13. Break The Ice

Ida menarik tangan Vallena yang hendak keluar dari kamar hotel.

"Mom lihat kamu tidak pernah mengonsumsi obat-obatanmu lagi. Jangan sembrono, Valle!" bentaknya.

Vallena melirik Ida dengan sinis, "Aku rutin memakainya, kok."

Cengkaram tangan Ida masih kuat pada lengan Vallena, menyebabkan Vallena meringis tak nyaman.

"Jangan bohong kamu," Ida menarik tubuh tinggi Vallena dan membuka sebuah pouch berwarna salem, "lalu ini apa? Ini masih utuh semua!" terang wanita paruh baya itu mengeluarkan beberapa kotak obat-obatan.

Vallena memutar bola matanya.

"Okay, fine ..." sahutnya. Ia duduk di kursi dan meraih pouch yang ditunjuk ibunya.

Ida menarik nafas panjang berkali-kali. Tangannya sibuk membelai rambut anak perempuan kesayangannya.

"You're my beautiful daughter, Valle. If I could only give you one thing in this life, I would give you the ability to see yourself how I see you every single day ..." bisik Ida. Ia mengecup pelipis Vallena, "mijn lieve dochter¹."

Vallena membalas Ida dengan tersenyum. There is one thing you can do for me, Mom, freedom. Hatinya berkata.

***

"Selamajid pagoda²," sapa Mahmud pada beberapa kru dan talent yang sedang merias wajah di dalam ruangan make-up studio dangdut JTV.

"Tumben siang datengnya, kak Berta," jawab Joni, salah seorang kameramen yang bertubuh kurus dengan rambut gondrong.

Mahmud tersenyum kenes, "Kenapose? Mas Joni Depp kangkung sama eyke, ya?" godanya sembari menyolek dagu Joni.

Kameraman itu buru-buru mengusap janggutnya, "Kangkung?" tanyanya.

Mahmud mendekati tubuh Joni sambil memicingkan mata, "Kangen, sayang," bisiknya.

Joni hanya bisa bergidik, namun tetap berusaha tersenyum. Meskipun senyumnya lebih mirip ekspresi wajah orang yang sedang menahan sakit perut.

"Mahmud!" teriak Sofi dari balik ruang make-up, "udah telat, masih aja ngobrol! Buruan! Aku ora onok sing ngewangi iki³!"

"Iya, Sofiah. Bawel! Enggak bisa lihat orang lagi pacaran emang!" gerutu Mahmud.

Dengan sigap, lelaki kemayu itu membuka beauty case warna merah jambu miliknya. Mengeluarkan kuas dan segera menyapukannya di wajah salah seorang talent yang sudah duduk manis menunggunya.

"Sofiah, gimana kemaren waktu ketemu si Vallena? Udah tanda tangan kontrak?" Mahmud membuka obrolan.

"Sudah," sahut Sofi singkat.

Mahmud berkecimus dan melirik ke arah Sofi, "Kenapa sih, nek? Kok enggak semanggi? Harusnya seneng dong bisa kerja sama si Vallena."

Sofi tak menjawab. Ia tersenyum pada penyanyi dangdut yang baru selesai ia rias, "Sampun, mbak," katanya tidak mengacuhkan Mahmud.

"Thanks ya, mbak Sofi," ucap si biduan seraya bangkit dari make-up chair.

Dengan tenang, Sofi merapikan kuas-kuas make up dan memasukkannya ke dalam beauty case. Mahmud keki karena Sofi tidak memerdulikan pertanyaannya. Ia menyadari bahwa Sofi sedang menyembunyikan sesuatu setelah bertemu dengan Vallena Valla. Rasa penasaran makin berkecamuk dalam batin Mahmud.

"Sofiah cerita dong!" desak Mahmud. Jemarinya tetap lihai menyapukan foundation pada wajah talent yang sedang ia rias.

"Cerita apa sih, Mud?" tanya Sofi.

Mahmud berdecak, "Soal kemaren ketemu si Vallena-lah, bahlul! Masa' cerita asal-usul situ punya organ tunggal kenapa sampai bisa pecongan!" sungutnya.

Sofi menahan tawa. Bukannya menyeramkan, Mahmud malah terlihat lucu saat sedang emosi.

"Ya, nanti aku cerita. Kamu selesaikan dulu ngerias yang bener!"

Bibir Mahmud mengerucut karena cemberut. Mau tidak mau ia hanya bisa pasrah menahan keingintahuannya.

