2. The Novel

Setelah istrinya berangkat ke kantor, Edgar memakai sepatu olahraganya dan mulai berlari mengitari jalanan.

Hunian mereka berada di perumahan tenang yang memiliki fasilitas taman, playground anak-anak, lapangan tenis, dan kolam renang khusus penghuni.

Edgar menghentikan lari ketika sampai di areal playground. Beberapa anak kecil berusia kurang dari tiga tahun tampak bermain-main di kolam pasir. Sementara yang lain sibuk meluncur di perosotan.

Anak-anak itu terlihat menggemaskan.

"Hai, Edgar. Sedang lari pagi?" sapa salah seorang ibu muda yang menemani anak perempuannya bermain di ayunan.

Edgar mengangguk sembari mengulas senyum, "Yap!" sahutnya.

Setelah melambaikan tangan pada tetangganya, Edgar kembali melanjutkan track-nya. Peluh yang membasahi kaos tak memperlambat laju lelaki itu.

Edgar sangat menyukai olahraga dan aktifitas eksrim. Ia juga menjalani pola hidup sehat, menjauhi makanan olahan, alkohol dan rokok.

Sekumpulan anak-anak kecil yang ia lihat di playground masih menari-nari di benaknya.

Sudah dua tahun menjalani pernikahan, namun momongan tak kunjung mereka dapatkan.

Karena tak ingin membebani istrinya, tidak sekalipun ia membahas soal anak pada Lieve. Toh kehidupan mereka berdua saja sudah sangat membahagiakan. Urusan anak, ia pasrah menyerahkan itu pada kehendak Tuhan.

Matanya melirik smart watch di tangan, sudah empat puluh menit ia berlari, waktunya untuk kembali ke rumah.

Matahari mulai meninggi, menerpa tubuh Edgar yang atletis dan penuh otot maskulin. Kulitnya yang semula putih pucat, makin hari makin menggelap, kecoklatan eksotis. Lelaki tinggi itu menyugar rambut basahnya ke belakang. Aura ketampanan Edgar begitu kuat. Sosoknya bak tokoh fiktif dewa-dewa Yunani.

Tidak jarang, stay home-moms, tetangganya, sengaja keluar rumah dan pura-pura menyapu atau menyiram tanaman di jam-jam Edgar jogging. Tujuan mereka tidak lain tidak bukan, untuk menikmati pemandangan indah yang menyegarkan mata, yaitu Edgar.

Menyimpan sosok Edgar dalam imajinasi. Membatin dalam hati, betapa beruntungnya istri Edgar setiap hari bisa leluasa mencecap setiap jengkal tubuh jantan lelaki itu. Apalagi sorot mata misterius bagai lautan Bermuda yang makin membuat Edgar menarik.

"Mas Edgar, abis lari pagi, ya? Rajin nemen¹ olahraga!" sapa tetangga depan rumah ketika Edgar sedang membuka pintu gerbang.

"Ya, dong, bu Redi, harus olahraga biar badan sehat. Betul enggak, mas Ed?" timpal tetangga lain yang berada di samping rumah ibu Redi.

Edgar membalas mereka dengan senyum terulas. Ia sudah terbiasa dengan basa-basi para tetangganya tiap pagi.

"Kapan-kapan kita lari bareng dong, mas Edgar!" celetuk tetangga sebelah rumah Edgar.

Tetangga lain terlihat berkecimus mendengar ucapan wanita sebelah rumah Edgar yang seolah tanpa basa-basi.

"Sure. Saat Lieve libur saja, jadi kita bisa jogging bertiga," sahut Edgar ramah.

Wanita itu langsung mencebik. Niatnya 'kan ingin lari berdua saja dengan si tampan Edgar. Kalau istrinya ikut, sama saja ia akan jadi kambing congek.

"Mari," pamit Edgar memasuki halaman rumah.

Para ibu-ibu tetangga melempar senyum kenes² dan menjawab serentak dengan kompak, "Iyaaa ... maaas ..."

Edgar berjalan menuju dapur, menuangkan segelas air putih dari dispenser dan meneguknya secara impulsif. Ia begitu haus setengah mati.

Setelah itu, ia pergi ke bath-room untuk mandi.

Rumah mereka bergaya kolonial modern.

Memiliki skema warna khas Belanda, nuansa putih dengan sentuhan aksen gelap. Seperti rumah kolonial pada umumnya, menggunakan jendela berpanel kaca yang lebar. Berbingkai kayu berwarna gelap.

Furnitur berbahan kayu juga mendominasi setiap ruangan, menciptakan kesan klasik. Lampu tergantung dari langit-langit eternit yang tak terlalu tinggi menjulang.

