Chapter 9 - Pasar = Panas


Indonesia, April 2018

Pasar


"Haduh tuhan, panas sekali hari ini," gumamku.

Sudahlah, gausah bertanya, aku sedang tidak mood menjawab pertanyaan aneh kalian.

"Rosi, kita kemana lagi? Tanganku sudah kram nih."

Rosi yang merasa namanya dipanggil pun berhenti dan menoleh ke belakang, lebih tepatnya menoleh ke arahku ditambah tatapan anehnya. "Udah ikutin aja. Baru juga segitu, udah ngeluh."

Segitu? Wey, ini tangan gue udah penuh sama belanjaan, belum lagi tas punggung gue yang udah penuh sesak sama belanjaan. 'Segitu' lu bilang?

Rosi kembali memimpin barisan dengan aku yang terus menggerutu dibelakangnya. Kalau tau begini, aku tak akan menyanggupi permintaan Doni tadi pagi. Oh iyah, for your information, minggu ini adalah bagian Doni dan Rosi untuk berbelanja kebutuhan mingguan kedai, dan karena Doni jatuh sakit, dia memintaku untuk menggantikanya. Dan begonya lagi, gue langsung setuju. Hedeh.

Hey, bukan aku tak mau membantu teman. Kalian lihat sendiri, dua plastik besar dan tas punggungku yang menjadi korban, dan lagi ini baru setengahnya. Huft.

Ah sudahlah. Anggap aja sedang olahraga siang-siang, dan sepertinya sampai kedai aku harus mandi lagi, bajuku sudah basah dengan keringat. Percuma dandan keren tadi pagi.

Aku terus mengekori Rosi yang sedang berkeliling sambil melihat daftar belanjaan. Dia berhenti di depan penjual sayuran dan bersiap melakukan negosiasi.

Kenapa negosiasi? Kenapa bukan transaksi? Mari kita lihat.

"Tomat-nya sekilo berapa bu?" tanyanya.

"Enam ribu neng," jawab ibu-ibu penjual sayuran tersebut dengan ramah.

"Buset, mahal amat bu. Dua ribu deh sekilo bu."

Nah kan? Inilah yang kumaksud dengan negosiasi. Saling tawar-menawar harga antara penjual dan pembeli. Dari negosiasi ini akan tercipta dua kemungkinan, jika negosiasi ini mencapai kesepakatan maka akan terjadi transaksi, dan jika negosiasi kali ini tak menemukan kesepakatan, maka, ya udah, cari penjual lain.

Dan tugas pembeli adalah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga semurah mungkin.

"Gak bisa neng, harganya udah naik dari sananya," ujar sang ibu penjual sayuran.

"Dua ribu lima ratus deh bu."

Buset, Cuma naik lima ratus perak. Rosi emang paling kejam kalo lagi nawar.

"Naikin lagi atuh neng, modalnya belum dapet kalo segitu."

"Dua ribu enam ratus."

Tsadest.

Ingin rasanya aku menengahi negosiasi yang tak masuk akal ini. Tapi, aku tak mau menjadi korban dua ekor macan yang tengah panas. Aku masih sayang dengan wajah tampanku ini.

Negosiasi panas itu terus berlangsung hingga akhirnya ...

"Yaudah, tiga ribu depalan ratus bu. Saya ambil sepuluh kilo nih."

Dan sepertinya, negosiasi kali ini mendapatkan sebuah kesepakatan. Terlihat ibu penjual sayuran itu mulai menimbang dan membungkus tomat-tomat yang akan kami beli.

Eh? Bentar. Sepertinya ada yang gak beres nih.

Rosi menoleh padaku setelah melakukan transaksi. "Alvi, bawain yah!" serunya.

What? Tomat sepuluh kilo? Bawa pake apa? Tangan gue udah penuh ini.

Aku masih mengikuti Rosi, mengekorinya dari belakang. Aku sudah pasrah dengan hari ini, yang bisa kulakukan hanya terus berjalan, berhenti untuk menunggu tambahan beban, dan berjalan lagi.

.

.

.