***

Sepoi-sepoi angin siang menerpa tubuh yang lembab karena cuaca kota Surabaya yang panas. Sofi dan Mahmud duduk bersama di sebuah warung kopi yang terletak tak jauh dari gedung Graha Pena. Warung kopi dengan suasana teduh karena di depannya tertanam pohon Tanjung berusia tua yang berdiri kokoh menghalangi sinar matahari. Tempat itu hanya berdinding bilik, sementara kursi, meja, dan area lesehannya menggunakan material bambu.

Menu yang ditawarkan juga tergolong murah meriah. Ada mie instan dengan pelengkapnya, seperti telur, nugget, dan sosis. Ada pula nasi bungkus dengan aneka lauk seharga kurang dari sepuluh ribu rupiah saja.

Mahmud menikmati seputung rokok mentol sembari sesekali meneguk es tehnya. Ia melirik Sofi yang mengambil satu batang rokok mentol miliknya.

"Pinjem korek, Mud," pinta Sofi.

Mahmud diam saja melempar korek api miliknya kepada Sofi. Ia hafal, sahabatnya itu hanya merokok jika sedang mengalami masalah pelik saja. Mahmud benar-benar yakin kali ini, jika Sofi sedang menyembunyikan sesuatu.

"Jadi ada cerita apa tentang Vallena?" pancing Mahmud.

Sofi menyembulkan asap dari mulutnya perlahan, "Gila. Si Vallena itu ternyata bossy banget, Mud. Aku ragu bisa tahan kerja sama dia. Aku dianggap kayak pembantu, lho."

"Terus?" Mahmud berpaku tangan mendengarkan Sofi dengan seksama.

"Hari pertama ketemu kemarin, dia nyuruh aku bikinin dia teh. Dan satu lagi ya, dia sama sekali enggak bilang 'tolong'. Heran aku, masa' model sekelas dia enggak mampu bayar asisten, sih!"

"Bukannya enggak mampu. Dia bule 'kan, lama tinggal di luar. Biasanya orang luar emang jarang punya pembokat dan asisten kayak artis-artis kita," sahut Mahmud.

Sofi tak menyahut, kembali mengisap asap rokoknya sebagian, lalu menahannya di tenggorokan. Tidak, ia rasa bukan itu alasannya Vallena tak memiliki seorang asisten atau pembantu. Entah mengapa, ada hal aneh yang seakan ditutupi oleh model 32 tahun itu bersama dengan ibunya.

"I think, it's not easy to break the ice with her," keluh Sofi.

"Enggak mungkin cuman soal kelakuan Vallena aja 'kan? Pasti ada hal lain yang ganggu pikiranmu," tebak Mahmud. Ia paham betul Sofi tak gampang terpengaruh dengan klien yang rewel.

Sofi berdecak, "Ya cuman masalah itu aja, Mud. Emang apa lagi? Beneran deh sangsi banget aku bisa betah sama dia," kelitnya. Mimpinya semalam mendadak terbersit.

"Halah," bibir Mahmud mencibir, "kenapa sih, nek? Pakai rahasia-rahasia'an segala? Situ udah enggak anggap eyke temen lagi, ya?"

Sofi membentuk mulutnya seperti huruf O, seakan meniup menggunakan bibir, berupaya membentuk cincin dengan asap rokok. Ia tak berniat menceritakan perihal mimpi erotisnya bersama Vallena kepada Mahmud. Mimpi yang cukup mengusik benaknya.

Ponsel Sofi tiba-tiba berbunyi nyaring.

Sebuah rangkaian angka tak bernama muncul pada layar. Meskipun tak disimpan ke dalam kontak, Sofi tahu siapa si pemilik nomor tersebut. Vino, mantannya.

"Enggak diangkat?" tanya Mahmud.

Sofi menggeleng.

Mahmud melirik layar ponsel Sofi. Matanya kemudian membelalak, mengialkan keterkejutan.

"Ini nomor si kadal, 'kan? Jangan-jangan diana yang bikin situ kepikiran sampai kayak begini, ya? Mau ngapain lagi sih itu kadal telvon-telvon? Emang dasar Dakjal," umpat Mahmud.

"Dia udah enggak ada artinya lagi dalam hidup aku, Mud. Aku sama sekali enggak terpengaruh lagi dengan semua tingkah lakunya," terang Sofi.

"Terus apa dong, nek? Jelas-jelas kamu lagi mikirin sesuatu, Sofiah! Cerita dong sama eyke," Mahmud memasang tampang memelas.

Sofi menghela nafas panjang. Luluh juga melihat tanpang melas Mahmud.