Edgar menyalakan shower setelah membuka pakaian. Kucuran air dingin menyegarkan tubuh. Ia menggosokkan sabun beraroma rempah pada badannya. Telapak tangan Edgar mampu merasakan bekas luka di dadanya bekas operasi yang pernah ia jalani dulu. Sebuah sisa-sisa dari kepingan masa lalu.

Lelaki itu kemudian mengeringkan diri dengan handuk setelah selesai mandi.

Edgar berpakaian rapi lalu menyalakan laptop yang tergeletak di meja kerja. Jemarinya sibuk mengetik pada keyboard. Melanjutkan naskah novel yang belum rampung.

Sesekali ia berhenti. Memikirkan kata selanjutnya untuk dituangkan ke dalam rangkaian kalimat. Edgar teringat, ia harus mengganti nama para tokoh di dalam cerita sesuai pesan istrinya.

Tapi hal itu belum ia lakukan.

Ia masih nyaman menggunakan nama-nama yang sudah ada sekarang. Mungkin nanti ketika kisahnya hampir tamat, Edgar baru akan memikirkan nama baru.

Hampir dua jam Edgar terpaku bekerja, sudah waktunya meeting dengan editornya.

"Goedermorgen," sapa Edgar mengucap selamat pagi.

Seorang pria berkepala setengah botak dan berkaca mata nampak tersenyum dari balik layar.

"Ja, Edgar. Jam berapa di sana?" balasnya.

"Hampir jam satu siang, Marteen," terang Edgar.

Kedua orang itu berbicara dengan bahasa asing.

"Bukankah sudah waktunya lunch? Apakah kau sudah makan?" tanya Marteen.

Edgar tertawa, "Mengapa kau mendadak perhatian denganku, huh?" godanya.

"Aku hanya tak ingin kau menahan lapar, diskusi kita akan panjang," seloroh Marteen.

"Geen probleem³, aku belum lapar."

Marteen membetulkan letak kaca mata, "Aku sudah membaca naskah kasarmu," terangnya.

"Lalu?" tanya Edgar.

"Kau harus lebih menggali perasaan dari point of view karakter Sofi. Menggambarkan bagaimana perasaan wanita itu dan apa yang melatar-belakanginya."

Edgar mengangguk. Mendengarkan dengan seksama.

"Kisah cinta mereka lumayan rumit. Kau harus memunculkan apa alasan Sofi jatuh cinta pada Vallena," lanjut Marteen.

"Okay, Marteen," jawab Edgar.

Selama kurang lebih satu jam, Edgar dan Marteen berdiskusi. Sesekali Edgar menulis catatan di notebook-nya. Berkenaan dengan apa saja yang harus ia perbaiki.

"Kapan kau kembali ke mari?" tanya Marteen.

"Dua bulan lagi. Aku akan mengajak istriku untuk mengunjungi ayahku," terang Edgar.

"Bagus. Aku tunggu kedatanganmu," sahut Marteen, "kau bisa mengirimkan revisimu melalai surel."

"Ja, Marteen," Edgar mengangguk.

Pembicaraan mereka akhirnya selesai. Edgar menutup layar laptop dan memijat sudut matanya yang lelah dengan jemari.

Masih banyak yang harus ia perbaiki dari alur ceritanya.

Ponselnya tiba-tiba berdenting, sebuah pesan dari Lieve.

Lieverd♡
Sedang apa?

Edgar tersenyum, ia tak membalas chat itu, melainkan langsung menghubungi sang pengirim pesan.

"Hallo, Lieve, ada apa?" sapa Edgar.

"Meeting-mu sudah selesai?"

"Sudah. Kau sudah makan?" tanya Edgar.

"Sudah," sahut istrinya singkat, "ehm, gara-gara kau, bahkan para klien kita memanggilku 'Lieve'!" terangnya - nadanya mencebik.

Edgar tertawa renyah, "Bagus, bukan? Banyak yang menyayangimu, Lieverd."

Istrinya berdecak.

"Ada yang ingin kau bicarakan?" pancing Edgar.

"Sebenarnya ..."

"Kenapa, Lieve? Kau sakit?" Edgar mulai panik.

"Bukan. Aku tidak sedang sakit. Hanya saja ... aku belum datang bulan selama 2 minggu," tutur wanita itu.

"Ja-jadi?"

"Aku tak pernah terlambat sebelumnya. Selalu tepat waktu, hanya saja aku tak berani berekspektasi," ucap Lieve.

Seutas asa kemudian terselip dalam relung hati Edgar.

----

¹ Rajin nemen : rajin banget (bahasa Jawa)

² kenes : genit/centil

³ Geen probleem : tidak masalah (bahasa Belanda)

----





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top