16. Insincere
Wajah Sofi dan Vallena begitu dekat, hanya dipisahkan oleh jarak beberapa jengkal. Sofi tak mampu lagi menahan gejolak jiwa yang ia rasa. Ia enggan berpaling. Meskipun mabuk, Vallena masih mampu menyadari betapa ia sangat menginginkan sosok di hadapannya itu. Melumat bibir merah muda Sofi penuh gairah. Merengkuhnya ke dalam pelukan yang intim.
Tapi tidak.
Vallena memalingkan kepala, memundurkan tubuh menjauhi Sofi. Ia harus mengendalikan diri.
Sofi terhenyak.
Nyawanya yang tadi berada di ujung kepala, seakan dilempar kembali masuk ke dalam raga.
"Pulanglah. Aku mau tidur!" ujar Vallena bangkit. Langkahnya sempoyongan, berjalan menuju pintu kamar. Tanpa menolehkan kepala pada Sofi, wanita itu membuka pintu dan menghilang masuk ke dalam.
Sofi beringsut dari duduk. Membenamkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Merasa bodoh, kesal, dan getir dalam waktu yang bersama'an. Hati Sofi mendadak sembilu, persis sama saat mengalami penolakan pada cinta pertamanya di SMP, persis sama saat Vino meninggalkannya tanpa alasan jelas dan persis sama ketika Vallena tak menyambut ciumannya malam ini.
Ia akhirnya berjalan keluar dari unit apartemen. Memikirkan kembali mengapa ia harus merasa patah hati karena seorang wanita. Seorang wanita!
Sofi yakin logikanya sedang kesilapan. Bagaimana mungkin, ia yang 'normal' dan memiliki pengetahuan mengenai agama, bisa jatuh cinta dengan sesama jenis. Ini pasti kesalahan, entah lelah karena bekerja, stres dengan tuntutan keluarga, atau belum terbiasa memiliki klien model secantik Vallena. Sofi yakin pasti demikian.
***
Proses syuting libur selama empat hari.
Memberi jeda waktu bagi Sofi untuk memikirkan kembali mengenai perasaannya.
Seharian ia merasa kalut dan tak tenang. Rasa yang sama persis layaknya orang sedang jatuh cinta. Nafsu makan hilang, ingin tidur pun selalu terbayang wajah Vallena.
"Sof," Bara menghampiri Sofi, "ayah lihat kamu belum makan dari pagi. Ini sudah siang, lho. Ayo makan dulu."
"Sofi masih kenyang, yah," elaknya. Padahal selama syuting kemarin, ia hanya makan cokelat batangan yang diberikan Vallena. Namun, entah mengapa sampai hari ini ia tak jua merasa lapar. Sofi kembali melanjutkan, "Ayah enggak ngajar?"
Bara menggeleng, "Hari ini tidak ada jadwal. Sudahlah, meskipun tidak lapar, dipaksa. Nanti kamu sakit, ayo sekalian temani ayah, kita makan bersama."
"Ah. Ayah, bilang aja enggak mau makan sendirian," ledek Sofi.
Bara hanya mengulum senyum. Ia melambaikan tangannya agar Sofi segera bangkit dan menemaninya menuju ruang makan di belakang.
Setelah mengambil sedikit nasi dan lauk, Sofi membawa piringnya menuju ke depan televisi, menghampiri ayahnya yang sudah serius makan sembari menghadap layar kaca.
"Sof, coba kamu lihat ini," ujar Bara.
Mata Sofi mengikuti perintah Bara. Sebuah tayangan informatif mengenai lagu-lagu bertema hubungan sesama jenis. Jantung Sofi berdegup, seolah ayahnya sedang menyindir dirinya.
Suara Narator menginfokan kumpulan lagu dan musisi mana saja yang menyuarakan hak-hak LGBT tersebut. Salah satunya adalah lagu Angel Baby dari Troye Sivan yang populer di kalangan anak muda.