"Sebenarnya ini sesuatu yang enggak penting. Tapi, enggak tau kenapa, nempel banget di otak aku," jawab Sofi. Ia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering, "janji kamu enggak bakalan ketawa ya, Mud!"

"Janji, Sofiah!" tegas Mahmud.

"Semalem aku mimpi mesum sama si Vallena," bisik Sofi.

Bibir Mahmud menganga. Sejurus kemudian tawanya menggelegar hingga beberapa pengunjung warkop menoleh ke arah mereka.

Sofi memukul paha Mahmud sekencang mungkin. Kesal dengan reaksi yang diberikan oleh temannya itu.

"Setan kamu, Mud! Udah kubilang jangan ketawa!" maki Sofi berusaha menenangkan Mahmud, namun upayanya sia-sia. Tawa Mahmud malah semakin menjadi-jadi.

"Terjadi proses pembelokan rupanya," goda Mahmud terpingkal.

"Enak aja kalau ngomong! Aku masih normal. Masih demen sama laki!"

Mahmud terus cekikikan, "Dulu enggak belajar di sekolah, ya? Kalau mimpi itu adalah manifestasi alam bawah sadar."

"Yang diluar kendali si pemilik mimpi!" sahut Sofi.

"Yang dimana kamu memiliki keinginan terpendam itu hingga terbawa sampai mimpi!" tukas Mahmud.

Sofi mencebik, "Enggaklah, aku masih yakin aku normal. Enggak mungkin aku belok, Mud!"

"Kelamaan temenan sama aku, ketularan 'kan!" ledek Mahmud.

"Eh inget, ya! Kita bahasnya juga cowok-cowok seksi. Enggak pernah bahas cewek. Gila kali," sanggah Sofi. Jemarinya mematikan putung rokoknya yang hampir padam ke atas asbak.

"Emang bisa memilih jatuh cinta sama siapa?" Mahmud berpaku dagu, memandangi Sofi dengan mengulum senyum.

"Ya tapi aku juga mikirlah! Keluargaku itu pada agamis, aku juga belajar agama. Hal begituan itu jelas salah besar," tegas Sofi, alisnya bertautan dengan sorot mata yang menajam.

Mahmud menghela nafasnya seraya memalingkan wajah. Sofi tersentak, ia sadar perkataannya mungkin sedikit menyinggung kawannya.

"Sorry, bukan maksud aku nyenggol kamu. Aku menghormati pilihan orang lain, hanya saja, aku yakin aku tidak mengambil pilihan seperti itu, Mud."

Mahmud membalas tatapan Sofi dengan tersenyum.

"Aku tau kok, nek. Tenang aja, aku sama sekali enggak tersinggung," Mahmud menepuk punggung tangan Sofi, "cuman, susah banget mengendalikan perasaan yang munculnya entah dari mana. Kalau bisa memilih, aku pun pasti ingin memilih tidak seperti ini."

Sofi menatap kawan dekatnya dengan empati.

Sofi membatin. Urusan hati, memang berat.

Bukan urusannya juga untuk menilai perihal dosa orang lain. Semua itu rahasia Tuhan. Manusia hanyalah makhluk tempatnya salah. Mungkin Sofi sudah terlalu lama sendiri, kesepian tanpa cinta. Sehingga mimpi-mimpinya mulai berwujud aneh. Otaknya mulai konslet, bisa-bisanya jatuh cinta pada lelaki yang datang dalam mimpi. Mata biru safir yang tak bisa ia lupakan. Sorot mata yang persis sama seperti tatapan ... Vallena.

***

Pada sebuah apartemen di kawasan Jakarta.

Seorang wanita berambut panjang sedang mendesah liar menggerakkan panggulnya naik-turun di atas seorang lelaki tampan bertubuh atletis.

"Vin, I'm cumming," rintihnya.

Vino meremas bokong bulat si wanita dengan kedua tangannya. Menarik tubuh sintal itu untuk berganti posisi. Dilumatnya bibir si wanita yang kini berada di bawahnya. Ciuman Vino berpindah pada puncak dada. Memainkan dengan lidahnya yang basah, sesekali menggigit dan menghisapnya. Wanita itu mengelijang kepayahan. Vino seakan tak peduli, ia tetap bergerak di atasnya dengan ritme yang cepat.

Mata Vino terpejam karena hanyut oleh kenikmatan. Ia mengerang.

"Doggy!" perintah Vino. Lengannya yang berotot dengan mudah membalik tubuh wanita itu.

