17. Enigma

Seorang wanita menenggelamkan diri di dalam bathtub kamar mandi setelah menenggak beberapa butir obat tidur. Sebuah adegan yang sering Sofi jumpai dalam film-film Barat sebagai bentuk dari tindakan bunuh diri. Tak ia sangka akan melihat adegan itu secara langsung. Terutama yang melakukan adalah orang yang ia kenal, lebih tepatnya, yang ia cintai.

"Vallena! VALLENA!!!" pekik Sofi berhambur ke arah bathtub. Seluruh tulangnya serasa lemas.

Dengan mengerahkan segala kekuatan, Sofi menarik tubuh Vallena keluar dari bak. Mengangkat fisik setinggi 180 cm dengan badan mungil seorang diri. Sesuatu yang harusnya mustahil, namun tidak. Rasa 'energetik' yang meningkat pesat membuat segala yang tampak mustahil menjadi mungkin. Lonjakan adrenalin menaikkan kemampuan indera, sehingga energi Sofi bertambah berkali-kali lipat karena tubuh melepaskan glukosa dan gula langsung ke peredaran darah. Otak Sofi berfokus untuk menyelamatkan sosok dingin yang ada di hadapannya.

"Bangun Vallena ...!" tangan Sofi menampar pipi Vallena. Air matanya tak terbendung, ia terisak.

Sofi sadar, saat ini keadaan Vallena sama dengan korban tenggelam. Setelah mengeluarkannya dari dalam air, ia membaringkan Vallena dalam posisi telentang. Sofi mendekatkan
telinga ke mulut dan hidung Vallena untuk merasakan adanya embusan udara. Namun, Vallena sudah tidak responsif dan tidak bernafas, maka Sofi harus segera melakukan tindakan resusitasi jantung paru atau cardiopulmonary resuscitation (CPR).

Sofi bergegas memberikan tekanan pada dada Vallena tanpa terlebih dahulu memberikan napas buatan. Meskipun tangannya bergetar karena panik, ia berusaha berhati-hati menempatkan bagian bawah pergelangan tangan di tengah dada Vallena dan tangan satu lagi di atasnya. Ia menekan tangan ke bawah sembari memastikan untuk tidak menekan tulang rusuk. Sofi melakukan kompresi dada secara teratur, bergantian dengan nafas buatan.

"Ayolah Vallena ... sadarlah! Sadarlah! Kumohon!" ratap Sofi frustasi.

Sofi tidak menyerah mengupayakan agar Vallena kembali bernafas dan bereaksi. Usaha Sofi membuahkan hasil, Vallena bergerak memuntahkan air dari mulutnya. Sofi menaikkan kepala Vallena, ia teringat bahwa Vallena mungkin saja over dosis obat tidur, melihat ceceran pil yang berserakan di lantai. Ia memasukkan jarinya ke dalam mulut Vallena. Memaksa model itu untuk mengeluarkan isi perutnya.

Vallena tersedak, kemudian beringsut memuntahkan isi lambung.

Lonjakan energi yang dirasakan Sofi menurun dengan drastis sebab otaknya merespon bahwa ia telah keluar dari situasi mengancam. Tubuhnya bergetar akibat kehilangan adrenalin dan endorphine, ia tiba-tiba merasa lelah.

Sofi merogoh ponsel di dalam tas, hendak menghubungi nomor 112 untuk memohon bantuan. Baru saja ia menempelkan ponsel pada telinganya, perkataan Ida tempo hari berkelindan.

"... jika terjadi sesuatu pada Vallena, dan aku tidak ada. Hesalah yang harus kamu hubungi ...,"

Sofi lantas memutuskan sambungan. Urung menghubungi 112. Matanya melirik ke arah Vallena yang sedang menggeliatkan badan dengan lemah.

Sekujur tubuh Vallena yang berbalut nightgown satin abu-abu basah kuyup. Dengan tenaga tersisa, Sofi bangkit dari duduk, mengambil handuk tebal yang tergantung di sudut kamar mandi. Sambil terus menghubungi nomor Ida, Sofi menyeka tubuh Vallena yang basah, mencoba menghangatkan dan mengeringkannya.

"So ...f...," rintih Vallena lemas.

