1. Edgar & Lieve
Sepasang suami dan istri masih tidur meringkuk di balik selimut.
Langit masih gelap - sedikit mendung.
Hawa dari penyejuk udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Burung pipit terdengar bersahut-sahutan di atas angkasa. Mungkin, mereka sedang sibuk mencari makanan sebelum matahari menyingsing di ufuk Timur.
Edgar beringsut, tubuhnya berguling mendekap istrinya yang masih tertidur pulas. Lelaki itu menciumi tengkuk sang istri yang tidur membelakanginya. Wangi strawberry menguar dari tiap helai rambut panjang itu.
Pernikahan mereka sudah berlangsung selama dua tahun.
Kehidupan rumah tangga yang indah, nyaris tanpa pertengkaran. Tidak ada yang memahami Edgar sebaik sang istri, dan begitu pun sebaliknya.
"Ehmh," si istri menggeliat karena merasakan belaian jemari Edgar mengusap rambutnya.
"Kamu sudah bangun, Lieve¹?" Edgar membisik di telinga istrinya.
Lieve merapatkan tubuh ke arah Edgar, "Belum. Mataku masih lengket," gumamnya.
Edgar menahan tawa, "Belum bangun tapi bisa menjawab?" godanya.
"Ehmh," Lieve menarik selimut ke atas.
Pelukan Edgar makin kencang. Setiap hari ia selalu bersyukur bisa menikahi istrinya itu. Mereka saling mencintai satu sama lain.
"Mau bermain, Lieve?" rayu Edgar. Lagi-lagi membisiki sang istri.
"Aku masih mengantuk, Ed," mata Lieve tetap terpejam.
"Kalau begitu kau tidurlah. Aku hanya akan mengusap-usapmu sampai tertidur," ucap Edgar.
Lieve tak menjawab.
Tangan Edgar mulai menggerayangi sang istri yang memunggunginya. Sasaran pertama lelaki itu adalah buah dada Lieve yang lebih leluasa ia mainkan dari belakang. Istrinya bukan tipikal wanita yang gemar memakai pakaian seksi berbahan satin untuk tidur. Sebaliknya, Lieve lebih suka mengenakan kaos longgar dan celana pendek untuk di rumah. Meskipun begitu, Edgar malah menganggap itu amat seksi.
Mula-mula Edgar meremas lembut dada istrinya. Akibat tak mengenakan bra saat tidur, Edgar bisa merasakan tonjolan puting Lieve meskipun tertutup t-shirt.
Tak puas, tangan Edgar menelusup masuk ke dalam kaos - kulit dan kulit saling bersentuhan.
Lieve tetap memejamkan mata seolah tertidur. Padahal, rasa kantuknya sudah sirna. Ia hanya ingin menikmati setiap sentuhan suaminya tanpa berbuat apa-apa.
Jemari Edgar leluasa bermain dengan payudara Lieve. Memilin-milin puting yang suda mengeras sambil sesekali meremasnya. Lieve mulai terangsang. Aliran darah tubuh memanas. Bagian tengah selangkangannya berdenyut-denyut.
Sama halnya dengan puncak dada Lieve, batang kejantanan Edgar juga ikut mengeras. Menyembul dari balik celana, menyundul bokong Lieve.
"Bagaimana aku bisa tertidur kalau yang kau maksud dengan 'mengusap-usap' adalah seperti ini?" Lieve membalikkan badan menghadap Edgar.
"Jadi kau sudah bangun sekarang?" goda Edgar.
Lieve mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya.
"Ada lagi yang juga sudah 'bangun'," bisik Edgar. Bola matanya melirik ke bawah.
Lieve tertawa. Paham betul maksud suaminya.
"Manjakan aku lagi," pinta Lieve merajuk.
Edgar bangkit dari tidur dengan bersemangat. Ia membuka kaos yang dikenakan istrinya tanpa ba-bi-bu. Bibirnya lalu menciumi dua buah gundukkan indah di hadapannya.
Mata Lieve memejam. Menikmati setiap kenikmatan yang memabukkan.
Edgar begitu lihai menciumi buah dada Lieve. Ujung lidahnya menari-nari di sekitar puting. Sesekali menghisap dan menariknya kuat. Lieve mendesah. Penuh gairah.
Puas mencecap bagian atas, Edgar berpindah ke bawah. Membuka celana pendek Lieve pelan-pelan. Kini matanya dimanjakan dengan pemandangan tubuh telanjang si istri.
"Oh, Lieve, kamu sangat cantik," pujinya.
Puas mengagumi keindahan tubuh Lieve, Edgar membungkuk mencium kewanitaan Lieve yang sudah basah. Mengeksplorasi setiap sisi menggunakan lidahnya.
Lieve meremas rambut suaminya karena birahi.
Gelombang kenikmatan yang ia rasakan makin intens. Otot-otot di pahanya menegang.