"Kyaa .. "

Sebuah teriakan yang melengking tinggi membuatku tersentak, mataku berkeliling mencari sosok yang telah membuat heboh seisi pasar. Mataku menangkap sebuah keanehan dari arah kananku, banyak orang yang berlarian, bahkan ada yang sampai menabrak dagangan yang sudah dipajang rapih oleh penjualnya.

"Jangan jangan ... " sinyal tanda bahaya dalam diriku langsung bereaksi. Yosh, akhirnya aku bisa kembali beraksi, setelah dua minggu ini menganggur tanpa adanya kekacauan.

Aku berniat untuk berlari menuju tempat kejadian perkara, mencari sumber kekacauan yang aku yakin asalnya dari penyerangan monster-monster jelek itu. namun ..

"Eeits ... mau kemana?" tanya Rosi menghentikanku dengan memegang kerah baju belakangku.

"Eh? Hehe ... mau liat yang ribut itu," jawabku disertai cengiran polos.

"Gak ada! Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah, lari ke mobil, simpen belanjaannya dulu!" serunya. Buset dah, masih sempet-sempetnya mikirin belanjaan. Tapi bener juga sih, selametin belanjaan, sambil selametin Rosi. Takut dia kenapa-napa kalo kelamaan disini. Okedeh, lets go.

Aku berlari di depan, dengan Rosi yang mengekor di belakangku. Berlari dengan kecepatan yang sudah kumaksimalkan, karena ribet juga bawa belanjaan banyak tapi harus lari.

Keributan di belakangku semakin parah, teriakan saling susul-menyusul kembali terdengar. Suara barang berjatuhan dan pecah menambah meriah keadaan pasar saat ini.

"Rosi, ini!" aku memajukan bokongku dan memiringkan badanku ke kiri, bermaksud agar Rosi bisa mengambil kunci mobil yang berada di saku celana kananku.

Plak!

Buset, gue ditabok. "Ini lagi gawat, jangan nyari kesempatan dalam kericuhan ya kamu," ujarnya.

"Ini kunci mobilnya di saku celana. Cepetan ambilin, terus buka bagasinya, pegel ini."

"Oh, bilang dong dari tadi," jawabnya, dengan cengiran tanpa dosa. Sialan ni cewek, udah nabok, malah nyengir bukannya minta maaf. Mana sakit lagi ni pipi gue.

Rosi kini sedang merogoh saku celanaku, mencari-cari kunci mobil. Ada sensasi tersendiri saat saku celana kita di rogoh oleh orang lain, terutama oleh lawan jenis. "Ow yeah. Terus! Lebih dalam lagi!" ujarku.

"Mana sih? Kok ga ada? Udah sampe dasar ini."

"Masa sih? Coba saku yang satunya lagi," perintahku, dan Rosi pun berpindah menggerayangi saku kiriku. Sensasi geli-geli enak kembali menjalar ke seluruh tubuhku, ahihi, mantul dah.

"Gak ada Alvi."

Aku kembali mengingat-ingat, menerawang dimana terakhir kali aku menyimpan kunci mobil itu. "Oh iyah, ada di tas."

Plak! Double kill.

"Dasar ye lo, nyari kesempatan banget," amuknya. Rosi berjalan ke belakangku dan mencari kunci mobil dan tentu saja langsung ketemu. "Ahihi, ya maap, namanya juga panik."

Rosi tak menjawab, dia langsung menuju belakang mobil dan membuka pintu bagasi, "Cepet simpen belanjaannya!"

Aku hanya bisa menurut, karena takut terkena amukan macan lagi. Aku menyimpan dua plastik besar dan tas punggungku di dalam bagasi, merenggangkan punggungku yang sepertinya sudah kurang minyak. Pegel banget, sumpah.

"Buruan naik!" teriak Rosi dari dalam mobil. 

Buset, udah duduk manis aja ni cewek. Oke, oke. 

Aku bergegas menuju pintu kanan mobil, namun sepertinya nasibku sedang tak baik hari ini, begitu aku membuka pintu mobil, sebuah tarikan pada kerah bajuku membuatku tertarik mundur.