"Ayah baru tau kalau lagu Kerispatih ini ternyata tentang hubungan sesama jenis," kata Bara.
Narator menjelaskan bahwa lagu 'Aku Harus Jujur' diangkat dari kisah seorang pria yang menyukai sesama jenis. Menurut pengakuan Badai, sang penulis lagu, lagu ini tidak ditujukan untuk hubungan perselingkuhan, tapi untuk kelompok gay yang mencintai sesamanya.
Bara menggeleng-gelengkan kepala.
"Indonesia ini padahal negara Ketuhanan. Lambat laun, pengaruh negatif dari budaya Barat mulai masuk mempengaruhi masyarakat kita. Kalau dulu, hal-hal seperti ini tabu dan dianggap aib, tapi sekarang justru mereka-mereka itu bangga mengungkapkan orientasi seksual mereka yang menyimpang."
"Menyimpang bagaimana, yah?" Sofi memberanikan diri bertanya.
"Ya menyimpang, Sof. Tuhan itu menciptakan manusia secara berpasang-pasangan. Laki-laki ya dengan perempuan, begitu pula sebaliknya. Mereka yang melanggar merupakan orang keji yang telah melampaui batas. Kamu masih ingat dengan kaum nabi Luth, bukan?"
Sofi mengangguk seraya tertunduk.
"Sejak dulu keberadaan kaum Sodom sudah ada, mereka mendapat laknat dari Tuhan karena tak mengikuti perintah Tuhan yang disiarkan melalui nabi Luth. Kenapa orang-orang jaman sekarang tidak belajar dari kaum Sodom dan kembali mengikuti nafsu terlarang. Apa mereka tidak takut Tuhan murka dan memberi azab yang pedih," terang Bara dengan berapi-api.
"Tapi tidak ada yang bisa mengatur kehendak hati, yah. Bukankah perasaan cinta juga datangnya dari Tuhan? And love has no gender," timpal Sofi.
Bara mendengkus, "Harus bisa bedakan, mana cinta yang sesungguhnya dan ujian hidup! Jelas-jelas cinta sesama jenis itu merupakan ujian. Harus bisa melawan sisi buruk yang ada pada diri kita sendiri. Perang melawan hawa nafsu!"
"Bagaimana kalau itu sangat berat untuk dijalani?"
Bara menatap Sofi lekat-lekat, "Sofi, ada hal-hal dan peraturan yang sudah jelas tertulis di kitab suci dan kita sebagai manusia atau hamba harus mematuhinya. Tak perlu mempertanyakan lagi dan mencari ruang untuk menyanggah. Jangan mentang-mentang kamu berkawan lama dengan Mahmud, membuat kamu ikut-ikutan dengan pandangan dan gaya hidupnya. Tidak ada agama mana pun yang melegalkan hubungan sesama jenis. Tak hanya agama kita, Sof. Kamu coba tanya pada si Mahmud, apakah dia bahagia dengan hidupnya? Ayah yakin jawabannya pasti tidak. Hati nuraninya itu tersiksa, karena sudah membiarkan perasaan terlarang bersarang pada jiwa dan raganya."
Sofi tertunduk. Terasa sangat berat untuk menaikkan kepalanya sendiri. Perkataan Bara telah menusuk hatinya bak pedang samurai. Ayahnya benar, ia sama sekali tak merasa bahagia. Semenjak menyimpan rasa kepada Vallena, batinnya amat tersiksa.
"Sofi ke kamar dulu, yah."
Sofi beringsut bangkit dari kursi. Enggan melanjutkan makan. Ia hanya ingin membenamkan badan di atas ranjang kamar sendirian.
Bara mengangguk. Matanya fokus menyaksikan tayangan pada televisi. Ia tak sedikit pun menyadari bahwa anak perempuannya itu sedang mengalami dilema terberat dalam hidupnya.
***
Sofi terlentang di atas ranjang.
