22. It's Love

"Seriously, Sof. Kamu sudah tau rahasiaku. Apa yang kamu rasakan ke aku?"

"Aku ..." Sofi menatap manik mata biru safir milik Vallena yang memabukkannya, "aku ingin selalu berada di dekatmu. Apa itu salah?"

"How dumb! Kau sadar aku ini apa? I am neither a man nor a woman. Lalu sekarang kau bilang kau nyaman di dekatku?" tanya Vallena lirih.

"Kamu adalah kamu," Sofi merapatkan diri untuk mendekati Vallena. Ia sudah tak mampu lagi menyembunyikan perasaannya.

"Sof, aku masih tidak habis pikir," bisik Vallena. Jarak mereka begitu dekat, sehingga hidung mancung Vallena menyentuh area pelipis Sofi.

"Love has no gender, Vall," Sofi membisik.

Sofi lalu menjemput telapak tangan Vallena yang melingkar di pinggangnya. Ia menggengam jemari Vallena dan menelungkupkannya di pipi. Perlahan, turun ke bibir dan Sofi mulai mengecup jemari Vallena.

Tubuh mereka berdua memanas. Serasa aliran listrik yang menjalar melalui urat-urat nadi. Sofi mencecap setiap jengkal jemari Vallena dengan kecupan.

Sadar jika tindakan mereka terlalu intim, Vallena buru-buru menarik tangannya. Kemudian, berjalan meninggalkan Sofi yang terkejut karena reaksi penolakan Vallena. Ia kemudian merebahkan tubuh jenjangnya ke atas sofa. Menarik nafas panjang berkali-kali sambil menutup wajah dengan punggung tangan. Mencoba mengalihkan nafsu yang membara di dada.

"We're drunk," ucap Vallena.

Sofi menghampiri Vallena dan duduk pada sofa yang sama, "Kamu mungkin mabuk, tapi aku tidak," sanggah Sofi.

Mereka berdua bungkam untuk beberapa saat. Sofi tertolak, untuk yang kedua kali. Ia yakin Vallena juga memiliki rasa yang sama dengannya, namun, model itu selalu berusaha menjaga jarak.

Vallena memang sekuat tenaga menjaga jarak. Bertahan agar tak tergoda oleh sosok yang saat ini berada di dekatnya. Seumur hidup, Vallena begitu takut dengan penolakan. Ia juga cemas akan menerima penghinaan atau ejekan, jika jati dirinya terbongkar. Sofi jelas-jelas mengetahui jati dirinya yang asli, tapi wanita naif itu tak menjauh, malahan, ia berkata ingin selalu berada di dekatnya. Seutas keraguan masih terukir dalam benak Vallena akan ketulusan Sofi.

Vallena beringsut dan bangkit mendekati Sofi. Mereka berdua saling menatap dari jarak yang cukup dekat.

"Apa orientasi seksualmu, Sof? Apakah kamu tertarik dengan sesama jenis? Tapi aku bukan 'real woman', jadi apa kamu straight? Tapi aku juga bukan lelaki. Jadi kamu biseksual?"

Sofi memalingkan wajah karena tersipu oleh pertanyaan frontal dari Vallena.

"Shit. Pertanyaan macam apa itu? Aku tak mau menjawabnya," sungut Sofi.

"Kalau kamu penyuka sesama jenis, kamu akan meninggalkanku begitu aku memutuskan menjadi lelaki. Namun jika kamu straight, kamu juga akan meninggalkanku saat aku selesai melakukan operasi pergantian kelamin. Aku hanya ..." Vallena menghentikan ucapannya. Ia menelan ludah, terasa berat melanjutkan kalimat. Dengan nada bergetar, ia berkata, "takut jika kamu meninggalkanku saat aku sedang cinta-cintanya."

Sofi menoleh dan menatap Vallena lamat-lamat, ia terenyuh.