Vino kembali menyetubuhi si wanita, kali ini dari belakang. Menggerakkan panggul dengan tempo semakin cepat dan intens. Menampakkan lekuk abdominal⁷ yang berjajar gagah.

"Gue mau keluar lagi, Vin," rintih si wanita.

Vino menghentakkan tubuhnya semakin keras. Matanya memejam dengan alis yang berkerut tegang. Mereka berdua mencapai klimaks.

Terbaring di ranjang dengan sisa-sisa nafas yang memburu.

Vino meraih ponsel, mencari sebuah nama dikontaknya, kemudian mencoba menghubungi nomor tersebut. Beberapa kali nada sambung berbunyi - tak diangkat. Ia melempar ponselnya ke sisi ranjang. Gusar.

"Nelvon cewek itu lagi?"

Vino membalas dengan anggukan. Ia masih merasa kesal karena diabaikan.

"Secantik apa sih dia? Songong banget enggak angkat telvon dari cowok seganteng elo," wanita itu membelai-belai dada Vino yang bidang.

"Dia biasa aja. Masih banyak yang lebih cantik," sahut Vino. Memang masih banyak yang lebih cantik daripada mantannya, Sofi. Namun, sifat keras kepala dan jual mahalnyalah yang membuat wanita itu spesial.

"Istri loe sudah tanda tangani surat cerai?"

"Sudah. Pengacaraku bilang tinggal tunggu waktu saja sampai aku resmi bercerai," jawab Vino.

"Lalu, kenapa loe enggak sama gue aja, sih? Bukannya, kita punya banyak kecocokan. Dalam urusan ranjang apalagi," goda si wanita. Ia membalikkan badan, menatap wajah Vino dengan mesra.

"Tissa sayang, kamu 'kan tau kita cuman temen buat seneng-seneng aja," Vino mencubit hidung Tissa. Mereka sudah lama berhubungan, bahkan saat Vino sudah berstatus menikah. Tidak hanya Tissa yang menjadi pemuas nafsunya, masih banyak wanita-wanita lain.

Tissa mengerucutkan bibir, "Huh. Okay," wanita itu bangkit dari kasur, "tapi loe engga bakalan lupain gue 'kan, Vin? Nanti kalau gue ke Surabaya atau loe balik ke sini, loe janji buat ngabarin, ya!"

"Pasti dong, sayang. Kalau aku kangen sama kamu, aku pasti nemuin kamu langsung."

"Ah gombal. Loe ngapain balik ke Surabaya sih, Vin?" tanya Tissa penasaran. Wanita itu sibuk mengenakan pakaian dalamnya yang berserakan di lantai kamar.

"Di sini 'kan aku ngurusin bisnis mertua, ups, mantan mertua maksudnya," kelakar Vino. "Bisnisnya udah bangkrut, ya aku balik ke kampung halamanlah."

Mantan istri Vino adalah anak seorang pengusaha kaya raya yang bergerak dibidang kontruksi. Kekayaan itu juga yang membuat Vino memilih menikah dengannya. Vino dipercaya oleh mertuanya untuk mengurus banyak proyek besar yang melibatkan kepemerintahan. Vino yang pandai mengambil hati orang lain, termasuk istri dan mertuanya, berhasil menipu mereka dengan kelicikannya.

Vino berhasil menggelapkan uang dan menjebak mertuanya hingga tersangkut dalam tindak pidana korupsi korporasi⁸. Merasa tak ada lagi yang bisa Vino manfaatkan, ia memutuskan untuk menceraikan istrinya dan kembali pulang ke Surabaya. Melanjutkan bisnis travel yang dulu sempat digelutinya.

Ada hal lain juga yang menggoda Vino untuk kembali ke kota Pahlawan. Mantannya, Sofi. Ia merindukan aroma manis yang menguar dari tubuh gadis polos itu. Bayangan lekuk tubuh Sofi terus berkelindan. Bagaimana pun caranya, ia yakin, bisa merebut hati mantan kekasihnya kembali.


¹ mijn lieve dochter : putriku sayang (bahasa Belanda)

² selamajid pagoda : selamat pagi (bahasa binan)

³ aku ora ono sing ngewangi iki : aku tidak ada yang bantu nih (bahasa suroboyoan)

⁴ organ tunggal : orang tua (bahasa binan)

⁵ pecongan : pacaran (bahasa binan)

⁶ break the ice : idiom bahasa inggris yang berarti mencairkan ketegangan

⁷ abdominal : otot perut

⁸ korupsi korporasi : tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama (google)





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top