Matanya menerawang memandangi langit-langit kamar. Mencoba menelaah rasa yang berkecamuk pada batin. Sia-sia saja membohongi diri sendiri, ia memang jatuh cinta pada Vallena.
Hanya wanita itu yang berhasil membelokkan hati Sofi.
Ia yakin tak ada yang salah pada dirinya. Entah mengapa ia sangat terkesima pada Vallena sejak pertama kali mereka berjumpa. Rasa peduli dan naluri ingin melindungi wanita itu begitu kuat. Keinginan Sofi untuk terus bersama dengan Vallena, memeluknya dengan mesra, dan menghabiskan hari berdua.
Bulir air mata tanpa sadar jatuh dari pelupuk.
Semakin menegaskan Sofi rasa yang ia alami adalah nyata. Begitupula dengan rasa sakitnya. Bukan cinta namanya jika tak sepaket dengan sakit. Justru, sakit inilah yang membingkai seutas cinta menjadi indah. Semakin sakit hantaman itu menusuk dada, maka akan semakin kuat pula cinta tersebut bersarang.
Tangis Sofi makin terisak. Ia membenamkan seluruh kepala di atas bantal berharap isaknya mereda, tapi sia-sia, justru ia semakin tersedu-sedan.
Ia tak habis pikir, mengapa harus mengalami cinta terlarang. Apalagi ia memiliki keyakinan jika Vallena juga mempunyai minat yang sama kepada dirinya. Keyakinan inilah yang makin membuat Sofi nelangsa. Andaikan saja ia terlahir menjadi seorang lelaki, andai saja ia tak bertemu Vallena, dan andai saja tak ada larangan bagi mereka untuk bersama.
***
"Mud, aku mau cerita serius," ucap Sofi.
Sore itu mereka berdua bertemu di sebuah kafe sederhana di dekat rumah Sofi. Mahmud duduk melipat tangan siap mendengarkan curhatan sahabatnya, yang sebenarnya sudah ia tebak sebelumnya tentang apa. Vallena.
Mahmud memperhatikan Sofi dengan seksama. Menganggukkan kepala.
"Kamu ada rekomendasi MUA untuk Vallena sebagai penggantiku?" tanya Sofi.
Mata Mahmud melotot, hal ini tidak ada dalam tebakannya.
"Kenapose, nek? Mau resign? Ini kesempatan untuk menaikkan kredibilitas kamu lho, Sof! Pikir baik-baik!"
"Sudah aku pikir baik-baik. Ini adalah pilihan satu-satunya. Aku nggak bisa sering ketemu sama Vallena," jawab Sofi.
"Kenapa?" tanya Mahmud serius.
Sofi menarik nafas berkali-kali. Kata-kata tertahan di tenggorokannya.
"Aku rasa aku suka sama Vallena."
Bibir Mahmud menganga. Ia mampu menangkap kepedihan Sofi. Mahmud sudah bertahun-tahun mengenal sahabatnya itu. Semenjak duduk di bangku sekolah menengah akhir, tak ada kecendrungan Sofi sebagai seorang penyuka sesama jenis. Vallena pasti memiliki 'sesuatu' yang sanggup membelokkan hati Sofi.
"Kamu yakin? Mungkin yang kamu rasakan itu hanya kagum. Vallena itu cantik, model keren, badass, wajar sebagai sesama wanita memiliki ketertarikan sebagai penggemar," tukas Mahmud.
"Aku juga awalnya berpikir begitu. Tapi, makin lama aku makin enggak bisa membohongi diri. Apalagi kemarin, waktu Vallena sesak nafas akibat alerginya kambuh, aku panik karena kondisinya, Mud. Aku ketakutan setengah mati. Aku enggak mau terjadi sesuatu sama Vallena. Aku ingin melindungi dia. Jelas, ini bukan kekaguman semata. Ini adalah bukti aku mulai jatuh cinta sama Vallena," terang Sofi.
Mahmud menatap Sofi dengan empati.