"Aku enggak berniat meninggalkanmu. Mau kamu jadi apa pun, aku tak peduli lagi. Saat melihatmu hampir mati kemarin, aku sangat ketakutan. Bayangan akan ketiadaanmu di dunia membuatku sesak. Aku benar-benar tak mampu tanpa kamu, Vall," terang Sofi. Manik mata kecoklatan miliknya mulai tergenang air mata.

Vallena tercenung dengan ketulusan Sofi yang tidak dibuat-buat. Direngkuhnya tubuh langsing itu ke dalam pelukan.

Vallena mengecup pipi Sofi yang basah oleh air mata. Tangisannya mendadak berubah menjadi salah tingkah.

"Aku memang sedikit mabuk, tapi aku masih sadar dengan apa yang kulakukan. Kamu telah menggodaku, Sof. Dan itu berhasil," bisik Vallena. Telunjuknya mengelus bahu Sofi yang terekpos. Ia kembali berucap, "kamu sudah siap dengan konsekuensinya?"

Sofi memejamkan mata. Mengialkan kepasrahan dengan apa yang akan selanjutnya Vallena lakukan kepada diri dan tubuhnya. Nafas Sofi memburu. Sentuhan Vallena bagai hujan yang membasahi padang gurun tandus. Vallena membelai pipi merah muda Sofi, lalu jemarinya mengusap bibir plum milik Sofi. Bibir yang teramat sangat ingin ia lumat.

De ja vu.

Sofi serasa masuk ke dalam kembang tidur erotik yang pernah ia mimpikan dulu. Ia yakin, Vallena adalah sosok lelaki bermata biru safir yang hadir dan menggodanya. Ada setitik sisi maskulin dalam sentuhan Vallena saat menyapu setiap jengkal tubuhnya. Sofi mulai membangun harapan, jika saja, Vallena memutuskan untuk kembali menjadi lelaki.

Ah. Sofi tidak peduli.

Vallena menjadi wanita atau lelaki, ia transgender atau bukan, itu sudah tak penting. Yang Sofi tahu sekarang, ia sangat menginginkan Vallena. Ia jatuh cinta.

Vallena meremas buah dada Sofi, sementara bibirnya mendarat pada collarbone, mengecup lembut area tersebut. Desahan Sofi jelas terdengar di telinga Vallena, meskipun suaranya harus bersaing dengan volume keras lagu di televisi.

"Kiss me, Vall," erang Sofi.

Sama seperti Sofi, Vallena pun ingin bibir mereka saling mencumbu. Namun, ia masih tertarik bermain lebih lama dengan tubuh Sofi yang sedang mengelijang kegelian.

Sofi lalu mengusap lembut punggung Vallena, tangannya menelusup pada puncak dada Vallena. Merasakan sentuhan Sofi pada payudaranya, Vallena berubah sedikit gusar. Ia bangkit dari atas tubuh Sofi dan menegakkan posisi duduk.

Sofi memandang Vallena. Mimik mukanya mengialkan kebingungan.

"Ada apa?" tanya Sofi, "apa aku melakukan hal yang salah?"

Vallena menggeleng.

"Maaf. Tidak ada yang salah darimu."

"La-lalu kenapa kau tiba-tiba berhenti?" cecar Sofi. Ia yakin pasti ada yang salah sehingga momen romantis mereka harus mendadak padam.

Vallena mendengkus, "Bukan kamu yang salah, tapi aku," terangnya.

"Maksud kamu, Vall?"

"Ketika kamu menyentuh tubuhku, aku mulai merasa gusar. Sorry," ujar Vallena. Ia memalingkan wajah dari Sofi.

"Maaf ..." Sofi menunduk karena merasa bersalah.

Menyadari rasa sesal Sofi, Vallena buru-buru menenangkan wanita berambut brunette yang sedang tertunduk lesu merenungkan perbuatannya.

"Aku sudah bilang itu bukan salahmu. Semua murni dari diriku. Kau tau, ehm," Vallena berdehem. Ia gamang melanjutkan kata-kata, "sejujurnya aku tak merasa nyaman dengan tubuhku."