Sofi tak menjawab, ia masih terus mencoba menelepon Ida. Selain itu, Sofi juga marah dan kecewa pada tindakan yang telah dilakukan Vallena. Kalau saja ia tak datang, wanita itu sudah mati konyol. Seberat apa pun masalah, mengakhiri hidup bukan solusi yang harusnya Vallena tempuh.

Tangan kanan Sofi terus menyeka tubuh basah Vallena, sementara tangan satunya menempelkan ponsel di telinga. Mata Sofi tiba-tiba membelalak. Ponselnya terjatuh dari genggaman.

***

Seorang lelaki turun dari mobil Fortuner attitude black di depan kediaman Bara Surya. Ia sempat mengecek penampilan rambutnya pada kaca tengah spion sebelum melenggang keluar dari kendaraan. Setelah yakin berpenampilan sempurna, Vino percaya diri malam ini bisa kembali merebut perhatian mantan kekasihnya, Sofi.

Vino menenteng sebuah kantong yang berisi beberapa kotak Marguerite Nougat. Marguerite Nougat adalah merek nougat homemade dibuat dengan bahan-bahan sehat dan tidak terlalu manis. Nougat adalah makanan kenyal yang terbuat dari gula, telur, dan kacang-kacangan. Teksturnya chewy dan susah dikunyah. Vino masuk begitu saja membuka gerbang rumah seperti yang biasa dulu ia lakukan ketika dirinya masih menjadi pacar Sofi. Setelah itu, ia mengetuk pintu utama dengan mantap.

Beberapa detik kemudian, terdengar kunci pintu dibuka, Erlin menengok melihat siapa yang datang.

"Ya?" ucap Erlin. Matanya membelalak ketika melihat sosok Vino yang telah berdiri di depan, "mas Vino?!"

"Hallo, Lin. Apa kabar?" sapa Vino mengumbar senyum. Lesung pipit tampak dari pipi kiri-kanannya, semakin mempertegas kerupawanan Vino.

"Ba-baik, mas. Mas Vino ngapain ke sini?" tanya Erlin terkejut. Bagaimana tidak, setaunya Vino sudah menikah dan pindah ke Jakarta.

"Mas mau silaturahmi, mau ketemu ayah, ibu, kamu, mbak Alfita, dan Sofi ..." terang Vino, "boleh mas masuk?"

"Hmm," Erlin ragu. Namun, senyum memesona Vino berhasil meluluhkannya, "Mari, mas. Silahkan."

Erlin membuka pintu lebih lebar, memiringkan tubuhnya untuk menciptakan ruang bagi Vino masuk ke dalam rumah. Aroma parfum dari tubuh Vino menguar memenuhi seisi ruangan. Parfum mahal merek Yves Saint Laurent La Nuit De L'Homme, dengan wangi kontras antara cardamom, fresh bergamot dan lavender, memanjakan penciuman Erlin ketika tubuh Vino berjalan melintasinya.

"Siapa, Lin?" Bara muncul dari balik ruang tengah.

Melihat Bara yang menghampiri, Vino bangkit dari duduk. Memasang senyum terbaik yang selama ini selalu berhasil memikat semua orang yang melihat.

"Mas Vino, yah," bisik Erlin.

Bara dan Vino saling menatap. Tak dapat dipungkiri, Bara sangat terkejut dengan kehadiran Vino di rumahnya.

"Yah, apa kabar?" Vino membungkuk, berusaha menyalimi tangan Bara dengan penuh hormat.

"Baik," jawab Bara singkat. Ia kemudian menoleh pada Erlin, "buatkan minum ya, nduk," pintanya.

Erlin mengangguk dan meninggalkan ayahnya beserta Vino di ruang tamu.

Bara mempersilahkan Vino kembali duduk dengan kode tangan yang ia berikan. Setelah mereka berdua duduk, suasana canggung sempat melanda dua orang itu. Namun, bukan Vino namanya, jika tak pandai mencairkan suasana.

"Ini aku bawa oleh-oleh seadanya dari Jakarta, yah," Vino meletakkan bawaannya ke atas meja, "semoga suka," imbuhnya.

"Terima kasih."

"Ibu sama yang lainnya mana, yah?" tanya Vino berbasa-basi.