Sofi kembali melanjutkan, "Kemarin malam setelah Vallena membaik, kami sempat berduaan di apartemennya. Ada momen kami saling membagi rasa. Bukannya aku ge'er, tapi aku yakin Vallena juga memiliki ketertarikan padaku. Kami hampir saja berciuman, tapi itu tak sempat terjadi. Kurasa pertahanan dirinya lebih kuat dibandingkanku. Aku sadar semakin lama ini akan semakin sulit bagi kami berdua."
Mahmud mengangguk setuju.
"Bukannya sok tau ya, Sof. Tapi, emang aku merasa Vallena juga suka sama kamu. Kelihatan banget dari pandangan dia. Yah, percaya enggak percaya, orang-orang seperti aku, bisa menangkap sinyal-sinyal begitu."
"Maka dari itu aku memutuskan resign, Mud. Kamu bisa bantu aku merias Vallena sementara ia menemukan penggantiku 'kan?"
"Ih, iya kalau diana mau eyke yang rias."
"Yah, paling tidak sementara mencari penggantiku, dia punya kamu, Mud. Bisa 'kan? Tolong aku, please," pinta Sofi.
"Kenapa kamu mutusin resign dan menjauhi dia sih, Sof? Kalau kalian benar-benar saling cinta, kenapa tidak meneruskan saja?"
Sofi menghela nafas panjang.
"Tidak bisa seperti itu. Tidak akan ada masa depan bagi kami. Dan lagi ..." Sofi menghentikan kalimat, matanya mulai berkaca-kaca, "aku sedari kecil tumbuh di keluarga yang sangat agamis. Nilai agama sudah ditanamkan kedua orang tuaku. Jujur, ada pergolakan berat semenjak rasa ini muncul. Aku juga tak sanggup mengecewakan keluargaku, Mud. Aku tidak pernah bikin mereka bangga dan aku tidak berniat membuat mereka terluka."
Mahmud mengelus punggung Sofi. Air mata Sofi semakin deras setelah ia menyelesaikan kalimatnya. Mahmud memahami kesedihan yang Sofi rasakan. Mahmud memang tak berdandan layaknya perempuan, tapi tingkah lakunya cukup kemayu untuk ukuran seorang lelaki. Ketika keluarga Mahmud di kampung mengetahui ia memilih karier sebagai MUA, banyak dari mereka tak mau berkomunikasi lagi dengannya. Perlakuan tak mengenakkan makin menjadi-jadi saat Mahmud menolak perjodohan keluarganya dengan dalih tak memiliki ketertarikan terhadap wanita. Tiap pulang kampung pada momen lebaran, beberapa tetangga tak ragu memanggilnya dengan sebutan 'bencong', 'homo', atau 'banci'. Ayah Mahmud bahkan tak sudi lagi berbicara dengannya. Bagi si ayah, Mahmud adalah lelaki hina dan berdosa yang membuat malu keluarga. Ia sadar telah melakukan kesalahan, namun ia tetaplah manusia yang memiliki perasaan juga layaknya orang lain. Andaikan keluarganya sendiri lebih merangkul, mungkin ia akan berusaha memperbaiki diri.
"Apapun keputusanmu aku akan selalu dukung, Sof. Kalau memang Vallena bersedia, nanti aku akan gantikan kamu merias dia. Sembari pelan-pelan aku carikan MUA lain yang sesuai dengan kriteria Vallena," sahut Mahmud.
"Makasi ya, Mud," ucap Sofi memaksakan mengulas senyuman di bibir.
"Kapan kamu mau mengajukan resign?" tanya Mahmud.
"Lebih cepat, lebih baik. Rencananya malam ini. Setelah mendapat kesanggupanmu untuk menggantikan aku, aku akan menghubungi Vallena atau ibu Ida dan menemui mereka," terang Sofi.