Edgar kemudian melepaskan celananya. Tampak miliknya yang sudah tegak mengacung. Mereka akhirnya menyatu.
Edgar bergerak pelan dengan ritme yang teratur. Membiarkan Lieve menikmati sensasi bercinta dalam gerak lambat.
Tanpa disadari, cahaya matahari menembus tirai penutup jendela. Hari mulai terang sebagai pertanda pagi telah datang.
***
Edgar sibuk memasak sarapan di dapur. Membuat omelet berisi smoke-beef, irisan tomat, dan keju. Ia juga sudah menyiapkan jus strawberry kesukaan istrinya.
"Jam berapa kau ke kantor, Lieve?" tanya Edgar saat sosok Lieve berjalan menghampirinya sehabis mandi.
"Sekarang," jawab Lieve, "apa agendamu hari ini, sayang?"
"Nanti jam 10 ada Zoom-meeting dengan editorku," jawab Edgar, "sarapanlah dulu sebelum berangkat," tuturnya sembari meletakkan piring berisi omelet ke atas meja makan.
Lieve duduk menuruti suaminya, lalu meneguk jus segar miliknya.
"Kau sudah mengganti nama-nama tokoh-tokoh di dalam ceritamu?" tanyanya.
Edgar mengulum senyum. Ia duduk di depan istrinya, "Kenapa harus kurubah? Nama-nama mereka sudah bagus," jawabnya.
"Tidak, Ed. Kau harus mengganti nama-namanya," Lieve menggeleng.
"Sofi dan Vallena itu sudah bagus," kelit Edgar.
"Kedua nama itu memang cantik," Lieve memasukkan sesendok omelet ke dalam mulut dan mengunyahnya, "apalagi nama 'Sofi' sangat cantik seperti wajahnya. Tapi, tetap saja, kau harus mengganti nama-namanya."
Edgar tersenyum geli, "Sofi memang cantik, tapi, Vallena lebih cantik."
Lieve mencibir.
"Terserah kau saja. Intinya, kau harus mengganti nama mereka semua," dumalnya.
"Iya-iya, Lieverd," sahutnya menyerah.
Mereka kemudian menikmati sarapan dengan tenang. Setelah itu, Lieve bergegas bersiap berangkat ke kantor. Ia tampil anggun dengan terusan batik berwarna hijau.
"Ah istriku yang sangat cantik," puji Edgar memeluk Lieve yang sedang mengaca dari belakang.
"Terima kasih suamiku yang tampan!" timpal Lieve.
Edgar tak melepas pelukannya. Ia justru mengecup leher jenjang sang istri.
"Nanti aku telat, Ed," protes Lieve.
Edgar berdecak, "Ini semua salahmu karena terlalu menggoda."
"Ah gombal!" Lieve mencubit pinggang Edgar sambil menyeringai.
Edgar mengusap-usap bekas cubitan istrinya, sementara itu, Lieve bergegas menggunakan sepatu selop yang berwarna cokelat.
"Kita sudah lama tidak mengunjungi ibumu," ucap Lieve.
Edgar mendengkus tak menjawab.
"Bagaimana kalau minggu depan?" lanjut Lieve.
"Terserah kau saja," jawab Edgar tak acuh.
"Hei. Jangan jutek gitu. Ibumu pasti kangen dan kesepian," Lieve membelai dagu suaminya lembut.
Lagi-lagi Edgar mendengkus, "Tiap kali menemuinya ia selalu bersikap menyebalkan. Aku heran mengapa kau bisa tahan dengannya."
Lieve membalas suaminya dengan melempar senyum, "Kalau tidak ada ibumu, kita tak akan bertemu, 'kan?"
Edgar menghela napas panjang.
"Baiklah, Lieverd," gumamnya.
Lieve meraih tasnya, ia kemudian mengecup mesra bibir Edgar, "Kalau begitu aku berangkat. Sampai ketemu nanti," pamitnya.
"Cepat pulang," Edgar melempar senyum.
***
Sesampainya di kantor, seorang gadis belia berusia kira-kira 20 tahunan berjalan menghampiri dan menyapa.
"Pagi, mbak Lieveee ...!"
"Eh, pagi, Sis."
Mereka berdua kemudian berjalan seiringan memasuki ruangan.
"Hari ini aku mau cek jadwal kita selama satu bulan ini, ya."
"Siap, mbak Lieve!" sahut Siska.
Lieve tersenyum. Entah sejak kapan semua orang memanggilnya 'Lieve'.
Oh, sejak ia dan Edgar kembali bersama dan menikah. Nama panggilan sayang dari suaminya tiba-tiba menjadi nama baru bagi dirinya. Ia tak keberatan. Malahan ia mulai terbiasa orang memanggil 'Lieve' daripada nama aslinya sendiri.
----
¹ Lieve : atau Lieverd adalah panggilan sayang dari Belanda. Yang berarti sayang atau cinta.
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top