Kepala Sofi mendongak untuk menatap Vallena.

"Tak merasa nyaman?" selidiknya.

Vallena mengangguk, "Lebih tepatnya aku merasa jijik," akunya.

"Kenapa, Vall?" Sofi menggenggam tangan Vallena.

"Aku hanya tak menyukainya, Sof ..." keluh Vallena. Ia memegang genggaman tangan Sofi erat-erat.

"Maaf sebelumnya, tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu yang agak sensitif?" tanya Sofi.

"Silahkan," sahut Vallena.

"Apakah karena kamu belum melakukan prosedur perubahan kelamin? Itukah yang membuatmu tak nyaman dengan tubuhmu?" tanya Sofi.

Vallena terdiam beberapa saat.

Matanya menerawang seolah sedang mencari jawaban yang tepat.

"Aku tak tau," jawabnya singkat. Pandangan Vallena kosong.

"Kamu merasa risi dengan penis yang kamu miliki?" tanya Sofi lagi.

Pada setiap video perjalanan hidup para transgender yang Sofi lihat di Youtube, mereka semua menunjukkan binar ketika membicarakan pergantian anatomi gender. Rata-rata semuanya sangat bersemangat dengan transformasi yang akan mereka jalani. Para transwoman mengaku tidak nyaman dengan penis yang mereka miliki. Mereka ingin itu hilang dan berganti dengan organ kewanitaan. Binar semangat dan bahagia karena akan melakukan transformasi itu tak bisa Sofi tangkap di mata Vallena.

"Aku justru tidak nyaman dengan implan payudaraku," jawab Vallena.

"Vall ..." panggil Sofi.

Vallena melirik Sofi dengan tatapan sayu.

Sofi melanjutkan, "Mungkinkah, kalau sebenarnya kamu bukanlah transgender?"

Keduanya saling bertatapan dalam keheningan menyiksa. Sebuah pertanyaan yang lagi-lagi menggelitik sanubari Vallena.

"Sedang apa kalian?" Ida tiba-tiba muncul mengagetkan mereka berdua.

"Mom???" Vallena kebingungan, "mau apa di apartemenku?

Ida menunjukkan mimik acuh tak acuh, "Aku ibumu, wajar aku di apartemen anakku. Justru yang aneh, mau apa Sofi ada di sini? Ini sudah larut," ucapnya.

Sofi kelabakan dengan kemunculan Ida yang tiba-tiba.

"Ma-maaf, bu. Aku hanya cemas meninggalkan Vallena seorang diri. Lalu, kami keasyikan ngobrol sampai lupa waktu," terang Sofi merapikan rambutnya yang berantakan.

Ida memandangi Sofi dengan makna tersirat.

"Sebaiknya kamu pulang, Sof. Aku sudah ada di sini, jadi kamu tak perlu cemas lagi."

"Maksudmu, mom?" timpal Vallena.

"Aku menginap di sini malam ini, my dear."

Vallena berdecak. Dalam hati tak setuju jika ibunya tinggal bersama dengannya. Hidupnya akan semakin di atur.

"Kalau begitu aku pulang, Vall," Sofi meraih sling bag-nya.

Vallena menatap Sofi lamat-lamat. Mereka seakan sedang melakukan telepati, kalau masih ingin bersama lebih lama lagi. Menyingkirkan rindu yang masih belum tuntas musnah.

Ida menuntun Sofi menuju pintu utama, gesture-nya menyiratkan bahwa Sofi harus segera pergi dari tempat ini. Segera.

"Bye, Vall," pamit Sofi.

"Hati-hati," sahut Vallena. Suaranya terdengar muram.

Ida segera menutup pintu. Ia sadar, bahwa dirinya sedang menghadapi ancaman terbesar dari sosok yang tidak ia duga-duga. Parahnya, sosok itu juga memegang rahasia besar yang selama ini ia simpan. Ida benar-benar merasa diujung tanduk. Ia harus segera menyingkirkan Sofi dari hidup Vallena.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top