Ponsel Sofi tiba-tiba berdering, ia dan Mahmud spontan melirik ke arah layar yang menyala. Tertulis panggilan dari 'Lelaki Tanah Jahanam'.
"Siapose, nek? Lelaki dari tanah Jahanam? Temen situ yang dari kaum dedemit 'kan cuma eyke," tanya Mahmud.
"Vino," jawab Sofi singkat. Air mukanya berubah kesal.
Mahmud mengetok meja kafe, "Amit-amit ih itu siluman kadal! Diana bukan dedemit lagi, tapi anak Azazil, alias Dajjal!" umpatnya.
Dering ponsel berakhir, tak lama, berubah menjadi dentingan. Sebuah pesan masuk.
"Baca, nek, si Kadal ngirim pesan apa?" Mahmud penasaran.
"Males, langsung hapus aja!" sungut Sofi.
"Jangan dong. Eyke pengen tau omongan si Kadal. Lagian diana ngapain sih masih ganggu-ganggu aja? Bukannya udah kewong! Kasian amat istrinya, punya suami keturunan siluman dari laut Yaman!"
Sofi dan Mahmud cekikikan bersama. Membuka isi sms yang dikirimkan oleh si Lelaki Tanah Jahanam, Vino.
Lelaki Tanah Jahanam
Malam, Sugar ...
Aku tau kamu masih marah sama aku.
Wajar ...
Aku memang banyak salah.
Tapi tujuanku menghubungi kamu adalah untuk menebus kesalahan²ku padamu.
Sejak kita berpisah,
Tak sedetikpun aku bisa melupakan kamu.
Asal kamu tau,
Sudah lama aku dan istriku tak serumah.
Hanya masalah waktu hingga status cerai kami sah.
Beberapa hari ini aku sudah berada di Surabaya.
Ingin bertemu denganmu.
Mahmud dan Sofi saling berpandangan dengan raut wajah meloya¹.
***
Selepas magrib, Sofi berulang kali menghubungi ponsel Vallena dan Ida, tapi kedua orang itu tak ada yang mengangkat panggilannya. Ia mencoba mengirimkan pesan singkat pun, tak ada yang membalas.
Tekad Sofi sudah bulat. Pokoknya, malam ini, hari ini juga, ia harus menuntaskan masalah yang ia hadapi. Sofi tak mau menunggu esok hari. Lebih cepat lebih baik.
Sofi mengendarai mobil menyusuri jalanan Surabaya untuk menemui Vallena di unit apartemennya. Ia sudah menyiapkan surat pengunduran diri hasil tulisan tangan untuk diserahkan kepada Vallena atau Ida.
Setelah beberapa menit berkendara, ia akhirnya sampai di The Peak Residence. Jantungnya berdegup tak menentu. Ia sudah menyiapkan hati jika Vallena akan membentak dan memberondongnya dengan makian karena telah bersikap tidak profesional.
Berulang kali Sofi mengatur nafas ketika berada di dalam lift. Langkahnya sedikit gemetar saat berjalan ke arah pintu utama unit Vallena. Jemarinya kemudian membunyikan bel dengan gamang. Semenit berlalu tapi tak ada yang membukakannya pintu. Sofi merogoh ponsel dan menghubungi nomor Vallena. Ia lantas terhubung nada sambung, bahkan, saat ia menempelkan telinganya ke pintu, ia mampu mendengar sayup-sayup suara dering ponsel Vallena. Setidaknya Sofi bisa bernafas lega, model itu berada di unitnya, namun, mengapa Vallena tak kunjung mengangkat telepon atau membukakannya pintu?
Sofi berdecak.
Ia kembali memencet bel. Ia bahkan berulang kali menghubungi nomor Vallena, tak ada respon.
"2704. Password pintu masukku! Hapalkan, jadi kau tidak perlu membuatku sakit kepala karena harus bangun secara mendadak seperti ini."