"Ibu ada di dalam, sedang solat Isya. Alfita sudah tidak tinggal di sini, sudah ada rumah sendiri sama suaminya. Kalau Sofi lagi pergi," terang Bara datar. Ia masih tak bisa bermanis-manis pada Vino. Belum bisa mencari alasan kuat mengapa lelaki beristri ini mengunjungi rumahnya.

"Wah sayang sekali, aku pikir bisa bertemu dengan Sofi malam ini. Tapi, tidak masalah, bertemu dengan ayah cukup mengobati kerinduan."

"Untuk apa pria menikah seperti mas Vino ingin bertemu dengan Sofi? Sepertinya kurang pantas. Lagipula setau saya, mas Vino bukannya sudah menetap di Jakarta, mau apa ke Surabaya?" tanya Bara.

Vino memasang senyum penuh kegetiran.

"Ah saya pikir ayah dan yang lainnya sudah dengar dari di televisi. Beritanya sempat wara-wiri di layar kaca karena melibatkan salah satu pejabat negara. Mertuaku terlilit tindak pidana korupsi. Sedangkan hubunganku dan istri sudah kurang baik beberapa tahun belakangan. Istriku ..." ungkap Vino. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering. "Istriku selingkuh, yah. Kami sudah bercerai. Aku sudah sekuat tenaga mempertahankan pernikahan dengan memaafkan dia, tapi ia tidak mau. Apalagi karena masalah hukum yang menjerat keluarganya, mantan istriku memilih bersama dengan lelaki yang kedudukannya lebih tinggi dibandingkanku."

Pandangan Bara berubah melunak. Ia merasa berempati pada musibah yang menimpa mantan calon menantunya itu.

"Oh, saya ikut prihatin ya, mas Vino ..."

"Terima kasih, yah. Sebenarnya aku malu ceritakan masalah pribadi ini. Merasa gagal aku sebagai seorang suami. Aku pikir Sofi sudah cerita ke ayah, karena beberapa bulan terakhir ini aku sering berkontak dengannya," aku Vino.

Bara melihat dengan bingung, "Oh, Sofi tak pernah ngomong apa-apa sama ayah," sahut Bara.

Vino tertunduk.

"Maklum, yah. Mungkin Sofi masih marah sama Vino karena kejadian dulu."

Bara mengangguk.

Ia berdehem, "Sebelumnya, kenapa sih kalian dulu berpisah? Kata Sofi kamu memutuskan dia karena alasan tidak jelas. Sofi sangat terluka waktu itu. Tak lama kemudian, terdengar berita kamu menikah."

Lagi-lagi Vino tersenyum getir. Memasang tampang memelas dan teraniyaya.

"Sofi bilang begitu, yah?" tanyanya tak habis pikir.

"Iya. Memangnya kenapa?" cecar Bara.

Vino menghela nafas, "Yasudah kalau Sofi menceritakannya seperti itu. Aku enggak enak kalau harus mengungkit kejadian masa lalu," tuturnya.

"Ada apa sebenarnya, mas Vino? Ayah ingin dengar dari kamu," ujar Bara. Masuk ke dalam perangkap Vino.

"Aku sebenarnya tak mau membahas ini lagi, yah. Apalagi terkesan seakan-akan aku ini melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri. Tujuanku sebenarnya datang ke sini agar bisa menjalin silaturahmi dengan ayah, ibu, dan semuanya. Ayah 'kan tau, keluargaku di Surabaya ya hanya kalian. Orang tuaku dua-duanya sudah lama meninggal. Tidak apa-apa 'kan aku menganggap ibu dan ayah sebagai keluarga?"

Bara mengangguk. Hatinya terenyuh dengan ucapan Vino. Tangannya spontan mengelus pundak Vino dengan lembut.

"Ceritakan pada ayah, apa alasan sebenarnya kalian putus? Ayah lihat kalian sangat akur. Kamu bisa dengan sabar membimbing Sofi yang keras kepala. Kalian itu seakan tak ada masalah," ucap Bara.

Vino terdiam sejenak. Mengatur nafas panjang, "Aku dan Sofi pacaran sudah lama, yah. Sofi menuntut segera untuk kunikahi. Bagiku itu hal yang wajar bagi seorang wanita untuk menagih kejelasan status hubungan. Namun, yang menjadi masalah, saat itu aku belum seberapa mapan dengan bisnis travelku. Aku takut kalau aku menikahi Sofi, aku akan mengajaknya hidup dalam kesusahan. Akhirnya aku meminta waktu pada Sofi agar lebih bersabar menunggu bisnisku membaik, ya kira-kita setahunanlah paling lama. Tapi, Sofi tidak mau. Ia memutuskanku dan tak mau lagi menjalin hubungan. Saat itu aku sangat hancur ..."

