari luar kota dan melihat kalian sedang syuting. Jadi, barusan aku inisiatif bawain kalian semua makanan buat makan siang. Aku ingat kamu suka masakan dari Depot bu Rudy, makanya aku pesen makanan itu."
Sofi dan Mahmud mendadak mulas. Apa daya nasi sudah menjadi bubur, makanan yang ternyata dari Vino sudah tandas dan berpindah ke dalam perut. Andaikan Sofi dan Mahmud tahu makanan itu berasal dari Vino, mana sudi mereka melahapnya dengan rakus bak orang kelaparan.
"Bisa enggak sih kamu berhenti muncul, Vin! Tolong banget! Aku bener-bener minta tolong!!! Kita ini sudah berakhir! Dan enggak ada kata kembali lagi," Sofi merapatkan kedua telapak tangan.
Vino memasang tampang memelas.
"Sugar, aku enggak bisa tidur karena masih kepikiran soal tamparan ayah ke kamu semalam. Aku merasa bersalah dan ikut sedih. Kamu enggak apa-apa 'kan? Aku sudah ngomong ke ayah untuk berbaikan denganmu," terang lelaki parlente itu.
Mahmud melotot dan mengeluarkan suara lantang dan jantan yang berbeda dari keseharian. Sisi maskulinnya mendadak muncul karena emosi, "Kamu dipukul ayah, Sof!?" ia melotot bertanya pada Sofi. Tanpa menunggu jawaban dari si sahabat, ia berjalan mendekati Vino dengan mata menyala. Struktur tubuh Mahmud yang kekar dan dempal membuat Vino bergidik. "GARA-GARA KAMU SI SOFI JADI DITEMPELENG SAMA AYAHNYA! DASAR COWOK SETAN!" geramnya.
Vino mundur selangkah demi selangkah, "Sabar dong, Mud. Enggak enak dilihatin orang-orang, lho," ucapnya.
Sofi menahan lengan Mahmud, "Mud, udah, Mud. Sabar! Jangan bikin masalah di tempat kerja," ia membisik.
"Udah keterlaluan si kadal ini, Sof! Setelah meninggalkan kamu dengan seenak udel, sekarang dia mau kembali lagi ke dalam hidup kamu!"
"Semua bisa diselesaikan baik-baik, tidak perlu pakai kekerasan," timpal Vino.
"Siapa yang ditinggalkan?" Vallena berjalan menghampiri Mahmud dan Sofi.
Sofi menatap Vallena dengan kebingungan. Sementara, Vallena memandangi sosok Vino yang berdiri di hadapan mereka bertiga dengan dingin.
Baru kali ini Vino bertemu langsung dengan Vallena Valla. Model cantik yang hanya bisa dilihatnya melalui layar kaca. Selama di Jakarta, Vino memang lumayan sering bertemu dengan artis ibukota saat dugem di Dragonfly. Bahkan beberapa dari mereka, bersedia diajak one night stand².
Vallena sangat cantik dan seksi. Bayangan liar menggumulinya di ranjang sudah terpampang dalam benak Vino.
"My God, Vallena you're so preety. Aku adalah salah satu fansmu," kata Vino memasang senyum paling manis. Senyum itu pasti mampu melelehkan hati kaum hawa yang pertama kali bertemu dengannya.
"Is he bothering you?" tanya Vallena pada Sofi. Ia tak memerdulikan perkataan Vino sama sekali.
"Yes, Vallena! This guy is setan! Kadal! Evil and laknat! Diana mantan Sofiah yang rese'! Gangguin Sofi terus!" jawab Mahmud dengan bahasa Inggris yang berantakan. Gaya bicaranya kembali gemulai. Kesan garang yang tadi ia tampakkan mendadak lenyap.
"Wait. There is mistake. I didn't mean to bother Sofi," sahut Vino. Lelaki itu tersenyum tersirat. Ia yakin Vallena tertarik padanya.
"Kalau kamu memang tidak niat ganggu, sebaiknya kamu pergi. Jelas sekali Sofi terganggu dengan kehadiranmu," tegas Vallena.
"Niatku baik. Aku hanya ingin menjalin komunikasi sama Sofi. Entah mengapa susah sekali untuk meminta maaf. Bukankah, manusia memang tempatnya salah?"
Sofi menghela nafas. Ia benar-benar muak dengan segala kata yang keluar dari mulut Vino.
"Sudah dong, Vin. Please, kamu lebih baik pergi aja. Urus urusanmu sendiri. Dan tolong jangan ke rumahku lagi," pinta Sofi jengah.
Vino berdecak, "Mungkin kamu memang masih butuh waktu untuk menghilangkan kekesalanmu padaku. Tak apa, aku akan bersabar."
Lelaki itu kemudian melirik ke arah Vallena.
"Senang bisa bertemu langsung denganmu, Vallena," ia melempar senyum, yang lagi-lagi tak digubris oleh Vallena.
Dada Vallena terasa terbakar. Ia ingin sekali menghajar sosok lelaki yang berdiri di hadapannya. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa lelaki itu adalah mantan Sofi. Terlebih, ucapan Mahmud yang mengatakan bahwa karena ulah si lelaki brengsek ini, Sofi harus menerima tamparan dari ayahnya. Sekuat tenaga, Vallena menahan emosi. Meskipun, tangannya mengepal siap menyerang.
Vino berbalik meninggalkan mereka bertiga. Baru beberapa langkah berjalan, lelaki itu membisik dalam bahasa Prancis.
"Salope³," ledeknya.
Vallena paham betul apa arti dari kata itu. Tanpa aba-aba, model itu menyusul Vino, menarik pundaknya dan melancarkan teknik pukulan jab ke wajah Vino.
BUUUUKKKK
Tubuh Vino terdorong hingga mundur ke belakang, sama sekali tak menduga akan menerima pukulan dari seorang wanita.
BYUUUURRRR
Vino tercebur ke dalam kolam karena badannya mundur tak seimbang. Tak Vallena sangka sebelumnya, bahwa olahraga Muay Thai yang selama ini ia tekuni, akhirnya berguna juga.
----
¹ hamidah : hamil (bahasa binan)
² one night stand : istilah yang sering digunakan untuk menyebut hubungan seks yang dilakukan dengan seseorang hanya satu malam saja. Artinya, tak ada hubungan jangka panjang atau pendek.
³ salope : umpatan/makian dalam bahasa Perancis yang berarti jalang/pelacur.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top