Ingatan saat Vallena memberitahukan kombinasi password pintu unitnya mendadak berkelindan di otak Sofi. Sofi lagi-lagi mengalami kebingungan, apakah ia harus langsung masuk saja ke dalam rumah?
Setelah menimbang-nimbang, Sofi akhirnya memutuskan untuk menekan rangkaian angka yang pernah Vallena berikan kepadanya.
"2 ... 7 ... 0 ... 4," bisik Sofi bicara sendiri.
Ia kemudian membuka gagang pintu dan masuk ke dalam unit. Melangkah perlahan ke dalam ruang yang temaram. Vallena membiarkan lampu apartemennya tak menyala.
Mata Sofi menangkap berbotol-botol wine kosong yang tergeletak di atas meja ruang tengah. Pasti Vallena sedang mabuk, makanya ia tak menjawab telepon dan membukakan pintu.
Sofi menghela nafas, jelas, ini bukan saat yang tepat untuk berbicara pada Vallena. Ia memutuskan untuk menjalankan opsi kedua, yaitu menemui Ida pada kediamannya di Manyar. Sofi kemudian berjalan berjingkat menuju pintu untuk keluar. Langkahnya kemudian terhenti.
Ia merasa harus memeriksa kondisi Vallena dulu sebelum pergi. Sofi mendadak cemas apalagi hanya ada satu burgundy glass² di meja. Menandakan Vallena menghabiskan dua botol Cabernet Sauvignon³ seorang diri saja.
"Vall," panggil Sofi mengetuk pintu master bedroom. "Vallena ... are you okay? Ini aku Sofi," lanjutnya setengah berteriak.
Sofi tak kunjung mendapatkan balasan dari Vallena. Nalurinya makin tergelitik untuk memeriksa keadaan Vallena. Rasa cemas membayangi Sofi.
"Sorry, Vall, aku masuk kamarmu, ya!" ujar Sofi membuka pintu.
Matanya membelalak ketika melihat suasana kamar yang kacau. Cermin meja rias yang pecah, barang-barang dan botol parfume yang berserakan di lantai, serta foto dan lukisan yang tergeletak sembarangan tidak pada tempatnya.
Jantung Sofi seakan berhenti. Apa yang sedang terjadi dengan Vallena?! Ia membuka bed cover ranjang, namun tak menemukan Vallena di baliknya. Langkah Sofi mulai memburu, ia berlari seperti orang kesetanan menuju bathroom.
Mata Sofi membelalak diiringi suara pekikannya.
"VALLEEEENAAAAA ...!"
Sosok Vallena telah tenggelam pada dasar bathtup. Di sekeliling lantai kamar mandi berserakan beberapa pil berwarna putih yang berasal dari botol obat tidur.
¹ meloya : jijik
² burgundy glass : gelas yang digunakan untuk meminum red wine. Bagian wadahnya menggelembung/melebar
³ cabernet sauvignon : salah satu varietas anggur wine merah yang paling banyak diakui di dunia
----
Holla, Folks
Hari kedua weekend nih, besok Senin masih libur ternyata. Yeey! 😚
Si Mahmud bahas² Azazil dan Laut Yaman.
Ada yang udah tau??? (Tau dong)
Azazil itu nama asli dari Iblis, yang merupakan bapak dari bangsa jin. Azazil konon dipercaya sebagai pemimpin kelompok syaitan dari kalangan jin maupun manusia.
Dulunya, sebelum Adam diciptakan, Azazil menjadi pemimpin para Malaikat. Namun, kemudian ia membangkang karena kesombongannya.
Azazil adalah ayah dari Dajjal, kalau Dajjal pasti sudah pada tau ya, hehehe. Sedangkan menurut pendapat-pendapat yang beredar, Dajjal sekarang bersembunyi di Laut Yaman. Nah, jadi udah tau 'kan maksud dari perkataan si Mahmud. 🤣
Yaudah segini dulu, tetap semangat baca ya. Jangan bosen. Boleh follow IG aku juga, mommanulis.
Salam sayang ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top