Aku jatuh tersungkur, yaelah tong, udah baju basah sama keringet, sekarang mandi pasir lagi.


"Kyaaa ... "

Suara ini? Oh no, aku kenal suara ini. kubalikan tubuhku. Monster sialan, dia mencoba masuk ke mobilku, ng... mobil inventaris kedai sih, dia mencoba menangkap Rosi yang terjebak didalam mobil. Gak bisa dibiarin inimah.

Sontak aku berlari. Kupegang punggung monster itu dan menariknya menjauh, ku lempar monster jelek itu. Satu urusan selesai, khawatir dengan keadaan Rosi, aku mengintip ke dalam mobil dan, Rosi diam tak bergerak denga mata yang tertutup.

Alamak? Metong nih cewek. Aku panik, haduh, kalo beneran metong bisa berabe nih. Ohiyah, mending gue cek dulu. Perlahan tapi pasti aku mendekat pada wajahnya, kuraba bagian lehernya dengan dua jariku, hmm ... ini bedain orang mati sama masih idup gimana ya?

Betewe, Rosi kalo diliat dari deket gini, manis juga. Wajahnya tenang, pipinya gembul dan bibir seksinya membuatku tak bisa berpaling, terlalu menggoda. Owh, ayolah, berhenti berfikir mesum disaat seperti ini. Tapi sepertinya tubuh dan fikiranku tak dapat berkompromi, otak ku menolak untuk melakukannya, tapi tubuhku tidak. Aku terus mendekatkan wajahku, hingga jaraknya hanya terpaut lima sentimeter. Kupejamkan mataku, .. .. ..

Sebuah tarikan pada kakiku membuatku kembali melayang, dan mendarat dengan empuk diatas aspal panas. Monster kampret, nanggung banget itu, bentar lagi nempel. Ck, gak bisa dibiarin.

Aku berdiri, menghadap monster jelek perusak kenikmatan itu. "Oke, lu yang minta," seruku dan maju menghajar monster itu. kuarahkan tinju mautku padanya, Duakh ...

Rasa ngilu dan sakit seketika menjalar dari ujung kepalan tanganku. EERRNNGGHH ... gue lupa belom berubah.

Dan, Buakh ...

Tangan kerasnya menghantam tubuh bagian kananku membuatku terpelanting jauh. 

Huft, terbang mulu dari tadi. Oke, saatnya berubah, .. .. .. loh? Tas gue mana? 

Aku celingukan mencari tas punggungku, pasalnya Piston Belt dan Blend-nya ada di dalam sana.

*Tepokjidat* kan tasnya tadi disimpen di bagasi. haduh

Aku berlari ke arah mobil, dan masuk kedalam. Setelah berkutat dengan ke-ribet-an yang kuciptakan sendiri, aku mendapatkan apa yang kucari dan kembali menghadap kepada monster itu. Mau berubah aja ribet banget sumpah.

Monster dihadapanku sudah semakin banyak, dan sepertinya sudah tak ada lagi tanda-tanda manusia yang hidup karena sudah dibuat kocar-kacir oleh monster-monster itu. Sempurna.

Inilah saatnya, kutempelkan Piston Belt itu pada pinggangku, dan seketika itu pula sebuah sabuk melilit pas pada pinggangku. "Hey, monster-monster jelek!" teriakku.

Teriakan yang kukeluarkan sukses membuat monster-monster itu mengalihkan perhatiannya kepadaku, dan mulai berjalan mendekat.

Kuangkat tangan kiriku yang sedang menggenggam Blend ALPA, "It,s show time," lalu kupasangkan Blend tersebut pada Piston Belt.


Ckrek ...

... "Alpa" ... "Ready" ...

...


Ohow yeah, sekarang tinggal satu lagi. Kutarik tuas pegangan pada Piston Belt dan kutahan selama lima detik. ... Pssshh ... lalu kukembalikan tuas itu pada tempatnya dalam satu hentakan, "BERUBAH ..."


... "Blend Alpa" ... "Lord of Speed" ...


... "Complete" ...


...



Sampai Jumpa lagi.

*=*

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top