Selama berpacaran dengan Sofi, Vino tahu betul karakteristik keluarga mantan kekasihnya itu. Dari curahan-curahan hati Sofi yang menceritakan mengenai kekecewaan keluarganya karena pilihan yang Sofi ambil sebagai MUA, bukan PNS.

Vino juga sangat hafal bahwa Sofi yang paling sering bersitegang dengan keluarga karena sifat keras kepalanya. Sofi sering tidak sejalan dengan ibu dan ayahnya. Jadi, bukan hal yang susah untuk mengambil simpati keluarga Sofi, hanya perlu menunjukkan sikap santun dan sopan. Berkebalikan dengan sifat Sofi yang meledak-ledak.

Bara berdehem.

Tak sangka jika Sofi memilih memutuskan seorang lelaki sebaik Vino hanya karena alasan yang sepele. Ia memang sadar akan sifat anak keduanya itu yang sangat keras kepala dan berkemauan kuat.

Erlin muncul membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja.

"Aduh, Erlin, maaf ya jadi merepotkan kamu," senyum Vino.

"Enggak kok, mas. Wong cuma teh," sahut Erlin.

"Terima kasih ya, Lin," ucap Vino.

Erlin mengangguk.

Imajinasi Vino melayang sejenak.

Dipandangnya sosok molek Erlin yang terbalut kaos putih polos dan celana pendek di atas lutut. Ia membayangkan betapa nikmatnya menjajaki tubuh polos Erlin yang pastinya masih perawan. Persis sama seperti dulu ia berhasil membujuk Sofi untuk menyerahkan kesucian.

"Sebentar ya, mas Vino. Ayah panggil ibu dulu," ujar Bara menepuk paha Vino. Membuyarkan lamunan kotor lelaki itu.

"Kalau ibu lagi repot baiknya tidak usah, yah. Mungkin aku lebih baik pulang saja," kata Vino.

Bara menahan Vino yang hendak bangkit.

"Jangan. Tunggulah di sini dulu, kalau perlu kita makan malam bersama. Kamu pasti belum makan malam 'kan? Sekalian kita tunggu Sofi pulang."

Vino tersenyum dalam hati. Upayanya memanipulasi Bara sukses besar.

"Aduh, apa tidak merepotkan?" ucap Vino memasang ekspresi sungkan.

"Tidak sama sekali. Asal kamu mau makan masakan sederhana kami," seloroh Bara.

Vino tertawa, "Justru aku kangen banget masakan rumah buatan ibu dan Erlin. Rasa enak dan sedapnya tidak ada yang mengalahkan!" sahutnya melempar senyum sembari melirik ke arah Erlin.

Mendengar pujian dari Vino, Erlin tertunduk tersipu.

"Kalau gitu aku ke dapur dulu, yah. Panaskan lauk dan sayur. Sekalian siapkan meja makan," kata Erlin.

Bara mengangguk. Sementara Vino tak berhenti mengulas senyum. Senyum penuh kemenangan.

***

Terdengar nada sambung dari balik ponsel, namun Ida tak kunjung mengangkat panggilan.

Tangan kanan Sofi terus menyeka tubuh basah Vallena, sementara tangan satunya menempelkan ponsel di telinga. Mata Sofi tiba-tiba membelalak. Ponselnya terjatuh dari genggaman.

Ia beringsut mundur dari duduknya.

Mulut Sofi menganga. Tak bisa menyembunyikan keterkejutan.

Jantungnya berdegup sama kencangnya seperti saat ia tadi memergoki Vallena yang tenggelam pada dasar bathtub.

Vallena menyadari keterkejutan Sofi, namun, tubuhnya masih terlalu lemah untuk bereaksi.

Air mata Sofi kembali mengalir dari pelupuk. Pandangannya tak bisa teralih dari tubuh Vallena. Wanita blasteran itu memiliki sesuatu yang seharusnya tak dimiliki oleh seorang wanita. Penis.

----


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top